"Dia seorang penari sinden. Dia ingin semua perhatian laki-laki itu tertuju padanya saat dia menari atau pun melakukan hal lain."
"Permintaannya sangat mudah untukku. Hahahahahaha. Asal dia bersedia dengan syaratnya."
"Sangat bersedia, Tuan."
"Bagus! Pertama aku ingin menyetubuhinya. Akan ku jadikan istri gaibku. Setelah itu aku beri tahu kau syarat lainnya."
Dengan cepat sosok itu langsung menghilang. Bersamaan dengan perempuan yang sedang berendam.
Laki-laki itu hanya duduk bersila di tepi sendang. Suara burung hantu terus terdengar bersamaan dengan suara tawa laki-laki tersebut.
"Mereka selain meminta pengasihan pada makhluk gaib, mereka juga bersekutu," tutur Mbah Waci tanpa memalingkan penglihatannya.
"Mbah, perempuan itu hilang!" seru Rasti dengan ekspresi terkejut.
Mbah Waci menoleh ke belakang melihat cucunya. Kemudian ia menatap kembali ke depan.
"Sepertinya tusuk konde dan sintren itu berasal dari sini."
Tiba-tiba sosok hitam besar itu berubah menjadi sosok pria yang tampan. Pakaiannya berwarna hitam dengan pinggirannya yang kuning keemasan. Tepat di kepalanya terdapat sebuah mahkota. Namun mahkota itu tak dapat menutupi dua tanduk di kepalanya."Tusuk konde ini ada sintren yang akan membuat para laki-laki itu tunduk padamu, Mawar.""Bagaimana cara menggunakannya, Pangeran?"Pria itu mendekati Kusumawardhani. Lalu melingkarkan tangannya ke pinggang Kusumawardhani. Mendekatkan wajahnya hingga napasnya terasa di wajah Kusumawardhani."Gampang, nanti akan dijelaskan sama Mijan.""Mijan?" ulang Kusumawardhani sambil mengernyit."Iya. Jangan lupa yang aku katakan. Kamu harus melayaniku setiap empat puluh hari." Sambil mencolek dagu Kusumawardhani."Baik, Tuan."Dalam beberapa detik, sosok itu menghilang. Angin berhembus membuat daun-daun saling bergesekan. Menimbulkan suara yang mencekam di tengah gelapnya malam."Mbah Darto,
"Bagus. Dan satu hal lagi, sintren yang tersimpan dalam tusuk konde ini berwajah mirip denganmu. Karena kamu sudah setuju dengan perjanjian ini, kamu tidak bisa mundur lagi.""I-iya, Mbah.""Kecuali ...." Perkataan Mijan terpotong. Laki-laki itu terdiam. Tatapan matanya melihat ke air sendang yang tenang. Pantulan cahaya bulan terlihat dari air yang tenang itu."Kecuali apa, Mbah?"Mijan malah diam tanpa menjawab pertanyaan Kusumawardhani. Sesekali ia menoleh ke kanan dan kiri."Ada apa, Mbah?""Banyak sekali makhluk gaib yang sedang melihat ke arah kita.""Hahh?! Di mana? Saya takut, Mbah.""Aku akan ceritakan nanti kalau kita sudah di bawah. Sekarang ayo kita turun," ajak Mijan.Mereka berdua buru-buru merapikan barang-barang yang mereka bawa. Mbah Waci juga bisa melihat banyak sekali pasang mata yang mengawasi mereka.Wanita tua itu terkejut saat cucunya menepuk pundaknya dari belakang."Mbah, kok
"Dua hal? Apa itu, Mbah?"Waci dan Rasti saling menoleh dan melotot mendengar perkataan Mijan.Tak hanya Kusumawardhani, Waci dan Rasti juga memasang pendengaran mereka."Pertama, kamu harus berhenti menyediakan tumbal laki-laki selama tiga kali bulan purnama berturut-turut. Agar sintren di dalam tusuk kondemu itu tidak memiliki kekuatan. Dan kedua, saat tepat malam jumat kliwon, kamu harus ke sendang itu dan melempar tusuk konde di sendang itu."Raut wajah Kusumawardhani terkejut. Kemudian wanita itu tertawa terbahak-bahak."Hahahahaha ... hanya itu saja, Mbah? Hahahahaha, gampang banget, Mbah. Aku kira berat!" ujar Kusumawardhani sambil masih tertawa."Berhenti!"Kusumawardhani kaget saat suara Mbah Mijan meninggi."Dua syarat itu berat!" seru Mbah Mijan dengan mimik wajah marah.Kusumawardhani terdiam. Sambil menunduk ia memegang ujung bajunya."Tapi syaratnya itu mudah, Mbah!"
Ia membuka pintu kamar mandi hanya sedikit. Hanya kedua matanya yang terlihat dari pintu. Manik matanya mengedar ke sekitar.Suasana sangat sepi dan gelap. Tak ada seorang pun. Perlahan Nayla mulai membuka pintu kamar mandi perlahan. Dengan agak berlari gadis itu menuju ke kamarnya.Saat ia sampai di ruang tengah. Nayla seperti melihat seseorang yang berdiri di dekat meja. Karena gelap, Nayla tak bisa melihat siapa orang tersebut."Tante?""Rahma?"'Kok diam aja?' tanya Nayla dalam hati."Angel?"Karena tak ada jawaban, Nayla tak berani mendekat sosok itu.Jantungnya mulai berdetak kencang. Rasa merinding dan takut kembali ia rasakan.Baru beberapa langkah. Hidung Nayla mencium aroma busuk bercampur anyir. Tubuh Nayla pun gemetar. Jantungnya semakin cepat berdetak.Namun rasa penasarannya sangat besar. Gadis itu tetap berusaha mencari tahu siapa yang berdiri di depannya itu.Dengan memencet
Rahma muncul dengan membawa segelas air putih lalu memberikannya pada Nayla."Diminum dulu Mbak Nay."Tangan Nayla gemetar menerima gelas. Tante Dewi, Rahma dan Angel saling berpandangan dan bertanya-tanya apa yang terjadi pada Nayla sampai ketakutan seperti itu.Setelah Nayla sudah lebih tenang. Wanita cantik dan anggun di umurnya yang tak lagi muda itu mulai bertanya pada Nayla sambil memeluknya."Sekarang ceritakan sama Tante apa yang terjadi sampai kamu teriak-teriak ketakutan." Suara Tante Dewi sangat lembut dan anggun."Ta-tadi ada o-orang di situ, Tante." Nayla menunjuk ke sebuah meja di sudut ruangan."Orang, Mbak?" ulang Rahma sambil mengarahkan pandangannya ke arah yang ditunjuk Nayla. Diikuti Angel dan Tante Dewi.Dengan masih gemetar Nayla tak berani melihat ke arah ia melihat sosok Dano yang sangat menyeramkan dengan kepala yang hancur.Sesaat Nayla terdiam tak melanjutkan ceritanya. Sampai
(Besok aku ke Malang. Kalau boleh aku minta alamat kamu tinggal. Nanti aku ceritakan)"Udah dia cuma bilang gitu," ucap Nayla."Ahh ... Enggak langsung kasih tau aja sih dia!""Mungkin memang lebih baik ceritanya pas ketemu kali, Ngel.""Ya sudah, kasih aja alamat kamu. Eh ... Tapi besok 'kan kita udah mulai training, Nay!""Oh ya!" Nayla menepuk jidatnya."Ya kamu bilang aja ketemunya pas kita udah pulang training," usul Angel."Oke oke. Aku balas sekarang ya!"Wajah Nayla tampak senang saat membalas pesan Rasti. Ia merasa jika tak lama lagi, dirinya akan terbebas dari teror sinden dan korban dari tusuk konde tersebut.Wajahnya yang sumringah menimbulkan niat Angel untuk menggodanya."Seneng nih yaa sebentar lagi bebas dari teror sinden yang menyeramkan itu. Hiii ... takut aku, Nay, ngebayanginnya.""Ngapain kamu bayangin, sereeem banget itu, Ngel!" seru Nayla sambil membalas pesan
"A-apa yang aku dengar?! Apa itu n-nyata?!" Angel sampai mencubit lengannya sendiri. Hingga ia menjerit kesakitan."Tapi sakit. Berarti ini bukan mimpi. Lalu siapa yang ada di dalam lemari?" Angel ketakutan. Dan saat akan berbalik, ia menjerit kencang melihat Nayla yang sudah berdiri di belakangnya."Aaaaaahhhh ....""Angel! Ini aku Nayla!""Hah ... hah ... hah ...." Angel mengatur napasnya."Kamu kenapa sih? Kayak lihat setan aja!""Bu-bukan lihat, tapi dengar," jawab Angel dengan napas yang masih ngos-ngosan."Dengar? Apa maksudmu?" tanya Nayla yang tidak paham."Di- di situ, Nay, ada suara." Tunjuk Angel ke arah lemari."Suara apaan sih?"Nayla membuka lemari itu. Tak ada apa pun di dalam lemari kecuali hanya pakaian yang masih tertata rapi."Mana enggak ada apa-apa, Ngel!""I-i-itu, Nay," ujar Angel tergagap. Matanya membulat lebar dan terus menat
"Huueeek ... Hueeekk ...."Nayla berlari ke wastafel lalu langsung mencuci tangannya dengan sabun. Rahma yang melihat Nayla berlari ke dapur mengikutinya."Mbak, kenapa?""Mah, ada darah, ada darah di ruang tamu.""Darah? Darah siapa, Mbak?""Enggak tau. Tapi darah itu bau banget. Kayak darah yang keluar dari mayat, Mah.""Haah? Mbak Nayla lagi halu.""Halu?! Aku enggak halu. Kalau enggak percaya, ayo ikut aku."Nayla dan Rahma berjalan ke ruang tamu bersama. Di saat Nayla akan menunjukkan darah yang ia maksud, Nayla terkejut darah tersebut sudah hilang."Loh, kok enggak ada. Siapa yang bersihin?"Nayla menatap Rahma. Sementara gadis manis dengan rambut sebahu itu hanya mengangkat kedua bahunya."Mana, Mbak. Wong enggak ada apa-apa kok. Lantainya bersih.""Tapi tadi beneran ada di sini, cuma sekarang kok ---" Sambil menggaruk rambutnya, Nayla merasa aneh dan bingung.
Waktu sudah menunjukkan pukul delapan kurang lima belas menit. Setelah membayar taxi online, Nayla dan Rasti langsung berlari masuk ke dalam gedung yang cukup mewah di mana mereka mengikuti training. Sepatu pantofel hitam dengan heels 3 cm yang mereka pakai sangat tak nyaman digunakan berlari. Tapi karna takut terlambat, mau tak mau Nayla dan Rasti berlari walau harus pandai-pandai menjaga keseimbangan badannya. "Nay, benerin dulu rambut kamu. Berantakan tuh!""Oh ya!" Nayla langsung membenarkan helai rambut yang keluar dan menggulung rambutnya dengan rapi. Tak lupa mereka berdua saling mengingatkan dan mengamati penampilan satu sama lain. Sampai di depan resepsionis. Nayla dan Angel menunjukkan kartu anggota training. Setelah mendapatkan jadwal dan di mana ruangan mereka hari itu, dengan berjalan cepat keduanya segera menuju ruangan yang berada di lantai 5.Lift pagi itu terlihat tak terlalu banyak orang. Tanpa berpikir macam-macam keduanya langsung masuk. Apalagi saat Nayla mel
"Terimakasih, Bu. Rejeki pagi-pagi," ujar satpam budi kegirangan. "Mau di kubur di mana, Bu?""Terserah, Pak. Asal jangan di sini.""Oh baik, Bu."Setelah Tante Dewi mengunci semua pintu rumah. Satpam Budi yang masih berada di rumah itu sedang mencari sebuah kantong keresek. Dimasukkan bangkai itu ke dalam kantong. Ketika akan keluar dari rumah, Budi kembali menoleh ke belakang. "Lagi ada saudaranya ya,Bu di rumah?" tanya tiba-tiba satpam Budi. "Hah? Enggak ada saudara, Pak," jawab Tante Dewi sambil menoleh ke belakang. Tak hanya Tante Dewi. Nayla dan Rahma pun juga ikut menoleh melihat ke arah yang di lihat satpam tersebut. "Itu ada perempuan, Bu sedang melihat ke sini.""Haaah?" Tante Dewi, Rahma dan Nayla hanya bisa mengangnga kaget. Kecuali Rasti. Gadis itu seperti melihat seseorang di dalam rumah. Menyadari matahari yang semakin tinggi, Tante Dewi menyuruh anak dan keponakannya itu untuk segera berangkat agar tidak terlambat. Begitu juga si satpam yang sudah berhasil mend
Dan karena rasa ngantuk, tak terasa mereka semua tertidur dengan berdempetan di kasur. Tetapi Nayla dan Rasti tertidur di karpet lantai. Sinar matahari pagi menembus sela-sela jendela. Tante Dewi terbangun sambil mengucek kedua matanya. Ia terkejut saat melihat jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Buru-buru wanita itu membangunkan Nayla, Rasti dan Rahma. "Ayo bangun! Bangun Rahma, Nayla, Rasti. Sudah pagi. Kalian terlambat nanti!"Tampak Nayla yang terlebih dahulu mulai menggerakkan badannya."Jam berapa ini, Te?" tanya Nayla sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. "Hah? Kesiangan ini, Te!""Makanya! Cepet kamu bantu Tante bangunin mereka!"Tiga puluh menit kemudian. Di ruang tamu, semuanya sudah tampak rapi dengan pakaian yang mereka kenakan. Karena mereka semua bangun kesiangan pagi itu semuanya berangkat tanpa sarapan."Kalian udah siap semua? Rahma kamu nanti pulang jam berapa?" tanya Tante Dewi."Jam lima Ma, bisa juga lebih. Soalnya ada kerja kelompok nanti d
"Tumbal para laki-laki, Mbak?" celetuk Rahma. "Iya benar." Wajah Nayla tertunduk dan berubah sedih. Dia teringat akan Wisnu sang pujaan hati yang sudah meninggal. Nayla masih sangat menyesal dan masih belum bisa maafkan dirinya sendiri atas kematian sang kekasih. Seandainya Nayla tak menemukan dan mengambil tusuk konde itu, mungkin saat ini dia masih bisa bersama Wisnu dan tak dihantui seperti ini. "Ras, kayaknya aku tau siapa pocong itu." Tiba-tiba Nayla mengangkat kepalanya dan menatap Rasti di samping. Kedua bola mata mereka saling beradu pandang."Siapa?"Semua yang ada di ruangan saat itu menatap ke arah Nayla dengan tajam. "Dano!""Siapa Dano itu, Mbak?"Rasti memicingkan mata kanannya. Mencoba mengingat-ingat siapa nama yang disebut Nayla."Oh! Dia korban yang belum lama ini?" cetus Rasti. Dengan cepat kepala Nayla mengangguk beberapa kali."Maksudnya gimana, Nay?" tanya Tante Dewi yang tak mengerti apa yang dibicarakan keponakannya itu. "Jadi saat Nayla dan Angel akan k
"Oh ya kamu kok belum tidur?" tanya Dion. "Iya Rasti tadi lihat penampakan pocong.""Pocong! Kok bisa?""Gak tau. Tapi sepertinya pocong itu adalah tumbal dari tusuk konde ini, Yon.""Gila! Tusuk konde itu harus benar-benar di musnahkan. Sebelum makin banyak korban.""Iya. Eh, lanjut besok ya, Yon. Kasihan Rasti, aku harus temenin dia dulu.""Oke."Telepon pun terputus. Dion kembali berbaring di kasur, sampai akhirnya kedua matanya pun dapat terpejam dan Dion terlelap dalam tidurnya. Sementari itu di rumah Tante Dewi.Semuanya jadi terbangun karena teriakan Rasti. Mereka duduk di ruang tamu. Selesai telepon, Nayla kembali ke ruang tamu sambil membawa segelas air untuk temannya itu. "Minum dulu, Ras." "Makasih, Nay.""Memangnya tadi apa yang membuat kamu teriak, Nduk?" tanya Tante Dewi lembut. Rasti terdiam beberapa saat, sampai Nayla menyenggol lengannya. Membuat Rasti gelagapan. "Kok diam? ditanya Tante, Ras!""Oh maaf, Tante." Rasti memalingkan pandangannya pada kamar Nayla.
Tangannya sibuk mengeluarkan satu per satu barang yang ada di dalam laci tersebut. Sampai raut wajah Dion berubah melihat sebuah foto usang yang masih hitam putih. "Ini yang aku cari. Ini foto aku saat aku umur 5 tahun. Dan ini Mas Agung, lalu perempuan ini." Kalimatnya terhenti. Dion duduk di pinggir ranjang. Foto usang itu masih di lihatnya dengan serius. Dahinya mengerut mencoba mengingat-ingat kejadian yang telah lama terjadi. "Perempuan ini yang namanya Mawar, gadis yang dicintai Mas Agung, tapi enggak mendapat restu Mama Papa."Lalu Dion membalik foto usang itu. Tepat di pojok kanan bawah terdapat sebuah tulisan yang tintanya hampir pudar. Dion pun mencoba mengeja tulisan yang samar tersebut."Wo ... no ... giri?""Apa desa Nayla di Wonogiri ya? Kalau bener, bisa jadi sinden merah yang mengikuti Nayla adalah Mawar yang dulu pernah dicintai Mas Agung."Dengan cepat Dion langsung membereskan semua pakaian dan barang-barang miliknya. Semuanya dia kembalikan ke dalam lemari. Men
Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Rahma, Rasti, Nayla dan Tante Dewi masih berkumpul di ruang tv. Terdengar suara tawa mereka yang memecah keheningan malam. Acara komedi tersebut membuat Nayla dan Rasti merasa terhibur. Setelah acara pun selesai. Tante Dewi menyuruh mereka bertiga untuk langsung masuk ke dalam kamar dan tidur. Agar besok kembali segar saat beraktivitas. Rasti mengikuti langkah Nayla menuju kamar. Saat itu pandangan mata Rasti tak sengaja melihat ke arah jendela yang tirainya belum tertutup. "Nay, itu tirainya belum di tutup!""Oh ya, lupa kali Tante Dewi. Aku tutup dulu deh!" Nayla berjalan ke arah jendela sambil menyisir rambutnya dengan jari tangan. Sementara itu Rasti masih berdiri di depan pintu kamar Nayla. Matanya masih menatap ke arah Nayla yang kini sudah berada di depan jendela. Nayla menarik pengait tirai. Tiba-tiba Rasti terkejut bahkan hampir teriak. Namun buru-buru Rasti menutup mulutnya dan menyembunyikan rasa kagetnya. Rasti tak mau kalau jeri
Perempuan itu pun terjatuh ke tanah. Kedua kakinya seperti tak mampu menopang tubuhnya sendiri. Tatapan matanya masih melihat punggung laki-laki yang baru saja meninggalkan dirinya. "Kenapa kamu tega, Mas." Dion hanya terdiam. Ia merasa kasihan pada perempuan yang tak dikenalnya itu. Walaupun ia tak tahu persis apa yang terjadi, namun ia juga membenarkan apa yang dikatakan perempuan itu pada Kakaknya. Hingga Dion mendengar suara yang tak asing baginya. Ia merasa tubuhnya seperti sedang digoyang-goyang. Sampai dirinya mulai terbangun. "Nak, kamu kenapa? Kenapa bisa di sini?" Dion tersentak kaget. Hingga membuat wanita setengah baya yang memakai baju tidur itu juga ikut kaget."Mama!""Kamu kenapa, hah?""Ehh ... "Dion menoleh ke kanan dan ke kiri. Membuat Mamanya makin keheranan dengan kelakuan anak laki-lakiny itu."Cari siapa?""Anuu ... Ini di rumah, Ma?""Loh iya! Ini di rumah. Emang kamu kira di mana? Di hutan?!"Dion hanya terdiam sambil celingukan. "Dion! Kamu kenapa sih?
Melihat gelagat Dion yang aneh, Mas Agung kembali bertanya. Hingga membuat Mama Dion juga ikut penasaran."Kenapa? Ada apa di depan?""Enggak, Mas.""Tapi wajah kamu kok kayak habis lihat setan?" Dion terhenyak dengan kalimat kakaknya itu. 'Iya, dia sinden tusuk konde itu. Sinden yang mengikuti Nayla. Tapi kenapa dia sekarang juga mengikuti aku? Padahal aku belum berbuat apa-apa,' batin Dion sendiri. "Dion!" panggil sang Mama yang sedang berjalan mendekati putra bungsunya. Wanita itu sedikit melongok keluar. Pintu yang mau ditutup Dion dibuka oleh Mamanya. "Enggak ada orang Dion. Siapa yang kamu lihat?""Memang gak ada, Ma. Ya sudah ayo masuk, Ma, udah malem." Dion langsung memeluk Mamanya dan mengajaknya masuk ke dalam rumah.Setelah mengantar sang Mama ke dalam kamar. Dion berniat untuk ke kamarnya yang berada di lantai dua.Baru menaiki beberapa anak tangga, Dion melihat sekelebat bayangan dari arah dapur yang lampunya sudah dimatikan. Sejenak Dion menghentikan langkahnya. Di