Benar perkiraan Alisya tidak ada hukuman untuk perempuan itu. “Dasar Benalu! Kenapa kamu tidak mati saja seperti ibumu!” Plak! Tangan Alisya terasa panas sakit kuatnya dia menampar pipi wanita itu, Pandu yang ada di sana hanya bisa ternganga melihat kedua istrinya bertengkar. “Sebaiknya bawa wanita ini pergi, sebelum ada pembunuhan di sini!” Dada Alisya turun naik tak beraturan saking emosinya, Pandu yang tersadar dari rasa terpakunya langsung memeluk tubuh Sekar dan menatap Alisya dengan tajam. “Kenapa? Apa mas marah karena aku menamparnya! bukankah dia seharusnya membusuk di penjara karena perbuatannya kemarin! Aku yakin suatu saat kamu akan mendapat kesulitan yang tidak bisa kamu atasi karena perbuatannya!” Udara dingin yang menusuk tiba-tiba saja memenuhi ruangan itu. Rasa dingin yang menusuk hingga membuat dua orang itu bergidik. Alisya bukan hanya sedang meluapkan amarahnya, wanita itu seperti sedang bersump
"Biar saya antar saja nyonya." "Aku bisa pergi sendiri, tapi terima kasih." Laki-laki itu menatap Alisya dengan tatapan memohon, tapi Alisya sudah tahu begitu dia keluar dari rumah ini, dia bukan lagi nyonya rumah yang pantas untuk dilayani. Di kamar yang dia tempati dia sudah menuliskan surat yang dia harapkan akan bisa diterima Pandu dengan lapang dada. Suaminya itu tak perlu khawatir tentang semua hal, sejak awal ikatan mereka memang rapuh dan jika Pandu tak mampu memutuskan Alisya tidak keberatan menjadi orang yang melakukannya. "Tapi nyonya akan kesulitan mendapatkan lokasi rumah yang akan nyonya tempati nanti." Kenapa Alan bicara seolah dia sudah tahu rumah yang akan Alisya tuju. "Aku bisa mengatasinya." "Tapi nyonya masih lemah, baru keluar dari rumah sakit." "Dokter bilang aku sudah baik-baik saja." "Sudah baik-baik saja bukan berarti bisa melakukan apa saja." Alisya langsung melotot, dia memang mengakui Alan sangat baik padanya dan perhatian, tapi tentu saja dia
Diantara semua hari, juga puluhan restoran yang ada di kota ini. Kenapa mereka harus bertemu di sini."Al kamu kenal dengan orang itu? kenapa dari tadi dia melihat kemari?"Hari ini memang dia sedang ada meeting di luar dengan beberapa desainer dan pak Firman tentu saja, tapi bossnya itu sudah pulang lebih dulu karena ada urusan, meninggalkan anak buahnya yang tentu menagih pajak berupa makan siang di restoran seafood yang yang terkenal enak.Masa-masa mual Alisya memang sudah berkurang, bayi dalam kandungan Alisya ini ternyata sangat pengertian, dia tahu kalau mereka tak bisa bermanja-manja pada sang ayah, jadi mereka sangat penurut. Alisya memang mengandung anak kembar, dan itu merupakan anugerah yang tidak disangka-sangka."Palingan juga emak-emak yang pingin jodohin anaknya dengan Alisya," kata Rifky, salah satu desainer yang memang terkenal konyol."Yah perut Alisya sudah melendung gitu, memang tuh emak-emak nggak lihat," sangkal yang lainnya."Eh tapi meski sudah tua, masih cant
“Apa kamu tahu apa yang terjadi dengan mas Pandu?”Seseorang yang di ujung sana terdiam sebentar sebelum menjawab dengan ketus. “Kamu kira aku baby sisternya!”Alisya meringis mendengar komentar pedas Pram, salahnya memang sudah tahu laki-laki itu tidak menyukai suaminya tapi dia tetap bertanya.Ini sudah jam sembilan malam saat Pram menghubunginya dan bertanya ini itu, semula Alisya juga enggan bertanya, akan tetapi rasa penasaranlah yang mengalahkan segalanya.“Aku hanya bertanya jangan marah.”“Kamu itu labil, sudah memutuskan pergi tapi tetap saja memikirkannya.”Alisya hanya menghela napas panjang menghadapi kemarahan Pram. Dia juga tahu kalau kesannya tak teguh pendirian, tapi bagaimana lagi mendengar Pandu dalam kesulitan dia merasa tak tenang.“Katakan padaku, apa setiap malam kamu masih begitu bodoh menangisinya?” tanpa sadar Alisya mendengus mendengar kalimat Pram, dia memang masih melakukannya, katakanlah dia memang bodoh, tapi dia berusaha keras untuk tidak melakukan hal i
Jawaban tentang keadaan Pandu datang di suatu siang yang terik. “Mbak Alisya ada tamu untuk mbak di lantai satu.” Suara resepsionis lantai bawah terdengar begitu Alisya mengangkat telepon di mejanya. “Tamu siapa?” tanya Alisya yang merasa tidak mempunyai janji dengan siapapun. “Beliau bilang mertua mbak.” Alisya langsung menggertakkan giginya, dia memang tak pergi jauh dari kota ini. dan tidak berniat bersembunyi juga karena dia yakin itu akan percuma saja. Akan tetapi bukan berarti keluarga Pandu bisa seenaknya merecokinya. “Bagaimana mbak?” tanya sang resepsionist lagi yang memecahkan balon lamunan Alisya. “Baiklah saya akan menemui beliau,” jawab Alisya yakin. Ruang tamu di lantai satu cukup tertutup, setidaknya tempat itu ada di lorong yang jarang dilewati orang, jadi Alisya tidak perlu khawatir kalau mertuanya itu kembali mencaci dan menghinanya, setidaknya hal itu tidak terdengar orang lain. “Mau
“Kenapa kamu tidak memakai mobil hadiah dariku?” tanya Pram saat Alisya baru saja turun dari taksi. “Hadiah itu terlalu mahal, lagian kamu tahu sendiri aku tidak bisa menyetir.” “Kamu butuh sopir?.” Alisya langsung berkacak pinggang dengan mata melotot pada sahabatnya yang bukannya takut malah menatapnya dengan malas. Dengan perut buncit dan kaki yang belum sepenuhnya sembuh benar wanita itu terlihat lucu. Saat ini mereka memang bertemu di sebuah cafe, Alisya sengaja meminta Pram bertemu di sini saja, tak usah datang ke rumahnya, bukannya dia tidak tahu terima kasih, tapi Alisya tidak ingin mendengar kalimat macam-macam dari tetangganya. Hal yang membuat Pram langsung mebego-begokan Alisya karena menolak tinggal di apartemen atau perumahan mewah yang dia tawarkan. “Kamu tahu bukan aku sedang berhemat, jadi jangan ajari aku boros,” omel Alisya. “Memangnya naik taksi kemana-mana tidak boros.” “Kamu maunya aku jalan kaki!” Pram tahu perdebatan mereka tidak akan menemukan titik t
Pertemuan ini mengingatkan Alisya pada percakapan dengan ayah mertuanya kemarin. Dua kubu yang sama-sama kuat saling berhadapan. “Semuanya jauh lebih melelahkan dari yang saya kira,” komentar Alisya setelah mendengar cerita yang disampaikan ayah mertuanya. Alisya pikir dengan dia tidak akan buka mulut semuanya akan baik-baik saja. Pandu bisa melanjutkan hidupnya dengan bahagia bersama Sekar dan Alisya juga akan punya kehidupan sendiri. Mereka tak akan lagi bersinggungan, meski suatu hari bertemu Pandu, Alisya berharap perasaannya sudah tawar dan bisa menyapa laki-laki itu seperti pada teman, meski itu terdengar sangat mustahil karena ada ikatan yang sangat kuat yang masih tertinggal meski mereka sudah berpisah. Akan tetapi Alisya yakin itu bukan masalah besar, dia akan mencoba menjelaskan pada anak-anaknya kelak.“Uang dan kekuasan bisa membuat seseorang menjadi serakah dan menghalalkan segela cara, Nak.” Alisya ta
“Haruskah kamu melakukan itu di depan Sekar, dia sedang sangat sensitif karena kehamilannya.” Ada yang menggores hati Alisya saat mendengar teguran itu, tidak bisakah laki-laki ini memikirkan juga perasaanya, sekali saja. “Duduklah, Mas,” kata Alisya mengabaikan perkataan Pandu tadi. Wanita itu sudah duduk dengan tenang di sebuah ruang tunggu yang telah sepi. Sengaja dia memang melakukannya, karena pembicaraan ini akan sangat sensitif di dengar orang lain. Laki-laki itu menengok ke belakang sebentar, mungkin khawatir Sekar akan mencarinya, Alisya hanya tersenyum masam melihat semua itu. “Aku hanya butuh waktumu lima menit tidak lebih,” kata Alisya tegas menghentikan gerakan Pandu dan segera duduk di sampingnya tapi sengaja Alisya sedikit menjauh yang menimbulkan kernyitan tak suka di wajah Pandu tapi Alisya sama sekali tak peduli. “Ada apa, setelah pergi dengan laki-laki lain kamu-“ “Ini soal janji yang pernah aku katakan,” Alisya sama sekali tidak ingin mendengar semua omong k