BERONDONG KESAYANGAN
DISCLAIMER : Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat dan kejadian hanyalah kebetulan belaka.** ADC adalah singkatan dari aide-de-camp. Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ADC atau aide-de-camp artinya perwira yang membantu perwira senior atau pejabat sipil, atau yang disebut sebagai ajudan.Ikhsan tengah menikmati malamnya bersama beberapa rekan ADC lainnya di sebuah club malam. Dengan segelas Vodka yang membuatnya melayang tinggi. Tentu saja sambil menghisap methamphetamine yang dibelinya dari Tante Nadine. Wanita teman kencannya selama beberapa hari terakhir.Netra liar Ikhsan mengelilingi suasana club malam itu yang dipenuhi laki-laki dan perempuan yang berbaur satu sama lainnya. Ikhsan bersama Bobby dan yang lainnya tengah menunggu beberapa wanita sosialita yang membutuhkannya malam ini. Seperti biasanya, wanita kesepian itu menyewa pria muda seperti Ikhsan untuk memuaskan hasratnya.Sesungguhnya Ikhsan mulai jenuh dengan kehidupannya sekarang. Ia muak dan jijik dengan dirinya sendiri. Hidup bebas di dunia malam. Menjadi simpanan para istri komandannya yang tengah kesepian dan membutuhkan kehangatan dari seorang pria.Ikhsan ingin hidup normal layaknya pria seusianya. Menikah dan mempunyai anak. Keluarga kecil yang hidup bahagia. Bukan kebahagiaan semu belaka. Ia juga tidak ingin terus menerus melakukan perbuatan terkutuk ini selamanya.Apalagi jika membayangkan kedua orangtuanya yang berada jauh dari ibukota yang selalu menganggapnya anak yang baik. Padahal, ia telah terjerumus dalam lembah nista ini. Ikhsan berbeda dengan Bobby dan rekan lainnya yang begitu menikmati pekerjaan ini. Pekerjaan yang banyak memberikan materi dan segala kemewahan lainnya. Namun, ia kehilangan kebahagiaan sesungguhnya."San, udahlah. Untuk apa kau pikirkan soal orangtuamu. Toh mereka juga nggak tahu kan soal pekerjaanmu ini? Yang keluargamu tahu kamu tetaplah seorang ADC. Santai ajalah!" ujar Bobby saat melihat kegamangan hati Ikhsan."Tapi, Bob, gimana kalau Jonathan tahu? Kamu tahu sendiri kan, dia begitu keras dan tegas. Gimana kalau dia tahu? Alasan apalagi yang harus ku katakan padanya?" jelas Ikhsan."Ah, adikmu itu juga pasti paham nanti. Dia juga tidak bisa marah. Kan dia juga ikut menikmati semua kemewahan yang kamu berikan. Iya kan?" sahut Bobby yang juga ditimpali rekan lainnya."Ikhsan, nikmati saja kehidupan kita yang seperti ini. Tidak perlu pikirkan apa yang akan terjadi nanti. Nanti ya nanti. Jangan biarkan siapapun mempengaruhi pilihan hidupmu. Termasuk keluargamu! Sudahlah, kita nikmati malam ini. Sebentar lagi, ATM berjalan kita akan datang. Danny pun tertawa lebar sambil menenggak segelas Teaquilla.Dalam hati Ikhsan pun timbul pertanyaan apakah teman-temannya itu juga mengalami penolakan yang sama seperti yang diterimanya? Atau mungkin keluarga mereka senang menikmati kemewahan materi. Tidak penting uang itu didapat darimana."San, kalaupun nanti keluargamu tahu soal ini, mereka paling hanya marah diawal saja. Lambat laun mereka akan menerimanya juga. Toh kamu juga melakukan hal ini demi bisa memenuhi semua kebutuhan mereka kan?"Dalam benaknya, Ikhsan pun membenarkan kata-kata Bobby. Tidak bisa dipungkiri jika semua kebutuhan keluarganya yang ia tanggung dapat tercukupi semua karena hasil menjadi Gigolotte.Ikhsan pun mencoba mengesampingkan perasaannya. Benar kata teman-temannya jika ia harus menikmati kehidupannya yang kini telah memiliki segalanya. Menjadi simpanan para ibu bhayangkari itu tidaklah hal buruk. Semua tas dasar suka sama suka. Dan semua yang dilakukannya juga demi membahagiakan keluarganya di kampung.....Ikhsan pun mengeluarkan Marlboro merah dari tas selempang miliknya. Ia pun mengambil sebatang rokok dari bungkusnya dan menyalakan dengan mancis yang selalu dibawanya. Dua barang itu selalu tidak pernah tinggal berada di dalam tasnya selain dua smartphone miliknya. Dan tentu saja pengaman serta barang lainnya yang selalu ada.Ketika menunggu beberapa ibu komandan itu datang, Ikhsan pun menikmati rokoknya. Sesekali ia menenggak Vodka dan Teaquilla yang berada di meja. Sesekali ia melirik ke arah wanita-wanita muda yang tengah berjoget liar di atas meja bar untuk menggoda para pria hidung belang agar mau ditemani dan tidur bersama.Namun, kegelisahan Ikhsan tak juga hilang. Ia mulai berpikir mencari alasan yang tepat jika akhirnya nanti Jo akan mempertanyakan soal pekerjaan sampingannya selain menjadi ADC.Semua bermula saat malam itu Jo dan Ikhsan jalan bersama ke sebuah cafe untuk hangout bareng. Saat tengah berjalan menuju cafe yang dituju, Ikhsan pun bertemu dengan Tante Merry, salah satu pelanggannya."Hai, Ikhsan. Kita ketemu di sini. Kapan lagi kamu main ke apartemen tante, San?" sapa Tante Merry. Ikhsan pun dibuat gelagapan dan salah tingkah di depan adik bungsunya itu."Next time ya, Tante!" sahut Ikhsan. Anak kedua Bapak Sandi dan Ibu Rina itu berusaha tersenyum. Mencoba tenang agar Jo tidak curiga padanya.Tante Merry yang begitu tergila-gila pada Ikhsan pun langsung menatap Jo dengan pandangan liarnya. Sedikit berbisik, Tante Merry pun menanyakan siapa pria muda yang tak kalah tampannya dari Ikhsan itu."Dia adikku, Tan. Dia anaknya beda. Enggak seperti aku. Agak pemalu," jawab Ikhsan setengah berbisik."Ok deh. Kalau bisa, ajak ke apartemen tante ya. Tante tunggu. Bye!" ucap Tante Merry yang berlalu pergi begitu saja.Pandangan Jo pun begitu tajam ke arah sang kakak. Ia merasa keanehan. Seperti ada sesuatu yang ia sembunyikan."Bang, Abang kenal di mana sama perempuan itu?" selidik Jo."Oh, dia rekan Ibu. Abang kenal sewaktu mengantar ibu ke apartemenny," dalih Ikhsan. Ikhsan yang tidak ingin sang adik semakin mencurigainya langsung mengajak sang adik untuk berjalan ke arah cafe yang akan mereka datangi di lantai 2 gedung pencakar langit itu.Ikhsan memang menyadari betul dengan pekerjaannya yang salah ini. Tapi, dia tidak punya pilihan lain selain menjalaninya. Apapun yang ia lakukan saat ini juga demi keluarganya. Ikhsan pun rela dicap sebagai 'sampah'. Bahkan ia mulai jijik pada dirinya sendiri.Namun, apa yang dilakukannya juga demi membahagiakan orang tua dan saudaranya ini. Berkat 'uang haram' yang didapatkannya itu, Ikhsan berhasil menguliahkan Jo dan adik perempuan yang bernama Anjani. Anjani pun kini telah bekerja di sebuah instansi pemerintahan. Sedangkan Jo telah mengikuti jejaknya menjadi seorang abdinegara.Ikhsan pun mengesampingkan cibiran rekannya yang lain yang mulai mengetahui pekerjaan sampingan Ikhsan. Ia tidak perduli. Yang dia butuhkan hanyalah uang yang banyak demi mencukupi kehidupan keluarganya. Serta ia juga berniat menikahi Amanda, kekasih hatinya yang telah setia selama 7 tahun belakangan ini.Entah kapan ia akan menikahi Amanda. Mungkin tahun depan, dia tahun lagi, entahlah. Bagi Ikhsan, cintanya hanya untuk Amanda. Sedangkan para wanita paruh baya itu hanyalah ladangnya mencari uang sebanyak-banyaknya. Tidak ada sedikitpun rasa cintanya.Tanpa terasa sebatang rokok pun telah habis dihisapnya. Tangan kekarnya pun hendak mengambil batang rokok berikutnya ketika sebuah suara menghentaknya."Hai, kalian sudah lama menunggu?"Ikhsan, Bobby dan Danny serta beberapa rekan ADC lainnya. pun berdiri. Memandang ke arah lima wanita paruh baya yang tampil begitu cantik dan elegan.Tak bisa dipungkiri jika kecantikan mereka masih layak disandingkan dengan wanita yang lebih muda. Pakaiannya yang seksi membuat netra para ADC itu tak berkedip hingga kelima wanita itu duduk di samping para ajudan tampannya itu."Bu Indhira. Selamat datang bidadariku." Pujian Ikhsan itu membuat Indhira tergelak. Ia pun tersenyum manis dan berpikir jika keputusannya menghabiskan malam ini bersama ajudan kesayangan Mahesa itu bukanlah pilihan yang salah."Kita ke apartemen sekarang!" seru Indhira yang sudah tidak sabar lagi menikmati malam indahnya bersama pria muda itu. Kebisingan suara di club' itu membuatnya tidak nyaman."Kamu pasti tidak akan menyesal. Aku bayar billku dulu," ujar Ikhsan sambil mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya.Namun, secara tiba-tiba tangan Ikhsan ditarik Indhira. Ia pun mengajak kekasih mudanya itu untuk menuju meja bartender dan membayar semua tagihan para ADC muda itu.Di meja itu telah ada Jason, pria berketurunan Perancis yang telah lama bekerja di bar tempatnya selalu bertemu dengan tante-tante yang ingin dipuaskan."Berapa semuanya?" tanya Indhira."850 ribu."Indhira pun mengeluarkan beberapa lebar uang dari tasnya. Ia langsung memberikan pada Jason. Sebelum pergi, Jason pun menggoda Ikhsan yang telah lama dikenalnya itu."San, malam ini kamu punya teman kencan baru nih!" goda Jason.Ikhsan pun hanya tersenyum tipis. Indhira pun melirik tajam ke arah pria berondong di sampingnya itu. Seperti tengah berpikir, apa maksud kata teman Ikhsan itu."Kamu beruntung, San, punya kekasih sebaik dia. Thank you!" sambung Jason saat menerima tips lebih dari Indhira.Setelah membayar billnya, Indhira dan Ikhsan pun memutuskan meninggalkan club yang semakin bising itu. Sambil berjalan, Indhira pun mulai mengernyitkan dahinya dan mulai memberi kode pada Ikhsan."Kamu main curang, Ikhsan?" tanya Indhira."Aku tidak main curang!" jawab Ikhsan ketus. Ia sangat tidak suka dengan tuduhan Indhira yang sangat cemburu pada kekasih mudanya itu.Ketika berjalan menyusuri halaman parkir Dragonfly Club, ponselnya terus berdering. Seseorang telah meneleponnya. Entah siapa, karena rasa kesalnya pada Indhira, Ikhsan pun enggan melihatnya.Karena rasa penasarannya, ia pun melihatnya. Terlihat nama Jo memanggil. Entah hal penting apa yang membuat Jo menghubunginya semalam ini. Namun, Ikhsan kembali memasukkan Smartphone itu ke dalam tasnya.Ikhsan dan Indhira pun memasuki mobil Lexus berwarna putih itu. Ikhsan yang mengendarainya pun langsung melaju dengan kencangnya menuju apartemen mewah milik Indhira."Tunggu sebentar!" seru Ikhsan."Ada apa? Apa ada pelanggan lain yang lebih penting dariku, Ikhsan?" tanya Indhira yang overthinking karena ponsel Indhira yang sejak tadi berdering."Tidak! Sepertinya adikku yang menelpon. Sejak tadi dia menghubungiku.""Angkat dululah, Sayang. Mungkin ada hal penting yang Jo ingin sampaikan. Angkatlah dulu!" seru Indhira.Namun, lagi-lagi Ikhsan enggan menjawabnya. Ia hanya mengambil ponsel seharga 25 juta itu dan langsung mematikan panggilan sang adik dan kemudian ia melihat pesan yang telah dikirimkan Jonathan."Bang, maafkan aku. Apa benar kamu telah menjadi simpanan tante-tante? Apa kamu tidak memikirkan perasaan orangtua kita, Bang? Kamu ini tahu dosa kan? Sadar bang, sadar!"Degh! Entah darimana akhirnya Jonathan tahu pekerjaan sampingan Ikhsan. Pekerjaan yang telah digelutinya hampir lima tahun terakhir ini.Kembali Jonathan mengirim pesan padanya. Kali ini sepertinya Jo merasa bersalah."Bang Ikhsan, maafkan kata-kataku. Tidak seharusnya aku berkata kasar, menuduhmu tanpa mendengar penjelasan apapun darimu. Maafkan aku, Bang."Ikhsan pun menghela nafas dan memakai dirinya sendiri dalam hati."Maafkan aku, Jo. Aku sudah memaafkanmu. Tapi malam ini aku harus melayani Indhira lebih dulu. Next aku akan menghubungimu.""Kamu tidak membalas pesan Jo?" tanya Indhira."Tidak usah. Kamu tidak tahu siapa Jo. Dia orang yang tidak mudah diyakinkan jika ia sudah mencurigai sesuatu!" jawab Ikhsan.Indhira pun tersenyum lebar dan bergelayut manja dibahu Ikhsan. Mereka pun langsung meluncur menuju apartemen Indhira. Tempat mereka memadu kasih seperti biasa.bersambung ....Malam itu langit terlihat mendung. Awan hitam bergelayut dan diiringi kilatan petir sesekali. Tampaknya hujan akan segera datang.Indhira pun meminta Ikhsan memarkirkan kendaraannya menepi ke sebuah taman. Taman Langsat. Taman yang terletak di daerah Mayestik, Jakarta Selatan. Taman yang biasanya dipenuhi manusia, malam ini terlihat sepi. Mungkin karena cuaca malam ini yang terasa dingin dan mulai datang gerimis. Warga lebih senang menikmati segala kopi hangat dan cemilan di rumah-rumah mereka. Namun, bagi Ikhsan tidak ada yang lebih penting selain melayani istri komandannya yang telah menjalin kasih cukup lama dengannya itu. Menjadi pemuas nafsu yang tidak terpuaskan karena Mahesa yang terlalu sibuk dengan pekerjaan dan para wanita-wanita malam yang selalu dikencaninya.Hujan yang telah turun lebat pun tidak dipusingkan olehnya. Karena bagi Ikhsan, kepuasan dan materi adalah di atas segalanya. Apalagi menolak ajakan Indhira? Tentu hal yang mustahil. Di usianya yang menginjak 50 tahu
Jonathan menatap langit yang malam itu semakin menghitam. Dan hujan pun telah turun dengan lebatnya. Tetapi, sudah sejak kemarin Ikhsan tidak ada kabarnya. Ponselnya pun tidak bisa dihubungi. Sedangkan beberapa rekannya yang coba dihubungi Jo juga tidak mengetahui keberadaan sang kakak.Sialnya Jo tidak tahu di mana keberadaan Ikhsan kini. Dia menghilang tanpa jejak. Kabarnya pun tidak diketahui siapapun. Ponselnya kini tidak lagi bisa dihubungi.Jonathan tahu tidak seharusnya ia begitu mengkhawatirkan keadaan Ikhsan. Saudara lelakinya itu type yang suka kebebasan. Dia tidak suka aturan yang membuatnya tersiksa sendiri. Tapi, entah kenapa malam ini ia begitu cemas memikirkan keadaan saudaranya itu. Kecemasan yang begitu besar dirasakan Jo. Maklum saja, sajak kedua orangtuanya meninggal, Jo hanya tinggal berdua dengan Ikhsan di Jakarta. Sedangkan kedua saudara perempuannya berada di Natuna dan bekerja di sana.Bagi Jo, hanya Ikhsan saudaranya yang paling dekat. Tidak ada yang lain. Ha
"Enggak! Itu tidak mungkin. Itu pasti bukan abangku. Kamu pasti salah mengidentifikasi kan? Dia bukan Bang Ikhsan kan?!" Jonathan mencoba menyanggah informasi yang baru didengarnya itu. Hal yang paling Jo takutkan adalah ketika dia harus kehilangan orang-orang yang dicintainya. Hingga tidak ada satupun lagi yang tersisa. Jonathan sudah begitu terpuruk dan hancur ketika kehilangan ayah dan ibunya. Jika kembali harus kehilangan kakak lelakinya, rasanya sudah tak sanggup. "Oke! Aku akan buktikan semua omong kosongmu ini. Aku yakin kamu salah dan aku akan buktikan dan pastikan sendiri jika kalian salah!" Jonathan pun untuk kedua kalinya menyangkal informasi yang didapatnya itu. Rasanya tidak mungkin Jo bisa terima begitu saja. Jo belum bisa menghadapi kenyataan yang ada jika ia harus kembali kehilangan. Apalagi harus kehilangan Ikhsan. Saudara yang begitu mencintai dan menyayanginya. Memberikan apapun semua yang dibutuhkannya selama ini. Terlebih Jo juga belum mendapatkan kata maaf
Jonathan untuk pertama kalinya merasakan udara yang menusuk ke tubuhnya. Perlahan ia mulai membuka matanya. Berusaha beradaptasi dengan cahaya ruangan bercat putih pucat itu.Jonathan pun mulai perlahan bangkit dengan rasa sakit di bagian tengkuknya. Perlahan ia mulai menelisik setiap sudut ruang dengan tatapan matanya yang sayu. Jo berpikir jika Wiranata membawanya ke rumah sakit dan berbarengan dengan jenazah Ikhsan yang pastinya sudah berada di ruang otopsi untuk melakukan semua hal yang berkaitan dengan forensik.Di mana Wiranata?Di samping tempat tidurnya telah tersedia secangkir teh hangat dan setungkup roti. Saat Jo hendak mengambil jatah sarapannya itu, ia mendengar langkah kaki menuju arah pintu. Jo berpikir jika itu adalah seorang dokter yang akan memeriksanya atau Wiranata yang akan menjenguknya."Wira? Kamukah itu?" seru Jonathan. Namun, Jonathan pun kaget saat seorang pria bertubuh besar dengan pakaian serba hitam dan menggunakan masker hitam itu masuk dengan mendoron
Jonathan akhirnya menyelesaikan sarapannya begitu cepat. Maklum saja sejak Ikhsan belum ditemukan tidak ada satupun makanan yang masuk ke lambungnya. Karena kakak beradik itu mempunyai kebiasaan untuk selalu makan bersama. Namun, pagi ini Jonathan memaksakan dirinya untuk sarapan karena ia sudah tidak memiliki tenaga lagi. Apalagi nanti Jo harus menemui Wiranata di ruang forensik."Tuan Jo, jika sudah selesai anda bisa menemui Tuan Wiranata di lantai 5." Suster Anna pun memperhatikan pasiennya itu dengan rasa iba. Jonathan pun mengangguk. Ia mulai turun dari tempat tidurnya dan saat itu ia baru menyadari tas yang kemarin dibawanya itu tertinggal. Tapi, di mana tasnya itu?"Apakah kalian menyimpan barang-barang milikku?" tanya Jonathan."Maaf, Tuan. Nyaris saja saya lupa " Suster Anna pun membuka sebuah lemari besi berwarna hitam dan mengambil tas milik Jonathan."Ponselnya masih ada di dalam tasmu, Tuan.""Terimakasih." Jonathan pun langsung mengambilnya cepat dan berlalu pergi. Jon
Sepanjang perjalanan, Jonathan tidak mengeluarkan sepatah katapun. Dia hanya diam. Jonathan kini melihat ke arah luar. Entah apa yang tengah dipikirkannya. Mungkin tentang reaksi keluarganya di Medan. Tentang reaksi saudara perempuannya yang tentu begitu terpukul kehilangan Ikhsan, sama seperti yang dia rasakan saat ini.Wiranata tidak ingin menganggu sahabatnya saat ini. Ia biarkan Jo dengan dunianya sendiri saat ini. Wira tahu betul apa yang dirasa sahabatnya itu. Tidak mudah menerima kematian anggota keluarganya dengan cara mengenaskan. Jika sakit atau terkena bencana, mungkin masih bisa diterima. Ini tentang kematian yang begitu kejam. Tetapi, karena terlalu lama diam, Wira akhirnya tidak tahan juga."Jo, dulu aku juga pernah merasakan apa yang kamu rasakan saat ini. Orangtuaku dan adik perempuanku satu-satunya tewas dibunuh sewaktu aku kecil. Saat itu, aku sedang berada di rumah nenekku di Bandung.""Sejak saat itu, hanyalah nenekku yang ada untukku. Bahkan aku butuh waktu yang l
Tangannya masih gemetar menggenggam pemukul bisbol dan mulai menyusuri lorong menuju banker. Ada bau aneh yang tercium. Bau tembakau yang sangat menyengat. Kemungkinan ada seseorang yang masuk sambil mengisap rokok dengan cerutu. Dan akhirnya terbukti saat Jo menemukan sebuah puntung yang masih menyala di lantai baru itu. Artinya ada orang yang masuk ke ruangan itu. Jo mengedarkan pandangan dan menggunakan senter ke seluruh penjuru ruang. Jonathan menemukan keganjilan. Sebuah brankas gua tempat menyimpan barang-barang milik Ikhsan terbuka. Jo ingat dengan pasti jika brankas itu tidak pernah dibuka sangat lama.Jonathan mulai membuka sorot senternya. Berharap tidak ada sesuatu atau seseorang di dalam ruangan itu. Tidak lama senter itu menyorot sebuah kaca jendela yang telah pecah. Ada seseorang yang masuk dan sepertinya mencari sesuatu di sini. Atau mungkin seseorang itu sudah berhasil mengambil sesuatu dan kabur melalui jendela menuju ruang lainnya. Ruangan yang mengarah ke ke
Hari ini adalah hari di mana Ikhsan akan dimakamkan. Hari yang berat buat Jonathan juga keluarga besarnya. Anak yang menjadi kebanggaan keluarga itu telah pergi selamanya.Jerit tangis itu saling bersahutan. Tante dan paman Ikhsan yang telah menjadi pengganti orangtuanya begitu histeris. Begitu terpukul. Tiada henti rintihan itu terdengar membuat pilu siapapun yang mendengarnya. Bukan hanya mereka, tetangga, teman yang mengenal Ikhsan begitu terpukul dan tak percaya Ikhsan menjadi korban pembunuhan. Bahkan mayatnya pun dibuang begitu saja di sebuah gedung kosong, tua dan penuh kotoran."Anakku, kenapa kamu pergi seperti ini, Ikhsan. Siapa yang sudah tega membunuhmu, Nak ...." rintih Tante Rani yang biasa dipanggil Ikhsan dan Jo dengan sebutan Mamak.Jerit tangis itu masih terdengar keras. Peti mati anak kesayangannya itu terus dipegangnya. Bahkan ia mengingat setiap detik kebersamaanmya dulu sebelum Ikhsan bertugas di Jakarta."Ikhsan, mamak nggak ikhlas. Siapa yang sudah membunuhmu.
Wiranata kembali mencari jalan keluar untuk mengejar Baskara yang sudah membawa Balqis. Ibu kandungnya. Melalui Himawan, rahasia itu akhirnya dibuka kembali. Himawan yang juga kawan lama Pak Harry dan Namira yang dikenal Wira sebagai orangtua kandungnya.Di sebuah cafe malam itu Himawan akhirnya memutuskan memberitahu soal rahasia ini. Agar Wiranata tidak lagi salah melangkah ke depannya. Sudah waktunya bagi Himawan membuka misteri ini."Wira, orangtua kandungmu sebenarnya masih hidup. Dia ada di sekitarmu. Selalu memperhatikan perkembangan kamu sejak dulu," tutur Himawan membuka percakapan."Apa maksud anda?" tanya Wira yang syok. Ia pun tidak percaya begitu saja apa yang dikatakan Himawan."Ya, namanya Balqis Soraya. Dia adalah sahabat baik Namira dan Harry. Sahabatku juga. Ceritanya panjang, sampai akhirnya dia menitipkan kamu dengan Harry dan Namira. Yang jelas, itu dilakukannya demi menyelenggarakan nyawamu!" tegas Him."Menyelamatkan nyawa saya?" tanya Wira. Kali ini ia lebih be
Baskara pun terdesak. Kini ia dikelilingi para polisi yang pistolnya telah tertuju padanya. Dalam hitungan detik, mungkin peluru-peluru itu telah tembus ke dadanya."Lepaskan dia!" teriak Wiranata."Diam! Jangan ada yang bergerak. Jika ingin wanita ini selamat, biarkan aku pergi. Aku tidak mau dipenjara. Jika kalian nekat, perempuan tua ini akan mati!" hardik Baskara. Pria itu menodongkan pistolnya tepat di kepalanya.Wiranata pun tidak mau mengambil resiko. Ia pun meminta anak buahnya itu menjatuhkan senjatanya. Wira pun memberi jalan pada Baskara untuk meninggalkan tempat itu. "Komandan, kenapa kita lepaskan dia? Padahal kita sudah kerja keras untuk mencari keberadaannya?" ujar Leon. Anak buah Wira yang juga ikut menangani kasus pembunuhan Ikhsan."Jika wanita itu ibumu, apa kau akan tetap bersikap seperti ini Leon? Apa kau tidak ingin menyelamatkan nyawa ibumu?" tutur Wira lirih.Leon tertundukBaskoro yang selama ini tertawan akhirnya berhasil dievakuasi. Tubuhnya yang sudah rent
Balqis berjalan perlahan meninggalkan pemakaman itu. Hatinya sudah tidak sanggup lagi berdekatan dengan Wiranata. Anak yang sudah sangat dirindukannya itu.Memasuki mobilnya, Balqis pun langsung meminta supirnya itu segera meninggalkan area pemakaman dan. pulang ke rumah megah itu. Rumah yang sudah belasan tahun ia tinggalkan.Akhirnya, rumah ini ia jejaki kembali. Ada rasa cemas,takut. Trauma itu malah melekat erat di ingatannya. Entah apa yang terjadi, ia berharap bayangan itu tidak lagi muncul di benaknya."Rumah ini masih seperti yang dulu. Apa aku harus tinggal di sini lagi?" ucap Balqis. Rasanya masih berat ia langkahkan kakinya memasuki pintu utama."Selamat datang kembali, Nyonya. Senang bisa melihat anda kembali." Sashihara, asisten kepercayaan Baskoro itu akhirnya muncul. Menyambut kedatangannya."Terimakasih, Sashi. Apa kabarmu?" tanya balik Balqis."Seperti yang nyonya lihat. Saya masih sehat dan baik-baik saja. Oh ya, saya sudah siapkan hidangan makan malam yang lezat bua
POV BALQIS Malam itu perempuan berusia 27 tahun itu berlari ditengah hujan yang deras. Petir saling bersahutan. Tubuhnya telah basah, ia pun mulai menggigil kedinginan. Namun, satu tujuannya. Ia harus menyelamatkan anak yang baru dilahirkannya."Ya Allah, tolong hamba. Selamatkan hamba dan anak hamba dari perbuatan jahat mereka ...." ucap Balqis lirih.Balqis Soraya. Wanita yang telah dipersunting sepupunya sendiri itu baru saja melahirkan dalam hitungan jam. Namun, ia harus menguatkan dirinya demi menyelamatkan sang putra yang akan dibunuh oleh suaminya sendiri."Anakku laki-laki lagi? Gila! Aku butuh anak perempuan!" hardik Baskoro, suami Balqis yang dikenal sebagai mafia yang sangat ditakuti."Sudah 3 anak dan semuanya laki-laki. Aku ingin anak perempuan, Balqis! Ah, kau ini hanya bawa sial dalam hidupku. Lebih baik kuhabisi saja nyawa kalian!!!" hardiknya.Balqis yang baru melahirkan, bahkan tenaganya yang sudah terkuras banyak pun belum pulih. Tidak ada makanan yang masuk, tapi
"Ingat baik-baik ya, Nak. Balaskan dendam kematian orangtuamu dan adikmu. Nyawa harus dibayar dengan nyawa ...."Pesan itu masih terngiang jelas dibenak Wiranata. Nyonya Miranti sebelum kematiannya menitipkan sebuah pesan. Pesan mendalam itu ditinggalkannya karena hatinya yang belum ikhlas atas kematian anak mantu dan cucunya."Tapi apa yang harus kulakukan, Nek?" tanya Wiranata. Saat itu usianya baru menginjak 20 tahunan. Wira pun bingung harus berbuat apa. Tidak ada sanak keluarga yang akan membantunya. Hanya nenek lah satu-satunya keluarganya yang tersisa dan sedang dalam kondisi kritis.Namun, itu beberapa tahun silam. Berkat kegigihannya, kerja kerasnya. Ia berhasil masuk ke instansi tempat si pembunuh itu bekerja. Ya, pembunuh itu adalah seorang penegak hukum, sama seperti kedua orangtuanya.Beberapa tahun lalu, pihak kepolisian berhasil mengungkap penyebab kematian kedua orangtuanya. Awalnya diduga kecelakaan, tapi nyatanya bukan kecelakaan murni. Ada sabotase di sana. Hingga
Perjalanan ini mulai mendekati titik akhir. Setelah menjalani proses persidangan yang panjang. Berbelit-belit dan penuh intrik drama, akhirnya hari ini jadi titik akhir perjalanan panjang itu. Hari ini sidang keputusan final atas kasus kematian Ikhsan. Para terdakwa akan diputus hari ini. Apakah bisa terbebas ataukah harus menjalani hukuman sesuai perbuatan mereka."Gimana, Jos, sudah siap?" tanya Martin, pengacaranya saat bertemu di ruang tunggu. "Saya pasrah om. Semoga hasilnya tidak memberatkan saya," jawab Joshua.Satu persatu memasuki ruang sidang. Giliran pertama adalah pembacaan keputusan untuk Mahesa. Si tokoh utama yang juga menjerat banyak anggota instansinya karena ikut terlibat menutupi kasus yang tengah berjalan." .... menjatuhi saudara Danantya Mahesa dengan hukuman MATI ...."Suara riuh yang ada di ruang persidangan pun membuat ricuh. Hingga palu hakim harus terdengar agar suasana tetap aman terkendali.Bukan hanya keluarga korban yang saat itu ikut hadir yang sangat
Satu persatu aib kejahatannya di masalalu mulai terbongkar. Mahesa pun kesulitan untuk membantahnya. Bahkan Himawan sudah mempunyai semua bukti yang bahkan tidak diduganya sama sekali."Saudara Mahesa, apa keterangan saksi ada yang salah? Salah semua atau benar semua?" tanya hakim Iman. Hakim ketua itu beberapa kali mulai menekan Mahesa dengan pertanyaan yang sulit dijawabnya."Ada yang salah yang mulia," jawab Mahesa. Him pun tertawa kecil mendengar jawaban Mahesa itu."Saya tidak pernah menerima suap seperti yang dikatakan saksi. Semuanya tidak benar dan saya juga tidak tahu darimana saksi mendapatkan semua bukti itu!" ucap Mahesa lantang."Anda yakin dengan jawaban anda saudara Mahesa?" tanya hakim Morgan."Yakin yang mulia."Para hakim itupun kembali saling pandang. Sungguh tidak masuk diakal mereka, bukti yang semua sudah jelas di depan mata masih sanggup dibantahnya."Baiklah. Nanti biar kami yang akan menilai. Apakah saudara Mahesa yang berbohong atau saksi. Ada yang mau bertan
Wajah Mahesa tiba-tiba memerah padam. Entah darimana tim Joshua mengetahui keberadaannya. Apa mungkin, ini kerja Wiranata???Indhira menatap ke arah Himawan. Ia panik, takut, cemas, jika semua aib-aibnya akan terbongkar. Apalagi jika Mahesa tahu kalau ia pernah bekerjasama dengan Himawan untuk menghancurkannya.Wajah Kivan dan Farraz pun sama-sama menatap wajah Himawan. Pria mantan rival sekaligus mantan sahabat Mahesa itu dikenal sangat tegas dan lantang untuk membela kebenaran dan membasmi semua hal tentang kejahatan. "Bisa habis aku sama Pak Him?" batin Farraz.Para saksi pun dipersiapkan. Dihadirkan di muka persidangan. Namun, ada sedikit yang berbeda. Himawan ingin tampil lebih dulu dan berbicara dengan Mahesa di muka persidangan."Baiklah, silakan, kami beri waktu anda 10 menit," ucap hakim Morgan."Terimakasih yang mulia."Himawan pun mengambil mic-nya. Belum saja Himawan berbicara, sejak tadi Mahesa terlihat beberapa kali duduk tidak tenang."Halo, Tuan Mahesa. Lama kita tida
Suara keributan kembali terjadi. Joshua dan Farraz tetap dengan jawabannya masing-masing. Joshua bahkan berani mengucapkan sesuatu yang tidak pernah dia ungkapkan sebelumnya."Pak hakim, saya jadi curiga. Jangan-jangan Farraz juga ikut terlihat dalam kematian Bang Ikhsan. Karena saya pernah melihat mereka bertengkar. Dia bahkan mengancam akan bilang sama bapak!" ungkap Joshua.Semua mata terbelalak. Begitupun tim pengacaranya. Hakim, jaksa hingga Farraz yang langsung emosi dan menantang Joshua bertengkar kali itu. Ia meradang karena jawaban Joshua dapat memberatkan hukumannya."Joshua, jangan kurang ajar kamu!!!" hardiknya. Farraz bahkan sempat menarik tangan Joshua, hingga akhirnya beberapa anggota kepolisian memisahkan mereka."Kalian tenang! Saudara Farraz, kamu bersikap tenang jika tidak maka bisa memberatkan hukumanmu!" tegas YM hakim Iman."Baik, yang mulia."Sidang kembali dilanjutkan. Banyak pertanyaan yang akhirnya membuat Farraz tersudutkan. Ia mulai merasa tegang, wajahnya