Aku tiba di alamat yang diberikan Bu Marissa kemarin. Namun, ini rumah yang berbeda dengan rumah yang sempat aku menginap satu malam di sana. Rumah besar dengan pagar tinggi di bagian depan. Pagar hitam kokoh yang temboknya diberikan kawat besi sebagai pengaman. Rumah ini tampak sepi, tetapi aku bisa melihat mobil BMW Om Leon, parkir di garasinya.
"Permisi! Om Leon! Saya Hanun!" Seruku dari depan pagar. Tidak ada ponsel, sehingga aku tidak bisa meneleponnya. Tidak juga ada bel di dinding pagar, sehingga aku tidak tahu bagaimana cara memberitahu Om Leon, bahwa aku sudah di depan rumahnya."Om Leon, permisi!" Teriakku lagi. Bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali. Aku berharap Om Leon belum pergi ke restoran karena ini sudah sangat terlambat."Aku kira kamu gak jadi datang," ujar suara dari dalam. Tidak lama kemudian, pintu pagar pun terbuka. Om Leon menyambutku dengan senyuman."Saya kesiangan ya, Om!" Kataku dengan tidak enak hati. Om Leon hanya tersenyum sambil mengunci kembali pagar rumahnya."Belum. Lagian kenapa kamu gak telepon?""Ah, iya, kata Amir, ponsel dan dompet kamu dirampas?" aku hanya bisa menyeringai."Ya sudah, kamu masuk dulu saja! Ada banyak pekerjaan yang harus kamu kerjakan." Aku mengangguk semangat. Ini hari pertama aku bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Walau belum pernah aku lakukan, tetapi aku pasti bisa.Rumah Om Leon sangat besar dan megah. Aku menelan ludah membayangkan aku membersihkan rumah sebesar ini. Apakah tangan dan pinggangku nanti akan baik-baik saja?"Kenapa muka kamu gitu? Kaget sama rumah saya?" tanyanya diiringi tawa. Aku mengangguk pelan."Mau nyapu ada mesinnya. Paling kamu ngepel aja. Mau kuras kolam renang di belakang ada petugasnya. Kamu cuci setrika aja. Mesin cuci saya sudah canggih, gak perlu kamu jemur udah kering.""Wah, t-tapi saya gak bisa pakai perabotan elektronik canggih, Om," kataku jujur."Saya ajarin nanti. Kamu udah sarapan?" tanyanya. Aku mengangguk pelan. Namun, tidak lama perut keronconganku berbunyi. Om Leon sampai terkekeh mendengar suaranya."Kamu belum makan tandanya. Mulut kamu bisa bohong, tapi perut kamu tidak. Saya bikin chicken soup. Makan aja, masih hangat! Saya ada kerjaan di kamar sebentar. Kamu bisa makan dan cuci piring sambil menunggu saya ya. Jangan sungkan, anggap aja rumah sendiri!" Aku mengangguk semangat. Kedua kaki ini berjalan menuju dapur besar super megah milik Om Leon.Aku sampai harus membuka mulut untuk dapat mengeluarkan oksigen banyak-banyak yang tertampung di paru-paru ini. Semua barang dan design dapur serta ruangan yang sebelumnya hanya bisa aku lihat di media sosial, kini bisa aku lihat langsung di rumah Om Leon.Peralatan dapur super bersih dan tertata rapi. Lantai juga begitu glowing sehingga aku bisa bercermin. Menyaksikan betapa kusam wajah ini.Sepanci kecil chicken soup aku lihat masih ada di atas kompor. Masih hangat pula. Aku mengambil mangkuk kecil, lalu menuangkan perlahan beberapa sendok sup dari panci itu. Aromanya begitu menggugah, sehingga aku tak sabar untuk segera mencicipinya."Apa enak?" tanya Om Leon tiba-tiba dari belakang. Aku menoleh terkejut, lalu sedetik kemudian aku mengangguk."Om yang masak?" tanyaku."Iya, karena belum ada istri jadinya masak sendiri.""Sebentar lagi mau punya istri,kan, Om? Kata Bu Marissa_""Istri pilihan mama itu. Bukan pilihan saya. Saya udah terlalu tua katanya, makanya mau dijodohkan. Padahal saya naksir kamu. Kamu yakin gak mau cerai sama Biru?" potongnya cepat. Aku menelan ludah susah payah. Untunglah aku sudah selesai makan, jika tidak, maka aku bisa tersedak."Tetap saja tidak bisa, Om. Saya udah punya suami," kataku lagi dengan perasaan sumbang. Ya, tentu saja sumbang, karena Mas Biru sudah tidak memperlakukan aku lagi layaknya seorang istri yang ia cintai."Alasan kamu itu terus, Hanun, tapi gak papa. Semoga takdir kita bisa kita ubah." Om Leon mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum."Atau mungkin kita terang-terangan saja selingkuhnya, biar kamu dicerai Biru?""Apa, Om, itu jelas tidak mungkin, Om." Pria itu kini sudah mengungkungku di bawahnya. Aku sampai harus sedikit membungkuk agar dagu Om Leon tidak menyentuh kepalaku. Sungguh ini ujian amat berat dalam hidupku, selain bersuamikan Mas Biru. Pesona Om Leon begitu mendekati kata sempurna, tetapi bagiku hanya cukup untuk dipandang dari jauh saja, sebagai bos dan karyawan."Apa kamu tidak percaya saya? Saya benar serius naksir kamu. Pikirkan lagi ucapan saya ya. Jika kamu setuju, saya akan batalkan rencana perjodohan ini. Kamu akan jadi satu-satunya wanita di dalam rumah ini," ujarnya sembari menempelkan bibirnya di pipiku.POV Leon"Umur kamu sudah terlalu tua dan mama kamu ini gak sanggup kalau harus menunggu lebih lama lagi untuk mendapatkan cucu dari kamu. Dua adik perempuan kamu sudah menikah dan masing-masing punya satu anak. Tinggal anak lelaki Mama satu-satunya yang belum memberikan Mama menantu, apalagi cucu. Jadi, Mama sudah putuskan untuk menjodohkan kamu dengan Renata. Wanita baik-baik dari keluarga terpandang. Mama menjodohkan kamu bukan dengan wanita karir karena Mama ingin kamu ada yang mengurus. Apa kamu paham?" aku meletakkan cangkir kopi ke atas meja. Selalu hal ini saja yang menjadi perdebatanku dan mama bila ia datang berkunjung ke rumahku. Aku ingin menikah, Ma, tapi dengan Hanun. Mana sanggup bibir ini mengatakan hal demikian karena nanti Hanun yang mendapatkan celaka. "Leon tidak menolak, tetapi juga tidak sepenuhnya setuju. Berikan alamat Renata, nanti Leon berkunjung. Alamat kantor atau alamat rumah orang tuanya juga gak papa," kataku pada mama. Wajah wanitaku itu langsung ber
Tentu semua hanya gertakan saja. Mana tega aku membiarkan wanita yang aku cintai masuk penjara. Bukan hanya isi brangkas di restoran yang jika ia mau menjadi istriku, maka restoran ini pun bisa menjadi miliknya, tetapi selagi ia masih dalam ikatan pernikahan, tentu saja aku tidak boleh gegabah. Nanti Hanun juga yang susah. Sebuah kesempatanku membawa Hanun ke rumah yang hanya sesekali saja aku kunjungi. Ia tidur di kamar bersamaku malam ini, tetapi ia di ranjang dan aku di sofa. Tidak apa aku mengalah, karena aku tahu dia lelah. Suami yang ia harapkan bisa menjadi tumpuan harapan, malah memperalatanya. Bagaimana caraku untuk memberitahu Hanun, karena wanita di depanku yang sedang tidur ini salah mencintai pria?Mas, saya lagi gak punya uang. Saya gak bisa kasbon. Aku menoleh terkejut saat Hanun meracau dalam tidurnya. Kuhampiri ia dengan wajah lelah dan sangat sederhana. Kulitnya sawo matang, tidak putih seperti impian kebanyakan kaum Adam. Aku lebih suka kulit wanita asia yang sens
POV HanunMemang hanya cium pipi, tetapi badan ini langsung panas dingin. Untung saja Om Leon langsung pergi, sehingga aku bisa meneruskan pekerjaan rumah tangga. Jika tidak, maka aku akan sangat canggung berdekatan dengan pria itu. Terakhir aku dicium Mas Biru mungkin satu bulan lalu. Kami terus berdebat soal uang dan hal sepele, sehingga baik aku ataupun dia, malas berdekatan. Kumis tipis Om Leon dan jampang yang selalu ia cukur rapi masih terasa sedikit geli di pipi iniHanun, jangan genit kamu! Batinku mengingatkan. Aku melanjutkan pekerjaan sampai sore hari. Aku juga memasak karena semua bahan makanan ada di kulkas dua pintu mirip lemari pakaian itu. Ada daging segar yang aku olah jadi beef teriyaki. Aku juga merebus brokoli dan wortel. Aku masak secukupnya dan makan pun tidak banyak. Aku tidak mau aji mumpung di rumah Om Leon. Masih untung aku dipekerjakan di sini.Kring! KringAku mengangkat telepon yang berdering dari ruang tengah. "Halo.""Halo, Hanun, kamu lagi apa?""Baru
Pintu kamar terbuka. Mas Biru masuk dengan wajahnya yang masam. Aku malas bertanya dan berpura-pura tidur. Aku sedang tidak ingin bicara dengannya maupun mertuaku."Aku tahu kamu belum tidur," katanya pelan sambil menyentuh lengan ini. Aku diam, tidak menyahut sama sekali. Mata ini pun masih terpejam amat rapat. "Aku resign." Sontak aku membuka mata, lalu bangun duduk dengan begitu terkejutnya."Kamu resign, Mas? Kenapa? Udah punya kerjaan baru?" tanyaku dengan kening berkerut."Ada sedikit masalah di pabrik dan aku dipecat sih." "Masalah apa? Selama ini kamu gak pernah cerita." Suamiku membuka baju kausnya, menyisakan kaus dalam dan celana panjang saja. Ia yang awalnya duduk di pinggir ranjang, kini merosot duduk di bawah. "Urusan lelaki pokoknya. Intinya aku gak kerja dan aku gak bisa kasih kamu uang belanja bulanan lagi. Kamu usaha sendiri dulu untuk sementara waktu. Ibu dan Sasa juga tolong tanggulangi dulu. Nanti kalau aku udah kerja, aku ganti semua uang kamu, Hanun." Aku ter
"Ya ampun, Jeng Rissa, jadi mau mantu? Pantes aja kita-kita diundang ke sini arisannya.""Iya, Jeng Hel, doakan lancar ya, Jeng. Masih pedekate sih, tapi sinyalnya positif kok. Paling bukan depan, udah punya mantu saya. Anak lelaki satu-satunya, paling besar lagi, jadi maklum saja kalau kriterianya suka yang aneh-aneh. Maklumlah, harta dan perusahaan gak boleh sampai jatuh ke tangan yang salah. Bener gak bu-ibu?" "Betul sekali itu, Jeng. Mau hajatan di mana nih? GBK-kah? he he he ....""Nggak, Jeng, mungkin nanti ngunduh mantu di sini, paling di Hotel Harris Jakarta. Kalau akad di kampung calon anak saya, Jeng. Cantik deh, menantu saya. Orang desa, tapi ningrat. Bukan orang duafa, masih satu level dengan Leon."Percakapan demi percakapan hanya bisa aku dengarkan saat aku menata aneka makanan di meja. Ada banyak pesanan kue yang harus aku sajikan di piring hidang. Belum lagi desert puding dan es kelapa. Makan siangnya pun ada, lontong sayur. Aku yang belum makan apa-apa dari pagi ini
"Maaf, Om, sebelumnya terima kasih atas kebaikan Om Leon. Hanya saja, saya tidak bisa menginap. Di rumah saya sedang ada mertua dan ia menunggu saya pulang," jawabku dengan hati-hati. Om Leon mengangguk paham."Oke, mau saya antar? Ah, iya, kalimat saya salah. Ayo, saya antar kamu! Tenang, gak akan saya turunin di gang rumah kamu, tapi minimarket yang di dekat sana." "Gak papa saya naik angkot saja, Om, t-tapi saya pinjam tiga puluh ribu untuk ongkos malam ini dan besok, Om." Wajahku pasti sangat menyedihkan. Seperti tengah mengemis memohon belas kasihan orang lain. "Saya antar. Ayo, cuci muka dulu dan makan ya. Temani saya makan." Mau menolak pun percuma karena saat ini tanganku sudah ditarik paksa menuju dapur. "Tadi sore saya sudah makan, Om.""Iya, tapi bangun tidur, kamu pasti lapar lagi. Masih ada dua bungkus lontong. Kamu satu dan saya satu. Makan di sini sama saya." Aku pun akhirnya mengangguk setuju. Memang benar tebakan Om Leon bahwa orang yang baru saja bangun tidur, bia
Plak!"Hanun, siapa kamu mau bakar celana dalam Sasa? Emangnya kamu yang belikan itu celana?! Pulang kerja malah ngelunjak. Masuk sana dan kerjakan apa yang saya suruh! Kurang ajar sekali!" Pekik ibu mertuaku dengan mata berapi-api. Aku hanya bisa menelan ludah sambil menggertakkan gigi. Aku berbalik dan langsung masuk ke kamar mandi. Celana dalam berdarah tadi aku taruh begitu saja di gantungan kamar mandi. Aku memilih mandi dengan cepat dan tidak mau melakukan apa yang diminta mertuaku.Suara pintu terdengar dibuka. Aku yang sudah pulas akhirnya bangun dan menoleh ke arah pintu. Mas Biru pulang dengan wajah lusuh."Mas, udah pulang," sapaku dengan suara serak. Ia hanya diam saja. Menaruh ponselnya di nakas, lalu keluar lagi dari kamar. Aku mengerutkan kening dan langsung turun dari ranjang. Aku ke dapur untuk membuatkan teh."Astaghfirullah," gumamku saat melihat dapur sangat berantakan. Ada perabotan seperti bekas makan mi rebus. Kue yang aku bawa pun tidak ada yang tersisa, padaha
"Bangun terlalu siang, rejeki kamu nanti bisa dipatuk ayam!" Sindir ibu mertuaku saat aku baru saja keluar dari kamar. Tubuh ini mendadak demam dan kepalaku juga sangat berat, tetapi perut juga lapar. Aku tidak menyahut ucapan mertua. Aku lebih memilih langsung berjalan ke dapur untuk mengambil air minum. Pukul enam pagi baru aku ada tenaga untuk keluar kamar.Ya, Tuhan, dapurku masih seperti semalam. Sangat berantakan dan tidak ada yang membereskan. Piring kotor di mana-mana dan sedikit berminyak. Belum lagi aroma dari tong sampah kecil yang ada di dapur. "Bu, Sasa ke mana ya?" tanyaku dengan suara pelan."Saya tidur, kenapa?" "Bu, ini dapur belum dibereskan sejak kemarin," jawabku. "Itu tugas kamu, Hanun. Kenapa malah tanya Sasa? Saya alergi air sabun. Apa Biru gak cerita? Kamu saja yang bereskan semuanya. Setelah itu bikin nasi goreng. Ibu tadi udah masak nasinya, tinggal kamu goreng tuh! Harusnya bersyukur banget kamu dekat dengan mertua. Apalagi mertuanya seperti saya yang mau
"Bagaimana mama?" tanya Leon pada Angel."Masih mengunci diri di kamar, Mas." Angel menaruh segelas air putih di atas meja untuk Leon. "Untuk apa menangisi bajingan." Leon tertawa pendek. Angel hanya bisa mengangkat bahunya. "Apa kita gak terlalu keras pada mama? Mama bisa sakit loh, Mas.""Kita bis jatuh miskin kalau Xabir dibiarkan lama menjadi benalu." Angel yang tadinya duduk di depan Leon, kini berpindah duduk menjadi di samping kakaknya itu."Lalu bagaimana, Xabir? Bisa-bisa dia mati dipatok ular, Mas," tanya Angel sambil berbisik."Bisa banget. Itu yang Mas harapkan. Biar dia kapok!""Lalu ibu dan sodaranya itu?""Ada di hutan. Entah sudah mati atau belum. Mereka manusia-manusia benalu yang kalau hidup lama itu, bakalan nyusahin orang. Lagian, jika mereka berani muncul, maka polisi sudah siap menangkap mereka.""Mama mungkin akan susah menerima takdir ini, tapi nanti juga mama bisa paham apa yang aku lakukan ini juga demi mama. Lagian mama udah tua, udah harusnya hidup tenang
"Mama, apa yang terjadi pada Mama? Kenapa Mama sendirian di villa? Mana Biru dan keluarganya?" Bu Marissa yang baru saja membuka matanya, langsung merasa kepalanya bertambah sakit setelah Angel mencecarnya."Apa, Xabir? Ini di mana?" tanya Bu Marissa sambil memperhatikan keadaan sekelilingnya."Mama di rumah sakit. Ini sudah malam. Mama baru sadar setelah Mama tidur sejak pagi. Ada apa, Ma?" Bu Marissa semakin mengerutkan keningnya. "Gak mungkin, Mama ada di villa bersama Xabir dan juga keluarganya.""Ma, Xabir gak ada di villa saat Mas Leon sampai di sana. Keluarganya juga. Ponsel Mama pun tidak ada keduanya. Mama diperdaya lelah bajingan itu!" Bu Marissa terdiam. Matanya tiba-tiba berair."Gak mungkin, Xabir mencintai Mama. Mau apa dia bikin Mama kayak gini. Semua udah Mama kasih sama dia." Bu Marissa menangis. Pintu kamar perawatan VVIP terbuka. Leon masuk dengan wajah murung. "Leon, Angel barusan cerita omong kosong!" Leon tersenyum miring. Ia mengeluarkan amplop coklat dari da
Malam ini Leon bisa tidur dengan nyenyak. Semua bukti sudah ia kumpulkan, setelah lewat Hanun, ia mendapatkan banyak foto dan juga data diri dari Xabiru. Termasuk data dari pabrik, tempat Biru kerja hampir tujuh tahun. Foto Bu Wati pun ada. Semua ia print dan masukkan ke dalam amplop coklat. Semua data sudah lengkap dan tidak perlu ada yang ia ragukan. Biru akan mendekam dalam penjara bersama ibu dan sepupunya.Keesokan harinya, Leon yang baru saja keluar dari kamar mandi, mendengar notifikasi pesan masuk ke ponselnya. Pria itu setengah berlari untuk mengecek siapa yang mengirimkan pesan.MamaLeon, Mama sedang bersama Xabir, lagi liburan sebentar. Mungkin dua sampai tiga hari. Kamu gak usah cari mama ya, mama baik-baik aja.Syukurlah mama baik-baik aja. Ada yang mau Leon beritahu tentang Xabir. Mama harus pulang secepatnya ya.SendMamaAda apa? Kamu mau fitnah Biru seperti apa lagi? Sudah ya. Jangan sirik dengan kebahagiaan yang saat ini sedang mama nikmatiLeon langsung menekan pan
Leon menghubungi dua adiknya untuk menanyakan keberadaaan bu Marissa, tetapi keduannya tidak ada yang tahu. Keon mencoba menghubungi rekan bisnis mamanya yang lain untuk mengecek janji temu, tetapi ia tidak mendapatkan ada jadwal meeting dengan rekan bisnis untuk tiga hari ke depan. Hal ini ia ketahui dari sang Sekretaris. Disaat Leon sibuk mencari mamanya, disaat itu pula Xabir sedang menikmati waktu berdua dengan istrinya. Ya, mereka sedang berada di sebuah villa yang ada di Bogor, setelah kemarin keduanya pergi ke bank untuk memindahkan sejumlah uang. “Anak-anak mungkin perlu diberitahu agar mereka tidak khawatir,” kata Xabir pada istrinya. Bu Marissa menggelengkan kepala dengan pelan. Ia kehabisan tenaga menghadapi kegagahan Xabir yang sepertinya begitu perkasa lebih dari biasanya. “Nanti saja, Sayang. Nanti aku akan kirim pesan.” Bu Marissa menyentuh punggung suaminya. “Memangnya kenapa tidak diberitahu saja sejak awal?”
"Benar-benar memalukan! Jauh-jauh ke sini hanya untuk dibikin malu sama si Leon itu. Jumawa sekali dia menolak putri keraton!" "Sudahlah, Bu, mungkin belum jodoh." Renata menjawab dengan malas. Tatapannya kini fokus pada jalan di depannya. Hujan cukup deras mengantarnya pagi ini menuju bandara. Keputusan Leon sudah bulat dan lelaki itu menolak bertanggung jawab. "Lalu, siapa yang akan bertanggung jawab atas kehamilan kamu? Masa mau cari lelaki lain?""Saya mengasingkan diri saja sampai bayi ini lahir." "Kamu bicara dengan mudah, Rena. Kamu gak pernah pikirkan dampak perbuatan nekat yang kamu lakukan!" "Bu, sudah, sudah! Nanti biar kita pikirkan jalan keluarnya." Pak Cokro menengahi perdebatan ibu dan anak itu. Rena juga tidak mau ambil pusing karena mau dipaksa seperti apapun tetap saja Leon tidak akan mau bertanggung jawab."Jadi, Leon itu sukanya pembantu?" tanya Pak Cokro yang mendadak kepo. Rena mengangguk."Jika nama yang Rena dengar tadi adalah Hanun, maka gak salah lagi ka
"Sayang, kamu cemburu sama pembantu? Ya ampun, udah jelas lebih unggul kamu dari wanita mana pun," elak Biru dengan cepat. Lelaki itu tidak mau istrinya sampai curiga. "Lalu, kamu tahu dari mana kalau Hanun masih punya suami?""Aku asal nebak, Sayang. Hanun dari kampung'kan? Orang kampung itu rata-rata menikah muda. Umur enam belas tahun sampai sembilan udah dinikahin sama orang tuanya. Jadi mungkin aku ....""Tidak perlu bahas Hanun. Udahlah, aku mau ke dapur dulu." Bu Marissa pergi ke dapur, meninggalkan Biru yang masih dalam keadaan cemas. Ia khawatir Bu Marissa curiga atau malah mencari informasi atas dirinya.Sore hari, Biru melihat sang Istri sudah berdandan dengan begitu rapi, sedangkan ia tidak dapat informasi apapun dari wanita itu."Kamu mau ke mana udah sore, Sayang?" tanya Biru."Mau ke rumah Leon. Ada urusan." Bu Marissa mengoleskan lipstik di bibirnya. "Aku boleh ikut?""Kata Leon ini pribadi. Maaf, Sayang, kali ini aku jalan sendiri ya. Kamu di rumah saja. Aku gak lam
"Jadi menurut kamu, saya cukup tanggung jawab saja?""Betul, kalau pun tidak mau tanggung jawab sebenarnya gak papa. Orang Pak Leon dijebak. Dia dan keluarganya mengakui. Jelas bayinya nasab ke ibunya. Beda kalau dilakukan atas dasar suka sama suka dan Pak Leon dalam keadaan sadar. Ini Bapak beneran gak inget apapun?" Leon mengangguk."Saya ingat betul waktu ke rumahnya, memang gak ada siapa-siapa. Saya disuguhi minum, terus saya juga lupa lagi ngapain. Besok paginya kebangun udah di kamar. Saya pikir malah karena terlalu lelah, makanya ketiduran." Hanun mendengarkan dengan seksama."Ya, jika mereka ingin lapor polisi, saya rasa mereka tidak akan kuat untuk menjebloskan Pak Leon ke penjara atau mungkin menuntut. Malah mereka mungkin akan malu." Sepanjang hari, Leon cukup terganggu dengan kehadiran Renata dan juga kedua orang tuanya. Belum lagi saran dari Hanun yang sangat masuk akal. Pria dewasa itu tidak ingin salah langkah, sehingga ia memutuskan untuk bicara dengan salah satu peng
"Saya tidak merasa melakukan hal bodoh seperti itu pada Rena. Bagaimana kalau itu bukan anak saya?" Leon menatap Renata dengan wajah dingin. Ia tahu saat ini Hanun tengah menguping pembicaraannya dari balik pilar. "Kamu paham maksud Nak Leon, tapi kami sebagai orang tua ingin Nak Leon bertanggung jawab sampai bayi ini bisa untuk tes DNA." Leon menatap mamanya."Jeng Rissa kan pengusaha, pasti tidak enak kalau sampai hal ini terdengar oleh relasi bisnis yang lain. Apalagi anak lelaki satu-satunya." Bu Marissa ingin menjawab, tetapi bibirnya kelu. "Tapi anak saya dijebak. Ini sama artinya yang menginginkan hal ini terjadi adalah Renata. Saya hampir tidak percaya, putri keturunan keraton bisa melakukan hal memalukan seperti ini. Bagaimana jika para leluhur kalian tahu semua ini? Jelas saya membela putra saya." Bu Marissa membuka suara."Karena kami ada foto dan bukti. Kami ingin selesaikan ini secara kekeluargaan saja Jeng Rissa. Kami gak mau berurusan dengan polisi. Leon harus bertang
Tok! Tok!"Pak, ada tamu!" Seru bibik dari depan pintu yang dikunci Leon. Kedua pasangan yang sedang melakukan foreplay itu pun tersentak kaget. Bahkan Hanun tersadar terhadap apa yang sudah ia lakukan. Wanita itu mendorong Leon dan langsung memakai pakaiannya yang berserakan di lantai. Hanun bersembunyi di balik meja kerja majikannya, sedangkan Leon ikut memakai kembali pakaiannya. "Siapa?" tanya Leon datar. Seolah tidak terjadi apa-apa selama dua puluh menit "A-ada tamu, Pak. Bapak lihat sendiri saja, katanya jangan bilang Bapak." Leon mengerutkan keningnya."Suruh Hanun buatkan teh, yang punya saya tawar saja," kata pria itu memerintah. "Oh, Hanun saya gak tahu ke mana, Pak. Soalnya tadi bilang mau bangunin Bapak.""Hanun saya suruh beli nasi uduk. Tiba-tiba saya pengen nasi uduk yang depan komplek.""Oh, gitu, baik, Pak. Gak papa, biar saya aja yang buat. Permisi, Pak." Begitu bibik berjalan ke dapur, Hanun pun langsung keluar dari kamar Leon. "Bilang sedang tidak jualan ya."