Malam itu langit terlihat mendung. Awan hitam bergelayut dan diiringi kilatan petir sesekali. Tampaknya hujan akan segera datang.
Indhira pun meminta Ikhsan memarkirkan kendaraannya menepi ke sebuah taman. Taman Langsat. Taman yang terletak di daerah Mayestik, Jakarta Selatan. Taman yang biasanya dipenuhi manusia, malam ini terlihat sepi. Mungkin karena cuaca malam ini yang terasa dingin dan mulai datang gerimis. Warga lebih senang menikmati segala kopi hangat dan cemilan di rumah-rumah mereka.Namun, bagi Ikhsan tidak ada yang lebih penting selain melayani istri komandannya yang telah menjalin kasih cukup lama dengannya itu. Menjadi pemuas nafsu yang tidak terpuaskan karena Mahesa yang terlalu sibuk dengan pekerjaan dan para wanita-wanita malam yang selalu dikencaninya.Hujan yang telah turun lebat pun tidak dipusingkan olehnya. Karena bagi Ikhsan, kepuasan dan materi adalah di atas segalanya. Apalagi menolak ajakan Indhira? Tentu hal yang mustahil. Di usianya yang menginjak 50 tahun, Indhira masih tampak cantik dan menggugah selera. Permainannya di atas ranjang pun masih tetap menggairahkan. Tidak kalau hebatnya dengan wanita muda yang pernah dikencaninya.Namun, Ikhsan sempat berpikir juga. Tidak seperti biasanya Indhira memintanya bercinta di atas mobil Lexus miliknya ini. Apakah tidak berbahaya jika bercinta di dalam mobil, di pinggir jalan seperti ini. Entah apa yang ada di benak Indhira. Apa mungkin ia jenuh dan ingin mencari suasana baru dalam bercinta? Entahlah."Kenapa kita tidak ke apartemen aja sih? Atau kita sewa hotel kecil di dekat sini. Ada kok tempat yang nyaman buat kita," seru Ikhsan dengan nada kesal. Ia mencoba protes dan berharap Indhira mengubah keputusannya.Namun, Indhira tetaplah Indhira. Ia tidak pernah mau mengubah keputusan yang telah diambilnya. Termasuk untuk bercinta malam ini di dalam mobilnya."Aku hanya ingin suasana yang berbeda, Sayang. Lagipula mau di sini atau di apartemen itu nggak penting. Yang penting itu aku dan kamu bisa bercinta malam ini," bisik Indhira."Malam ini aku akan membuatmu percaya jika kamu adalah pria yang paling beruntung. Aku akan membawamu ke puncak kepuasan yang tidak akan kamu dapatkan dari siapapun."Ikhsan pun menghela nafas dan mulai menyimpan tasnya di dalam dashboard. Beberapa detik kemudian ia pun melakukan apa yang harus dilakukannya pada seorang wanita yang telah berhasrat padanya.Di pinggir jalan Taman Langkat itulah, Ikhsan merebahkan kepalanya di atas jok empuk Lexus milik Indhira itu. Tiba-tiba bayangan itu kembali muncul. Bayangan kedua orangtuanya. Bayangan ketiga saudaranya yang kembali memenuhi benaknya."Kamu memang luar biasa, Ikhsan," puji Indhira di telinga kiri Ikhsan.Ikhsan kembali membuka netranya. Ia pun tersadar jika semua tugasnya telah selesai. Namun, entah mengapa malam ini tampak berbeda. Ia merasa bersalah pada keluarganya. Bagaimana mungkin? Setelah lima tahun menjalani pekerjaan sebagai Gigolotte, tidak pernah sekalipun Ikhsan merasakan hal seperti malam ini.Ah, mungkin ini hanya perasaan Ikhsan saja karena masih terbawa perasaan karena pesan yang dikirimkan Jonathan tadi. Tentang segala hal yang menyangkut pekerjaannya. Ikhsan sadar, pekerjaannya ini salah. Uang uang dihasilkannya pun haram. Dan semua tentang pesan Jo tadi semuanya benar. Ikhsan memang harus mulai memikirkan nasib hubungannya dengan Amanda."Sayang, kamu baik-baik aja kan?" tanya Indhira yang keheranan melihat Ikhsan yang sejak tadi membisu.Ikhsan pun mulai merubah posisinya. Menciumi pipi Indhira serta bibir tipisnya. Ia mencoba meyakinkan sugar mommynya itu jika semua baik-baik saja."Tidak pernah aku merasakan kepuasan seperti ini. Kamu memang pria sejati, Ikhsan!"Ikhsan pun merapihkan pakaian serta rambutnya yang acak-acakan. Mencoba kembali tenang dan memberikan kecupan terakhir untuk sugar mommynya itu."Kita pulang sekarang ya. Aku harus pulang sebelum larut malam." Ikhsan yang mencoba menyalakan mobilnya kembali akhirnya berhenti saat kekasihnya itu menarik tangannya."Urusan kita belum selesai!""Oh ya?" Ikhsan kembali menatap wajah Indhira dengan sangat lembut. Tatapan mesranya kembali membuatnya berhasrat untuk bercinta. Tapi, bukan itu yang ingin ia bicarakan dengan Ikhsan. Ajudan sekaligus kekasih gelapnya itu."Ikhsan, aku ingin mengajukan beberapa pertanyaan yang aku yakin kamu pasti tahu jawabannya!" Ikhsan pun bingung dan ia mengangkat kedua bahunya bersamaan."Aku akan jawab jika memang aku tahu jawabannya."Tatapan liar Indhira mulai membuat Ikhsan tegang. Ia mulai berpikir apa yang sebenarnya hendak ditanyakan oleh istri komandannya itu."San, apa kamu tahu siapa wanita-wanita yang menjadi simpanan bapak? Di mana mereka ditaruh? Siapa namanya?" Indhira terus mencecar Ikhsan untuk memberitahu siapa sebenarnya simpanan suaminya.Walau sudah lama mengetahu jejak perselingkuhan Mahesa, Indhira belum mempunyai cukup bukti hingga ia tidak bisa berbuat banyak untuk membongkar semua kejahatan suaminya itu. Andai saja Ikhsan mau bekerjasama, Indhira pun bertekad untuk menghancurkan karir suaminya yang kini sedang berada di atas."Ikhsan, jawab pertanyaan saya!"Ikhsan pun dilema. Dia tidak mungkin berkata jujur soal perselingkuhan komandannya. Karena ia pun menjadi selingkuhan istri komandannya. Ikhsan pun tidak bisa begitu saja membukanya. Nyawanya pun akan menjadi taruhannya. Seperti kejadian dua tahun silam.Tiba-tiba wajah Ikhsan berubah murung dan sedih. Netra coklatnya meredup. Ikhsan menghela nafas dalam."Ibu dan bapak sudah meninggal dalam kecelakaan mobil."Seminggu sebelum kecelakaan itu terjadi, ada empat pria bertubuh besar tinggi datang ke kampung Ikhsan menemui kedua orangtuanya. Mereka mengancam akan membunuh keluarga Ikhsan jika sampai Ikhsan tidak tutup mulut soal tragedi berdarah beberapa tahun silam yang sempat menggemparkan publik.Hingga saat kecelakaan itu terjadi dan menewaskan kedua ibu bapaknya, Ikhsan dan Jonathan berasumsi jika orang-orang itulah yang telah membunuh orangtua mereka."Ikhsan, Ikhsan!""Maaf, Bu, saya tidak tahu," jawab Ikhsan.Indhira tidak begitu saja mempercayai kata-kata simpanannya itu. Karena ia tahu pasti jika Ikhsan adalah orang kepercayaan suaminya. Ikhsan yang tahu persis tingkah Mahesa di belakang juga tentang semua bisnis gelapnya."Ikhsan, kamu pasti punya semua bukti-buktinya. Jika aku yang memintanya, apakah kamu akan memberikannya?" tanya Indhira.Kali ini pertanyaan itu terasa ganjil dengan tatapan yang juga ganjil di mata Ikhsan. Ikhsan pun tersadar dengan kebodohannya. Netranya terbelalak tak percaya ketika Indhira mendekatinya dengan benda mengkilat di tangan kanannya.Belati!bersambung ....Jonathan menatap langit yang malam itu semakin menghitam. Dan hujan pun telah turun dengan lebatnya. Tetapi, sudah sejak kemarin Ikhsan tidak ada kabarnya. Ponselnya pun tidak bisa dihubungi. Sedangkan beberapa rekannya yang coba dihubungi Jo juga tidak mengetahui keberadaan sang kakak.Sialnya Jo tidak tahu di mana keberadaan Ikhsan kini. Dia menghilang tanpa jejak. Kabarnya pun tidak diketahui siapapun. Ponselnya kini tidak lagi bisa dihubungi.Jonathan tahu tidak seharusnya ia begitu mengkhawatirkan keadaan Ikhsan. Saudara lelakinya itu type yang suka kebebasan. Dia tidak suka aturan yang membuatnya tersiksa sendiri. Tapi, entah kenapa malam ini ia begitu cemas memikirkan keadaan saudaranya itu. Kecemasan yang begitu besar dirasakan Jo. Maklum saja, sajak kedua orangtuanya meninggal, Jo hanya tinggal berdua dengan Ikhsan di Jakarta. Sedangkan kedua saudara perempuannya berada di Natuna dan bekerja di sana.Bagi Jo, hanya Ikhsan saudaranya yang paling dekat. Tidak ada yang lain. Ha
"Enggak! Itu tidak mungkin. Itu pasti bukan abangku. Kamu pasti salah mengidentifikasi kan? Dia bukan Bang Ikhsan kan?!" Jonathan mencoba menyanggah informasi yang baru didengarnya itu. Hal yang paling Jo takutkan adalah ketika dia harus kehilangan orang-orang yang dicintainya. Hingga tidak ada satupun lagi yang tersisa. Jonathan sudah begitu terpuruk dan hancur ketika kehilangan ayah dan ibunya. Jika kembali harus kehilangan kakak lelakinya, rasanya sudah tak sanggup. "Oke! Aku akan buktikan semua omong kosongmu ini. Aku yakin kamu salah dan aku akan buktikan dan pastikan sendiri jika kalian salah!" Jonathan pun untuk kedua kalinya menyangkal informasi yang didapatnya itu. Rasanya tidak mungkin Jo bisa terima begitu saja. Jo belum bisa menghadapi kenyataan yang ada jika ia harus kembali kehilangan. Apalagi harus kehilangan Ikhsan. Saudara yang begitu mencintai dan menyayanginya. Memberikan apapun semua yang dibutuhkannya selama ini. Terlebih Jo juga belum mendapatkan kata maaf
Jonathan untuk pertama kalinya merasakan udara yang menusuk ke tubuhnya. Perlahan ia mulai membuka matanya. Berusaha beradaptasi dengan cahaya ruangan bercat putih pucat itu.Jonathan pun mulai perlahan bangkit dengan rasa sakit di bagian tengkuknya. Perlahan ia mulai menelisik setiap sudut ruang dengan tatapan matanya yang sayu. Jo berpikir jika Wiranata membawanya ke rumah sakit dan berbarengan dengan jenazah Ikhsan yang pastinya sudah berada di ruang otopsi untuk melakukan semua hal yang berkaitan dengan forensik.Di mana Wiranata?Di samping tempat tidurnya telah tersedia secangkir teh hangat dan setungkup roti. Saat Jo hendak mengambil jatah sarapannya itu, ia mendengar langkah kaki menuju arah pintu. Jo berpikir jika itu adalah seorang dokter yang akan memeriksanya atau Wiranata yang akan menjenguknya."Wira? Kamukah itu?" seru Jonathan. Namun, Jonathan pun kaget saat seorang pria bertubuh besar dengan pakaian serba hitam dan menggunakan masker hitam itu masuk dengan mendoron
Jonathan akhirnya menyelesaikan sarapannya begitu cepat. Maklum saja sejak Ikhsan belum ditemukan tidak ada satupun makanan yang masuk ke lambungnya. Karena kakak beradik itu mempunyai kebiasaan untuk selalu makan bersama. Namun, pagi ini Jonathan memaksakan dirinya untuk sarapan karena ia sudah tidak memiliki tenaga lagi. Apalagi nanti Jo harus menemui Wiranata di ruang forensik."Tuan Jo, jika sudah selesai anda bisa menemui Tuan Wiranata di lantai 5." Suster Anna pun memperhatikan pasiennya itu dengan rasa iba. Jonathan pun mengangguk. Ia mulai turun dari tempat tidurnya dan saat itu ia baru menyadari tas yang kemarin dibawanya itu tertinggal. Tapi, di mana tasnya itu?"Apakah kalian menyimpan barang-barang milikku?" tanya Jonathan."Maaf, Tuan. Nyaris saja saya lupa " Suster Anna pun membuka sebuah lemari besi berwarna hitam dan mengambil tas milik Jonathan."Ponselnya masih ada di dalam tasmu, Tuan.""Terimakasih." Jonathan pun langsung mengambilnya cepat dan berlalu pergi. Jon
Sepanjang perjalanan, Jonathan tidak mengeluarkan sepatah katapun. Dia hanya diam. Jonathan kini melihat ke arah luar. Entah apa yang tengah dipikirkannya. Mungkin tentang reaksi keluarganya di Medan. Tentang reaksi saudara perempuannya yang tentu begitu terpukul kehilangan Ikhsan, sama seperti yang dia rasakan saat ini.Wiranata tidak ingin menganggu sahabatnya saat ini. Ia biarkan Jo dengan dunianya sendiri saat ini. Wira tahu betul apa yang dirasa sahabatnya itu. Tidak mudah menerima kematian anggota keluarganya dengan cara mengenaskan. Jika sakit atau terkena bencana, mungkin masih bisa diterima. Ini tentang kematian yang begitu kejam. Tetapi, karena terlalu lama diam, Wira akhirnya tidak tahan juga."Jo, dulu aku juga pernah merasakan apa yang kamu rasakan saat ini. Orangtuaku dan adik perempuanku satu-satunya tewas dibunuh sewaktu aku kecil. Saat itu, aku sedang berada di rumah nenekku di Bandung.""Sejak saat itu, hanyalah nenekku yang ada untukku. Bahkan aku butuh waktu yang l
Tangannya masih gemetar menggenggam pemukul bisbol dan mulai menyusuri lorong menuju banker. Ada bau aneh yang tercium. Bau tembakau yang sangat menyengat. Kemungkinan ada seseorang yang masuk sambil mengisap rokok dengan cerutu. Dan akhirnya terbukti saat Jo menemukan sebuah puntung yang masih menyala di lantai baru itu. Artinya ada orang yang masuk ke ruangan itu. Jo mengedarkan pandangan dan menggunakan senter ke seluruh penjuru ruang. Jonathan menemukan keganjilan. Sebuah brankas gua tempat menyimpan barang-barang milik Ikhsan terbuka. Jo ingat dengan pasti jika brankas itu tidak pernah dibuka sangat lama.Jonathan mulai membuka sorot senternya. Berharap tidak ada sesuatu atau seseorang di dalam ruangan itu. Tidak lama senter itu menyorot sebuah kaca jendela yang telah pecah. Ada seseorang yang masuk dan sepertinya mencari sesuatu di sini. Atau mungkin seseorang itu sudah berhasil mengambil sesuatu dan kabur melalui jendela menuju ruang lainnya. Ruangan yang mengarah ke ke
Hari ini adalah hari di mana Ikhsan akan dimakamkan. Hari yang berat buat Jonathan juga keluarga besarnya. Anak yang menjadi kebanggaan keluarga itu telah pergi selamanya.Jerit tangis itu saling bersahutan. Tante dan paman Ikhsan yang telah menjadi pengganti orangtuanya begitu histeris. Begitu terpukul. Tiada henti rintihan itu terdengar membuat pilu siapapun yang mendengarnya. Bukan hanya mereka, tetangga, teman yang mengenal Ikhsan begitu terpukul dan tak percaya Ikhsan menjadi korban pembunuhan. Bahkan mayatnya pun dibuang begitu saja di sebuah gedung kosong, tua dan penuh kotoran."Anakku, kenapa kamu pergi seperti ini, Ikhsan. Siapa yang sudah tega membunuhmu, Nak ...." rintih Tante Rani yang biasa dipanggil Ikhsan dan Jo dengan sebutan Mamak.Jerit tangis itu masih terdengar keras. Peti mati anak kesayangannya itu terus dipegangnya. Bahkan ia mengingat setiap detik kebersamaanmya dulu sebelum Ikhsan bertugas di Jakarta."Ikhsan, mamak nggak ikhlas. Siapa yang sudah membunuhmu.
POV INDHIRAGarden Residence at Emeralda GolfPukul 01.30Malam itu Indhira pulang ke rumahnya di Garden Residence at Emeralda Golf. Rumah mewah yang terletak di Jalan Emeralda Cimanggis Depok. Rumah mewah pribadinya yang diberikan kedua orangtua Indhira saat menikah dengan Mahesa. Dengan wajah panik dan ketakutan, Indi -panggilan Indhira memasuki rumahnya dengan tergesa-gesa.Sesampainya di kamarnya, Indi langsung mengunci kamarnya. Berbaring dan mengatur nafasnya yang tersengal. Dalam benaknya ia mulai merasakan kecemasan yang hebat. Bayangan jeruji penjara mulai menghantuinya."Tuhan, apa yang sudah kulakukan?" gumam Indi. Tangannya telah berlumuran darah. Begitupun dengan pakaian yang dikenakannya telah banyak meninggalkan jejak darah Ikhsan. Bahkan senjata yang digunakannya untuk menghabisi nyawa ajudan kesayangan suaminya itu masih berbekas jejak-jejak darah sang brigadir."Apa yang harus kulakukan sekarang? Bagaimana kalau Mas Mahesa tahu aku sudah membunuh Ikhsan? Apa yang ha
Wiranata kembali mencari jalan keluar untuk mengejar Baskara yang sudah membawa Balqis. Ibu kandungnya. Melalui Himawan, rahasia itu akhirnya dibuka kembali. Himawan yang juga kawan lama Pak Harry dan Namira yang dikenal Wira sebagai orangtua kandungnya.Di sebuah cafe malam itu Himawan akhirnya memutuskan memberitahu soal rahasia ini. Agar Wiranata tidak lagi salah melangkah ke depannya. Sudah waktunya bagi Himawan membuka misteri ini."Wira, orangtua kandungmu sebenarnya masih hidup. Dia ada di sekitarmu. Selalu memperhatikan perkembangan kamu sejak dulu," tutur Himawan membuka percakapan."Apa maksud anda?" tanya Wira yang syok. Ia pun tidak percaya begitu saja apa yang dikatakan Himawan."Ya, namanya Balqis Soraya. Dia adalah sahabat baik Namira dan Harry. Sahabatku juga. Ceritanya panjang, sampai akhirnya dia menitipkan kamu dengan Harry dan Namira. Yang jelas, itu dilakukannya demi menyelenggarakan nyawamu!" tegas Him."Menyelamatkan nyawa saya?" tanya Wira. Kali ini ia lebih be
Baskara pun terdesak. Kini ia dikelilingi para polisi yang pistolnya telah tertuju padanya. Dalam hitungan detik, mungkin peluru-peluru itu telah tembus ke dadanya."Lepaskan dia!" teriak Wiranata."Diam! Jangan ada yang bergerak. Jika ingin wanita ini selamat, biarkan aku pergi. Aku tidak mau dipenjara. Jika kalian nekat, perempuan tua ini akan mati!" hardik Baskara. Pria itu menodongkan pistolnya tepat di kepalanya.Wiranata pun tidak mau mengambil resiko. Ia pun meminta anak buahnya itu menjatuhkan senjatanya. Wira pun memberi jalan pada Baskara untuk meninggalkan tempat itu. "Komandan, kenapa kita lepaskan dia? Padahal kita sudah kerja keras untuk mencari keberadaannya?" ujar Leon. Anak buah Wira yang juga ikut menangani kasus pembunuhan Ikhsan."Jika wanita itu ibumu, apa kau akan tetap bersikap seperti ini Leon? Apa kau tidak ingin menyelamatkan nyawa ibumu?" tutur Wira lirih.Leon tertundukBaskoro yang selama ini tertawan akhirnya berhasil dievakuasi. Tubuhnya yang sudah rent
Balqis berjalan perlahan meninggalkan pemakaman itu. Hatinya sudah tidak sanggup lagi berdekatan dengan Wiranata. Anak yang sudah sangat dirindukannya itu.Memasuki mobilnya, Balqis pun langsung meminta supirnya itu segera meninggalkan area pemakaman dan. pulang ke rumah megah itu. Rumah yang sudah belasan tahun ia tinggalkan.Akhirnya, rumah ini ia jejaki kembali. Ada rasa cemas,takut. Trauma itu malah melekat erat di ingatannya. Entah apa yang terjadi, ia berharap bayangan itu tidak lagi muncul di benaknya."Rumah ini masih seperti yang dulu. Apa aku harus tinggal di sini lagi?" ucap Balqis. Rasanya masih berat ia langkahkan kakinya memasuki pintu utama."Selamat datang kembali, Nyonya. Senang bisa melihat anda kembali." Sashihara, asisten kepercayaan Baskoro itu akhirnya muncul. Menyambut kedatangannya."Terimakasih, Sashi. Apa kabarmu?" tanya balik Balqis."Seperti yang nyonya lihat. Saya masih sehat dan baik-baik saja. Oh ya, saya sudah siapkan hidangan makan malam yang lezat bua
POV BALQIS Malam itu perempuan berusia 27 tahun itu berlari ditengah hujan yang deras. Petir saling bersahutan. Tubuhnya telah basah, ia pun mulai menggigil kedinginan. Namun, satu tujuannya. Ia harus menyelamatkan anak yang baru dilahirkannya."Ya Allah, tolong hamba. Selamatkan hamba dan anak hamba dari perbuatan jahat mereka ...." ucap Balqis lirih.Balqis Soraya. Wanita yang telah dipersunting sepupunya sendiri itu baru saja melahirkan dalam hitungan jam. Namun, ia harus menguatkan dirinya demi menyelamatkan sang putra yang akan dibunuh oleh suaminya sendiri."Anakku laki-laki lagi? Gila! Aku butuh anak perempuan!" hardik Baskoro, suami Balqis yang dikenal sebagai mafia yang sangat ditakuti."Sudah 3 anak dan semuanya laki-laki. Aku ingin anak perempuan, Balqis! Ah, kau ini hanya bawa sial dalam hidupku. Lebih baik kuhabisi saja nyawa kalian!!!" hardiknya.Balqis yang baru melahirkan, bahkan tenaganya yang sudah terkuras banyak pun belum pulih. Tidak ada makanan yang masuk, tapi
"Ingat baik-baik ya, Nak. Balaskan dendam kematian orangtuamu dan adikmu. Nyawa harus dibayar dengan nyawa ...."Pesan itu masih terngiang jelas dibenak Wiranata. Nyonya Miranti sebelum kematiannya menitipkan sebuah pesan. Pesan mendalam itu ditinggalkannya karena hatinya yang belum ikhlas atas kematian anak mantu dan cucunya."Tapi apa yang harus kulakukan, Nek?" tanya Wiranata. Saat itu usianya baru menginjak 20 tahunan. Wira pun bingung harus berbuat apa. Tidak ada sanak keluarga yang akan membantunya. Hanya nenek lah satu-satunya keluarganya yang tersisa dan sedang dalam kondisi kritis.Namun, itu beberapa tahun silam. Berkat kegigihannya, kerja kerasnya. Ia berhasil masuk ke instansi tempat si pembunuh itu bekerja. Ya, pembunuh itu adalah seorang penegak hukum, sama seperti kedua orangtuanya.Beberapa tahun lalu, pihak kepolisian berhasil mengungkap penyebab kematian kedua orangtuanya. Awalnya diduga kecelakaan, tapi nyatanya bukan kecelakaan murni. Ada sabotase di sana. Hingga
Perjalanan ini mulai mendekati titik akhir. Setelah menjalani proses persidangan yang panjang. Berbelit-belit dan penuh intrik drama, akhirnya hari ini jadi titik akhir perjalanan panjang itu. Hari ini sidang keputusan final atas kasus kematian Ikhsan. Para terdakwa akan diputus hari ini. Apakah bisa terbebas ataukah harus menjalani hukuman sesuai perbuatan mereka."Gimana, Jos, sudah siap?" tanya Martin, pengacaranya saat bertemu di ruang tunggu. "Saya pasrah om. Semoga hasilnya tidak memberatkan saya," jawab Joshua.Satu persatu memasuki ruang sidang. Giliran pertama adalah pembacaan keputusan untuk Mahesa. Si tokoh utama yang juga menjerat banyak anggota instansinya karena ikut terlibat menutupi kasus yang tengah berjalan." .... menjatuhi saudara Danantya Mahesa dengan hukuman MATI ...."Suara riuh yang ada di ruang persidangan pun membuat ricuh. Hingga palu hakim harus terdengar agar suasana tetap aman terkendali.Bukan hanya keluarga korban yang saat itu ikut hadir yang sangat
Satu persatu aib kejahatannya di masalalu mulai terbongkar. Mahesa pun kesulitan untuk membantahnya. Bahkan Himawan sudah mempunyai semua bukti yang bahkan tidak diduganya sama sekali."Saudara Mahesa, apa keterangan saksi ada yang salah? Salah semua atau benar semua?" tanya hakim Iman. Hakim ketua itu beberapa kali mulai menekan Mahesa dengan pertanyaan yang sulit dijawabnya."Ada yang salah yang mulia," jawab Mahesa. Him pun tertawa kecil mendengar jawaban Mahesa itu."Saya tidak pernah menerima suap seperti yang dikatakan saksi. Semuanya tidak benar dan saya juga tidak tahu darimana saksi mendapatkan semua bukti itu!" ucap Mahesa lantang."Anda yakin dengan jawaban anda saudara Mahesa?" tanya hakim Morgan."Yakin yang mulia."Para hakim itupun kembali saling pandang. Sungguh tidak masuk diakal mereka, bukti yang semua sudah jelas di depan mata masih sanggup dibantahnya."Baiklah. Nanti biar kami yang akan menilai. Apakah saudara Mahesa yang berbohong atau saksi. Ada yang mau bertan
Wajah Mahesa tiba-tiba memerah padam. Entah darimana tim Joshua mengetahui keberadaannya. Apa mungkin, ini kerja Wiranata???Indhira menatap ke arah Himawan. Ia panik, takut, cemas, jika semua aib-aibnya akan terbongkar. Apalagi jika Mahesa tahu kalau ia pernah bekerjasama dengan Himawan untuk menghancurkannya.Wajah Kivan dan Farraz pun sama-sama menatap wajah Himawan. Pria mantan rival sekaligus mantan sahabat Mahesa itu dikenal sangat tegas dan lantang untuk membela kebenaran dan membasmi semua hal tentang kejahatan. "Bisa habis aku sama Pak Him?" batin Farraz.Para saksi pun dipersiapkan. Dihadirkan di muka persidangan. Namun, ada sedikit yang berbeda. Himawan ingin tampil lebih dulu dan berbicara dengan Mahesa di muka persidangan."Baiklah, silakan, kami beri waktu anda 10 menit," ucap hakim Morgan."Terimakasih yang mulia."Himawan pun mengambil mic-nya. Belum saja Himawan berbicara, sejak tadi Mahesa terlihat beberapa kali duduk tidak tenang."Halo, Tuan Mahesa. Lama kita tida
Suara keributan kembali terjadi. Joshua dan Farraz tetap dengan jawabannya masing-masing. Joshua bahkan berani mengucapkan sesuatu yang tidak pernah dia ungkapkan sebelumnya."Pak hakim, saya jadi curiga. Jangan-jangan Farraz juga ikut terlihat dalam kematian Bang Ikhsan. Karena saya pernah melihat mereka bertengkar. Dia bahkan mengancam akan bilang sama bapak!" ungkap Joshua.Semua mata terbelalak. Begitupun tim pengacaranya. Hakim, jaksa hingga Farraz yang langsung emosi dan menantang Joshua bertengkar kali itu. Ia meradang karena jawaban Joshua dapat memberatkan hukumannya."Joshua, jangan kurang ajar kamu!!!" hardiknya. Farraz bahkan sempat menarik tangan Joshua, hingga akhirnya beberapa anggota kepolisian memisahkan mereka."Kalian tenang! Saudara Farraz, kamu bersikap tenang jika tidak maka bisa memberatkan hukumanmu!" tegas YM hakim Iman."Baik, yang mulia."Sidang kembali dilanjutkan. Banyak pertanyaan yang akhirnya membuat Farraz tersudutkan. Ia mulai merasa tegang, wajahnya