Percaya tidak percaya, sekarang Airyn sedang berada di sebuah butik bersama Arion. Pria itu menjemputnya tanpa mengatakan apa pun, lalu memaksa Airyn ikut sebentar. Dan mengejutkan, saat Arion izin pada Guntur untuk membawa Airyn, papanya tiba-tiba mengizinkan. Bayangkan bagaimana terkejutnya Airyn, karena dia tahu sejak dulu Guntur tak pernah mempercayai orang lain untuk menjadi temannya. Arion pengecualian yang luar biasa. Apa Guntur bisa merasakan jika Arion adalah orang yang baik?"Pilih kamu suka dress yang mana, nanti langsung cobain ke ruang aganti.""Buat apa?""Kita akan menghadiri makan malam di kediaman orang tua saya. Tidak mungkin kamu lupa."Airyn menganga. "Pak Arion, aku 'kan udah bilang nggak mau. Antarin pulang lagi aja.""Lebih baik saya yang ajakin, atau nunggu bunda yang undang kamu secara pribadi? Saya rasa jika bunda yang pinta, kamu semakin tidak bisa menolak. Sama saja pada akhirnya, Airyn, kamu akan tetap datang.""Bapak sengaja mau permaluin aku?" gereget A
Pagi-pagi Airyn sudah emosi ketika melihat pembaruan status Sera di salah satu media sosialnya. Semalam tampaknya wanita itu mengadakan acara kecil-kecilan bersama Deri di rumah, terlihat beberapa botol alkohol dan makanan yang berserakan di meja. Padahal Sera baru kecelakaan, tapi sudah bisa bersenang-senang.Apa kecelakaan itu hanya rekayasa untuk memoroti Arion lagi?"Bukannya disimpan uang sisa berobat semalam, malah langsung dihabisin buat sesuatu yang nggak ada manfaatnya. Ai takut mama juga sakit kayak papa!" decaknya sambil menyiapkan bekal. Kenapa pikiran Sera sesempit ini? Hidupnya seolah hanya untuk kesenangan semata."Kalau mama sakit, aku harus gimana cari uangnya? Nggak bisa kalau ngeharapin orang terus.""Ai, kenapa ngomong sendiri?" Guntur mendatangi Airyn, duduk di kursi. "Kesal sama mama kamu? Apa lagi yang dia lakukan pada kamu?""Mama kecelakaan semalam, Pa, terus dikasih uang sama Pak Arion sejuta. Bukannya disimpan sisanya, malah bikin pesta miras sama Om Deri.
Setelah berkeliling kantor bersama Arion, kini Airyn sedang menuju lantai ruangan CEO. Dia membawa berkas untuk diserahkan, sementara Arion katanya hanya mengantarkan sampai depan saja. Mental Airyn langsung kena, dia khawatir jadi bodoh setelah berhadapan dengan orang tertinggi di kantor ini.“Tunggu apa lagi? Cepat masuk, berkas ini ditunggu dan harus diserahkan segera.”Airyn menatap Arion, memegangi ujung jas pria itu. “Kenapa nggak kita berdua aja, Pak? Aku takut, belum pernah juga ke dalam dan ketemu CEO. Aku nggak tahu harus ngapain, nanti salah.” Memperlihatkan jurus memelas andalannya, siapa tahu Arion iba.“Tinggal serahkan berkas ini, kemudian bilang tanda tangani, dan pergi.”“Beneran?”“Iya. Cepat masuk, jangan buat saya marah.”Airyn menghela berat, kemudian menempelkan kartu akses pada alat sensor agar pintu bisa terbuka secara otomatis. Arion beneran pergi, dia tidak ingin berurusan dengan ayahnya. Kalau Airyn yang menemui, Tuan Harrison tak mungkin mencecar sembaranga
"Aku mau pulang dulu, liat keadaan papa sekalian izin. Nanti papa nyariin, khawatir aku nggak pulang.""Tidak perlu. Saya sudah bicara sama papa kamu."Airyn menatap Arion. "Bapak serius? Apa kata papa?""Tidak banyak protes seperti kamu. Bahkan sekarang saya lihat papa kamu lebih menurut. Mungkin sadar jika dia punya hutang nyawa pada saya?""Apa gitu sebutannya?" Airyn senyum, tapi sorot matanya seketika redup. "Aku nggak lupain kok kebaikan Pak Arion, aku juga udah cerita ke papa. Dia bilang makasih."Arion terdiam, giliran dia yang merasa bersalah. Airyn ini hebat sekali mempermainkan perasaannya. Tadi Arion tidak seserius itu, tapi rupanya kalimat dia sedikit menyinggung. "Ayo, sudah siap belum? Sudah waktunya pergi.""Iya."Airyn mengenakan gaun ketiga, duduk manis di samping Arion seperti biasanya. Bagas menyetir, mereka saling diam sepanjang perjalanan. Airyn sibuk menatap jalanan yang basah, sementara Arion sibuk memikirkan cara mencairkan suasana. Benar, Airyn sedang dalam
Airyn duduk di depan jendela sambil menatap langit malam yang tampak mendung seperti bumi yang sering diterpa badai akhir-akhir ini. Angin berembus cukup menusuk tulang, tetapi tak mampu menyudahi kegiatannya untuk melamun. Tidak pasti apa yang Airyn pikirkan, dia hanya tak bisa tidur.Kulit Airyn terlihat pucat, sesekali giginya bergesekan karena dingin. “Kenapa tiba-tiba takdir hidup kayak gini? Mimpi apa semalam, Ai, sampai bisa ada di titik ini?” Dia bermonolog sendiri, sebelum menghela berat.Bayangan Airyn berada di tengah-tengah keluarga Arion masih membekas di benak, tidak semudah itu melupakan kenangan kecil yang ternyata menghangatkan hati. Di balik segala ketakutan dan kecemasannya, Airyn merasa ada sesuatu yang tertinggal.Dia takut setelah ini ‘kenal mereka’ menjadi boomerang untuk hidupnya. Meski Airyn yakin, keluarga Arion tidak jahat. Tapi kehangatan hanya berlangsung sebentar, sebab fakta tentangnya masih tertutup rapat.Apa jadinya jika semua orang tahu?Airyn berhar
Airyn berusaha menjaga jarak saat memesan teh bersama Arion. Sejak tadi pria itu perhatian sekali, Airyn jadi was-was.Saat keluar dari mobil, tiba-tiba Airyn tersangkut tali sepatunya sendiri. Alhasil dia jatuh tanpa bisa dicegah oleh Arion yang sudah berusaha menolong. Kalah cepat!Arion mengobati luka siku dan lutut Airyn dengan sabar, sampai gadis itu merasa ada sesuatu yang berbeda dan sangat menonjol. Airyn takut dicintai, apalagi seseorang seperti Arion. Airyn tidak ingin hidupnya bermasalah semakin banyak, apalagi yang dihadapi ini bukan dari kalangan sembarangan.Sebelum terjadi sesuatu, Airyn akan menghentikannya sesegera mungkin. Entah Arion atau dirinya sama-sama tidak boleh saling menaruh rasa.Mereka tidak bisa bersama sampai kapan pun, dunia Arion dan Airyn berbeda."Kamu kenapa?" "Enggak, kok.""Ya sudah, jangan jauh-jauh. Apa tidak sekalian saja duduk beda meja?" Arion mencibir, menarik gadis itu agar tetap di sampingnya dan bersikap normal."Bapak, nggak enak diliha
Lagi-lagi malam ini Airyn bermasalah. Luka tadi sore baru akan mengering, muncul luka baru. Saat membersihkan ikan, tangannya tidak sengaja kena pisau. Airyn pikir lukanya kecil, ternyata mengeluarkan darah cukup banyak. Dia panik, sampai tak sadar berteriak memanggil Arion.Tubuh Airyn bergetar kecil dengan keringat dingin, pisau itu tajam sekali menyayat daging jari telunjuk kiri Airyn. Sudah Airyn siram air, ternyata darahnya malah semakin banyak.Airyn terisak kecil di hadapan Arion, tiba-tiba menjadi lemah padahal lukanya tak sampai merenggut nyawa Airyn. "Kenapa tidak hati-hati terus? Ikannya yang dipotong, bukan jari kamu." Tidak ada sahutan, Airyn malah semakin menangis. "Tahan, ini sedikit perih.""Aws!" keluh Airyn ketika cairan putih itu mengenai lukanya, tapi tidak lama darah yang keluar mulai berkurang. Arion sangat teliti, seolah terbiasa menangani luka. "Tidak apa, luka kecil saja. Sebentar lagi juga sembuh.""A—aku belum goreng ikannya. Cuman ada sayur. Bapak mau gan
"Dia belum bangun, Ai?" tanya Guntur saat sedang makan siang bersama Airyn. "Belum, Pa. Katanya jangan dibangunin sebelum Pak Arion yang bangun sendiri. Dari tadi ponselnya bunyi—Pak Bagas yang telepon, cuman aku nggak berani angkat. Nggak sopan.""Siapa tahu dia lapar, Ai, kasihan. Papa kaget dia di sini, apalagi sampai nggak tidur semalaman penuh. Pasti nggak terbiasa tidur di rumah sempit gini."Airyn terkekeh. "Kayaknya gitu, Pa, soalnya kursi depan 'kan sempit. Kaki Pak Arion aja sampai keluar, badannya juga besar. Kesian, tadi pagi kayak zombie.""Kamu udah sisain makan siang buat dia?" Airyn mengangguk. "Papa hari ini mau jalan-jalan ke luar, kayaknya mau ke rumah susun Anggrek liat kerjaan di sana. Papa mau hirup udara segar, biar cepat sembuh.""Jangan mabuk-mabukan dulu ya, Pa? Nggak boleh aneh-aneh. Kalau ngerasa udah pegel dan agak pusing, cepetan pulang.""Iya. Kamu nggak usah khawatir, nanti Papa minta temani Oni, dia santai siang ini."Sekarang Guntur melangkah tidak m
Airyn mondar-mandir di ruang tengah, sebab hingga jam delapan Arion belum juga pulang. Makan malam sudah siap, seketika rasanya tidak tenang, terlebih nomor pria itu tidak bisa dihubungi. Sebal, karena Arion tidak mengabari apa pun sebelumnya."Aneh. Kenapa rasanya nggak enak gini? Apa karena udah jadi suami istri?" Airyn menggigit kuku, memegangi dadanya yang berdebar lebih kencang. "Atau ini perasaan gugup karena kepikiran ancaman Mama tadi?""Aish! Sejak kapan khawatir banget gini sama Pak Arion? Padahal sebelumnya kamu sendiri yang nggak rela nikah sama dia, Ai."Airyn bermonolog sendiri. Tatapan dan gerak-geriknya memang menunjukkan kecemasan, tidak tenang sebelum memastikan Arion baik-baik saja. "Setidaknya kalau pulang telat, bilang!" gerutunya sebal. "Aku bisa makan dan tidur dengan tenang tanpa harus khawatir gini. Senang banget bikin merasa bersalah."Airyn mengambil ponselnya di meja, mencoba menghubungi Bagas sekali lagi. Nomor pria itu aktif, hanya saja tidak diangkat. K
Ketika jam makan siang, tiba-tiba Airyn kedatangan tamu. Sebelumnya dia tidak mengira jika yang datang adalah ibu mertua. Airyn baru saja bangun tidur, belum sempat menyiapkan apa pun karena Arion juga membebaskan Airyn untuk istirahat sepanjang hari ini. Airyn ingin menyapa sebagai basa-basi agar kelihatan tetap sopan, namun urung karena merasa sungkan. Terlebih Megan juga langsung masuk dan meninggalkannya. Wanita itu terlihat membawa sekotak kue."Kamu baru bangun jam segini?"Megan melihat sekitar ruangan tersebut. Kebetulan di wastafel masih ada piring kotor, bekas Airyn menyiapkan sandwich untuk bekal Arion tadi. Keranjang pakaian kotor mereka juga terlihat penuh karena belum dijemput jasa laundry. Niatnya memang setelah ini baru akan Airyn bereskan semuanya."M—maaf, Bun, tadi aku ketiduran. Setelah ini baru beres-beres. Bunda mau aku bikinkan minum apa?" Airyn memainkan ujung tali bathrobe-nya, gugup. Mimik Megan tidak seramah biasanya, Airyn tahu wanita itu sudah terlanjur t
Katanya Arion punya hadiah spesial untuk Airyn. Ternyata benar. Usai Airyn berendam dan menghabiskan banyak waktu untuk merawat diri, dia dikejutkan dengan sebuket mawar di kasur. Tidak lupa, ada kertas kecil yang terselip di sana juga membuat Airyn terkekeh kecil.—Untuk cintaku yang baik hati—Airyn suka aroma mawar segar, menciptakan senyum kecil yang mewakili isi hatinya. Masih menggunakan jubah mandi, Airyn turun ke bawah sambil memanggil Arion beberapa kali. Terdengar suara kecil dari ruang makan, lagi-lagi senyum Airyn merekah."Wow!" pujinya menutup mulut sambil menatap dengan binar takjub. Di meja makan tersedia menu makan malam mereka, Arion yang memasak. "Wangi, pasti enak. Aku laper banget, dari luluran tadi perut aku bunyi."Arion selesai memotong buah, kemudian menghampiri Airyn dan mencium pipinya. "Duduk, Sayang, waktunya isi tenaga."Dengan riang, Airyn duduk ketika Arion menarik kursi untuknya. Kenapa tiba-tiba Arion semanis ini? Airyn sampai keheranan."Kamu juga wa
"Pak Arion, ngapain?" Airyn terkesiap ketika melihat sang suami itu berdiri tak jauh dari posisinya dan Aldo. Bahkan mereka baru saja ingin memulai obrolan, seketika sungkan. "B—boleh tinggalin kami dulu, ada yang mau dibicara sebantar?""Bicara saja, anggap saya tidak ada." Arion memasukkan kedua tangannya ke saku celana, menatap dengan sorot setajam belati—seolah sedang memperingati Aldo agar tidak macam-macam pada miliknya. "Lima menit, setelah ini kamu harus mengantarkan surat ke atas. Pak Abimayu sudah menunggu."Airyn menganga, lantas terpaksa senyum karena tahu mimik Arion tengah kesal. Jangan sampai dia mendebat, nanti malah muncul masalah baru."Ada apa, Aldo? Kamu repot-repot ke sini. Lain kali bilang ya kalau mau ketemu, jangan di sini. Aku posisinya lagi magang, nggak boleh seenaknya terima tamu sembarangan di luar kepentingan dengan Pak Arion." Aldo menatap Arion sekali lagi, dia juga melempar tatap permusuhan. "Lo serius menikah dengan pria aneh ini, Ai?" tanyanya senga
Arion mengusap puncak kepala Airyn ketika wanita itu diam lagi saat dia meminta bantuan memasang dasi. Sejak mereka mandi bersama, Airyn tampak malu dan pendiam, Arion sangat memahami situasi ini untuk mereka yang baru saja menjalani kehangatan sebagai pengantin baru. Bagi Arion, Airyn justru semakin lucu dan menggemaskan.“Ini dasinya, Ai. Apa kamu masih merasa nggak nyaman? Kalau pegal, nanti aku panggil jasa pijat ke sini, kamu nggak usah ke kantor.”Airyn menggeleng cepat, menegak saliva cukup sulit. Dia juga kesusahan mengumpulkan kata yang tercekat di kerongkongan. Wajah Airyn tidak berhenti memanas, rasanya masih tidak sanggup memandangi pria di hadapannya ini.“E—enggak usah. Aku baik kok, aku nggak pa-pa. K—kamu agak nunduk dikit, badan aku nggak sampe.” Dengan pipi kemerahan paham, Airyn berusaha tetap waras. Dia tahu Arion terus saja memandanginya, sesekali berusaha memberi perhatian dengan kecupan hangat dan kalimat manis penuh kekhawatiran. Padahal Airyn baik, dia tidak k
"Ayah tidak percaya akhirnya kamu akan jatuh cinta." Abimayu tersenyum singkat. "Hanya saja, Ayah tidak bisa bohong, kami terkejut mengetahui siapa sebenarnya Airyn. Kamu dan Bagas sejak awal yang membuat kebohongan ini, Arion. Kamu kasih data diri Airyn yang berbeda ke Bunda, tidak salah jika Bunda juga kecewa dengan perbuatan kamu."Arion mengangguk, menyadari dosanya. Memang benar, selama-lamanya menyimpan dusta pasti akan ketahuan juga."Aku tahu aku salah, Yah. Aku juga awalnya terlalu takut memberi tahu siapa Airyn. Takut Ayah dan Bunda nggak setuju. Maaf kalau sikap aku masih kekanak-kanakan sekali.""Tunggu Bunda kamu lebih tenang dulu, lalu datanglah ke sini lagi untuk bicara padanya. Jangan sekarang, Ayah juga tidak bisa memaksakannya saat ini. Biarkan Bunda sendiri dulu, sambil belajar menerima.""Iya, Yah. Aku berharap Bunda bisa memahami pilihan aku. Percaya, aku tahu siapa yang terbaik untuk hidupku."Abimayu menghela panjang, memijat pangkal hidungnya. "Untuk saat ini,
Dengan segala ketidaksiapan, serba buru-buru, dan perasaan campur aduk—kini Airyn sudah resmi menikah dengan Arion. Mereka melakukan pemberkatan nikah tanpa gaun pengantin, tanpa tamu undangan, dan tanpa pesta. Bahkan Airyn hanya mengenakan dress yang Bagas belikan secara dadakan, untung Arion peka untuk memanggil penata rias, meski riasan wajah Airyn pun tetap natural.Orang tua Arion tahu, sebab sebelum mengucapkan janji suci, mereka sempat bicara dulu melalui telepon. Abimayu marah dan kecewa mengetahui pemberitaan yang beredar luas menjadi konsumsi massa, kemudian semakin dibuat jantungan dengan keputusan sepihak Arion untuk menikahi Airyn.Abimayu ingin bantu menyelesaikan masalah, mencari jalan keluar bersama tanpa pernikahan secara buru-buru ini, tetapi Arion tetap keras dengan pendiriannya. Megan menangis tersedu-sedu, tidak ingin bicara sepatah kata pun karena terlampau kecewa. Belum lagi ketika Megan mengetahui siapa sebenarnya Airyn. Tidak pernah terbayang olehnya akan memi
Arion melipat kedua tangannya di dada, menatap Airyn yang tampak ngos-ngosan. “Habis lari maraton kamu?” tanyanya setengah mencibir. Belum ada satu jam setelah Arion antarkan tadi, gadis itu kembali muncul di hadapannya. “Luka kamu sembuh?”“Bukan waktunya bertanya, Pak.” Arion menaikkan sebelah alis. Tidak sempat mencecar lebih lanjut, Airyn menerobos masuk. “Gawat, Pak Arion. Kita dapat masalah besar!” paniknya masih berusaha mengatur napas. Pusat kota sedang macet, dia rela lari-larian dari perempatan jalan menuju ke gedung apartemen ini. Kira-kira jaraknya sekitar lima ratus meter, dengan posisi matahari berada di atas kepala.“Minum dulu. Pelan-pelan saja, saya santai orangnya.” Arion mengambilkan air, membukakan tutupnya juga. Kurang perhatian apa lagi dia? Modelan begini saja masih ditolak puluhan kali oleh Airyn.“Pak, Mama laporin Bapak ke polisi.”Tidak kaget, Arion justru tertawa. “Bapak jangan ketawa, aku serius. Mama udah pergi dari tadi buat bikin laporan. Gimana ini?”
“Pak, udah!” Airyn berusaha menjauhkan wajah, tetapi Arion masih sibuk mengecupi pipinya sambil memeluk. Entah kenapa, setiap dipangku dengan posessif, jantung Airyn berdebar tidak keruan. Dia bahkan tidak bisa berpikir jernih, semacam hilang kendali diri.“Diam, saya lagi isi daya. Meski hari libur, kerjaan saya menumpuk. Saya perlu energi.”“Kayak hp aja perlu isi daya segala. Manusia cuman perlu istirahat, Pak.”“Saya bukan manusia, mungkin saya semacam malaikat.” Arion terkekeh, menaikkan bahu tak peduli jika Airyn mencibir kepercayaan dirinya setinggi langit. “Nyaman sekali pelukan sama kamu, saya jadi semangat. Pegal saya hilang, tanpa dipijat.”“Aku pengap, mulai sesak napas. Lama banget isi dayanya, udah terhitung setengah jam lebih. Aku belum beberes, belum siapin sarapan. Memangnya Pak Arion nggak laper?”“Kalau sama kamu, saya tidak kenal laper.”Airyn tertawa cemooh. “Udah, Pak, jangan kebanyakan bercanda dan ngegombal. Aku mau cepat pulang, Pak Arion suka ngulur waktu.”“