Setelah berkeliling kantor bersama Arion, kini Airyn sedang menuju lantai ruangan CEO. Dia membawa berkas untuk diserahkan, sementara Arion katanya hanya mengantarkan sampai depan saja. Mental Airyn langsung kena, dia khawatir jadi bodoh setelah berhadapan dengan orang tertinggi di kantor ini.“Tunggu apa lagi? Cepat masuk, berkas ini ditunggu dan harus diserahkan segera.”Airyn menatap Arion, memegangi ujung jas pria itu. “Kenapa nggak kita berdua aja, Pak? Aku takut, belum pernah juga ke dalam dan ketemu CEO. Aku nggak tahu harus ngapain, nanti salah.” Memperlihatkan jurus memelas andalannya, siapa tahu Arion iba.“Tinggal serahkan berkas ini, kemudian bilang tanda tangani, dan pergi.”“Beneran?”“Iya. Cepat masuk, jangan buat saya marah.”Airyn menghela berat, kemudian menempelkan kartu akses pada alat sensor agar pintu bisa terbuka secara otomatis. Arion beneran pergi, dia tidak ingin berurusan dengan ayahnya. Kalau Airyn yang menemui, Tuan Harrison tak mungkin mencecar sembaranga
"Aku mau pulang dulu, liat keadaan papa sekalian izin. Nanti papa nyariin, khawatir aku nggak pulang.""Tidak perlu. Saya sudah bicara sama papa kamu."Airyn menatap Arion. "Bapak serius? Apa kata papa?""Tidak banyak protes seperti kamu. Bahkan sekarang saya lihat papa kamu lebih menurut. Mungkin sadar jika dia punya hutang nyawa pada saya?""Apa gitu sebutannya?" Airyn senyum, tapi sorot matanya seketika redup. "Aku nggak lupain kok kebaikan Pak Arion, aku juga udah cerita ke papa. Dia bilang makasih."Arion terdiam, giliran dia yang merasa bersalah. Airyn ini hebat sekali mempermainkan perasaannya. Tadi Arion tidak seserius itu, tapi rupanya kalimat dia sedikit menyinggung. "Ayo, sudah siap belum? Sudah waktunya pergi.""Iya."Airyn mengenakan gaun ketiga, duduk manis di samping Arion seperti biasanya. Bagas menyetir, mereka saling diam sepanjang perjalanan. Airyn sibuk menatap jalanan yang basah, sementara Arion sibuk memikirkan cara mencairkan suasana. Benar, Airyn sedang dalam
Airyn duduk di depan jendela sambil menatap langit malam yang tampak mendung seperti bumi yang sering diterpa badai akhir-akhir ini. Angin berembus cukup menusuk tulang, tetapi tak mampu menyudahi kegiatannya untuk melamun. Tidak pasti apa yang Airyn pikirkan, dia hanya tak bisa tidur.Kulit Airyn terlihat pucat, sesekali giginya bergesekan karena dingin. “Kenapa tiba-tiba takdir hidup kayak gini? Mimpi apa semalam, Ai, sampai bisa ada di titik ini?” Dia bermonolog sendiri, sebelum menghela berat.Bayangan Airyn berada di tengah-tengah keluarga Arion masih membekas di benak, tidak semudah itu melupakan kenangan kecil yang ternyata menghangatkan hati. Di balik segala ketakutan dan kecemasannya, Airyn merasa ada sesuatu yang tertinggal.Dia takut setelah ini ‘kenal mereka’ menjadi boomerang untuk hidupnya. Meski Airyn yakin, keluarga Arion tidak jahat. Tapi kehangatan hanya berlangsung sebentar, sebab fakta tentangnya masih tertutup rapat.Apa jadinya jika semua orang tahu?Airyn berhar
Airyn berusaha menjaga jarak saat memesan teh bersama Arion. Sejak tadi pria itu perhatian sekali, Airyn jadi was-was.Saat keluar dari mobil, tiba-tiba Airyn tersangkut tali sepatunya sendiri. Alhasil dia jatuh tanpa bisa dicegah oleh Arion yang sudah berusaha menolong. Kalah cepat!Arion mengobati luka siku dan lutut Airyn dengan sabar, sampai gadis itu merasa ada sesuatu yang berbeda dan sangat menonjol. Airyn takut dicintai, apalagi seseorang seperti Arion. Airyn tidak ingin hidupnya bermasalah semakin banyak, apalagi yang dihadapi ini bukan dari kalangan sembarangan.Sebelum terjadi sesuatu, Airyn akan menghentikannya sesegera mungkin. Entah Arion atau dirinya sama-sama tidak boleh saling menaruh rasa.Mereka tidak bisa bersama sampai kapan pun, dunia Arion dan Airyn berbeda."Kamu kenapa?" "Enggak, kok.""Ya sudah, jangan jauh-jauh. Apa tidak sekalian saja duduk beda meja?" Arion mencibir, menarik gadis itu agar tetap di sampingnya dan bersikap normal."Bapak, nggak enak diliha
Lagi-lagi malam ini Airyn bermasalah. Luka tadi sore baru akan mengering, muncul luka baru. Saat membersihkan ikan, tangannya tidak sengaja kena pisau. Airyn pikir lukanya kecil, ternyata mengeluarkan darah cukup banyak. Dia panik, sampai tak sadar berteriak memanggil Arion.Tubuh Airyn bergetar kecil dengan keringat dingin, pisau itu tajam sekali menyayat daging jari telunjuk kiri Airyn. Sudah Airyn siram air, ternyata darahnya malah semakin banyak.Airyn terisak kecil di hadapan Arion, tiba-tiba menjadi lemah padahal lukanya tak sampai merenggut nyawa Airyn. "Kenapa tidak hati-hati terus? Ikannya yang dipotong, bukan jari kamu." Tidak ada sahutan, Airyn malah semakin menangis. "Tahan, ini sedikit perih.""Aws!" keluh Airyn ketika cairan putih itu mengenai lukanya, tapi tidak lama darah yang keluar mulai berkurang. Arion sangat teliti, seolah terbiasa menangani luka. "Tidak apa, luka kecil saja. Sebentar lagi juga sembuh.""A—aku belum goreng ikannya. Cuman ada sayur. Bapak mau gan
"Dia belum bangun, Ai?" tanya Guntur saat sedang makan siang bersama Airyn. "Belum, Pa. Katanya jangan dibangunin sebelum Pak Arion yang bangun sendiri. Dari tadi ponselnya bunyi—Pak Bagas yang telepon, cuman aku nggak berani angkat. Nggak sopan.""Siapa tahu dia lapar, Ai, kasihan. Papa kaget dia di sini, apalagi sampai nggak tidur semalaman penuh. Pasti nggak terbiasa tidur di rumah sempit gini."Airyn terkekeh. "Kayaknya gitu, Pa, soalnya kursi depan 'kan sempit. Kaki Pak Arion aja sampai keluar, badannya juga besar. Kesian, tadi pagi kayak zombie.""Kamu udah sisain makan siang buat dia?" Airyn mengangguk. "Papa hari ini mau jalan-jalan ke luar, kayaknya mau ke rumah susun Anggrek liat kerjaan di sana. Papa mau hirup udara segar, biar cepat sembuh.""Jangan mabuk-mabukan dulu ya, Pa? Nggak boleh aneh-aneh. Kalau ngerasa udah pegel dan agak pusing, cepetan pulang.""Iya. Kamu nggak usah khawatir, nanti Papa minta temani Oni, dia santai siang ini."Sekarang Guntur melangkah tidak m
Arion sangat bersemangat untuk mencicipi dimsum hasil olahan Airyn. Sekali eksekusi, langsung berhasil. Dari aromanya, Arion tahu jika dimsum ini enak."Dimsum mentai isi udang dan ayam, dimsum udang dan ayam kukus biasa, terus ini yang aku pakein kubis isinya udang dan sayur. Sausnya ada dua, cili oil sama apa ya ini namanya nggak tau. Cuman enak kok—manis pedas segar gitu, aku udah cicipin rasanya. Semoga sesuai sama selera Pak Arion.""Wow, pesta dimsum kita, ya?" Arion tersenyum, kemudian siap melahap mereka satu persatu."Sebenarnya tadi aku kebanyakan bikin isiannya, jadi aku bikin sekalian banyak varian biar nggak kebuang-buang.""Heum, ini kesukaan saya." Menunjuk dimsum mentai, apalagi Airyn tidak pelit memberi toppingnya. "Sausnya juga enak, tidak terlalu pedas, bisa saya nikmatin." Arion memberikan jempolnya, membuat Airyn terkikik geli. "Kamu cicipi, makan sepuasnya."Airyn mengambil piring, mencicipi semua varian dimsum. "Wow, beneran enak. Percobaan pertama aku nggak gag
Airyn Gershon, berusia dua puluh tahun yang baru saja menyelesaikan semester lima dengan nilai terbaik. Airyn mendapatkan beasiswa jalur prestasi di Universitas Harapan Bangsa. Ayahnya memiliki usaha kecil—toko kelontong di pasar dan berkebun, sementara ibunya mengurus rumah tangga. Mereka tinggal di komplek pada salah satu daerah pinggiran kota. Airyn anak satu-satunya yang memiliki prestasi segudang. Selain itu, Airyn juga pandai memasak, menjahit, serta membuat kerajinan tangan seperti menyulam dan merajut."Pantas Arion suka, Mas, gadis ini juga hebat di bidangnya." Megan membaca semua tentang Airyn melalui data diri yang Bagas kirim padanya. "Sederhana, tapi mencuri perhatian. Sejak dulu Arion memang nggak suka perempuan yang berlebihan. Mungkin ada yang spesial dari Airyn, makanya dia berbeda di mata Arion.""Untuk apa mencari data diri orang lain sedetail itu, Sayang? Tidak perlu, Arion tahu siapa yang terbaik untuknya. Arion tidak mungkin memilih perempuan sembarangan, kita se