Voscar yang sedang mengendarai motor maticnya harus berjalan dengan pelan karena Lilac yang sejak tadi sudah tertidur di atas motor. Rasanya ingin sekali ia turunkan di pinggir jalan ini, namun mengingat cuaca yang sangat panas sore ini membuatnya mengurungkan niatnya.
Sebenarnya, waktu pulang sekolah sudah dua jam lalu namun ia harus menunggu Lilac yang rapat perihal kegiatan ekstrakurikuler. Lalu, karena hal tersebut membuat ia dipanggil seorang guru dan dimintai tolong untuk membawa beberapa buku di ruang guru ke perpustakaan, hal ini membuatnya kesal. Lagi dan lagi, kepala Lilac membentur helm yang sedang ia pakai dan membuat Lilac terbangun namun tidak lama kembali tertidur dan menaruh wajahnya di pundak kanannya. Ia pun menghembuskan napasnya lelah, merasa pegal. Voscar menghentikan motornya dan menatap samping, tepat di atas kepala Lilac. Voscar mengelus pelan rambut Lilac membuat sang empu semakin nyaman. Ia haus dan ingin minum, botol minumnya ada di tas Lilac. "Lil, bangun! Gua haus," minta Voscar sambil menaik-turunkan bahunya agar Lilac bangun dari tidur pulasnya. "Ngantuk," gumam Lilac yang masih menutup matanya dan kini sedang menyenderkan kepalanya pada punggung Voscar. "Gua mau beli es dulu, Tukinah!" gerutu Voscar. Mau tidak mau akhirnya Lilac membuka matanya dan menatap tajam pada Voscar sambil mencebikkan bibirnya kesal. Ia langsung saja turun dari motor dan melihat sekelilingnya yang sepi penduduk, hanya jalan raya besar saja dan kendaraan yang berlalu-lalang. Lilac melototkan matanya melihat Voscar yang menahan tawanya karena berhasil mengerjainya. Ia langsung saja memukul punggung Voscar dengan kencang. Akhirnya, tawa yang sejak tadi ditahan keluar begitu saja saat Lilac sudah duduk di belakangnya dengan wajah yang kesal. Setelahnya, Voscar langsung saja menjalankan motornya masih dengan tawanya dan cubitan di pinggangnya yang sebenarnya sangat geli namun ia tidak ingin terlalu lama di pinggir jalan karena panas sore ini serta beberapa pengendara yang mulai melihat aneh ke arah dirinya dan Lilac. "Enggak lucu tahu! panas!" gerutu Lilac. Voscar tidak menjawab gerutuan Lilac, hanya membiarkannya begitu saja. Ia pun merasa panas dan haus namun sepanjang jalan ini tidak ada yang menjual minuman dingin. Ia ingat jika di belokan menuju rumah Lilac ada yang menjual jus buah dan es Kelapa. ia pun melajukan motornya dengan sedikit cepat. Lilac kembali menutup matanya namun tidak tertidur hanya menutup saja karena panas sore yang terik. Tangannya pun ia lingkarkan di perut Voscar agar tidak terjatuh. Voscar menepuk pelan tangannya dengan senyum lebar, adanya perasaan hangat dan damai yang mereka rasakan padahal hanya berkendara untuk pulang ke rumah dan seperti hari biasa saja. Saat merasakan Voscar menghentikan motornya, ia langsung menegakkan tubuhnya, menatap sebelah kiri yang terdapat penjual es kelapa. Ia segera turun dari motor dan memesan dua bungkus dengan gula putih. Sebenarnya ia ingin membeli rasa original yang baru dibelah penjualnya namun melihat Voscar yang sudah kehausan dan kepanasan membuatnya mengurungkan niatnya. Setelah menunggu beberapa saat, es kelapa tanpa diikat sudah selesai dibungkus. Lilac langsung membayarnya dan berterima kasih pada sang penjual dengan sedikit menundukkan tubuhnya. Ia langsung memutar tubuhnya dan memberikan satu bungkus pada Voscar yang langsung diminum begitu saja. Lilac kembali menaiki motor Voscar dan meminum es kelapanya. Namun, karena jarak rumahnya yang hanya tinggal memasuki gerbang perumahannya, ia duduk menyamping arah kiri dan tangan kanan yang kembali melingkar indah di pinggang Voscar. Voscar berdecak pelan sambil menggerutu tentang posisi duduk Lilac. "Kalau lu jatuh gua enggak tanggung jawab ya." Lilac memukul pelan pinggang Voscar dengan kesal tanpa membalas gerutuan Voscar. Selesai menghabiskan minumannya, Voscar kembali menghidupkan motornya dan mengendarainya dengan sangat pelan. Membuat senyum lebar terpasang di bibir Lilac. Voscar pun ikut tersenyum tipis melihatnya dari kaca spion kiri yang menampakkan wajah Lilac dari samping. Voscar membelokkan motornya memasuki perumahan Lilac yang dijaga dengan super ketat, bahkan Voscar saja terkadang harus mengeluarkan tanda pengenal padahal ia sudah sering ke sini karena Lilac dan beberapa saudaranya yang juga tinggal di perumahan ini. Perumahan yang terbilang elit hanya diisi oleh beberapa orang-orang pejabat, pemilik perusahaan dan beberapa artis papan atas. "Den Voscar sama Non Lilac, tumben enggak bawa mobil, Den?" bingung satpam yang sedang menekan tombol untuk membuka portal otomatis. "Lagi malas, Pak," jawab Voscar. Begitu portal otomatis terbuka, Voscar membunyikan klakson sekali dan langsung mengendarai motornya, memasuki perumahan Lilac. Terdapat rumah-rumah besar yang menjulang tinggi seolah sedang memamerkan kekayaan, keindahan dan juga kehebatan mereka. Rumah Lilac bisa terbilang sangat kecil jika dibandingkan dengan rumah-rumah yang lain, bedanya hanya saja rumah Lilac memiliki taman yang sangat luas bahkan Lilac saja memiliki rumah kaca yang terdapat bunga-bunga hias langka di dalamnya. Voscar menghentikan motornya tanpa mematikan mesin motornya di depan sebuah gerbang berwarna hitam yang memiliki panjang berukuran 2,5 meter. Lilac turun dari motor dan melepaskan helmnya. "Enggak mau mampir dulu?" tanya Lilac berdiri di samping Voscar. Voscar menggelengkan kepalanya serta menatap rumah Lilac sebentar. "Enggak. Rumah lu enggak ada makanan." Lilac memelototkan matanya, mengepalkan jemari dan mengangkatnya. Bersiap untuk memukul bahu Voscar. Voscar yang mengetahui tindakan kekasihnya langsung saja menjalankan motornya sambil tertawa pelan, tangan kirinya melambai tanda perpisahan pada Lilac. Lilac ingin berteriak memanggil Voscar agar kembali namun dirinya sadar bahwa di sini tidak boleh membuat keributan. Melihat motor Voscar yang semakin menjauh ia menghentakkan kakinya dengan kencang lalu memasuki rumahnya yang sudah dibuka oleh penjaga rumah. Berbeda dengan keadaan Voscar yang saat ini masih tertawa lepas. Ia mengendarai motornya keluar dari perumahan lalu membelokkan motornya, ke arah yang berlawanan menuju rumahnya. Sudah lama sekali ia tidak ke tempat ini, tempat yang sudah lama sekali tidak ia kunjungi. Tempat di mana orang-orang beristirahat untuk terakhir kali, tempat tidurnya mereka yang sudah tidak memiliki nyawa. Ia menghentikkan motornya di depan sebuah warung yang menjual bunga, setelah turun dari motor ia langsung membuka helm dan membawanya memasuki warung tersebut. "Bu," panggil Voscar yang melihat seorang ibu-ibu sedang berbincang melalui ponsel genggam yang sangat jadul. Sang ibu langsung menatap ke arah dirinya dan mematikan ponselnya saat sudah berpamitan dengan seseorang di seberang sana. Sang Ibu langsung berdiri dan berjalan menuju tempat ia berada. "Biasa ya, Bu," ucap Voscar yang sudah melihat sang ibu tepat di hadapannya. Sang ibu penjual langsung saja mengambil beberapa bunga tabur dan bunga mawar berwarna kuning. "Tumben, A, datangnya hari Selasa biasanya hari Jumat?" bingung ibu penjual bunga. "Iya, Bu, selagi ada waktu luang," jawab Voscar sambil tersenyum tipis. Voscar mengambil kantung plastik yang berisi bunga, setangkai mawar kuning dan air putih di dalam botol yang diberikan ibu penjual lalu membayarnya dengan uang pas. Setelahnya, ia langsung pergi memasuki kawasan pemakaman, berjalan menuju satu kuburan yang dipenuhi dengan rumput liar. Bibirnya terangkat dengan tipis, matanya menatap sendu pada kuburan tersebut. "Assalamualaikum, Adik Abang," salam Voscar yang sudah duduk di pinggir kuburan tersebut. Hatinya teriris melihat nama yang sudah lama ia tunggu dan ia ingin panggil. Menunggu dengan sabar selama 9 bulan di dalam kandungan bundanya namun harus berakhir di tempat seperti ini karena kejamnya musuh perusahaan Ayahnya. Ia masih tidak terima karena adiknya yang harus berada di dalam tanah, adik yang ia sayangi. Kala itu, Bundanya yang sedang menjemput dirinya di sekolah dasar, menunggunya di depan gerbang sama seperti orang tua yang lainnya. Ia yang saat itu baru saja keluar kelas langsung menuju gerbang dan memeluk Bundanya. Saat ia dan Bundanya sedang menunggu lampu hijau untuk pejalan kaki tiba-tiba saja ada sebuah mobil berwarna hitam yang melaju dengan ugal-ugalan lalu mobil tersebut pun menabrak dirinya sekaligus Bundanya yang kala itu memeluk dirinya. Ia dan bunda yang langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat. Dirinya yang sempat tersadar sudah ada di dalam mobil ambulance hanya menatap bundanya yang tidak sadarkan diri dan satu perawat perempuan bersama dengan satu perawat lelaki yang sedang memberikan alat-alat bantuan medis pada bundanya dan dirinya. Setelah itu, ia kembali jatuh pingsan bersamaan dengan suara berdenging panjang. Kini, ia menghela napas pelan dengan senyum tipisnya. Dirinya pun bercerita tentang kejadian-kejadian yang sudah ia alami sambil menanamkan bunga mawar kuning yang ia pegang. "Adek, nanti Abang bawa Kak Lilac ke sini ya sama Abang bawain bunga Anyelir. Abang takut adek bosen sama bunga mawar kuning," jelas Voscar masih dengan senyum tipisnya. Voscar menghela napas kembali. Mencoba untuk meredakan sesak di dadanya, matanya pun kini sudah berair, menghapusnya agar tidak lolos. "Oh, iya, ayah sama bunda nanti akan Jum'at nanti." Ia tidak sanggup lagi untuk berbicara. Ia sangat menginginkan seorang adik, baik itu perempuan ataupun lelaki. Ia ingin ada yang menemaninya di rumah, ingin ada yang menunggunya kala ia pulang sekolah dan ada yang bisa ia ajak bermain. Voscar menghapus air mata yang akan keluar dengan dasi sekolah yang ia gantung di leher, hanya untuk hiasan. Setelahnya, ia langsung berdoa, membacakan beberapa surah pendek dan membaca surah Yasin. Walau ia terkenal dengan kenakalannya, ia hapal surah-surah pendek dan beberapa doa lalu ia pun rajin salat. Ia berdiri dari duduknya dan menaburkan bunga tabur lalu menyiramkan kuburannya dengan air putih di dalam botol besar. Setelah menyelesaikan semuanya, ia langsung pergi meninggalkan kuburan adik tersayangnya dan kembali menaiki motornya. Lalu, ia pun pulang ke rumah karena hari sudah terlihat gelap, entah mau hujan atau memang karena sudah mau malam. *** Voscar yang baru saja memasuki rumahnya langsung melepas sepatu serta menaruh helmnya di samping sepatu, ia tahu bahwa nanti akan ada yang memindahkannya. Rumah sepi dengan suasana yang dingin karena pendingin ruangan hidup. Voscar melangkahkan kakinya memasuki kamarnya lalu menghidupkan pendingin ruangan. Ia pun langsung membaringkan tubuhnya ke atas kasur lalu menatap langit-langit kamarnya sebelum melihat ponselnya yang sudah berbunyi sejak tadi. Telpon sekaligus pesan masuk dari Lilac membuat ia langsung saja menelepon kembali Lilac. Ia pun mengubah posisi tubuhnya yang dari berbaring menjadi duduk sambil memeluk bantal guling yang ia ambil di tengah kasur. "Lu ke mana aja baru telepon gua?" tanya Lilac di seberang sana. "Ke makam dulu," jawab Voscar dengan malas lebih tepatnya ia tidak memiliki tenaga untuk berbicara. Hening, tidak ada jawaban dari seberang sana, hanya terdengar suara napas dan sesuatu yang seperti jatuh. Namun, ia tidak peduli, nanti pun Lilac pasti akan bercerita jika ia jatuh dari kasur ataupun dari kursi. Hingga beberapa menit pun belum ada jawaban ataupun tanda-tanda Lilac akan bercerita. Voscar yang sudah merasakan lengket pada kulitnya langsung menaruh asal ponselnya di atas kasur, ia membuka baju seragamnya lalu berjalan menuju lemari baju. Mengambil asal kaos dan celana pendek, setelahnya ia langsung saja memasuki kamar mandi tanpa memedulikan teleponnya yang masih tersambung atau tidak. Kucuran air terdengar samar-samar di dalam telepon Lilac, Lilac yang sedang membaca novel sambil tiduran di atas kasur berhenti sejenak saat akan membalik lembaran novel, keningnya sedikit mengkerut lalu memeriksa ponselnya, teleponnya masih tersambung. Ia berpikir bahwa kekasihnya pasti sedang mandi. Voscar yang sudah menyelesaikan ritual mandi langsung memeriksa ponselnya dan teleponnya masih tersambung kepada Lilac. Ia mengerutkan keningnya sambil tertawa pelan, sedikit heran dengan Lilac yang tidak kunjung mematikan teleponnya padahal ia yakin bahwa Lilac tahu dirinya sedang mandi. "Lu kurang kerjaan atau gimana? Kenapa telepon enggak dimatiin?" tanya Voscar sambil mengambil alat pengering rambut dan menyalakannya lalu mulai mengeringkan rambutnya. "Gua nungguin lu yang matiin duluan," jawab Lilac di seberang sana. Voscar menghentikan tangan kiri yang sedang mengacak rambut dan tangan kanan yang memegang alat pengering rambut. Sedikit bingung dengan Lilac namun tangan kirinya bergerak untuk mematikan sambungan teleponnya. Lalu, ia melanjutkan kembali mengeringkan rambutnya bersamaan dengan pesan masuk ke dalam ponselnya. "Lu enggak sayang sama gua ya?" Itulah isi pesan Lilac yang ia lihat di papan notifikasi ponselnya. Serba salah, itulah yang sedang ia rasakan. Tadi Lilac memintanya untuk mematikan sambungan teleponnya duluan lalu sekarang Lilac bertanya tentang perasannya, sebenarnya apa yang Lilac inginkan? Voscar mencabut colokan listrik alat pengeringnya dan menaruhnya kembali di rak tempat biasa ia taruh alat pengering rambut. Ia mengambil ponselnya lalu menghubungi kembali Lilac yang kunjung tidak diangkat oleh sang empu. Berdecak pelan, merasa kesal dengan sifat aneh Lilac. Merasa lelah dengan telepon yang tidak diangkat-angkat, ia menaruh ponselnya di atas meja dekat dengan tempat tidur lalu membaringkan tubuhnya yang merasa pegal. Tidak lama, mata yang memang sudah mengantuk pun terpejam begitu saja, melupakan bahwa dirinya belum makan malam dan janji dengan teman-temannya. Ponsel yang ia taruh di atas meja terus bergetar menandakan telepon dan pesan yang masuk secara terus-menerus tanpa henti. Banyak notifikasi yang masuk dari teman-temannya yang sudah ia janjikan untuk bertemu malam ini termasuk satu pesan dari Lilac."Lilac," panggil Papah Lilac yang sedang membaca koran.Lilac yang baru saja turun dari tangga rumahnya sambil membawa sepatu sekolahnya langsung menatap Papahnya dengan senyum tipisnya. Ia pun melihat bundanya sedang mencuci buah."Sebentar lagi pernikahan Azaella di luar negri. Kita akan berangkat hari Minggu nanti dan sekalian menetap di sana sebentar karena perusahaan keluarga sedang ada masalah sedikit dan membutuhkan Papah," jelas Papah Lilac sambil menurunkan korannya dan menatap penuh pada Lilac.Lilac mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa menjawab apapun karena semua percuma saja, Papahnya tidak pernah menyetujui apapun yang ia katakan. Jadi, ia hanya menganggukkan saja kepalanya.Ia pun menaruh sepatu sekolahnya di bawah meja dan menginjaknya santai. Lalu, dia memulai sarapannya dengan roti selai cokelat yang dibuat oleh bunda. Dia hanya fokus pada sarapannya tanpa memedulikan tatapan Papahnya yang masih menatap dirinya. Sang Papah yang merasa dirinya tidak dipedulikan oleh s
"KAK LILAC!" teriak Laura, adik kelas yang sangat menyebalkannya memasuki kelasnya sambil berteriak memanggilnya namanya.Ia dan teman-teman sekelas langsung menoleh pada Laura yang sedang berjalan ke arahnya sambil memasang wajah yang sedikit menyeramkan. Ia bingung dengan kedatangan Laura yang sangat tiba-tiba, begitu pun dengan teman-temannya yang menatap aneh pada Laura. Seingat mereka, Laura adalah sosok yang yang baik hati, polos dan lugu. Namun, lihatlah sekarang, Luara seperti sosok orang lain.Laura yang sudah berada di hadapan Lilac langsung menaruh tumpukan kertas yang sedari tadi digenggamnya. Lilac melihat serta membacanya dengan seksama, sebuah kertas yang merupakan petisi sekolah dan itu pun resmi karena ada cap sekolahnya. Lalu, ia pun membacanya sampai habis mengenai isi surat petisi tersebut. Padahal melalui website sekolah akan lebih mudah dan tidak membuang-buang kertas untuk hal sepele seperti ini.Surat petisi yang menurutnya sangat-sangat sepele dan tidak bermut
Pak Budi meminta kami—seisi kelas mengikutinya menuju lapangan outdoor. Tepat setelah menyuruh kami berganti pakaian dengan seragam yang kering. Beruntung cuaca pagi ini sedikit mendung, mungkin akan turun hujan. Pak Budi meminta kami untuk duduk lesehan di atas rumput dengan membawa alat tulis. Pak Budi pun tidak lupa menyuruh anak lelaki mengambil satu papan tulis dorong yang berada di gudang. Kami tidak ada yang berani bertanya, protes ataupun membantah, yang kami lakukan hanyalah patuh—berjalan mengikuti langkah Pak Budi."Kapan lagi kita study alam begini," celetuk Voscar begitu saja seolah tidak mengerti suasana mencekam saat ini.Dia baru datang setelah mengambil papan tulis dorong bersama teman-teman lelakinya. Ia langsung duduk tepat di depan Lilac, memasuki barisan perempuan membuat beberapa teman perempuannya tidak terima ia berada di depan karena tinggi badan yang menghalangi mereka.LIlac pun ikut memprotes keberadaan dirinya dengan mencolok-c
Lilac dan teman-teman sekelasnya tertawa melihat Voscar yang sedang di hukum oleh Pak Budi dari dalam kantin.Voscar disuruh berlari keliling lapangan outdoor yang bisa dilihat oleh semua murid dan guru, sambil memakai kertas karton yang bertuliskan "SAYA ANAK NAKAL!". Ia ingin sekali protes dan menggerutu. Tetapi, Pak Budi pun menyuruhnya sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya serta 17 Agustus secara berulang.Bulir-bulir keringat serta napas yang menderu bahkan tatapan mata Voscar sudah layu, pertanda ia sudah merasa sangat lelah. Ia sudah berlari sebanyak 10 kali di lapangan yang super luas ini. Begitu putaran ke 11 ia menjatuhkan tubuhnya di hadapan Pak Budi yang sejak tadi terus melihatnya dengan wajah datar. Pak Budi menghela napas pelan, merasa kasihan dengan anak murid bebal ini."Kamu istirahat dulu, sehabis itu temui Bapak di ruangan," ujar Pak Budi yang langsung meninggalkan Voscar begitu saja.Sedikit tersenyum tipis, setidaknya pender
Tangan yang terkepal erat serta wajah yang tersenyum tipis namun mata yang memancar kemarahan menjadi tanda Lilac sangat kesal bahkan amat sangat marah. Ternyata Laura adalah pengkhianat. Ia selalu berpikir jika Laura akan sangat cocok untuk menjadi penerusnya, kapten basket putri. Membantu Alina selama dirinya pergi nanti. Hancur sudah rencana yang ia persiapkan kemarin-kemarin.Lilac menggigit jari kuku jempol sambil menahan amarahnya. Rasanya ingin sekali ia pergi dari dalam kelas menuju Laura yang pastinya masih berada di tangga. Berani sekali adik kelasnya ini mencoba mengambil miliknya. Ia tidak akan membiarkannya begitu saja.Menit berlalu menjadi jam dan sekarang adalah waktunya istirahat ke dua, istirahat di siang hari. Sejujurnya, istirahat ini hanya bisa dipakai untuk ibadah shalat saja bagi umat muslim dan yang tidak berhalangan. Lilac yang merupakan seorang muslim baru saja melipat mukena pink parasut miliknya. Mukena yang selalu ia simpan di masjid se
Lilac menutup pintu mobil depan dengan sedikit kencang membuat orang yang sedang makan kentang goreng menggerutu kesal karena terkejut—tidak menyangka Lilac akan menutup pintu dengan kencang. Lilac hanya tertawa kecil tanpa rasa bersalah lalu mencomot kentang goreng dan memakannya begitu saja. Lagi dan lagi mendapat tatapan sinis serta tajam dari Voscar. Menutup pintu mobil kencang serta mengambil makanannya tanpa izin sedikit membuatnya kesal, sebenarnya itu tidak membuatnya marah, hanya kesal sedikit, sedikit sekali, hanya seujung kuku tapi kuku yang panjang."Maaf, maaf, nanti di jalan mampir dulu ke restoran biasa," ucap Lilac namun masih dengan tawa kecilnya. Seperti benar-benar tidak ada rasa bersalah."Enggak usah, udah malas," ketua Voscar sambil melajukan mobilnya, meninggalkan halte sekolah.Menyusuri jalan raya yang padat oleh kendaraan-kendaraan bermotor ataupun bermobil. Terhenti sejenak di depan lampu merah, melihat kanan-kiri, mencari tukang dagang asongan yang biasa be
"VOSCAR! LILAC!" teriak seorang guru yang melihat sepasang kekasih baru saja turun dari mobil."Gua bilang apa ... kita akan kena lagi!" kesal Lilac yang memakai tas-nya asal. Lilac menghembuskan nafasnya kasar dan menatap Voscar dengan kesal."Maaf, gua lagi mau pamer kekayaan gua," ucap Voscar dengan gaya sombongnya.BUGH!"Sakit, Maemunah!" keluh Voscar sambil mengusap bahunya yang baru saja dipukul tas oleh Lilac."Bodo amat!" kesal Lilac yang langsung pergi meninggalkan Voscar."Gara-gara mau dihukum jadi nyebelin gitu ya?" heran Voscar yang langsung mengikuti Lilac.Lilac langsung menghadap sang guru diikuti oleh Voscar. Lilac kembali menatap Voscar dengan sebal sedangkan yang ditatap hanya mengangkat sebelah alisnya bingung."Engga guna lu jadi pacar!" sarkas Lilac yang langsung mendapatkan tatapan tajam dari Voscar."Bilang apa lu barusan?" tanya Voscar dengan datar."A-a-anu, itu, ehmm," gugup Lilac sambi
Lilac sedang menunggu Voscar di depan kelasnya. Bel pulang sekolah sejak satu jam yang lalu dan Voscar pamit mengambil dokumen di ruang OSIS."Hufft," hela nafas Lilac yang kesekian kali. Lilac menatap kanan dan kiri koridor lalu melihat jam tangannya."Voscar kemana ya?" gumam Lilac yang sudah mulai kesal. Lilac menundukkan kepalanya dengan kesal dan menghentakkan kakinya."Awas aja! Kalau dia udah dateng gua pukul sampai jadi perkedel!" gerutu Lilac. Voscar yang mendengar gerutuan Lilac hanya tersenyum miring."Dari pada gerutu mending minum," saran Voscar yang menempelkan Es susu coklat pada pipi Lilac. Lilac yang terkejut langsung mengangkat wajahnya dan menatap Voscar."Nyebelin banget si lu!" kesal Lilac yang langsung mengambil susu coklatnya dan meminumnya."Suap-nya bisa banget lagi," gumam Lilac dengan tersenyum tipis. Voscar mengacak rambut Lilac dengan pelan sambil tertawa pelan."Gua engga tahu