Jonathan menatap langit yang malam itu semakin menghitam. Dan hujan pun telah turun dengan lebatnya. Tetapi, sudah sejak kemarin Ikhsan tidak ada kabarnya. Ponselnya pun tidak bisa dihubungi. Sedangkan beberapa rekannya yang coba dihubungi Jo juga tidak mengetahui keberadaan sang kakak.
Sialnya Jo tidak tahu di mana keberadaan Ikhsan kini. Dia menghilang tanpa jejak. Kabarnya pun tidak diketahui siapapun. Ponselnya kini tidak lagi bisa dihubungi.Jonathan tahu tidak seharusnya ia begitu mengkhawatirkan keadaan Ikhsan. Saudara lelakinya itu type yang suka kebebasan. Dia tidak suka aturan yang membuatnya tersiksa sendiri.Tapi, entah kenapa malam ini ia begitu cemas memikirkan keadaan saudaranya itu. Kecemasan yang begitu besar dirasakan Jo. Maklum saja, sajak kedua orangtuanya meninggal, Jo hanya tinggal berdua dengan Ikhsan di Jakarta. Sedangkan kedua saudara perempuannya berada di Natuna dan bekerja di sana.Bagi Jo, hanya Ikhsan saudaranya yang paling dekat. Tidak ada yang lain. Hanya Ikhsan yang selalu menjaganya dan bahkan selalu memberinya uang dan barang mewah walaupun dia sudah sama-sama bekerja di bidang yang sama.Angin berhembus kencang diiringi hujan yang semakin lebat. Sesekali ada kilatan petir yang datang. Cuaca di luar malam itu terasa dingin. Jo pun berinisiatif untuk menutup jendela kamar kostnya itu agar hembusan angin tidak masuk ke dalam.Jonathan pun menyalakan pemanas ruangan yang dimilikinya dan langsung merebahkan tubuhnya di atas sofa berwarna abu itu sambil membuka laptopnya.Jo pun membuka file foto keluarganya dua tahun silam. Masih ada kedua orangtuanya yang begitu bahagia. Walai kedua orangtuanya dan dirinya mulai mencurigai pekerjaan 'kotor' Ikhsan. Jo sedang merindukan keluarganya malam ini. Hanya melihat foto-foto kenangan inilah yang bisa dilakukan demi melepas sedikit kerinduannya."Ah, kenapa jadi begini sih?"Jonathan sebenarnya sudah punya rencana untuk makan malam bersama dengan kakak lelakinya itu. Jo pun sudah menyiapkan beberapa makanan kesukaan Ikhsan. Sejak pertengkaran demi pertengkarannya dengan sang kakak, Jo ingin meminta maaf dan berdamai dengan keadaan Ikhsan. Mungkin dia terlalu jauh ikut campur kehidupan kakaknya. Jo mulai merasa bersalah."Kamu tidak bisa mengerti perasaan ibu sama bapak. Perasaan kami mengetahui pekerjaan kotormu itu. Itu haram, Bang!" seru Jo malam itu ketika terlihat pertengkaran sengit."Kalian yang tidak mengerti perasaanku, Jo. Memangnya selama ini siapa yang membiayai semua kebutuhan kalian? Kuliah kamu, Anjani. Siapa, Hah?!" pekik Ikhsan yang meradang karena dihakimi sang adik.Jonathan semakin cemas karena sudah tiga kali dia mencoba menghubungi Ikhsan, tapi tidak juga direspon. Jo pun sudah mengirimkan banyak pesan, tapi jangankan dibalasnya. Pesannya pun belum dibaca hingga saat ini.Tidak ada hal lain yang diinginkan Jo selain meminta maaf pada Ikhsan. Jo sangat menyesali kata-katanya karena telah menyakiti hati sang kakak.Kali ini Jonathan tidak lagi bisa membendung airmatanya. Ia kembali teringat saat ia berada di titik terendah hidupnya. Ikhsanlah yang selalu berada untuk menguatkannya. Terlepas pekerjaan kotornya, Jo pun sudah berusaha mengingatkannya. Tapi Ikhsan tetap dengan pilihan hidupnya yang sekarang.Jonathan pun menghela nafas dan menyeka airmatanya. Dia tidak ingin terombang-ambing dengan perasaannya sendiri......Jonathan menatap ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Tetapi, Ikhsan belum juga muncul dan tidak diketahui keberadaannya. Jo pun menghela nafas dalam. Ia kembali mengambil ponselnya dan mencoba kembali menghubungi Ikhsan."Halo, aku sedang tidak ada di tempat. Silakan tinggalkan pesan kalian, nanti aku hubungi kembali. Thank you.' Nomor Ikhsan belum juga bisa dihubungi. Membuat Jo semakin gelisah."San, ke mana kamu? Jangan membuatku tidak tenang seperti ini," desah Jonathan.Kecemasan dan kekhawatiran Jo semakin meningkat tajam karena tidak biasanya kakak lelakinya itu menghilang seperti ini. Jo cemas karena hanya Ikhsanlah keluarga yang ia miliki sekarang. Jo pun mencoba kembali menghubungi nomor Ikhsan, tetapi hasilnya nihil. Ikhsan belum juga memberi kabar."Ikhsan, kamu ke mana?"....Emily terbangun karena suara dering telepon yang berdering tiada henti. Ada seseorang yang menelepon. Itu pasti Ikhsan, pikir Jo. Tentu saja Jo pun langsung menuju meja di mana ia meletakkan ponselnya. Bergegas cepat Jo langsung meraih ponselnya.Namun, Jo dibuat terkejut saat melihat nomor yang tertera di layar ponselnya bukanlah nomor Ikhsan. Tetapi, nomor seorang rekannya sesama anggota kepolisian. Jo pun bergegas mengangkatnya dan mulailah ia tersambung dengan Wiranata. Seorang rekannya sesama anggota.Wira pun mulai bercerita. Menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Jonathan seperti tidak berada di alam nyata. Ini sepertinya sebuah mimpi. Jo berharap ini ilusi semata, tapi nyatanya ini adalah nyata.Ponsel itu masih menempel di telinga Jonathan dan suara bising bariton terdengar jelas di telinga Jonathan.Apa yang dikatakannya? Ikhsan ditemukan tewas mengenaskan di sebuah gedung tua di area komplek Husada Permai. malam itu?bersambung ...."Enggak! Itu tidak mungkin. Itu pasti bukan abangku. Kamu pasti salah mengidentifikasi kan? Dia bukan Bang Ikhsan kan?!" Jonathan mencoba menyanggah informasi yang baru didengarnya itu. Hal yang paling Jo takutkan adalah ketika dia harus kehilangan orang-orang yang dicintainya. Hingga tidak ada satupun lagi yang tersisa. Jonathan sudah begitu terpuruk dan hancur ketika kehilangan ayah dan ibunya. Jika kembali harus kehilangan kakak lelakinya, rasanya sudah tak sanggup. "Oke! Aku akan buktikan semua omong kosongmu ini. Aku yakin kamu salah dan aku akan buktikan dan pastikan sendiri jika kalian salah!" Jonathan pun untuk kedua kalinya menyangkal informasi yang didapatnya itu. Rasanya tidak mungkin Jo bisa terima begitu saja. Jo belum bisa menghadapi kenyataan yang ada jika ia harus kembali kehilangan. Apalagi harus kehilangan Ikhsan. Saudara yang begitu mencintai dan menyayanginya. Memberikan apapun semua yang dibutuhkannya selama ini. Terlebih Jo juga belum mendapatkan kata maaf
Jonathan untuk pertama kalinya merasakan udara yang menusuk ke tubuhnya. Perlahan ia mulai membuka matanya. Berusaha beradaptasi dengan cahaya ruangan bercat putih pucat itu.Jonathan pun mulai perlahan bangkit dengan rasa sakit di bagian tengkuknya. Perlahan ia mulai menelisik setiap sudut ruang dengan tatapan matanya yang sayu. Jo berpikir jika Wiranata membawanya ke rumah sakit dan berbarengan dengan jenazah Ikhsan yang pastinya sudah berada di ruang otopsi untuk melakukan semua hal yang berkaitan dengan forensik.Di mana Wiranata?Di samping tempat tidurnya telah tersedia secangkir teh hangat dan setungkup roti. Saat Jo hendak mengambil jatah sarapannya itu, ia mendengar langkah kaki menuju arah pintu. Jo berpikir jika itu adalah seorang dokter yang akan memeriksanya atau Wiranata yang akan menjenguknya."Wira? Kamukah itu?" seru Jonathan. Namun, Jonathan pun kaget saat seorang pria bertubuh besar dengan pakaian serba hitam dan menggunakan masker hitam itu masuk dengan mendoron
Jonathan akhirnya menyelesaikan sarapannya begitu cepat. Maklum saja sejak Ikhsan belum ditemukan tidak ada satupun makanan yang masuk ke lambungnya. Karena kakak beradik itu mempunyai kebiasaan untuk selalu makan bersama. Namun, pagi ini Jonathan memaksakan dirinya untuk sarapan karena ia sudah tidak memiliki tenaga lagi. Apalagi nanti Jo harus menemui Wiranata di ruang forensik."Tuan Jo, jika sudah selesai anda bisa menemui Tuan Wiranata di lantai 5." Suster Anna pun memperhatikan pasiennya itu dengan rasa iba. Jonathan pun mengangguk. Ia mulai turun dari tempat tidurnya dan saat itu ia baru menyadari tas yang kemarin dibawanya itu tertinggal. Tapi, di mana tasnya itu?"Apakah kalian menyimpan barang-barang milikku?" tanya Jonathan."Maaf, Tuan. Nyaris saja saya lupa " Suster Anna pun membuka sebuah lemari besi berwarna hitam dan mengambil tas milik Jonathan."Ponselnya masih ada di dalam tasmu, Tuan.""Terimakasih." Jonathan pun langsung mengambilnya cepat dan berlalu pergi. Jon
Sepanjang perjalanan, Jonathan tidak mengeluarkan sepatah katapun. Dia hanya diam. Jonathan kini melihat ke arah luar. Entah apa yang tengah dipikirkannya. Mungkin tentang reaksi keluarganya di Medan. Tentang reaksi saudara perempuannya yang tentu begitu terpukul kehilangan Ikhsan, sama seperti yang dia rasakan saat ini.Wiranata tidak ingin menganggu sahabatnya saat ini. Ia biarkan Jo dengan dunianya sendiri saat ini. Wira tahu betul apa yang dirasa sahabatnya itu. Tidak mudah menerima kematian anggota keluarganya dengan cara mengenaskan. Jika sakit atau terkena bencana, mungkin masih bisa diterima. Ini tentang kematian yang begitu kejam. Tetapi, karena terlalu lama diam, Wira akhirnya tidak tahan juga."Jo, dulu aku juga pernah merasakan apa yang kamu rasakan saat ini. Orangtuaku dan adik perempuanku satu-satunya tewas dibunuh sewaktu aku kecil. Saat itu, aku sedang berada di rumah nenekku di Bandung.""Sejak saat itu, hanyalah nenekku yang ada untukku. Bahkan aku butuh waktu yang l
Tangannya masih gemetar menggenggam pemukul bisbol dan mulai menyusuri lorong menuju banker. Ada bau aneh yang tercium. Bau tembakau yang sangat menyengat. Kemungkinan ada seseorang yang masuk sambil mengisap rokok dengan cerutu. Dan akhirnya terbukti saat Jo menemukan sebuah puntung yang masih menyala di lantai baru itu. Artinya ada orang yang masuk ke ruangan itu. Jo mengedarkan pandangan dan menggunakan senter ke seluruh penjuru ruang. Jonathan menemukan keganjilan. Sebuah brankas gua tempat menyimpan barang-barang milik Ikhsan terbuka. Jo ingat dengan pasti jika brankas itu tidak pernah dibuka sangat lama.Jonathan mulai membuka sorot senternya. Berharap tidak ada sesuatu atau seseorang di dalam ruangan itu. Tidak lama senter itu menyorot sebuah kaca jendela yang telah pecah. Ada seseorang yang masuk dan sepertinya mencari sesuatu di sini. Atau mungkin seseorang itu sudah berhasil mengambil sesuatu dan kabur melalui jendela menuju ruang lainnya. Ruangan yang mengarah ke ke
Hari ini adalah hari di mana Ikhsan akan dimakamkan. Hari yang berat buat Jonathan juga keluarga besarnya. Anak yang menjadi kebanggaan keluarga itu telah pergi selamanya.Jerit tangis itu saling bersahutan. Tante dan paman Ikhsan yang telah menjadi pengganti orangtuanya begitu histeris. Begitu terpukul. Tiada henti rintihan itu terdengar membuat pilu siapapun yang mendengarnya. Bukan hanya mereka, tetangga, teman yang mengenal Ikhsan begitu terpukul dan tak percaya Ikhsan menjadi korban pembunuhan. Bahkan mayatnya pun dibuang begitu saja di sebuah gedung kosong, tua dan penuh kotoran."Anakku, kenapa kamu pergi seperti ini, Ikhsan. Siapa yang sudah tega membunuhmu, Nak ...." rintih Tante Rani yang biasa dipanggil Ikhsan dan Jo dengan sebutan Mamak.Jerit tangis itu masih terdengar keras. Peti mati anak kesayangannya itu terus dipegangnya. Bahkan ia mengingat setiap detik kebersamaanmya dulu sebelum Ikhsan bertugas di Jakarta."Ikhsan, mamak nggak ikhlas. Siapa yang sudah membunuhmu.
POV INDHIRAGarden Residence at Emeralda GolfPukul 01.30Malam itu Indhira pulang ke rumahnya di Garden Residence at Emeralda Golf. Rumah mewah yang terletak di Jalan Emeralda Cimanggis Depok. Rumah mewah pribadinya yang diberikan kedua orangtua Indhira saat menikah dengan Mahesa. Dengan wajah panik dan ketakutan, Indi -panggilan Indhira memasuki rumahnya dengan tergesa-gesa.Sesampainya di kamarnya, Indi langsung mengunci kamarnya. Berbaring dan mengatur nafasnya yang tersengal. Dalam benaknya ia mulai merasakan kecemasan yang hebat. Bayangan jeruji penjara mulai menghantuinya."Tuhan, apa yang sudah kulakukan?" gumam Indi. Tangannya telah berlumuran darah. Begitupun dengan pakaian yang dikenakannya telah banyak meninggalkan jejak darah Ikhsan. Bahkan senjata yang digunakannya untuk menghabisi nyawa ajudan kesayangan suaminya itu masih berbekas jejak-jejak darah sang brigadir."Apa yang harus kulakukan sekarang? Bagaimana kalau Mas Mahesa tahu aku sudah membunuh Ikhsan? Apa yang ha
FLASHBACK[Mak, besok aku ada tugas mengawal Bu Indhira ke Bandung. Mungkin selama 5 jam ponsel aku matikan ya. Doakan aku ya, Mak.]Pagi itu Ikhsan menghubungi ibu Rina - tante yang sudah jadi pengganti orangtuanya- melalui sambungan telepon. Seperti saat bersama mamanya, Ikhsan pun selalu melakukan hal sama. Meminta doa setiap kali bertugas mengawal bapak Mahesa ataupun ibu Indhira.[Hati-hati ya, Nak. Kalau sudah sampai Jakarta lagi, jangan lupa beri kabar mama.k][Iya, Mak. Jaga diri mama dan bapak baik-baik ya.][Iya, Nak. Hati-hati di jalan ya.]Setelah mematikan teleponnya, Ikhsan pun langsung bersiap dan berangkat menuju rumah dinas Pak Mahesa.Sesampainya di rumah dinas, Ikhsan pun langsung ke pos para ajudan berkumpul. Di sana sudah menunggu beberapa ajudan yang siap berangkat mengawal Pak Mahesa dan Ibu Indhira."Hey, kalian sudah siap semua?" sapa Ikhsan. "Siap, Bang," jawab Joshua."Baru datang, San?" timpal Farraz, senior Joshua dan Ikhsan."Siap, Bang!"Cukup lama merek