"Huueeek ... Hueeekk ...."
Nayla berlari ke wastafel lalu langsung mencuci tangannya dengan sabun. Rahma yang melihat Nayla berlari ke dapur mengikutinya.
"Mbak, kenapa?"
"Mah, ada darah, ada darah di ruang tamu."
"Darah? Darah siapa, Mbak?"
"Enggak tau. Tapi darah itu bau banget. Kayak darah yang keluar dari mayat, Mah."
"Haah? Mbak Nayla lagi halu."
"Halu?! Aku enggak halu. Kalau enggak percaya, ayo ikut aku."
Nayla dan Rahma berjalan ke ruang tamu bersama. Di saat Nayla akan menunjukkan darah yang ia maksud, Nayla terkejut darah tersebut sudah hilang.
"Loh, kok enggak ada. Siapa yang bersihin?"
Nayla menatap Rahma. Sementara gadis manis dengan rambut sebahu itu hanya mengangkat kedua bahunya.
"Mana, Mbak. Wong enggak ada apa-apa kok. Lantainya bersih."
"Tapi tadi beneran ada di sini, cuma sekarang kok ---" Sambil menggaruk rambutnya, Nayla merasa aneh dan bingung.
"Nay, kamu kok ninggalin aku?""Eh ... Maaf, Ngel. Aku takut kita terlambat.""Nay!""Apa?""Kamu pasti sedang menyembunyikan sesuatu dari aku." Tebak Angel."Apaan? Aku enggak menyembunyikan apa pun dari kamu kok," elak Nayla sambil kembali berjalan meninggalkan Angel."Nay, tunggu!" Angel memegang bahu Nayla sampai kini mereka saling berhadapan.Beberapa detik mereka berdua saling menatap dan terdiam. Sampai Angel mulai bertanya pada Nayla."Apa kamu melihat penampakan di jendela kamar kamu tadi, Nay? Aku merasa kita berdua lagi diikuti arwah Dano, petugas kereta api itu."Seketika Nayla terhenyak kaget. Ternyata Nayla juga melihat sosok Dano dengan kepala yang hancur dan tubuh yang penuh darah berdiri di belakang sinden merah berselendang hijau saat ia menggembok pagar. Persis dengan apa yang dikatakan Angel."Nay!" panggil Angel karena Nayla seperti sedang melamun."Eh, kenapa, Ngel?"
Di saat itu sosok perempuan di ujung ruangan seolah melambai ke arah Nayla dan Angel. Terdengar suaranya yang serak dan menakutkan. Bersamaan dengan suara gamelan yang tak tau berasal dari mana"Tolooong aku ... Tolooooooong ..."Nayla dan Angel semakin panik dan takut mendengar suara perempuan itu. Mereka yakin jika suara itu bukanlah suara manusia.Kedua gadis itu semakin panik. Mereka berusaha keras agar pintu lift bisa tertutup. Sesekali Nayla dan Angel melihat ke arah perempuan di ujung ruangan."Nay, kok sepertinya cewek itu semakin dekat ya." Suara Angel bergetar."I-iya. Tadi enggak di situ deh, Ngel. Mana ini lift enggak ketutup-tutup lagi "Belum hilang takut mereka, hidung Nayla dan Angel mengendus bau busuk yang menyengat. Seakan mengaduk perut mereka ingin muntah."Bau apa ini?" tanya Angel."Bau ini," ujar Nayla lirih tapi masih terdengar oleh Angel."Bau apa, Nay?
Tepat di depan mereka ada dua gadis berwajah China. Lalu di sebelah Nayla dan Angel ada seorang laki-laki yang sedang duduk sambil membaca buku.Tanpa sengaja laki-laki itu menatap ke arah Nayla tajam sambil sesekali ia melihat ke belakang.Nayla merasa jika ada yang sedang memperhatikannya. Tetapi Nayla berusaha fokus untuk training hari ini. Walaupun ia belum bisa melupakan sosok Kusumawardhani yang meminta tolong dibebaskan jiwanya.Merasa terus diperhatikan, membuat Nayla mulai risih. Nayla melirik sekilas ke arah laki-laki itu. Dari arah pintu, seorang wanita berkerudung dengan pakaian batik yang rapi memasuki ruang training.Buru-buru semua peserta kembali duduk di tempat masing-masing. Semuanya merapikan penampilan mereka.Wanita berkisar empat puluh tahun itu menyapa semua peserta dengan sangat ramah. Sekitar tiga jam memberikan materi training sebagai teller, terdengar suara adzan berkumandang.Wa
"Kamu indigo?" tebak Nayla langsung"Hu'um. Sejak aku umur lima tahun, aku udah bisa melihat mereka yang enggak terlihat dengan mata biasa.""Pantes kamu bisa lihat."Obrolan Nayla dan Dion terhenti sesaat. Mereka mengambil piring dan lauk yang mereka inginkan.Saat akan mencari tempat duduk, Dion kembali mendekati Nayla dan berbisik."Kamu bisa mencegah korban selanjutnya, Nay.""Hah?!" Nayla tersentak kaget dan menatap Dion dengan tajam."Jangan keras-keras, semua pada lihatin kita," bisik Dion lirih. Sambil menunduk malu Dion mengambil steak.Angel mendekati Nayla dan bertanya pada temannya itu kenapa ia tadi berteriak. Setelah menceritakan semuanya pada Angel. Mereka pun mengejar Dion yang sudah duduk di kursi paling ujung sendirian.Kedua gadis itu menarik kursi kosong. Dan duduk tepat di depan Dion yang sedang menikmati makanannya."Kamu tau caranya biar enggak ada korban selanj
"Semoga saja Rasti tau caranya memusnahkan perjanjian itu," ucap Nayla lirih namun masih bisa di dengar oleh Dion."Rasti siapa?""Teman aku. Dia juga indigo kayak kamu.""Hmmm ... Oh ya apa kamu membawa sesuatu yang menjadi simbol perjanjian Kusumawardhani itu?""Maksudnya?""Ya misalnya, suatu benda atau yang lain gitu.""Ada. Sebuah tusuk konde.""Boleh aku lihat?""Ada di tas. Di kelas.""Hmm ... ya sudah nanti saja selesai kelas." Dion yang sudah selesai makan pun beranjak berdiri sambil membawa piring kosong dan gelas miliknya."Dion ...!""Ya, kenapa, Nay?""Apa boleh aku meminta bantuanmu menyelesaikan hal gaib yang aku hadapi ini?" ujar Nayla dengan nada lirih namun terdengar seperti orang memohon.Beberapa detik Dion terdiam lalu menghembuskan napasnya sambil tersenyum lebar. Memperlihatkan deretan giginya yang putih terawat."Dengan senang hati aku bisa memb
Nayla menatap kedua mata Dion yang menunjukkan keseriusannya. Hingga akhirnya kepala Nayla pun mengangguk pelan."Terimakasih, Nay. Aku akan bantu kamu sebisa aku.""Makasih banyak kamu udah mau bantu aku." Nayla tersenyum. Lalu kembali turun dan diikuti oleh Angel. Sementara Dion masih diam di tempat dengan memandangi tusuk konde di tangannya.'Aku seperti enggak asing dengan nama Kusumawardhani ini, tapi siapa ya?' batin Dion.Sekilas Dion melihat batu berwarna merah di tusuk konde tersebut menyilau. Membuat Dion terhenyak."Aku pasti bisa mencari tahu tentang semua ini," ucap Dion sambil sudut bibir kanan terangkat ke atas.Dengan cepat Dion berlari menuruni tangga mengejar kedua gadis itu."Nay, Ngel! Tunggu dong!"Nayla dan Angel berhenti sampai Dion pun berhenti dengan napas yang tersengal-sengal."Ka-kalian mau kemana?""Kami mau ketemu Rasti. Udah janjian.""Aku boleh ikut, N
Tatap tajam ketiga gadis itu tak kunjung lepas. Membuat Dion pun menyerah."Haaahh!"Dion menghela napasnya. Kemudian sambil membenarkan duduknya ia mengeluarkan tusuk konde yang sedari tadi ia bawa."Kok bisa di kamu tusuk kondenya?" Rasti terkejut."Hmm ... aku tadi yang tunjukin tusuk konde itu ke Dion, Ras. Dia juga bilang merasakan aura jahat dari tusuk konde itu."Kali ini, Rasti kembali melihat Dion dengan tajam. Seakan tatapannya hendak memangsa Dion bulat-bulat."Kamu pasti tau siapa nama yang kamu sebut tadi. Enggak mungkin kamu asal menyebutnya. Tuan Jayakatwang kalau enggak salah?" Suara Rasti terdengar sangat serius.Sekian detik Dion terdiam sambil sesekali ia menundukkan kepalanya."Memangnya siapa Tuan Jayakatwang itu?""Oke! Aku akan ceritakan siapa Tuan Jayakatwang.""Nah gitu dong dari tadi! Cepat ceritakan pada kita!" sahut Rasti."Tuan Jayakatwang itu yang kamu l
"Apa boleh sama Tante kamu, Nay?""Ya, boleh lah! Ayo!" Ajak Nayla bersemangat. Mereka berempat akhirnya meninggalkan cafe kopi tersebut setelah dua jam mengobrol. Setelah membayar, mereka keluar bersama-sama.Mereka menunggu angkutan umum sesuai arah tujuan mereka masing-masing.Tinggal Nayla dan Rasti yang masih belum mendapatkan angkot. "Oh ya, waktu yang tepat menghancurkan perjanjian itu saat bulan purnama, Nay," kata Rasti tiba-tiba."Kamu tahu itu dari mana?""Waktu aku dan Mbah Waci meraga sukma. Kami melihat waktu Kusumawardhani dan Kakek kamu membuat perjanjian itu saat bulan purnama. Mbah Waci menyimpulkan, waktu yang tepat menghancurkan perjanjian itu juga saat bulan purnama juga."Di saat mereka sedang berbicara serius dan celingukkan menunggu angkot, tiba-tiba sebuah mobil mewah keluaran Jepang berhenti tepat di depan Nayla dan Rasti.Sesaat Nayla dan Rasti saling berpandangan. Sampai seorang laki-laki muda berparas tampan keluar dari dalam mobil."Siapa ini, Nay?" bis
Waktu sudah menunjukkan pukul delapan kurang lima belas menit. Setelah membayar taxi online, Nayla dan Rasti langsung berlari masuk ke dalam gedung yang cukup mewah di mana mereka mengikuti training. Sepatu pantofel hitam dengan heels 3 cm yang mereka pakai sangat tak nyaman digunakan berlari. Tapi karna takut terlambat, mau tak mau Nayla dan Rasti berlari walau harus pandai-pandai menjaga keseimbangan badannya. "Nay, benerin dulu rambut kamu. Berantakan tuh!""Oh ya!" Nayla langsung membenarkan helai rambut yang keluar dan menggulung rambutnya dengan rapi. Tak lupa mereka berdua saling mengingatkan dan mengamati penampilan satu sama lain. Sampai di depan resepsionis. Nayla dan Angel menunjukkan kartu anggota training. Setelah mendapatkan jadwal dan di mana ruangan mereka hari itu, dengan berjalan cepat keduanya segera menuju ruangan yang berada di lantai 5.Lift pagi itu terlihat tak terlalu banyak orang. Tanpa berpikir macam-macam keduanya langsung masuk. Apalagi saat Nayla mel
"Terimakasih, Bu. Rejeki pagi-pagi," ujar satpam budi kegirangan. "Mau di kubur di mana, Bu?""Terserah, Pak. Asal jangan di sini.""Oh baik, Bu."Setelah Tante Dewi mengunci semua pintu rumah. Satpam Budi yang masih berada di rumah itu sedang mencari sebuah kantong keresek. Dimasukkan bangkai itu ke dalam kantong. Ketika akan keluar dari rumah, Budi kembali menoleh ke belakang. "Lagi ada saudaranya ya,Bu di rumah?" tanya tiba-tiba satpam Budi. "Hah? Enggak ada saudara, Pak," jawab Tante Dewi sambil menoleh ke belakang. Tak hanya Tante Dewi. Nayla dan Rahma pun juga ikut menoleh melihat ke arah yang di lihat satpam tersebut. "Itu ada perempuan, Bu sedang melihat ke sini.""Haaah?" Tante Dewi, Rahma dan Nayla hanya bisa mengangnga kaget. Kecuali Rasti. Gadis itu seperti melihat seseorang di dalam rumah. Menyadari matahari yang semakin tinggi, Tante Dewi menyuruh anak dan keponakannya itu untuk segera berangkat agar tidak terlambat. Begitu juga si satpam yang sudah berhasil mend
Dan karena rasa ngantuk, tak terasa mereka semua tertidur dengan berdempetan di kasur. Tetapi Nayla dan Rasti tertidur di karpet lantai. Sinar matahari pagi menembus sela-sela jendela. Tante Dewi terbangun sambil mengucek kedua matanya. Ia terkejut saat melihat jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Buru-buru wanita itu membangunkan Nayla, Rasti dan Rahma. "Ayo bangun! Bangun Rahma, Nayla, Rasti. Sudah pagi. Kalian terlambat nanti!"Tampak Nayla yang terlebih dahulu mulai menggerakkan badannya."Jam berapa ini, Te?" tanya Nayla sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. "Hah? Kesiangan ini, Te!""Makanya! Cepet kamu bantu Tante bangunin mereka!"Tiga puluh menit kemudian. Di ruang tamu, semuanya sudah tampak rapi dengan pakaian yang mereka kenakan. Karena mereka semua bangun kesiangan pagi itu semuanya berangkat tanpa sarapan."Kalian udah siap semua? Rahma kamu nanti pulang jam berapa?" tanya Tante Dewi."Jam lima Ma, bisa juga lebih. Soalnya ada kerja kelompok nanti d
"Tumbal para laki-laki, Mbak?" celetuk Rahma. "Iya benar." Wajah Nayla tertunduk dan berubah sedih. Dia teringat akan Wisnu sang pujaan hati yang sudah meninggal. Nayla masih sangat menyesal dan masih belum bisa maafkan dirinya sendiri atas kematian sang kekasih. Seandainya Nayla tak menemukan dan mengambil tusuk konde itu, mungkin saat ini dia masih bisa bersama Wisnu dan tak dihantui seperti ini. "Ras, kayaknya aku tau siapa pocong itu." Tiba-tiba Nayla mengangkat kepalanya dan menatap Rasti di samping. Kedua bola mata mereka saling beradu pandang."Siapa?"Semua yang ada di ruangan saat itu menatap ke arah Nayla dengan tajam. "Dano!""Siapa Dano itu, Mbak?"Rasti memicingkan mata kanannya. Mencoba mengingat-ingat siapa nama yang disebut Nayla."Oh! Dia korban yang belum lama ini?" cetus Rasti. Dengan cepat kepala Nayla mengangguk beberapa kali."Maksudnya gimana, Nay?" tanya Tante Dewi yang tak mengerti apa yang dibicarakan keponakannya itu. "Jadi saat Nayla dan Angel akan k
"Oh ya kamu kok belum tidur?" tanya Dion. "Iya Rasti tadi lihat penampakan pocong.""Pocong! Kok bisa?""Gak tau. Tapi sepertinya pocong itu adalah tumbal dari tusuk konde ini, Yon.""Gila! Tusuk konde itu harus benar-benar di musnahkan. Sebelum makin banyak korban.""Iya. Eh, lanjut besok ya, Yon. Kasihan Rasti, aku harus temenin dia dulu.""Oke."Telepon pun terputus. Dion kembali berbaring di kasur, sampai akhirnya kedua matanya pun dapat terpejam dan Dion terlelap dalam tidurnya. Sementari itu di rumah Tante Dewi.Semuanya jadi terbangun karena teriakan Rasti. Mereka duduk di ruang tamu. Selesai telepon, Nayla kembali ke ruang tamu sambil membawa segelas air untuk temannya itu. "Minum dulu, Ras." "Makasih, Nay.""Memangnya tadi apa yang membuat kamu teriak, Nduk?" tanya Tante Dewi lembut. Rasti terdiam beberapa saat, sampai Nayla menyenggol lengannya. Membuat Rasti gelagapan. "Kok diam? ditanya Tante, Ras!""Oh maaf, Tante." Rasti memalingkan pandangannya pada kamar Nayla.
Tangannya sibuk mengeluarkan satu per satu barang yang ada di dalam laci tersebut. Sampai raut wajah Dion berubah melihat sebuah foto usang yang masih hitam putih. "Ini yang aku cari. Ini foto aku saat aku umur 5 tahun. Dan ini Mas Agung, lalu perempuan ini." Kalimatnya terhenti. Dion duduk di pinggir ranjang. Foto usang itu masih di lihatnya dengan serius. Dahinya mengerut mencoba mengingat-ingat kejadian yang telah lama terjadi. "Perempuan ini yang namanya Mawar, gadis yang dicintai Mas Agung, tapi enggak mendapat restu Mama Papa."Lalu Dion membalik foto usang itu. Tepat di pojok kanan bawah terdapat sebuah tulisan yang tintanya hampir pudar. Dion pun mencoba mengeja tulisan yang samar tersebut."Wo ... no ... giri?""Apa desa Nayla di Wonogiri ya? Kalau bener, bisa jadi sinden merah yang mengikuti Nayla adalah Mawar yang dulu pernah dicintai Mas Agung."Dengan cepat Dion langsung membereskan semua pakaian dan barang-barang miliknya. Semuanya dia kembalikan ke dalam lemari. Men
Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Rahma, Rasti, Nayla dan Tante Dewi masih berkumpul di ruang tv. Terdengar suara tawa mereka yang memecah keheningan malam. Acara komedi tersebut membuat Nayla dan Rasti merasa terhibur. Setelah acara pun selesai. Tante Dewi menyuruh mereka bertiga untuk langsung masuk ke dalam kamar dan tidur. Agar besok kembali segar saat beraktivitas. Rasti mengikuti langkah Nayla menuju kamar. Saat itu pandangan mata Rasti tak sengaja melihat ke arah jendela yang tirainya belum tertutup. "Nay, itu tirainya belum di tutup!""Oh ya, lupa kali Tante Dewi. Aku tutup dulu deh!" Nayla berjalan ke arah jendela sambil menyisir rambutnya dengan jari tangan. Sementara itu Rasti masih berdiri di depan pintu kamar Nayla. Matanya masih menatap ke arah Nayla yang kini sudah berada di depan jendela. Nayla menarik pengait tirai. Tiba-tiba Rasti terkejut bahkan hampir teriak. Namun buru-buru Rasti menutup mulutnya dan menyembunyikan rasa kagetnya. Rasti tak mau kalau jeri
Perempuan itu pun terjatuh ke tanah. Kedua kakinya seperti tak mampu menopang tubuhnya sendiri. Tatapan matanya masih melihat punggung laki-laki yang baru saja meninggalkan dirinya. "Kenapa kamu tega, Mas." Dion hanya terdiam. Ia merasa kasihan pada perempuan yang tak dikenalnya itu. Walaupun ia tak tahu persis apa yang terjadi, namun ia juga membenarkan apa yang dikatakan perempuan itu pada Kakaknya. Hingga Dion mendengar suara yang tak asing baginya. Ia merasa tubuhnya seperti sedang digoyang-goyang. Sampai dirinya mulai terbangun. "Nak, kamu kenapa? Kenapa bisa di sini?" Dion tersentak kaget. Hingga membuat wanita setengah baya yang memakai baju tidur itu juga ikut kaget."Mama!""Kamu kenapa, hah?""Ehh ... "Dion menoleh ke kanan dan ke kiri. Membuat Mamanya makin keheranan dengan kelakuan anak laki-lakiny itu."Cari siapa?""Anuu ... Ini di rumah, Ma?""Loh iya! Ini di rumah. Emang kamu kira di mana? Di hutan?!"Dion hanya terdiam sambil celingukan. "Dion! Kamu kenapa sih?
Melihat gelagat Dion yang aneh, Mas Agung kembali bertanya. Hingga membuat Mama Dion juga ikut penasaran."Kenapa? Ada apa di depan?""Enggak, Mas.""Tapi wajah kamu kok kayak habis lihat setan?" Dion terhenyak dengan kalimat kakaknya itu. 'Iya, dia sinden tusuk konde itu. Sinden yang mengikuti Nayla. Tapi kenapa dia sekarang juga mengikuti aku? Padahal aku belum berbuat apa-apa,' batin Dion sendiri. "Dion!" panggil sang Mama yang sedang berjalan mendekati putra bungsunya. Wanita itu sedikit melongok keluar. Pintu yang mau ditutup Dion dibuka oleh Mamanya. "Enggak ada orang Dion. Siapa yang kamu lihat?""Memang gak ada, Ma. Ya sudah ayo masuk, Ma, udah malem." Dion langsung memeluk Mamanya dan mengajaknya masuk ke dalam rumah.Setelah mengantar sang Mama ke dalam kamar. Dion berniat untuk ke kamarnya yang berada di lantai dua.Baru menaiki beberapa anak tangga, Dion melihat sekelebat bayangan dari arah dapur yang lampunya sudah dimatikan. Sejenak Dion menghentikan langkahnya. Di