“Mas ... Diandra sudah ditemukan,” lirih wanita itu. Membuat kedua pria itu terperanjat dan menatap penuh tanya pada Mayasari. Maya yang mengerti arti tatapan itu pun memulai ceritanya.
“Tadi, Pak Rahman datang ke rumah. Beliau mendapat kabar dari Bu Bidan jika saat ini, Diandra ada di Puskesmas. Kebetulan tadi Pak Rahman mengantar istrinya berobat ke sana,” terang Maya.
Rudi dan Pak Karta hanya manggut-manggut tanda mengerti.
“Ya sudah, biar Mas yang Puskesmas. Kamu jaga Dara di rumah,” ujar Rudi.
“Tapi Mas ...”
“ ... Nggak ada tapi-tapian, Maya. Turuti Mas ya. Kamu jaga Dara aja di rumah!” ucap Rudi tegas. Bukan tanpa alasan Rudi meminta hal itu dari Maya. Rudi hanya tidak ingin Maya mendapat cemoohan dari beberapa warga seperti yang dia dan bapaknya dapatkan terkait Diandra. Pria itu paham benar bagaimana perasaan istrinya yang sangat mudah berkecil hati.
Dengan sangat terpaksa, wanita muda itu pun menuruti keinginan suaminya. Dia tidak ingin disebut sebagai istri durhaka karena membantah perintah suaminya. Dia sadar, suaminya pasti mempunyai alasan sendiri dan itu pasti untuk kebaikan dirinya.
Setelah memastikan istrinya menuruti ucapannya, pria itu bergegas pergi ke Puskesmas. Sesampainya di sana, dia segera mencari bidan yang merawat Diandra.
“Selamat siang, Bu Bidan,” sapa Rudi dengan sopan.
“Selamat siang, Pak Rudi,” sahut bidan itu.
“Benarkah, putri saya sudah ditemukan Bu?” tanya Rudi untuk meyakinkan dirinya bahwa apa yang tadi didengarnya bukanlah kesalahan.
“Benar, Pak Rudi,” sahut bidan itu dengan mengulas senyum.
“Siapa yang menemukannya, Bu?” tanya Rudi penasaran.
“Entahlah Pak. Kami juga tak mengenalnya. Tadi pagi ada seorang wanita yang mengantarnya ke mari. Wanita itu bilang, dia menemukan Diandra tergeletak begitu saja di bawah pohon beringin besar yang ada di ujung jalan dekat dengan hutan itu,” terang Bu Bidan hati-hati.
Rudi merasakan hatinya mencelos. Sudah berkali-kali dia dibantu warga mencari hingga ke tempat itu, namun tak membuahkan hasil. Dan sekarang ada seorang wanita asing yang mengatakan Diandra ditemukan ditempat itu. ‘Ya Allah, ada apa ini sebenarnya’ tanya pria itu dalam hati.
“Bu, boleh saya bawa pulang Diandra?” tanya pria itu.
“Tentu saja boleh, Pak. Tunggu sebentar,” ujar Bu Bidan itu. Lalu beranjak meninggalkan Rudi sendiri di ruangannya. Tak lama kemudian, bidan itu kembali sambil menggendong Diandra yang tampak lelap tertidur. Setelah bidan itu menyerahkan Diandra padanya, dia pun segera berpamitan.
“Maafkan ayah, Nak. Maaf, ayah tak bisa menjagamu,” bisiknya pada bayi mungil itu. Tampak bayi itu menggeliat di gendongannya saat mendengarnya berbisik. Dengan menaiki ojek, dia membawa bayinya pulang.
Mayasari, tampak gelisah menunggu kedatangan suaminya yang sedang menjemput saudara kembar Dara. Dia duduk termenug di teras rumah hingga tak mengetahui jika Dara terbangun dari tidurnya dan sedang menangis. Sampai Bu Minah memanggilnya, barulah dia tersadar.
“Maya, itu Dara terbangun, sepertinya dia haus!” panggil Bu Minah.
“Eh ... Iya Bu. Maaf ...” ucap wanita muda itu. Bu Minah merasa iba dengan apa yang dialami menantunya itu. ‘Ibu akan menjagamu seperti putri ibu sendiri, Nak’ batin Bu Minah. Banyak yang ingin wanita itu bicarakan dengan suaminya. Hanya saja dia belum menemukan waktu yang tepat.
“Sudahlah. Susui bayimu, kasihan dia,” ujar Bu Minah penuh maklum. Maya segera beranjak ke kamar bayinya. Diraihnya bayi mungil itu dan segera disusuinya dengan penuh kasih sayang. Tiba-tiba wanita itu tersentak seperti menyadari sesuatu.
“Diandra! Ini ... ini kamu, Nak! Berarti ... yang kemarin hilang ... Dara kakakmu?” gumam wanita itu sambil meringis menahan sakit. Karena terlalu sedih memikirkan salah satu putrinya yang hilang, dia sampai tak menyadari bahwa dia telah salah mengira siapa putrinya yang hilang.
Rudi dan Bu Minah yang sudah berdiri di pintu kamar merasa terkejut saat mendengar gumaman Maya.
“Apa maksud kamu, Maya?!” tanya Rudi sambil menggendong bayi yang menurutnya adalah Diandra.
“Iya Nak, apa maksud ucapanmu itu?!” Bu Minah menimpali.
“Mas ... Bu, yang hilang selama dua hari ini Dara bukan Diandra. Saya ingat betul bagaimana bedanya saat saya menyusui Dara dan Diandra. Saat Diandra yang menyusu, saya selalu merasa sangat nyeri, sepertinya bukan air susu yang dihisapnya tapi darah saya,” terang Mayasari tak bisa lagi menutupi apa yang dia rasakan setiap kali menyusui Diandra. Bu Minah dan Rudi terkesiap mendengar kenyataan itu. Pria itu lalu memperhatikan wajah istrinya yang memang terlihat sedikit pucat. Demikian juga dengan Bu Minah.
“Tapi ... siapa yang menukar posisi tidur mereka?” gumam Maya penasaran.
“Menukar posisi tidur, bagaimana maksudmu Maya?” tanya Rudi.
“Mas. Mas tahu kan kenapa saya tidak memberikan mereka hal yang sama, meski mereka kembar?” alih-alih menjawab pertanyaan suaminya dia justeru balik bertanya.
“Agar kita mudah mengenali mereka,” sahut Rudi cepat. Ya, sejak awal pria itu tahu Maya selalu memberikan hal berbeda pada putri kembarnya. Meskipun Maya akan mudah mengenali mereka tapi dia tetap melakukan hal itu. Jika bukan pakaian keduanya, dia akan membedakan seprai dan selimut mereka.
“Iya Mas. Dan saya ingat betul, hari itu meski pakaian mereka sama karena acara aqiqahan, tetapi saya memberikan seprai dan selimut biru untuk Dara. Sedangkan untuk Diandra saya pasang seprai dan selimut kuning. Apa Mas masih ingat, apa warna seprai yang saya tunjuk saat bayi kita hilang?” tanya Maya setelah menjelaskan panjang lebar.
“Warna kuning,” jawab Rudi setelah mengingat-ingat kejadian malam itu.
“Ah iya! Ibu ingat. Waktu itu ibu langsung menggendong Dara. Dan seingat ibu seprai dan selimutnya berwarna biru!” seru Bu Minah. Entah kenapa, mendengar penjelasan menantunya yang terasa janggal, Bu Minah merasa tidak enak hati.
“Itu artinya, siapa pun yang sudah mengambil bayi kita terlebih dahulu menukar keduanya?” tanya Rudi sambil memberikan kesimpulan.
“Itu benar, Mas. Dan bodohnya saya, karena terlalu sedih dan hanya berpegang pada warna seprai dan selimut mereka hingga tak meyadari jika Dara lah yang saat itu hilang,” lirih wanita itu.
“Sudahlah, Sayang. Yang tertpenting saat ini kedua putri kita ada di sini,” ucap Rudi menenangkan istrinya.
“Diandra ... Sayang, gantian Kak Dara dulu ya,” ucap Maya lembut sambil menidurkan Diandra. Lalu wanita itu mengambil Dara dari gendongan suaminya dan menyusui bayi itu.
“Dara, putri bunda, maafkan bunda ya, Nak. Bunda salah mengenali kalian,” ucap Maya sendu sambil membelai wajah putri sulungnya.
Rudi dan Bu Minah merasa terenyuh melihat pemandangan itu. “Tapi Sayang ... jika yang selama ini di rumah adalah Diandra, kenapa dia bisa tenang saat mendengar suara adzan. Padahal, saat pertama kali aku melafalkan adzan, dia menangis begitu kencang seolah-olah dia sedang menjerit,” ujar Rudi saat tiba-tiba dia mengingat hal itu.
“Aku juga nggak tahu, Mas?” sahut Maya.
Mendengar ucapan anaknya, perasaan Bu Minah semakin tidak tenang. ‘Haruni, apa ini semua ulah kamu’ batin Bu Minah seraya menyebut nama sahabatnya yang tak lain adalah ibu dari Mayasari. Bu Minah memilih untuk keluar kamar dan mencari suaminya. Dia merasa harus segera membicarakan masalah ini dengan suaminya.
Sementara Rudi memilih untuk menemani istri dan dua putrinya. Baginya, saat ini mereka bertigalah harta paling berharga. Walaupun kehadiran Diandra tak pernah dia duga dan masih menyisakan tanya hingga saat ini. Pria itu memilih untuk tak memikirkan hal itu. Baginya sekarang menjaga mereka bertiga adalah yang terpenting. Tiba-tiba terdengar suara gaduh dari arah depan rumah. Pria itu bergegas keluar. Tapi sebelumnya dia meminta istrinya untuk tetap berada di kamar.
Bersambung
Sementara Rudi yang memilih untuk menemani istri dan dua putrinya. Terkejut saat tiba-tiba terdengar suara gaduh dari arah depan rumah. Pria itu bergegas keluar. Tapi sebelumnya dia meminta istrinya untuk tetap berada di kamar. Betapa terkejutnya dia saat melihat beberapa warga berkumpul di halaman rumah orang tuannya. Tak hanya Rudi, Bu Minah yang sudah tergopoh-gopoh keluar dari rumah juga merasa terkejut. “Hai Rudi! Bayi anehmu itu benar-benar pembawa sial!” terdengar suara nyaring seorang perempuan yang berasal dari arah belakang kerumunan warga. “Iya betul itu!” “Bayi pembawa sial!” “Buang saja jauh-jauh dari sini!” Suara-suara hujatan itu terus saja terdengar. Rudi dan Bu Minah yang masih syok dan belum mengerti dengan apa yang
POV WATI Perempuan itu bergegas meninggalkan halaman rumah orang tua Rudi. Amarah tergambar jelas di wajahnya. Bahkan dia mengabaikan orang-orang yang ditemuinya. “Hai Wati! Mau kemana ... buru-buru amat!” sapa seorang wanita paruh baya. Namun, perempuan yang ternyata Wati itu hanya diam dan terus saja berlalu. ‘Dasar aneh, ditanyain diam aja. Kesambet kali tuh orang!’ gerutu wanita paruh baya itu. Sementara itu, Wati terus melangkahkan kakinya hingga tiba di jalan raya. Dia menghentikan angkutan umum yang menuju ke Desa Dayoh. ‘Dendamku harus terbalas’ geram perempuan itu dalam hati. Kurang lebih satu jam perjalanan, akhirnya Wati tiba di Desa Dayoh. Desa tempat dia dan Mayasari berasal sebelum mereka pindah ke Desa Damai. Bergegas dia menuju ke rumah lamanya. Lima belas menit dari gapura
Waktu bergulir begitu cepatnya. Tanpa terasa satu bulan sudah Wati meninggalkan Desa Damai dan kembali ke Desa Dayoh demi untuk menyempurnakan niatnya membalas dendam kepada Mayasari. Meninggalkan Wati dengan segala ritualnya di Desa Dayoh. Ternyata hampir satu bulan ini Desa Damai mengalami petaka tiada henti. Tak hanya ternak yang mati mendadak tetapi hampir seluruh warga yang bertani dan berladang mengalami gagal panen. Sungai dan sumur tiba-tiba mengering. Bahkan, banyak anak kecil dan balita yang tiba-tiba jatuh sakit. Entah semua itu disebabkan karena apa. Hanya saja warga Desa Damai yang sempat terhasut oleh ucapan Wati tentang siapa orang tua Mayasari, mulai kasak-kusuk kembali. Tak segan mereka melontarkan tuduhan keji bahwa bencana yang terjadi di Desa Damai disebabkan oleh kehadiran bayi kembar Mayasari atau karena kutukan Mayasari yang sempat terlontar karena amarahnya. Dari kedua bayi Ma
“Kisah ini berawal, jauh sebelum kami menikah dan memiliki keturunan,” ucap Pak Karta memulai ceritanya. Namun, saat itu kami telah memiliki calon pasangan masing-masing. Kemana-mana kami selalu berempat hingga suatu hari Sarina, adik Widarta ingin ikut bergabung dengan kami. Tak ada alasan dari kami untuk menolak. Karena kami juga tak melakukan hal-hal yang aneh. Kami yang waktu itu masih muda sangat menyukai petualangan. Terkadang kami bahkan pergi ke tempat-tempat yang menurut warga adalah tempat yang angker dan terlarang untuk kami datangi. Suatu hari, di Desa Dayoh, datang seorang warga baru bernama Aki Sudra. Kami tidak tahu darimana dia berasal atau siapa dia sebenarnya. Waktu itu Aki Sudra berusia sekitar empat puluhan. Yang membuat kami heran adalah, dia memilih untuk menempati rumah kosong yang sudah tidak layak huni yang berada di ujung desa padahal masih banyak rumah yang laya
Gadis itu diam-diam tersenyum licik. Dari sorot matanya terpancar banyak rencana jahat. Sebuah rencana yang entah dia tujukan untuk siapa. Sorot mata itu tertuju hanya pada satu orang. “Hai Sudra!” apakah mereka ini pengikut baruku?!” tanya sosok itu dengan suara menggelegar. “Benar Tuan, junjungan hamba,” jawab Aki Sudra sambil membungkuk penuh hormat pada makhluk itu. Lalu terdengar suara tawa makhluk itu lagi. “Apakah mereka sudah menikah?!” tanya makhluk itu lagi. “Belum Tuanku,” jawab Aki Sudra. “Hmm ... di antara mereka siapa yang akan menikah lebih dulu?!” kembali makhluk itu bertanya. “Mereka Tuanku. Mereka akan menikah bulan depan,” jawab Aki Sudra sambil menunjuk ke arah Karta dan Minah.
Setelah menceritakan kisahnya kepada Ustadz Yusuf, Pak Karta lalu menyampaikan niatnya untuk pergi ke hutan terlarang dan bermaksud meminta bantuan Ustadz Yusuf. “Jadi, Bapak ingin kesana?” tanya Ustadz Yusuf. “Iya Ustadz. Saya berniat menemui Haruni dan Widarta dan berbicara dengan mereka. Entah kenapa saya merasa kelahiran Diandra ada kaitannya dengan mereka. Saya juga bermaksud meminta bantuan Ustadz untuk menyadarkan mereka,” terang Pak Karta. “Maaf, Pak Karta, untuk menemani Bapak ke hutan itu, mungkin saya masih bisa tapi jika untuk menyadarkan mereka, saya tidak yakin saya akan mampu,” jawab Ustadz Yusuf meragu. “Saya percaya, Ustadz pasti bisa,” ucap Pak Karta mencoba meyakinkan Ustadz Yusuf. “Kita coba saja, Pak. Kapan rencananya kita akan ke sana?&r
“Mayaaa!” terdengar suara teriakan Rudi. Ustadz Yusuf, Pak Karta, Bu Minah dan Laila bergegas menghampiri Rudi. Pak Karta dan yang lain yang tadi menghambur ke arah Rudi tersentak saat melihat tubuh anaknya luruh ke lantai. “Rudi! Ada apa? Apa yang terjadi?!” tanya Pak Karta cemas. “M-Maya ... Maya Pak ...” “ ... Maya kenapa Rud!” seru Bu Minah. Wanita paruh baya itu langsung melesak masuk ke dalam kamar anaknya. Wanita itu terpaku seketika saat melihat tak ada menantunya yang tadi terbaring di atas kasur. “Maya,” lirih wanita itu. Pak Karta semakin bingung kala melihat reaksi sang isteri. Laki-laki itu pun melesak masuk menyusul isterinya. Dia pun tersentak seketika. Sontak dia berbalik ke arah anaknya. “Rud! Maya kemana?!” tanya Pak Karta.
Waktu berlalu sangat cepat. Tak terasa hari berganti menjadi minggu, minggu ke bulan dan akhirnya masuk hitungan tahun. Usia Dara dan Diandra telah menginjak lima tahun. Selama kurun waktu lima tahun itu, tak ada perubahan yang berarti di Desa Damai. Bisa dibilang, sejak kelahiran si kembar, Desa Damai tak lagi damai. Ada saja peristiwa yang terjadi dari peristiwa yang umum terjadi hingga peristiwa yang terjadi di luar nalar manusia. Seperti halnya pagi ini, Maya kembali kebingungan mencari si kembar. Dia mengitari seluruh rumah dan menanyakan pada para tetangga. “Dara ... Diandra, kalian kemana, Nak?” gumam Maya dengan langkah gontai memasuki rumah. Rudi yang melihat istrinya murung langsung tahu apa penyebab istrinya seperti itu. “Si Kembar berulah lagi?” tanya Rudi. Rasanya dia juga lelah
“Siapakah pemuda tampan itu?” Terdengar suara warga yang saling berbisik mempertanyakan tentang siapa pemuda itu. “Pak, maaf, siapa pemuda itu?” tanya Pak RT yang kebetulan berdiri di dekat Pak Sapto yang merupakan komandan dari tim polisi yang tengah sibuk memeriksa jasad gadis tak dikenal itu. “Oh, maaf, kami belum sempat memperkenalkan beliau kepada para warga di sini. Beliau Pak Ilham, seorang detektif yang dikirim dari kantor pusat untuk membantu memecahkan kasus ini,” tutur petugas polisi itu. Pak RT yang mendengar penuturan itu hanya manggut-manggut tetapi jelas terlihat bibirnya menyunggingkan senyum. Beberapa saat kemudian, jasad itu telah dikirim ke rumah sakit di kota untuk dilakukan autopsi. Sementara itu, Pak RT meminta para petugas polisi, dokter dan pemuda bern
Restia duduk dengan gelisah di sudut sebuah kafe. Sesekali ia melihat jam yang melingkar di tangannya. “Mana, sih, mereka. Hari semakin malam tapi bayangan mereka pun belum terlihat,” sungut gadis itu. Baru saja ia akan menghubungi orang yang ditunggunya melalui ponsel, mereka telah terlihat memasuki kafe itu. “Kalian darimana, sih? Aku sudah hampir dua jam menunggu kalian,” serbunya begitu Fery dan kedua temannya duduk di hadapannya. Ya, ternyata ketiga pemuda itulah yang sejak tadi ditunggunya. “Tck! Kamu lupa, kalau sudah jam pulang kerja, jalanan di kota ini berubah padat. Apalagi di perempatan depan sana pasti macet,” sahut Fery kesal. “Hah! Ya sudah, kalian pesan dulu saja,” tukas Restia. Seraya menunggu pesanan mereka, Restia yang sudah penasaran dengan apa yang ingin disampaikan se
Dua orang gadis tengah sibuk mengambil bahan makanan dari rak yang berderet di sebuah swalayan. Wajah mereka yang cantik dan terlihat mirip membuat mereka menjadi pusat perhatian. Tak hanya kaum adam tetapi juga kaum hawa. Bahkan beberapa gadis ada yang memberikan tatapan sinis karena merasa iri dengan kecantikan mereka yang nyaris sempurna. Kedua gadis itu, bukan tak menyadari telah menjadi pusat perhatian, mereka hanya berusaha bersikap biasa dan mengabaikan itu semua sesuai pesan dari ustadz Yusuf. Ya, kedua gadis itu adalah Dara dan Diandra. “Sudah semua, Kak?” tanya Diandra. Dara memperhatikan troly yang berisi belanjaan mereka. “Hanya camilan pesanan trio usil yang belum,” sahut Dara sambil terkekeh. “Ya sudah, kita ke bagian camilan dulu saja,” jawab Diandra. “Ayo,” sahut Dara.
Bakhtiar baru saja akan mengunci pintu pagar rumahnya setelah memarkirkan motornya ketika tiba-tiba dia dikejutkan suara teriakan minta tolong tak jauh dari rumahnya. ‘Suara minta tolong siapa itu?’ batin pemuda itu. Tolong! Kembali Bakhtiar mendengar suara teriakan itu. Tanpa menunggu lagi ia segera mencari arah asal suara. “Hei! Lepaskan dia!” seru pemuda itu seraya mendekat ke arah tiga orang pemuda yang tengah mengganggu seorang gadis. “Siapa kau? Pergilah dan jangan ikut campur urusan kami!” bentak salah seorang pemuda itu. “Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya orang yang tidak suka dengan laki-laki pengecut seperti kalian, yang beraninya hanya dengan seorang gadis,” sahut Bakhtiar tenang. Sementara gadis yang tadi diganggu tiga pemuda itu diam-diam menarik sudut
Dua hari telah berlalu, ustadz Yusuf yang teringat akan sesuatu kembali mengajak kedua gadis kembar itu untuk berbicara tentang hal yang ingin mereka tanyakan karena tertunda oleh ulah cucu-cucunya. Dara dan Diandra datang sambil membawa minuman dan kudapan untuk ustadz Yusuf, yang telah mereka anggap sebagai kakek mereka sendiri. Setelah meletakkan apa yang mereka bawa, kedua gadis kembar itu pun duduk di hadapan ustadz Yusuf. “Sekarang, katakan, apa yang ingin kalian tanyakan tempo hari?” ucap ustadz Yusuf membuka pembicaraan Dara dan Diandra saling melempar pandang. Hal itu membuat ustadz Yusuf mengulas senyum tipis. “Kenapa hanya saling pandang? Ayo, katakan saja,” ujar ustadz Yusuf. “Ekhem ... begini, Kek, beberapa hari yang lalu, tepatnya saat Kakek bercerita tentang tragedi
“Kalian, tinggallah sebentar di sini, saat ini aku ada perlu keluar. Tidak lama, hanya satu atau dua jam saja,” ujar Bakhtiar. Kedua gadis kembar itu saling tatap, seolah saling menanyakan pendapat. “Bagaimana? Bisa, kan, kalian tinggal di sini dulu. Hanya sampai aku kembali,” ujar pemuda itu. “Baiklah, Mas, tapi tolong kabari kakek jika kami ada di sini,” sahut Dara. “Tentu, aku akan mengabari beliau,” jawab Bakhtiar. Setelah mengabari ustadz Yusuf sesuai permintaan Dara, Bakhtiar pun bergegas pergi. Dia sengaja mengendarai motornya tetapi dia langsung bersembunyi di balik pohon tak jauh dari rumah itu. Tanpa disadari kedua gadis itu, bersamaan dengan dirinya keluar dari rumah, Bakhtiar telah membuka kembali sebagian ingatan mereka tetang kejadian sebelum mereka tiba di rumah ini. Dengan
Tubuh kedua gadis kembar itu tampak limbung dan jatuh ke tanah begitu mereka memasuki halaman rumah yang sepuluh tahun ini mereka tempati. Tampak asap tebal membubung tinggi pada salah satu tubuh gadis itu. Bakhtiar, yang mengawasi dari dalam rumah bergegas keluar saat melihat asap tebal itu semakin menipis dan menghilang. Kini, hanya ada satu tubuh gadis yang tergeletak di halaman rumah itu. Bakhtiar membopong tubuh gadis yang telah dinikahinya secara gaib beberapa hari lalu ke dalam rumah. Dibaringkannya tubuh itu ke atas ranjang. Setelah menyelimuti gadis itu, Bakhtiar keluar dari kamar menuju dapur. Pemuda itu tampak sedang menyeduh teh hangat. Ditiupkannya do’a pada minuman itu, lalu dibawanya ke kamar dimana isterinya terbaring. Dipandanginya wajah gadis itu. Terngiang ucapan sang kakek sehari sebelum dia mengikuti ustadz Yusuf. ‘Tiar, setelah ikrar pernikahan itu, jika terjadi sesuatu pada kedu
Beberapa hari kemudian, ustadz Yusuf memanggil Dara dan Diandra ke ruang pribadinya. Sesuai janjinya, hari ini ia akan menceritakan semuanya kepada kedua gadis kembar itu. Dilema yang dialaminya menghilang sudah setelah ia teringat ucapan kiai Ummar. Ia juga sudah menghubungi Bakhtiar dan meminta pemuda itu untuk bersiap jika sewaktu-waktu terjadi sesuatu. “Hari ini, kakek sudah siap menceritakan semuanya pada kalian. Apa, kalian yakin, ingin mendengar keseluruhan ceritanya?” tanya ustadz Yusuf pada kedua gadis kembar itu. “Iya, Kek,” jawab mereka serempak. Ustadz Yusuf tampak menghela napas panjang sebelum memulai ceritanya. “Sebelum kakek mulai bercerita, bisakah kalian ceritakan kembali mimpi yang kalian alami kepada kakek?” pancing ustadz Yusuf. “Iya, Kek. Waktu itu, Dara seperti dibawa ke r
Melihat Ustadz Yusuf yang masih terdiam, membuat rasa penasaran dalam diri kedua gadis kembar itu semakin besar. “Kek, ayolah, ceritakan lagi pada kami,” rengek Dara sambil bergelayut di bahu kiri ustadz Yusuf. “Iya, Kek, Andra juga penasaran lho,” kali ini, Diandra yang membujuk ustadz Yusuf. Pria tua itu, merasa semakin dilema tetapi dia harus melakukan sesuatu agar kedua gadis kembar itu tak lagi merengek padanya. “Baiklah, kakek akan cerita, tetapi tidak sekarang,” tukas ustadz Yusuf. “Yaa, Kakek, kok gitu!” seru mereka kompak. “Ada apa, ini? Ramai sekali,” ujar Halimah yang tiba-tiba hadir di sana. “Oh, itu Nek, kami sedang menonton berita kejahatan yang lagi ramai saat ini,” jawab ustadz Yusuf yang tak sepenu