Bugh!!! Tubuhnya jatuh tersungkur di atas rerumputan hijau yang menjadi alas keduanya berpijak sekarang ini. Tendangan yang tepat jatuh di atas perut datarnya itu menjadi alasan Aksa tak mampu menahan tubuhnya. Remaja jangkung itu ambruk. Tersungkur dengan luka memar di sisi wajahnya. Bara mungkin akan menghabisi dirinya jikalau ini bukan lingkungan sekolah. Remaja berandal satu ini adalah iblis yang tak punya hati nurani sedikit pun. Bara menyeret tubuh Aksa untuk menjauh dari kerumunan. Meninggalkan Xena yang mematung tak mengerti pasal keadaan yang sedang terjadi di antara keduanya saat ini. Ia tak pernah menyangka akan berada di situasi serumit ini. Tentang Malik dan Zain yang mengenal Aksa mungkin bukan lagi menjadi hal yang mengejutkan untuk dirinya, tetapi tidak untuk fakta bahwa Bara juga mengenal remaja jangkung berwatak iblis satu itu.
"Katakan yang sejujurnya, apa yang lo lakukan di tempat ini?" Bara mengulang. Menarik kerah baju remaja yang ada di bawah kuasanya se
Ia menatap nanar. Terfokus pada ujung lorong tempat Bara menyeret tubuh Aksa untuk pergi bersamanya. Bukan akses untuk semua orang datang ke tempat ini. Gudang belakang sekolah adalah tempat di mana tak banyak orang yang menyinggahinya. Sesekali gadis itu menyentakkan kakinya untuk mencoba menghilangkan rasa resah dan gelisah yang mulai menguasai di dalam dirinya. Xena ingin pergi. Menyela dua remaja bodoh yang dalam bayangannya pasti sedang bertengkar hebat di sana. Jujur saja Xena tak mengkhawatirkan Aksa sedikitpun. Remaja itu sudah berandal dari sananya. Ia bahkan hampir merenggut nyawa Zain kala itu. Tak ada yang patut menaruh rasa peduli dan kasih iba padanya. Jika Aksa yang kalah dalam pertarungannya, maka Xena akan memberi sorak dan penghargaan untuk itu. Seseorang sudah mengalahkan Aksa Mahendra Abinaya!Xena menggigit ujung kukunya. Sesekali ia menoleh memastikan bahwa dua remaja itu belum keluar dari goa persembunyian mereka. Perasaan aneh menyelimuti. Pikiran negat
"Aksa Mahendra Abinaya." Sesekali mengeja namanya dengan tegas. Menatap remaja jangkung yang ada di depannya dengan penuh keseriusan. Ia adalah pemilik ruangan ini. Segala kalimat yang diucap akan menjadi kekuatan tersendiri yang tak mampu di bantah oleh siapapun."Itu namamu bukan?" tanyanya kembali membuka suara. Aksa menganggukkan kepalanya ringan. Tersenyum tipis lalu kembali menyapu setiap bagian ruangan yang ada di sekitarnya. Ini lebih nyaman ketimbang sel tahanan di balik jeruji besi yang pernah ia singgahi selama beberapa bulan menetap. Sebagai seorang tersangka bersalah. Kasus penganiayaan yang ia lakukan pada teman sebaya. Percobaan pembunuh bahkan kasus pencurian yabg menyertakan namanya. Aksa pernah merasakan semua itu. Dingin dan penuh ketidakadilan kala ia datang sebagai seorang tersangka muda di balik jeruji besi.Tempat ini sedikit lain. Sepi suasananya, hanya berisikan seorang wanita tua berkerudung yang senada warnanya akan dengan seragam f
Xena menundukkan pandangannya. Ia tak kuasa menatap wajah penuh luka memar milik remaja jangkung yang terus saja menatapnya dengan tajam. Aksa tak pernah absen dari segala aktivitas yang dilakukan oleh Xena siang ini. Gadis itu mendustai sang guru dengan beralasan ingin pergi ke UKS sekolah sebab sakit ia rasakan di bagian sisi perutnya. Ia meninggalkan semua kegiatan yang ada di dalam kelas. Memilih untuk menunggu Aksa keluar dari ruang bimbingan konseling dan membawanya pergi ke taman belakang sekolah. Damai dirasa. Semilir hawa bayu yang berembus membelai setiap inci permukaan kulit gadis cantik itu seakan menjadi point penyempurna betapa syahdunya suasana hari ini.Pohon besar menjadi payung peneduh yang melindungi tubuh keduanya dari sengatan sinar sang surya siang ini. Hawa panas memang sedang ganas-ganasnya, membawa angin panas yang sesekali dirasa oleh Xena juga Aksa. Namun, semesta tak sejahat untuk siang ini. Pohon hijau di atas mereka membantu untuk menyediakan udar
Kerikan jangkrik menjadi pemecah keheningan yang ada di sekitarnya sekarang ini. Cahaya rembulan indah menghiasi cakrawala. Langit gelap menjadi point penyempurna betapa syahdunya malam ini. Bintang tak terlihat banyak bertabur di atas sana. Sepi, sebab dewi malam sendirian.Remaja jangkung itu tak kuasa lagi memaksa otaknya untuk bekerja lebih banyak dan lebih keras dalam memecahkan teka-teki kalimat berteori yang ada di atas lembar kertas dalam genggamannya. Persetanan gila, pikirannya benar-benar tak bisa fokus malam ini. Banyak adegan sisa tadi pagi dan siang yang kini melekat di dalam ingatannya. Malik sungguh tak bisa menyangka semua akan kembali seperti kala itu. Kematian Tara membawa banyak dendam dan misteri yang belum terpecahkan. Ia bersalah! Bukan sebab membunuh gadis cantik itu, akan tetapi dirinya bersalah sebab tak datang malam itu. Jika saja Malik datang dan memberi pengertian padanya, Tara masih hidup hingga saat ini. Ia mungkin sudah menjadi seorang ibu muda.
"Lo percaya kalau gue bilang Bara yang membunuh Tara?" Malik mulai mengimbuhkan. Melirik gadis yang terdiam sembari menatap awan hitam di atasnya. Bintang mulai redup, bukan menghilang. Namun, tertutup oleh awan hitam di atas sana. Malam ini mendung datang. Bersama ribuan rasa yang tak tenang, Xena menatap jauh di angkasa lepas. Ia tak bisa mempercayai siapa untuk sekarang, bahkan seorang Abian Malik Guinandra pun. Semua tersangka akan membela posisi mereka sendiri bukan? Ya, tak ada tersangka yang berteriak dan mengatakan bahwa dirinya adalah seorang pembunuh.Xena menghela napasnya. Pandangannya turun seiring dengan tetes hujan yang mulai datang membasahi bumi malam ini. Suara rintikan itu kian tegas. Hawa dingin datang bersama angin basah sebab hujan mulai benar-benar menampakkan kehadirannya. Gadis itu menghela napasnya. Semesta seakan tahu bagaimana caranya masuk ke dalam sebuah suasana. Ia ikut menangis bersama hati Xena malam ini. Jujur saja, Xena tak pernah menya
Suasana sedikit ramai. Jalanan Kota Jakarta memang tak pernah mati dengan aktivitas para manusia. Tempat ini begitu terlihat padat terkadang sumpek dan berdesak. Polusi udara sudah menyambut kalau fajar datang. Sinarnya hangat, terkadang terasa membakar di permukaan kulit. Abian Malik Guinandra, sengaja meninggalkan moge kesayangan di dalam bagasi rumah. Ia tak ingin menggunakan kuda besi kesayangan itu. Malik kali ini berjalan dan memutuskan untuk berangkat dengan kedua kakinya. Toh juga, ia tak sendiri. Di depannya ada seorang gadis yang berjalan ringan. Turun dari halte bus selepas berangkat bersama dirinya dari dalam kawasan komplek tempat mereka tinggal. Xena Ayudi Bridella. Awalnya menolaknya tentu. Xena tak ingin banyak mata memandang keduanya datang bersama. Malik mengusik ketenangannya sekarang. Xena sudah nyaman dengan kesehariannya. Berangkat dengan bus dan pulang dengan bus pula. Sendiri tak bersama siapapun!"Xena ..." Malik memanggil. Mempercepat langkahnya untuk
Helaan napas keluar dari celah bibir merah mudanya. Ia menatap ujung sepatu gadis yang duduk rapi sembari merapatkan kedua kakinya untuk menahan udara yang membelai lembut permukaan betisnya. Gadis itu tak berucap sedikitpun. Ia masing memandangi apapun yang ada di depannya. Nanar lensa itu tegas ia berikan pada lalu lalang orang yang ada di depannya. Luka memar ada di sisi siku tangan kirinya saat ini. Seseorang baru saja membanting tubuhnya mengenai sisi aspal jalanan yang menjadi alas pijakannya kedua kakinya. Lagi, Malik datang untuk menyelematkan dirinya dari sang kakak kandung. Pria berengsek yang menjadi pencandu alkohol selama satu tahun terakhir ini. Hela bisa saja terluka lebih dari sekarang ini jika saja Malik tak datang dan melayangkan satu bogem mentah di sisi wajah tampannya tadi.Hela menghela napasnya kasar. Mulai menundukkan pandangannya ikut menatap gerakan kakinya yang kasar menggesek permukaan aspal di bawahnya."Lo harus lapor polisi. Kalau beg
"Bukankah itu Malik?" Seseorang menyela langkahnya. Gadis itu terhenti sejenak sembari menatap jauh ke tengah lapangan. Seorang remaja jangkung sedang berlari di sana. Ia mengintari setiap sisi lapangan berumput hijau sembari sesekali mengibaskan kerah bajunya sebab panas mulai dirasa menguasai di dalam diri."Dia sedang dihukum?" tanya seseorang melanjutkan. Sukses menarik pandangan Xena untuk kembali menatap paras cantiknya siang ini. Langkah keduanya terhenti. Sejenak sama-sama mengarahkan pandangan untuk menatap remaja jangkung itu."Sepertinya." Xena menyahut. Nada bicaranya ringan sedikit lirih. Tatapannya berubah. Tak lagi sayu nan teduh, terapi malas tak bermakna. Kembali gadis itu melangkahkan kakinya. Ia meninggalkan pemandangan yang sukses mencuri perhatian beberapa gadis sebaya dengannya itu. Pesona remaja tampan ada di tengah lapangan. Orang paling populer karena paras yang terlukis begitu sempurna sedang berada di tengah lapangan sekarang. Kerin
Ini bukan pertemuan mereka yang terakhir, itulah yang ingin Xena katakan lewat kehadiran dan tatapan matanya untuk Bara. Ia meminta polisi untuk menemui teman juga mantan kekasihnya itu. Perpisahan dan akhir sidang harus dirasakan dengan perasaan yang ikhlas dan lapang dada, Xena ingin memberikan kesan itu pada remaja yang baru saja meletakkan pantatnya di atas kursi. Bara tak berucap apapun. Ia terus memandang Xena. Wajahnya tak sesayu dan tatapannya tak senanar sebelumnya. Gadis itu lebih terlihat 'hidup' dengan polesan make up yang khas seorang Xena Ayudi Bridella. Suasana yang ia dapatkan dari Xena mulai kembali lagi."Kenapa lo menemui gue lagi?"Xena tersenyum manis. Ia meraih ujung jari Bara dengan perlahan-lahan. Remaja yang ada di depannya mulai menatap dengan aneh. Ia tak bergerak, terus mengikuti apa yang dilakukan Xena padanya sekarang. Gadis itu mulai menggenggam ujung jari-jari miliknya lalu menatap Bara dengan penuh kehangatan
"Pengadilan menyatakan terdakwa atas nama Haidar Bara Ivander terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan, penculikan dan penyekapan kelas ringan, serta penganiayaan kelas ringan. Untuk itu pengadilan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara 10 tahun ditambah dengan pidana penjara 2 tahun dan ditambah dengan pidana penjara 6 bulan. Menetapkan lamanya terdakwa di tahan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan selama 2 tahun mengingat usia terdakwa yang masih remaja. Pengadilan memerintahkan agar terdakwa tetap ditahan dengan denda sekurang-kurangnya adalah 20 juta rupiah. Demikian putusan pengadilan ditetapkan."Ketokan palu terdengar begitu tegas menggema di ruangan. Remaja jangkung dengan pakaian khas seorang tahanan kota itu hanya bisa mengangguk. Tak ada yang disanggah. Pengacaranya pun nampak diam dan mulai pasrah. Tak perlu waktu yang lama, tak perlu drama ini itu untuk mengurung si iblis
Rumput hijau yang menyejukkan mata dan hati. Mendamaikan perasaan yang sedang riuh bergemuruh di dalam jiwa saat ini. Malik memutuskan untuk mengikuti setiap langkah yang diambil oleh Zain pagi ini. Ia ingin berbicara banyak dengan laki-laki yang sudah menjadi temannya itu. Ia tak benar-benar membenci Zain. Hanya saja, siapa dingin Zain padanya membuat Malik menjadi sedikit jauh dari temannya itu. Sebenarnya di dalam lubuk hati yang dalam, ia tak pernah menyimpan dendam untuk remaja berponi naik ini. Hanya saja, ia iba. Zain terlalu lama menyimpan rasa sakitnya sendirian. Selepas kematian Tara, remaja itu menjauhi Malik dan memutuskan untuk menghilang dari peredaran. Baru beberapa bulan yang lalu ia kembali datang dengan Aksa yang membawanya penuh luka dan darah segar yang mengalir dari beberapa bagian tubuhnya.Memang, permusuhan keduanya sedikit unik. Tak ada pertengkaran juga perkelahian. Malik selalu memaafkan bagaimana perilaku Zain padanya. Toh juga, ada a
Semilir hawa bayu mengiringi langkah keduanya membelah trotoar jalanan yang menjadi jalur utama untuk mereka saat ini. Jalanan Kota Jakarta yang ramai, padat, dan tak pernah sepi juga sela. Selepas keluar dari bangunan kantor polisi, keduanya kini memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak dan mampir ke sebuah tempat untuk menikmati liburnya hari ini. Tanggal merah, hari penting untuk negara. Namun, surganya bagi para pelajar. Mereka diberi jeda satu untuk merilekskan otak dan hati mereka. Menikmati suasana kota di pagi hari sampai senja datang menutup kisah nanti sore. Malik dan Xena merasakan semua itu. Sedikit demi sedikit perasaan yang mengganggu di dalam hati mereka mulai hilang begitu saja. Semua masalah yang datang mulai surut bak gelombang air laut di malam hati. Rasanya sedikit tenang, mereka bisa menjalani hidup sesuai dengan apa yang mereka inginkan saat ini. Menjalin hubungan sederhana dan mulai merajut kasih juga cinta untuk melalui masa muda. Malik
Malik menatap wajah wanita tua yang ada di depannya saat ini. Pandangan matanya terus saja tertuju pada Sarah yang baru saja datang menghadang langkahnya. Sepasang mata dengan lensa pekat itu mulai menatap sayu dan nanar wajah mantan anak tirinya itu. Penuh luka, identik dengan apa yang terjadi pada sang putri kemarin malam. Kata Xena selepas ia sukses membuat mamanya menangis dengan keadaan wajah dan tubuhnya yang kacau, ia melegakan hati wanita tua itu dengan mengatakan bahwa untung saja Malik datang menyelematkan Xena dari Bara. Katanya, juga. Malik terluka sama dengan apa yang dialami oleh Xena. Gadis itu juga mengimbuhkan kalau yang menghantar dirinya sampai gerbang depan malam-malam begini adalah Abian Malik Guinandra, tetapi kala disuruh mampir untuk mengobati lukanya, Malik menolak. Alasannya hanya satu, ia tak mau membuat Sarah kembali kacau dengan dua luka di dalam hatinya selepas mendapatkan dua putra dan putrinya pulang dalam keadaan seperti itu. Toh juga ada papanya di
Bara mengetukkan ujung jari jemarinya di atas meja kayu yang ada di sisinya. Ia bersandar tepat di atas kursi sembari menyilangkan kaki dan menatap ke arah gadis yang masih tak sadarkan diri selepas ia menyiksanya habis-habisan. Bara memukul wajah Xena. Sisi bibir gadis itu tergores dengan darah yang mulai mengering. Ujung matanya lebam selepas Bara melayangkan tinju ringan kala sang gadis terus saja mengumpat padanya. Xena mengejutkan. Jujur saja, Bara tak tahu kalau gadis itu bisa setangguh ini dengan penampilan dan tatapan wajah dan polos. Kala dirinya mendorong Xena masuk ke dalam gudang sekolah dan menutup pintunya dengan rapat. Xena bahkan mulai bergeming di tempatnya dengan terus menatapnya menggunakan tatapan tajam penuh amarah. Bara menampar wajahnya lalu mendorong tubuh Xena hingga jatuh terantuk sisi meja rusak di belakang tubuh gadis itu. Darah mengalir dari sisi sikunya dan luka lecet datang selepas paku berkarat tak sengaja menyentuh permukaan lengannya.
Fajar menyingsing dari ufuk timur. Sinarnya tegas menghantam permukaan bumi dan mencoba menghangatkan komponen yang ada di bawahnya saat ini. Gadis yang sudah berdiri di depan papan pengumuman besar di sekolahnya itu tak pernah menyangka dan mengira-ngira sebelumnya. Ia mendapatkan sebuah undangan kematian yang datang dari teman dekatnya. Seisi sekolah mulai membicarakan kematian Nara yang terkesan mendadak. Bukan hanya Xena yang terkejut. Akan tetapi, hampir seluruh penghuni sekolah. Bahkan guru-guru juga mulai memberitakan kabar ini dengan bumbu yang membuat suasana sedikit tegang. Kisahnya hari ini mungkin tak akan berakhir baik. Setiap sudut sekolah yang punya Mading besar seperti ini, akan menampilkan wajah Nara dengan pita kuning di atasnya. Ucapan bela sungkawa datang kemudian. Mereka meninggal 'note' yang mereka tempelkan di sisi undangan untuk mengirim doa pada teman mereka yang sudah berpulang ke pangkuan yang maha kuasa. "Bagaimana ini ... gue bahkan berbicara den
Sirine mobil polisi meraung-raung di udara. Membawa sebuah duka di setiap lajunya beberapa saat yang lalu. Ambulan mengikuti, mayat gadis malang turun dari sana dengan keadaan sudah terbungkus oleh kain putih. Seorang remaja jangkung mengiringi masuk ke dalam bangunan kepolisian. Mayat itu akan disimpan di dalam ruangan mayat tempat beberapa korban pembunuhan lainnya berada hingga polisi menyelesaikan penyelidikannya besok pagi. Suasana sudah kacau dengan Aksa yang tak lagi kuasa untuk mengiringi kepergian gadis yang ia cintai. Nara adalah cinta pertama yang ada di dalam hatinya. Gadis itu adalah satu-satunya gadis yang bisa menyentuh lubuk hatinya paling dalam. Belum juga menyatakan perasaannya dengan resmi, ajal sudah menjemputnya dengan tragis. Aksa tak bisa berkata apapun lagi. Semua yang ada di depan matanya bak sebuah mimpi buruk yang harus ia lalui seorang diri.--ia membenci kisah malam ini!"Aksa ... kita cari tempat duduk
Langkah kakinya tegas membelah rerumputan hijau yang ada di bawah pijakan kaki remaja jangkung itu sekarang ini. Gelap terasa, sedikit sunyi sebab tak ada yang datang untuk bertamu dan menyambangi rumah tua itu sekarang. Semua benar-benar terasa sepi bak rumah hantu yang sengaja dijauhi oleh para masyarakat dan warga setempat. Bukan, bukannya di sisihkan dari kota. Bukan juga dijauhi orang-orang, beginilah suasana rumah Nara kalau malam tiba dengan kerikan jangkrik yang khas menghiasi suasana malam. Tak ada hujan, tak mendung dengan langit berbintang di atas sana. Kiranya, sambutan yang baik selepas Aksa memutuskan untuk memungkaskan perkejaan paruh waktu yang ia lakukan dan mulai menatap langit di atasnya.Ada satu alasan yang membuat dirinya datang ke tempat ini lagi. Tak penting jika ia menceritakan alasannya datang kemari pada orang-orang yang tak mengenal Nara dengan baik. Namun, baginya ini sangat penting. Kala keluar dari minimarket tempatnya bekerj