Hanya beberapa detik, sesosok bayangan hitam besar muncul dari dalam sendang. Sosok hitam itu sangat mengerikan. Kedua matanya merah menyala dan seluruh tubuhnya di tumbuhi bulu hitam yang menutupi seluruh badan.
"Hahahahahaha ... ternyata kau Mijan. Ada apa kau membangunkanku?" Suara sosok hitam itu menggema dan terdengar menyeramkan.
Kedua tangan laki-laki itu saling menyatu di depan dada. Dengan kepala yang menunduk. Seperti sangat menghormati sosok hitam.
Sayangnya Dina tak bisa mendengar suara laki-laki berpakaian hitam itu. Sampai akhirnya sesuatu mengerikan terjadi. Dan membuat kedua mata Dina terbelalak lebar.
"Tidak mungkin!"
Dina mundur beberapa langkah karena takut melihat yang terjadi di depannya.
Karena tak hati-hati, ia tersandung akar pohon sehingga membuatnya terjatuh.Dalam sekejap Dina kembali ke dalam raganya. Kedua matanya langsung membuka lebar dengan napas yang ngos-ngosan.
<Tak terasa kereta api sudah tiba di stasiun tujuan terakhir yaitu stasiun Malang. Nayla terlihat sedang melamun. Sehingga tidak mendengar suara petugas kereta yang terdengar dari pengeras suara di setiap gerbong untuk mengingatkan penumpang agar tidak lupa dengan barang bawaannya."Nay kita sudah sampai ini!" Angel menggoyangkan bahu Nayla. Nayla langsung gelagapan dan buru-buru mengambil koper miliknya yang berada tepat di atas tempat duduk mereka.Dina yang akan turun, berpamitan pada Nayla dan Angel."Mbak saya turun duluan ya. Mbak harus hati-hati. Karena sinden itu selalu mengikuti Mbak kemana pun." Manik matanya yang hitam melihat ke luar jendela.Angel yang penasaran mengikuti arah pandangan Dina."Apa yang kamu lihat, Din?" tanya Angel."Sinden itu, Mbak. Ada di sana!" tunjuk Dina memajukan sedikit dagunya.Sontak pandangan mata Nayla dan Angel mengikuti arah yang ditunjuk oleh Dina.Angel tak melihat sinden terse
"Aku enggak salah. Aku benar-benar dengar jelas sosok hitam itu memanggil dengan Mijan bukan Darto." Dina pun tak mau mengalah."Kok namanya berbeda?" ujar Nayla.Dina menggeleng."Nay! Apa Kakek kamu punya dua nama? Yang kamu dan sekeluarga memang tidak tahu namanya?" ucap Angel yang sedari tadi hanya melihat dan mendengar perdebatan antara Dina dan Nayla."Enggak ahh!""Coba ingat-ingat atau tanya Nek Sami kalau enggak Tante kamu, Nay!" usul Angel.Terdengar nada panggilan HP Nayla. Ia langsung melihat siapa yang meneleponnya. Tertera nama Tante Dewi di layar HP. Buru-buru Nayla menggeser tombol hijau."Halo assalamualaikum.""Waalaikum salam. Sayang, kamu sudah sampai di stasiun?""Sudah, Tan. Baru saja turun dari kereta.""Tante sama Rahma lagi di jalan. Kamu tunggu dulu ya.""Iya, Tante."Telepon pun berakhir. Dina juga berpamitan pada Nayla dan Angel. Mereka berjalan keluar stasiun.
_Rumah Mbah Waci_Rasti yang habis mengunci pintu berniat untuk menuju ke kamar. Saat akan masuk ke dalam kamar. Mbah Waci memanggilnya dari dapur. Rasti pun menghampiri Mbah Waci."Mbah, belum tidur?""Belum. Teman kamu Nayla itu sudah balik ke Malang?""Sepertinya sudah, Mbah. Memangnya ada apa?"Mbah Waci beranjak dan berjalan mengambil segelas minum."Enggak. Kenapa Mbah susah menerawang kekuatan gaib itu. Kalau kita enggak bisa menerawangnya, akan semakin banyak korban.""Kenapa sintren itu inginkan Nayla sih, Mbah?""Karena kematian pemilik tusuk konde, akhirnya sintren itu tidak mempunyai raga manusia untuk tempatnya. Ia selalu menempati tusuk konde itu sampai akhirnya Nayla yang menemukan tusuk konde dan menganggap Nayla ada tempat raga yang bagus. Apalagi kelahiran Nayla saat malam satu suro.""Kenapa sintren itu enggak hilang atau musnah aja, Mbah? 'Kan pemiliknya sudah meninggal.""Walaupun pemili
_Rumah Mbah Waci_"Mbah bingung, tempat itu seperti mempunyai benteng gaib yang kuat. Susah untuk ditembus. Tapi Mbah yakin pasti ada celah untuk menembusnya. Di mana itu adalah tempat membuat perjanjian iblis."Malam semakin larut. Setelah mengobrol, Mbah Waci mengajak cucunya untuk segera tidur."Teman kamu enggak ada kirim pesan ke kamu, Nduk?" tanya Mbah Waci."Kayak tadi ada ... bentar Rasti cek dulu, Mbah."Rasti berlari mengambil HP di dalam kamar. Tak lama Rasti sudah kembali sambil membawa HPnya."Ada, Mbah. Rasti baca ya."(Ras, aku tau cara menembus tempat itu. Coba tembus di bawah sinar bulan saat bulan bulat penuh. Kalau berhasil, tolong kabarin aku secepatnya.)Seketika Mbah Waci berjalan ke arah jendela. Ia sedikit menyibak korden yang sudah tertutup."Malam ini bulan purnama!" seru Mbah Waci."Iya, Mbah. Kita lakukan sekarang aja."Mbah Waci mengangguk. Bergegas mereka menuju seb
"Dia seorang penari sinden. Dia ingin semua perhatian laki-laki itu tertuju padanya saat dia menari atau pun melakukan hal lain.""Permintaannya sangat mudah untukku. Hahahahahaha. Asal dia bersedia dengan syaratnya.""Sangat bersedia, Tuan.""Bagus! Pertama aku ingin menyetubuhinya. Akan ku jadikan istri gaibku. Setelah itu aku beri tahu kau syarat lainnya."Dengan cepat sosok itu langsung menghilang. Bersamaan dengan perempuan yang sedang berendam.Laki-laki itu hanya duduk bersila di tepi sendang. Suara burung hantu terus terdengar bersamaan dengan suara tawa laki-laki tersebut."Mereka selain meminta pengasihan pada makhluk gaib, mereka juga bersekutu," tutur Mbah Waci tanpa memalingkan penglihatannya."Mbah, perempuan itu hilang!" seru Rasti dengan ekspresi terkejut.Mbah Waci menoleh ke belakang melihat cucunya. Kemudian ia menatap kembali ke depan."Sepertinya tusuk konde dan sintren itu berasal dari sini."
Tiba-tiba sosok hitam besar itu berubah menjadi sosok pria yang tampan. Pakaiannya berwarna hitam dengan pinggirannya yang kuning keemasan. Tepat di kepalanya terdapat sebuah mahkota. Namun mahkota itu tak dapat menutupi dua tanduk di kepalanya."Tusuk konde ini ada sintren yang akan membuat para laki-laki itu tunduk padamu, Mawar.""Bagaimana cara menggunakannya, Pangeran?"Pria itu mendekati Kusumawardhani. Lalu melingkarkan tangannya ke pinggang Kusumawardhani. Mendekatkan wajahnya hingga napasnya terasa di wajah Kusumawardhani."Gampang, nanti akan dijelaskan sama Mijan.""Mijan?" ulang Kusumawardhani sambil mengernyit."Iya. Jangan lupa yang aku katakan. Kamu harus melayaniku setiap empat puluh hari." Sambil mencolek dagu Kusumawardhani."Baik, Tuan."Dalam beberapa detik, sosok itu menghilang. Angin berhembus membuat daun-daun saling bergesekan. Menimbulkan suara yang mencekam di tengah gelapnya malam."Mbah Darto,
"Bagus. Dan satu hal lagi, sintren yang tersimpan dalam tusuk konde ini berwajah mirip denganmu. Karena kamu sudah setuju dengan perjanjian ini, kamu tidak bisa mundur lagi.""I-iya, Mbah.""Kecuali ...." Perkataan Mijan terpotong. Laki-laki itu terdiam. Tatapan matanya melihat ke air sendang yang tenang. Pantulan cahaya bulan terlihat dari air yang tenang itu."Kecuali apa, Mbah?"Mijan malah diam tanpa menjawab pertanyaan Kusumawardhani. Sesekali ia menoleh ke kanan dan kiri."Ada apa, Mbah?""Banyak sekali makhluk gaib yang sedang melihat ke arah kita.""Hahh?! Di mana? Saya takut, Mbah.""Aku akan ceritakan nanti kalau kita sudah di bawah. Sekarang ayo kita turun," ajak Mijan.Mereka berdua buru-buru merapikan barang-barang yang mereka bawa. Mbah Waci juga bisa melihat banyak sekali pasang mata yang mengawasi mereka.Wanita tua itu terkejut saat cucunya menepuk pundaknya dari belakang."Mbah, kok
"Dua hal? Apa itu, Mbah?"Waci dan Rasti saling menoleh dan melotot mendengar perkataan Mijan.Tak hanya Kusumawardhani, Waci dan Rasti juga memasang pendengaran mereka."Pertama, kamu harus berhenti menyediakan tumbal laki-laki selama tiga kali bulan purnama berturut-turut. Agar sintren di dalam tusuk kondemu itu tidak memiliki kekuatan. Dan kedua, saat tepat malam jumat kliwon, kamu harus ke sendang itu dan melempar tusuk konde di sendang itu."Raut wajah Kusumawardhani terkejut. Kemudian wanita itu tertawa terbahak-bahak."Hahahahaha ... hanya itu saja, Mbah? Hahahahaha, gampang banget, Mbah. Aku kira berat!" ujar Kusumawardhani sambil masih tertawa."Berhenti!"Kusumawardhani kaget saat suara Mbah Mijan meninggi."Dua syarat itu berat!" seru Mbah Mijan dengan mimik wajah marah.Kusumawardhani terdiam. Sambil menunduk ia memegang ujung bajunya."Tapi syaratnya itu mudah, Mbah!"