Sementara Rudi yang memilih untuk menemani istri dan dua putrinya. Terkejut saat tiba-tiba terdengar suara gaduh dari arah depan rumah. Pria itu bergegas keluar. Tapi sebelumnya dia meminta istrinya untuk tetap berada di kamar.
Betapa terkejutnya dia saat melihat beberapa warga berkumpul di halaman rumah orang tuannya. Tak hanya Rudi, Bu Minah yang sudah tergopoh-gopoh keluar dari rumah juga merasa terkejut.
“Hai Rudi! Bayi anehmu itu benar-benar pembawa sial!” terdengar suara nyaring seorang perempuan yang berasal dari arah belakang kerumunan warga.
“Iya betul itu!”
“Bayi pembawa sial!”
“Buang saja jauh-jauh dari sini!”
Suara-suara hujatan itu terus saja terdengar. Rudi dan Bu Minah yang masih syok dan belum mengerti dengan apa yang terjadi, masih saja terpaku. Mereka berusaha mencerna apa yang mereka katakan. Tiba-tiba, tatapan Bu Minah bersirobok dengan tatapan seorang wanita yang saat ini tengah tersenyum penuh kemenangan. ‘Wati’ batin Bu Minah.
“Hai Wati! Fitnah apa yang sudah kau sebarkan kepada warga, tentang menantu dan cucuku!” bentak Bu Minah yang seketika membuat Wati tercekat. Wanita yang tengah diliputi oleh rasa cemburu, iri dan dengki itu mendadak bungkam. Namun, bukan Wati namanya jika dia menyerah begitu saja.
“Bu Minah! Saya tidak pernah menyebarkan fitnah. Semua yang saya katakan benar adanya. Benar begitu kan? Bapak-Bapak ... Ibu-Ibu!” bantah Wati yang berusaha mencari dukungan warga.
“Ya! Itu benar. Wati tidak sedang menebar fitnah. Ini kenyataan Bu Minah. Saya punya buktinya!” seru seorang pria paruh baya dengan tubuh tambun.
“Tuh! Dengar sendiri Bu Minah. Pak Gondo, punya buktinya!” seru Wati sambil tersenyum penuh kemenangan. ‘Rasain kalian. Ini baru awal pembalasan dendamku’ batin Wati.
“Memangnya ... Bukti apa yang Pak Gondo punya?!” kali ini Rudi yang bertanya.
“Salah satu sapiku tiba-tiba saja mati! Padahal kemarin dia baik-baik saja!” seru Pak Gondo dengan raut wajah tak terima.
“Kalo sapi Pak Gondo mati, kenapa jadi cucu saya yang dianggap membawa sial!” seru Bu Minah dengan wajah merah padam menahan marah.
“Bu Minah pikir cuma sapi saya yang mati?! Warga lain yang memiliki ternak juga mengalami hal yang sama!” bentak Pak Gondo.
“Iya benar!”
“Benar!”
Suara warga bersahutan membenarkan apa yang disampaikan Pak Gondo.
“Assalamu’alaikum!” tiba-tiba terdengar suara Pak Karta yang baru saja datang dari kebunnya. Dia terkejut melihat di halaman rumahnya telah berkumpul beberapa warga yang sedang beerteriak-teriak
“Waalaikumsalam. Kebetulan Pak Karta datang ...”
“ ... Ada apa ini Bapak-Bapak ... Ibu-Ibu!” ujar Pak Karta memotong kalimat Pak Gondo.
“Ada apa ini Rud?! Bu?!” tanya Pak Karta sambil mengalihkan pandangan ke arah isteri dan anaknya.
“Mereka menuduh cucu kita pembawa sial, Pak. Hanya karena ada ternak mereka yang mati!” jelas Bu Minah dengan netra berkaca-kaca. Untuk sesaat Pak Karta hanya bisa diam. Dia sudah menduga akan hal ini. Hanya saja dia tak pernah menyangka akan secepat ini. Lelaki paruh baya itu menghela nafas panjang.
“Bapak-Bapak ... Ibu-Ibu, kita tidak tahu apa penyebab ternak Bapak-bapak dan Ibu-bu sekalian mati. Tapi saya tegaskan, itu semua tidak ada hubungannya dengan cucu kembar saya.
“Kembar dari mana, Pak?! Sudah jelas waktu mengandung, hanya ada satu bayi di rahim Maya!” celetuk Wati tiba-tiba.
“Bapak-Bapak ... Ibu-Ibu, saya ada di rumah sakit itu ketika Maya melahirkan. Tidak sengaja saya mendengar penjelasan dokter yang selama ini memeriksa Maya!” terang Wati. Perempuan itu menyeringai puas.
“Oh ya! Satu lagi, orang tua Maya itu dukun santet dan penganut ilmu hitam di Desa Dayoh. Apa Bapak-bapak dan Ibu-Ibu tahu ini artinya apa? Saya yakin seratus persen bayi Maya yang satu lagi ada hubungannya dengan ilmu hitam yang dianut oleh orang tua Maya. Entah dimana mereka sekarang. Mereka tiba-tiba menghilang dari Desa Dayoh,” cibir Wati membeberkan semua tentang orang tua Maya.
“Oh jadi orang tua Maya itu dukun ilmu hitam?!” celetuk salah satu warga yang merupakan kaki tangan Wati.
“Kalo begitu ... usir saja mereka dari desa ini!” seru Pak Gondo tak kalah sengit.
“Wati! Apa kamu punya bukti jika orang tua Maya, dukun santet!” bentak Pak Karta. Mendengar itu, nyali Wati mendadak menciut. Ya, dia tak punya bukti apapun. Selama ini dia hanya mengetahui dari suara bisikan seseorang yang belum pernah dia ketahui sosoknya.
“Cukup!”
“Sudah cukup! Ini ... bunuh bayi kami agar kalian semua puas! Agar tak ada lagi bayi aneh dan pembawa sial seperti yang kalian bilang!” tiba-tiba terdengar seruan Maya dari arah dalam seraya menggendong kedua putrinya. Dengan berurai airmata dan dipenuhi emosi, perempuan yang baru beberapa hari melahirkan itu, meletakkan kedua bayinya di tanah, tepat di hadapan warga yang sedang berkumpul. Sedangkan dia jatuh luruh ke tanah masih dengan tangisnya. Rudi dan Bu Minah segera menghampiri perempuan itu.
“Maya ... Sayang, bawa masuk anak kita,” pinta Rudi.
“Iya Nak, kasihan mereka,” Bu Minah ikut membujuk menantunya.
“Kalian semua lihat kedua bayi ini. Lihat!” seru Maya sambil menunjuk ke arah dua bayi mungilnya yang saat ini terbaring di tanah, alih-alih menuruti suami dan ibu mertuanya.
“Menurut kalian ... bagaimana caranya kedua bayi ini membuat ternak kalian mati?!” ucap Maya dengan menatap tajam ke arah warga.
“Apakah mereka berjalan atau berlari ke kandang ternak kalian?! Atau mereka terbang?! Lihat kedua bayi ini! Menurut kalian ... mereka sanggup melakukan itu?!”
“Jika menurut kalian, mereka mampu melakukan itu. Bunuh saja mereka berdua. Habisi mereka berdua. Jika sebaliknya, tolong ... saya mohon ... jangan lagi fitnah anak-anak kami. Terutama kau! Aku tidak pernah tahu apa kesalahanku padamu. Aku hanya diam saat kau memfitnahku, menuduhku yang tidak-tidak bahkan saat kamu bilang orang tuaku dukun santet, aku juga diam. Sekarang ... tega kamu memfitnah bayi yang umurnya bahkan belum genap satu bulan!” kali ini dengan suara bergetar penuh amarah Maya menunjuk tepat ke arah Wati. Membuat wanita itu mundur beberapa langkah. Melihat sorot mata Maya, wanita itu merasakan tubuhnya berdesir. Bahkan, dengan susah payah dia menelan salivanya.
“Maaf, sebaiknya Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu sekalian, pulang ke rumah masing-masing!” ucap Rudi meminta warga untuk bubar. Baru beberapa langkah warga kembali mendengar suara Maya yang menggelegar.
“Tunggu! Dengar kalian semua ... jika setelah ini aku masih mendengar kalian memfitnah anak-anakku, menyebutnya bayi aneh atau bayi pembawa sial. Aku bersumpah! Atas nama kedua bayiku, Dara dan Diandra, kalian akan benar-benar merasakan kemarahan seorang ibu!” bentak Maya.
Tiba-tiba langit mendung, angin bertiup kencang, petir menggelegar ketika mendengar sumpah dari Maya. Tak hanya warga yang tercekat dan dicekam rasa takut. Tapi Rudi dan kedua orang tuanya pun merasa terkejut.
“Maya ... istighfar, Nak! Istighfar!” ucap Bu Minah sambil memeluk menantunya. Diusapnya punggung menantunya dengan penuh kasih sayang.
“Rud ... bawa masuk kedua putrimu!” titah Pak Karta. Rudi hanya mengangguk. Digendongnya kedua bayi mungil itu. Meski merasa heran, setidaknya Rudi merasa bersyukur, kedua bayinya tetap terlelap di tengah keributan tadi. Sementara Pak Karta, pria itu lalu menghampiri istri dan menantunya.
“Maya, istighfar. Sholat taubat ya Nak. Cabut kembali sumpahmu itu. Jangan biarkan amarah menguasai hatimu,” ucap Pak Karta lembut.
“Maya sakit hati, Pak. Jujur, Maya sangat marah mendengar mereka memfitnah anak-anak yang Maya lahirkan. Maya sadar, kehadiran Diandra memang di luar nalar manusia. Tapi dia tetap bayi Maya, anak Maya Pak,” lirih Maya panjang lebar dengan berurai air mata.
“Bapak tahu, Nak. Bapak hanya minta jangan mau dikuasai amarah. Itu tidak baik, Nak. Bukan hanya untukmu tapi juga untuk kedua putrimu,” kembali Pak Karta menasehati menantunya. Setelah dibujuk akhirnya, Maya mau melakukan sholat taubat dan menarik kembali sumpahnya.
Namun, siapa yang tahu jika jauh dikedalaman palung hatinya, Maya masih menyimpan rasa sakit itu. Rasa sakit yang akan membuatnya berubah menjadi sosok yang lain.
Bersambung
POV WATI Perempuan itu bergegas meninggalkan halaman rumah orang tua Rudi. Amarah tergambar jelas di wajahnya. Bahkan dia mengabaikan orang-orang yang ditemuinya. “Hai Wati! Mau kemana ... buru-buru amat!” sapa seorang wanita paruh baya. Namun, perempuan yang ternyata Wati itu hanya diam dan terus saja berlalu. ‘Dasar aneh, ditanyain diam aja. Kesambet kali tuh orang!’ gerutu wanita paruh baya itu. Sementara itu, Wati terus melangkahkan kakinya hingga tiba di jalan raya. Dia menghentikan angkutan umum yang menuju ke Desa Dayoh. ‘Dendamku harus terbalas’ geram perempuan itu dalam hati. Kurang lebih satu jam perjalanan, akhirnya Wati tiba di Desa Dayoh. Desa tempat dia dan Mayasari berasal sebelum mereka pindah ke Desa Damai. Bergegas dia menuju ke rumah lamanya. Lima belas menit dari gapura
Waktu bergulir begitu cepatnya. Tanpa terasa satu bulan sudah Wati meninggalkan Desa Damai dan kembali ke Desa Dayoh demi untuk menyempurnakan niatnya membalas dendam kepada Mayasari. Meninggalkan Wati dengan segala ritualnya di Desa Dayoh. Ternyata hampir satu bulan ini Desa Damai mengalami petaka tiada henti. Tak hanya ternak yang mati mendadak tetapi hampir seluruh warga yang bertani dan berladang mengalami gagal panen. Sungai dan sumur tiba-tiba mengering. Bahkan, banyak anak kecil dan balita yang tiba-tiba jatuh sakit. Entah semua itu disebabkan karena apa. Hanya saja warga Desa Damai yang sempat terhasut oleh ucapan Wati tentang siapa orang tua Mayasari, mulai kasak-kusuk kembali. Tak segan mereka melontarkan tuduhan keji bahwa bencana yang terjadi di Desa Damai disebabkan oleh kehadiran bayi kembar Mayasari atau karena kutukan Mayasari yang sempat terlontar karena amarahnya. Dari kedua bayi Ma
“Kisah ini berawal, jauh sebelum kami menikah dan memiliki keturunan,” ucap Pak Karta memulai ceritanya. Namun, saat itu kami telah memiliki calon pasangan masing-masing. Kemana-mana kami selalu berempat hingga suatu hari Sarina, adik Widarta ingin ikut bergabung dengan kami. Tak ada alasan dari kami untuk menolak. Karena kami juga tak melakukan hal-hal yang aneh. Kami yang waktu itu masih muda sangat menyukai petualangan. Terkadang kami bahkan pergi ke tempat-tempat yang menurut warga adalah tempat yang angker dan terlarang untuk kami datangi. Suatu hari, di Desa Dayoh, datang seorang warga baru bernama Aki Sudra. Kami tidak tahu darimana dia berasal atau siapa dia sebenarnya. Waktu itu Aki Sudra berusia sekitar empat puluhan. Yang membuat kami heran adalah, dia memilih untuk menempati rumah kosong yang sudah tidak layak huni yang berada di ujung desa padahal masih banyak rumah yang laya
Gadis itu diam-diam tersenyum licik. Dari sorot matanya terpancar banyak rencana jahat. Sebuah rencana yang entah dia tujukan untuk siapa. Sorot mata itu tertuju hanya pada satu orang. “Hai Sudra!” apakah mereka ini pengikut baruku?!” tanya sosok itu dengan suara menggelegar. “Benar Tuan, junjungan hamba,” jawab Aki Sudra sambil membungkuk penuh hormat pada makhluk itu. Lalu terdengar suara tawa makhluk itu lagi. “Apakah mereka sudah menikah?!” tanya makhluk itu lagi. “Belum Tuanku,” jawab Aki Sudra. “Hmm ... di antara mereka siapa yang akan menikah lebih dulu?!” kembali makhluk itu bertanya. “Mereka Tuanku. Mereka akan menikah bulan depan,” jawab Aki Sudra sambil menunjuk ke arah Karta dan Minah.
Setelah menceritakan kisahnya kepada Ustadz Yusuf, Pak Karta lalu menyampaikan niatnya untuk pergi ke hutan terlarang dan bermaksud meminta bantuan Ustadz Yusuf. “Jadi, Bapak ingin kesana?” tanya Ustadz Yusuf. “Iya Ustadz. Saya berniat menemui Haruni dan Widarta dan berbicara dengan mereka. Entah kenapa saya merasa kelahiran Diandra ada kaitannya dengan mereka. Saya juga bermaksud meminta bantuan Ustadz untuk menyadarkan mereka,” terang Pak Karta. “Maaf, Pak Karta, untuk menemani Bapak ke hutan itu, mungkin saya masih bisa tapi jika untuk menyadarkan mereka, saya tidak yakin saya akan mampu,” jawab Ustadz Yusuf meragu. “Saya percaya, Ustadz pasti bisa,” ucap Pak Karta mencoba meyakinkan Ustadz Yusuf. “Kita coba saja, Pak. Kapan rencananya kita akan ke sana?&r
“Mayaaa!” terdengar suara teriakan Rudi. Ustadz Yusuf, Pak Karta, Bu Minah dan Laila bergegas menghampiri Rudi. Pak Karta dan yang lain yang tadi menghambur ke arah Rudi tersentak saat melihat tubuh anaknya luruh ke lantai. “Rudi! Ada apa? Apa yang terjadi?!” tanya Pak Karta cemas. “M-Maya ... Maya Pak ...” “ ... Maya kenapa Rud!” seru Bu Minah. Wanita paruh baya itu langsung melesak masuk ke dalam kamar anaknya. Wanita itu terpaku seketika saat melihat tak ada menantunya yang tadi terbaring di atas kasur. “Maya,” lirih wanita itu. Pak Karta semakin bingung kala melihat reaksi sang isteri. Laki-laki itu pun melesak masuk menyusul isterinya. Dia pun tersentak seketika. Sontak dia berbalik ke arah anaknya. “Rud! Maya kemana?!” tanya Pak Karta.
Waktu berlalu sangat cepat. Tak terasa hari berganti menjadi minggu, minggu ke bulan dan akhirnya masuk hitungan tahun. Usia Dara dan Diandra telah menginjak lima tahun. Selama kurun waktu lima tahun itu, tak ada perubahan yang berarti di Desa Damai. Bisa dibilang, sejak kelahiran si kembar, Desa Damai tak lagi damai. Ada saja peristiwa yang terjadi dari peristiwa yang umum terjadi hingga peristiwa yang terjadi di luar nalar manusia. Seperti halnya pagi ini, Maya kembali kebingungan mencari si kembar. Dia mengitari seluruh rumah dan menanyakan pada para tetangga. “Dara ... Diandra, kalian kemana, Nak?” gumam Maya dengan langkah gontai memasuki rumah. Rudi yang melihat istrinya murung langsung tahu apa penyebab istrinya seperti itu. “Si Kembar berulah lagi?” tanya Rudi. Rasanya dia juga lelah
“Sebenarnya apa yang terjadi, Pak ... Bu!” seru Rudi yang tiba-tiba saja masuk ke kamar mereka. “Rudi?!” seru Pak Karta dan Bu Minah hampir bersamaan. “Aku mohon Pak, tolong ceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Semua yang sudah terjadi benar-benar di luar nalarku. Di mulai dari lahirnya Diandra lalu menghilangnya dia saat malam aqiqahan. Kemudian kejadian-kejadian aneh lain hingga menghilangnya anak dan isteriku. Sekarang, muncul tanda misterirus pada bagian tubuh kedua putriku,” tutur Rudi panjang lebar dengan tatapan menuntut. Pak Karta dan Bu Minah, sama-sama menghela napas panjang dan saling berpandangan. Dengan isyarat, akhirnya mereka setuju untuk menceritakan semuanya pada Rudi. “Ya Allah! Seberat itukah masalah ini!” seru Rudi sambil mengusap wajahnya dengan gusar setelah Pak Karta dan
“Siapakah pemuda tampan itu?” Terdengar suara warga yang saling berbisik mempertanyakan tentang siapa pemuda itu. “Pak, maaf, siapa pemuda itu?” tanya Pak RT yang kebetulan berdiri di dekat Pak Sapto yang merupakan komandan dari tim polisi yang tengah sibuk memeriksa jasad gadis tak dikenal itu. “Oh, maaf, kami belum sempat memperkenalkan beliau kepada para warga di sini. Beliau Pak Ilham, seorang detektif yang dikirim dari kantor pusat untuk membantu memecahkan kasus ini,” tutur petugas polisi itu. Pak RT yang mendengar penuturan itu hanya manggut-manggut tetapi jelas terlihat bibirnya menyunggingkan senyum. Beberapa saat kemudian, jasad itu telah dikirim ke rumah sakit di kota untuk dilakukan autopsi. Sementara itu, Pak RT meminta para petugas polisi, dokter dan pemuda bern
Restia duduk dengan gelisah di sudut sebuah kafe. Sesekali ia melihat jam yang melingkar di tangannya. “Mana, sih, mereka. Hari semakin malam tapi bayangan mereka pun belum terlihat,” sungut gadis itu. Baru saja ia akan menghubungi orang yang ditunggunya melalui ponsel, mereka telah terlihat memasuki kafe itu. “Kalian darimana, sih? Aku sudah hampir dua jam menunggu kalian,” serbunya begitu Fery dan kedua temannya duduk di hadapannya. Ya, ternyata ketiga pemuda itulah yang sejak tadi ditunggunya. “Tck! Kamu lupa, kalau sudah jam pulang kerja, jalanan di kota ini berubah padat. Apalagi di perempatan depan sana pasti macet,” sahut Fery kesal. “Hah! Ya sudah, kalian pesan dulu saja,” tukas Restia. Seraya menunggu pesanan mereka, Restia yang sudah penasaran dengan apa yang ingin disampaikan se
Dua orang gadis tengah sibuk mengambil bahan makanan dari rak yang berderet di sebuah swalayan. Wajah mereka yang cantik dan terlihat mirip membuat mereka menjadi pusat perhatian. Tak hanya kaum adam tetapi juga kaum hawa. Bahkan beberapa gadis ada yang memberikan tatapan sinis karena merasa iri dengan kecantikan mereka yang nyaris sempurna. Kedua gadis itu, bukan tak menyadari telah menjadi pusat perhatian, mereka hanya berusaha bersikap biasa dan mengabaikan itu semua sesuai pesan dari ustadz Yusuf. Ya, kedua gadis itu adalah Dara dan Diandra. “Sudah semua, Kak?” tanya Diandra. Dara memperhatikan troly yang berisi belanjaan mereka. “Hanya camilan pesanan trio usil yang belum,” sahut Dara sambil terkekeh. “Ya sudah, kita ke bagian camilan dulu saja,” jawab Diandra. “Ayo,” sahut Dara.
Bakhtiar baru saja akan mengunci pintu pagar rumahnya setelah memarkirkan motornya ketika tiba-tiba dia dikejutkan suara teriakan minta tolong tak jauh dari rumahnya. ‘Suara minta tolong siapa itu?’ batin pemuda itu. Tolong! Kembali Bakhtiar mendengar suara teriakan itu. Tanpa menunggu lagi ia segera mencari arah asal suara. “Hei! Lepaskan dia!” seru pemuda itu seraya mendekat ke arah tiga orang pemuda yang tengah mengganggu seorang gadis. “Siapa kau? Pergilah dan jangan ikut campur urusan kami!” bentak salah seorang pemuda itu. “Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya orang yang tidak suka dengan laki-laki pengecut seperti kalian, yang beraninya hanya dengan seorang gadis,” sahut Bakhtiar tenang. Sementara gadis yang tadi diganggu tiga pemuda itu diam-diam menarik sudut
Dua hari telah berlalu, ustadz Yusuf yang teringat akan sesuatu kembali mengajak kedua gadis kembar itu untuk berbicara tentang hal yang ingin mereka tanyakan karena tertunda oleh ulah cucu-cucunya. Dara dan Diandra datang sambil membawa minuman dan kudapan untuk ustadz Yusuf, yang telah mereka anggap sebagai kakek mereka sendiri. Setelah meletakkan apa yang mereka bawa, kedua gadis kembar itu pun duduk di hadapan ustadz Yusuf. “Sekarang, katakan, apa yang ingin kalian tanyakan tempo hari?” ucap ustadz Yusuf membuka pembicaraan Dara dan Diandra saling melempar pandang. Hal itu membuat ustadz Yusuf mengulas senyum tipis. “Kenapa hanya saling pandang? Ayo, katakan saja,” ujar ustadz Yusuf. “Ekhem ... begini, Kek, beberapa hari yang lalu, tepatnya saat Kakek bercerita tentang tragedi
“Kalian, tinggallah sebentar di sini, saat ini aku ada perlu keluar. Tidak lama, hanya satu atau dua jam saja,” ujar Bakhtiar. Kedua gadis kembar itu saling tatap, seolah saling menanyakan pendapat. “Bagaimana? Bisa, kan, kalian tinggal di sini dulu. Hanya sampai aku kembali,” ujar pemuda itu. “Baiklah, Mas, tapi tolong kabari kakek jika kami ada di sini,” sahut Dara. “Tentu, aku akan mengabari beliau,” jawab Bakhtiar. Setelah mengabari ustadz Yusuf sesuai permintaan Dara, Bakhtiar pun bergegas pergi. Dia sengaja mengendarai motornya tetapi dia langsung bersembunyi di balik pohon tak jauh dari rumah itu. Tanpa disadari kedua gadis itu, bersamaan dengan dirinya keluar dari rumah, Bakhtiar telah membuka kembali sebagian ingatan mereka tetang kejadian sebelum mereka tiba di rumah ini. Dengan
Tubuh kedua gadis kembar itu tampak limbung dan jatuh ke tanah begitu mereka memasuki halaman rumah yang sepuluh tahun ini mereka tempati. Tampak asap tebal membubung tinggi pada salah satu tubuh gadis itu. Bakhtiar, yang mengawasi dari dalam rumah bergegas keluar saat melihat asap tebal itu semakin menipis dan menghilang. Kini, hanya ada satu tubuh gadis yang tergeletak di halaman rumah itu. Bakhtiar membopong tubuh gadis yang telah dinikahinya secara gaib beberapa hari lalu ke dalam rumah. Dibaringkannya tubuh itu ke atas ranjang. Setelah menyelimuti gadis itu, Bakhtiar keluar dari kamar menuju dapur. Pemuda itu tampak sedang menyeduh teh hangat. Ditiupkannya do’a pada minuman itu, lalu dibawanya ke kamar dimana isterinya terbaring. Dipandanginya wajah gadis itu. Terngiang ucapan sang kakek sehari sebelum dia mengikuti ustadz Yusuf. ‘Tiar, setelah ikrar pernikahan itu, jika terjadi sesuatu pada kedu
Beberapa hari kemudian, ustadz Yusuf memanggil Dara dan Diandra ke ruang pribadinya. Sesuai janjinya, hari ini ia akan menceritakan semuanya kepada kedua gadis kembar itu. Dilema yang dialaminya menghilang sudah setelah ia teringat ucapan kiai Ummar. Ia juga sudah menghubungi Bakhtiar dan meminta pemuda itu untuk bersiap jika sewaktu-waktu terjadi sesuatu. “Hari ini, kakek sudah siap menceritakan semuanya pada kalian. Apa, kalian yakin, ingin mendengar keseluruhan ceritanya?” tanya ustadz Yusuf pada kedua gadis kembar itu. “Iya, Kek,” jawab mereka serempak. Ustadz Yusuf tampak menghela napas panjang sebelum memulai ceritanya. “Sebelum kakek mulai bercerita, bisakah kalian ceritakan kembali mimpi yang kalian alami kepada kakek?” pancing ustadz Yusuf. “Iya, Kek. Waktu itu, Dara seperti dibawa ke r
Melihat Ustadz Yusuf yang masih terdiam, membuat rasa penasaran dalam diri kedua gadis kembar itu semakin besar. “Kek, ayolah, ceritakan lagi pada kami,” rengek Dara sambil bergelayut di bahu kiri ustadz Yusuf. “Iya, Kek, Andra juga penasaran lho,” kali ini, Diandra yang membujuk ustadz Yusuf. Pria tua itu, merasa semakin dilema tetapi dia harus melakukan sesuatu agar kedua gadis kembar itu tak lagi merengek padanya. “Baiklah, kakek akan cerita, tetapi tidak sekarang,” tukas ustadz Yusuf. “Yaa, Kakek, kok gitu!” seru mereka kompak. “Ada apa, ini? Ramai sekali,” ujar Halimah yang tiba-tiba hadir di sana. “Oh, itu Nek, kami sedang menonton berita kejahatan yang lagi ramai saat ini,” jawab ustadz Yusuf yang tak sepenu