Balqis berjalan perlahan meninggalkan pemakaman itu. Hatinya sudah tidak sanggup lagi berdekatan dengan Wiranata. Anak yang sudah sangat dirindukannya itu.Memasuki mobilnya, Balqis pun langsung meminta supirnya itu segera meninggalkan area pemakaman dan. pulang ke rumah megah itu. Rumah yang sudah belasan tahun ia tinggalkan.Akhirnya, rumah ini ia jejaki kembali. Ada rasa cemas,takut. Trauma itu malah melekat erat di ingatannya. Entah apa yang terjadi, ia berharap bayangan itu tidak lagi muncul di benaknya."Rumah ini masih seperti yang dulu. Apa aku harus tinggal di sini lagi?" ucap Balqis. Rasanya masih berat ia langkahkan kakinya memasuki pintu utama."Selamat datang kembali, Nyonya. Senang bisa melihat anda kembali." Sashihara, asisten kepercayaan Baskoro itu akhirnya muncul. Menyambut kedatangannya."Terimakasih, Sashi. Apa kabarmu?" tanya balik Balqis."Seperti yang nyonya lihat. Saya masih sehat dan baik-baik saja. Oh ya, saya sudah siapkan hidangan makan malam yang lezat bua
Baskara pun terdesak. Kini ia dikelilingi para polisi yang pistolnya telah tertuju padanya. Dalam hitungan detik, mungkin peluru-peluru itu telah tembus ke dadanya."Lepaskan dia!" teriak Wiranata."Diam! Jangan ada yang bergerak. Jika ingin wanita ini selamat, biarkan aku pergi. Aku tidak mau dipenjara. Jika kalian nekat, perempuan tua ini akan mati!" hardik Baskara. Pria itu menodongkan pistolnya tepat di kepalanya.Wiranata pun tidak mau mengambil resiko. Ia pun meminta anak buahnya itu menjatuhkan senjatanya. Wira pun memberi jalan pada Baskara untuk meninggalkan tempat itu. "Komandan, kenapa kita lepaskan dia? Padahal kita sudah kerja keras untuk mencari keberadaannya?" ujar Leon. Anak buah Wira yang juga ikut menangani kasus pembunuhan Ikhsan."Jika wanita itu ibumu, apa kau akan tetap bersikap seperti ini Leon? Apa kau tidak ingin menyelamatkan nyawa ibumu?" tutur Wira lirih.Leon tertundukBaskoro yang selama ini tertawan akhirnya berhasil dievakuasi. Tubuhnya yang sudah rent
Wiranata kembali mencari jalan keluar untuk mengejar Baskara yang sudah membawa Balqis. Ibu kandungnya. Melalui Himawan, rahasia itu akhirnya dibuka kembali. Himawan yang juga kawan lama Pak Harry dan Namira yang dikenal Wira sebagai orangtua kandungnya.Di sebuah cafe malam itu Himawan akhirnya memutuskan memberitahu soal rahasia ini. Agar Wiranata tidak lagi salah melangkah ke depannya. Sudah waktunya bagi Himawan membuka misteri ini."Wira, orangtua kandungmu sebenarnya masih hidup. Dia ada di sekitarmu. Selalu memperhatikan perkembangan kamu sejak dulu," tutur Himawan membuka percakapan."Apa maksud anda?" tanya Wira yang syok. Ia pun tidak percaya begitu saja apa yang dikatakan Himawan."Ya, namanya Balqis Soraya. Dia adalah sahabat baik Namira dan Harry. Sahabatku juga. Ceritanya panjang, sampai akhirnya dia menitipkan kamu dengan Harry dan Namira. Yang jelas, itu dilakukannya demi menyelenggarakan nyawamu!" tegas Him."Menyelamatkan nyawa saya?" tanya Wira. Kali ini ia lebih be
BERONDONG KESAYANGAN DISCLAIMER : Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat dan kejadian hanyalah kebetulan belaka.** ADC adalah singkatan dari aide-de-camp. Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ADC atau aide-de-camp artinya perwira yang membantu perwira senior atau pejabat sipil, atau yang disebut sebagai ajudan.Ikhsan tengah menikmati malamnya bersama beberapa rekan ADC lainnya di sebuah club malam. Dengan segelas Vodka yang membuatnya melayang tinggi. Tentu saja sambil menghisap methamphetamine yang dibelinya dari Tante Nadine. Wanita teman kencannya selama beberapa hari terakhir.Netra liar Ikhsan mengelilingi suasana club malam itu yang dipenuhi laki-laki dan perempuan yang berbaur satu sama lainnya. Ikhsan bersama Bobby dan yang lainnya tengah menunggu beberapa wanita sosialita yang membutuhkannya malam ini. Seperti biasanya, wanita kesepian itu menyewa pria muda seperti Ikhsan untuk memuaskan hasratnya.Sesungguhnya Ikhsan mulai jenuh de
Malam itu langit terlihat mendung. Awan hitam bergelayut dan diiringi kilatan petir sesekali. Tampaknya hujan akan segera datang.Indhira pun meminta Ikhsan memarkirkan kendaraannya menepi ke sebuah taman. Taman Langsat. Taman yang terletak di daerah Mayestik, Jakarta Selatan. Taman yang biasanya dipenuhi manusia, malam ini terlihat sepi. Mungkin karena cuaca malam ini yang terasa dingin dan mulai datang gerimis. Warga lebih senang menikmati segala kopi hangat dan cemilan di rumah-rumah mereka. Namun, bagi Ikhsan tidak ada yang lebih penting selain melayani istri komandannya yang telah menjalin kasih cukup lama dengannya itu. Menjadi pemuas nafsu yang tidak terpuaskan karena Mahesa yang terlalu sibuk dengan pekerjaan dan para wanita-wanita malam yang selalu dikencaninya.Hujan yang telah turun lebat pun tidak dipusingkan olehnya. Karena bagi Ikhsan, kepuasan dan materi adalah di atas segalanya. Apalagi menolak ajakan Indhira? Tentu hal yang mustahil. Di usianya yang menginjak 50 tahu
Jonathan menatap langit yang malam itu semakin menghitam. Dan hujan pun telah turun dengan lebatnya. Tetapi, sudah sejak kemarin Ikhsan tidak ada kabarnya. Ponselnya pun tidak bisa dihubungi. Sedangkan beberapa rekannya yang coba dihubungi Jo juga tidak mengetahui keberadaan sang kakak.Sialnya Jo tidak tahu di mana keberadaan Ikhsan kini. Dia menghilang tanpa jejak. Kabarnya pun tidak diketahui siapapun. Ponselnya kini tidak lagi bisa dihubungi.Jonathan tahu tidak seharusnya ia begitu mengkhawatirkan keadaan Ikhsan. Saudara lelakinya itu type yang suka kebebasan. Dia tidak suka aturan yang membuatnya tersiksa sendiri. Tapi, entah kenapa malam ini ia begitu cemas memikirkan keadaan saudaranya itu. Kecemasan yang begitu besar dirasakan Jo. Maklum saja, sajak kedua orangtuanya meninggal, Jo hanya tinggal berdua dengan Ikhsan di Jakarta. Sedangkan kedua saudara perempuannya berada di Natuna dan bekerja di sana.Bagi Jo, hanya Ikhsan saudaranya yang paling dekat. Tidak ada yang lain. Ha
"Enggak! Itu tidak mungkin. Itu pasti bukan abangku. Kamu pasti salah mengidentifikasi kan? Dia bukan Bang Ikhsan kan?!" Jonathan mencoba menyanggah informasi yang baru didengarnya itu. Hal yang paling Jo takutkan adalah ketika dia harus kehilangan orang-orang yang dicintainya. Hingga tidak ada satupun lagi yang tersisa. Jonathan sudah begitu terpuruk dan hancur ketika kehilangan ayah dan ibunya. Jika kembali harus kehilangan kakak lelakinya, rasanya sudah tak sanggup. "Oke! Aku akan buktikan semua omong kosongmu ini. Aku yakin kamu salah dan aku akan buktikan dan pastikan sendiri jika kalian salah!" Jonathan pun untuk kedua kalinya menyangkal informasi yang didapatnya itu. Rasanya tidak mungkin Jo bisa terima begitu saja. Jo belum bisa menghadapi kenyataan yang ada jika ia harus kembali kehilangan. Apalagi harus kehilangan Ikhsan. Saudara yang begitu mencintai dan menyayanginya. Memberikan apapun semua yang dibutuhkannya selama ini. Terlebih Jo juga belum mendapatkan kata maaf
Jonathan untuk pertama kalinya merasakan udara yang menusuk ke tubuhnya. Perlahan ia mulai membuka matanya. Berusaha beradaptasi dengan cahaya ruangan bercat putih pucat itu.Jonathan pun mulai perlahan bangkit dengan rasa sakit di bagian tengkuknya. Perlahan ia mulai menelisik setiap sudut ruang dengan tatapan matanya yang sayu. Jo berpikir jika Wiranata membawanya ke rumah sakit dan berbarengan dengan jenazah Ikhsan yang pastinya sudah berada di ruang otopsi untuk melakukan semua hal yang berkaitan dengan forensik.Di mana Wiranata?Di samping tempat tidurnya telah tersedia secangkir teh hangat dan setungkup roti. Saat Jo hendak mengambil jatah sarapannya itu, ia mendengar langkah kaki menuju arah pintu. Jo berpikir jika itu adalah seorang dokter yang akan memeriksanya atau Wiranata yang akan menjenguknya."Wira? Kamukah itu?" seru Jonathan. Namun, Jonathan pun kaget saat seorang pria bertubuh besar dengan pakaian serba hitam dan menggunakan masker hitam itu masuk dengan mendoron