Pencarian terus berlanjut. Hingga tanpa mereka sadari, mereka sudah memasuki hutan yang ada di ujung desa. Hutan yang menurut warga adalah hutan terlarang dan angker. Selama ini tak seorang pun yang berani memasukinya. Beruntung, salah satu warga segera menyadari hal itu sebelum mereka masuk terlalu dalam. Saat ini mereka hanya mengandalkan lampu senter sebagai penerangan karena obor yang mereka bawa sudah mati diterpa angin yang bertiup kencang.
“Ustadz, sepertinya kita sudah memasuki hutan terlarang,” bisik salah satu warga kepada Ustadz Yusuf.
“Bapak benar. Sebentar. Pak Rudi, sepertinya saat ini kita sudah memasuki hutan terlarang. Bagaimana jika pencarian putri Bapak dilanjutkan besok saja?” usul Ustadz Yusuf.
“Sa-saya ... ikut saja Ustadz. Saya juga sudah pasrah. Saya juga tidak ingin bapak-bapak yang lain ada dalam masalah karena membantu saya. Bapak-Bapak, saya minta maaf karena sudah merepotkan,” ujar Rudi lesu. Entah kemana dia harus mencari putrinya itu sekarang. Suara tangis bayi itu pun tak terdengar lagi begitu mereka memasuki hutan tersebut.
“Ya sudah sebaiknya kita pulang saja. Malam juga semakin larut dan sepertinya cuaca malam ini juga tak bersahabat,” putus Ustadz Yusuf.
Akhirnya rombongan itu pun pulang ke rumah masing-masing. Tak lupa mereka memberikan dukungan kepada Rudi agar tetap bersabar. Mereka juga berjanji akan kembali mambantu mencari Diandra, putri kedua Rudi.
Waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam ketika Rudi sampai di rumahnya. Namun, masih terlihat beberapa tetangga yang menemani istri dan kedua orang tuanya serta putri pertamanya.
Melihat anaknya pulang dengan tangan kosong dan terlihat sangat lelah, Pak Karta tahu jika Rudi belum menemukan Diandra.
“Maya, gimana Pak?” tanya Rudi dengan suara lelahnya.
“Tadi dia sudah sadar. Tapi dia belum mau bicara. Sekarang dia sudah tidur. Ibumu yang menemani Dara. Kamu istirahatlah. Bapak tahu, kamu mencemaskan Diandra. Kita akan cari lagi besok,” ujar Pak Karta panjang lebar.
“Saya masuk dulu, Pak. Mari, Bapak-Bapak,” pamit Rudi.
“Silakan, pak Rudi,” balas salah seorang warga mewakili yang lain.
Dua hari telah berlalu sejak menghilangnya Diandra yang tiba-tiba. Kasak-kusuk dari warga mulai terdengar. Dari kelahirannya yang misterius hingga pada peristiwa hilangnya bayi itu yang tak kalah misterius. Banyak warga yang mulai menghubungkan peristiwa itu dengan hal-hal mistis. Bahkan banyak diantara mereka yang mulai mencurigai kadar keimanan keluarga Rudi.
Seperti halnya pagi itu, saat Maya pergi ke warung, dia mendapatkan sindiran dari beberapa warga yang memang tak menyukainya sejak awal.
“Eh lihat tuh! Anak dukun, pasti kelakuannya sama kayak bapak sama ibunya yang dukun itu!” seru seorang wanita.
“Masa sih Mbak Wati. Emang bener ya, kalo Maya itu anak dukun?” tanya seorang perempuan pada wanita yang dipanggil Wati itu.
“Lho! Kamu nggak percaya sama saya, Yun?! Saya ini, dulu tetanggaan sama dia di Desa Dayoh. Bapaknya kan dukun santet!” nyinyir Wati.
“Tapi saya kok nggak percaya ya, Mbak,” sahut perempuan itu lagi.
“Ya terserah saja. Mungkin kamu baru percaya sama saya setelah terjadi sesuatu di desa ini!” sahut Wati ketus. Dia merasa kesal karena Yuni tak mempercayainya.
“Eh Maya! Gimana bayi anehmu, sudah ketemu?” sindir Wati.
“Astagfirullah, Mbak Wati, Diandra bukan bayi aneh, Mbak. Dia anak kami. Anugerah bagi kami dari Allah,” jawab Maya dengan suara bergetar menahan tangis.
“Alah! Nggak usah ngeles kamu. Buktinya, dia tiba-tiba lahir dan hilang begitu saja. Itu adalah tanda ada hal klenik dengan kelahiran bayi itu!” ketus Wati.
“Mbak ... maaf, sebenarnya saya salah apa sama Mbak Wati? Kenapa sepertinya Mbak Wati begitu dendam sama saya,” ucap Maya lagi. Kali ini dia tak sanggup lagi menahan air matanya.
“Sudah Mbak, sebaiknya Mbak Maya pulang saja, kasihan Dara,” ucap Yuni berusaha melerai keributan antara Maya dan Wati. Maya pun mengangguk dan beranjak dari tempat itu.
“Lho! Maya ... kenapa pulang dari warung kamu malah nangis?” tanya Bu Minah yang heran melihat menantunya menangis sepulangnya dari warung.
“Bu ... apa benar, orang tua Maya dukun santet?”
Deg!
Bu Minah terkesiap mendengar pertanyaan menantunya. ‘Darimana dia mendengar semua itu’ batin Bu Minah.
“Siapa yang bilang begitu?” tanya Bu Minah.
“Tadi di warung ada yang bilang begitu, Bu,” lirih Maya.
“Dia bahkan bilang Diandra bayi yang aneh,” timpalnya.
“Itu tidak benar, Nak. Orang tuamu bukan dukun santet,” ucap Bu Minah berusaha menenangkan menantunya. ‘Meski memang benar orang tuamu mempelajari ilmu klenik’ ucap Bu Minah lagi. Tentu hanya dalam hati.
‘Maafkan kami Maya. Kami terpaksa merahasiakan semua ini darimu. Kami bahkan mengetahui perjanjian apa yang dilakukan orang tuamu. Saat ini, kami sedang berusaha menyadarkan orang tuamu dan terpaksa mengurungnya di hutan itu’ batin Bu Minah lagi.
“Istirahatlah, Nak. Temani Dara,” saran Bu Minah. Wanita paruh baya itu merasa iba pada menantunya. Usahanya bersama sang suami, hingga saat ini belum membuahkan hasil. Bu Minah dan Pak Karta merasa yakin lahirnya Diandra dan hilangnya bayi itu yang mengejutkan ada hubungannya dengan orang tua Mayasari. Apalagi setelah mendengar cerita dari Rudi jika tangis bayi itu berakhir di hutan itu. Hutan dimana Pak Karta dan Bu Minah mengurung dua sahabatnya yang masih berada dalam pengaruh iblis. Sahabat yang merupakan orang tua Maya.
Pak Karta dan Bu Minah merasa bersyukur karena Rudi mencintai Maya. Dengan begitu akan mudah bagi mereka untuk menjaga putri sahabatnya itu.
“Pak Karta! Bu Minah!” Bu Minah yang sedang duduk melamun terkejut dengan suara seseorang yang memanggilnya. Tergopoh-gopoh wanita paruh baya itu keluar untuk mengetahui siapa yang memanggilnya.
“Pak Rahman, ada apa ini? Kebetulan suami saya dan Rudi sedang ke kota untuk melaporkan hilangnya cucu kami!” ujar Bu Minah.
“Cucu Ibu sudah ketemu. Sekarang dia di Puskesmas. Kebetulan tadi saya sedang mengantar istri saya berobat ke sana. Bu Bidan yang memberitahukan pada saya,” beritahu Pak Rahman.
“Alhamdulillah! Maya ... Maya!” Bu Minah segera memanggil menantunya. Tergopoh-gopoh Maya keluar sambil menggendong Dara.
“Ada apa Bu?” tanya Maya.
“Ini ... Pak Rahman membawa kabar tentang Diandra. Katanya dia sudah ketemu dan sekarang ada di Puskesmas!” seru Bu Minah dengan riang. Meskipun wanita itu tahu penyebab Diandra lahir. Dia tetap berusaha menerima bayi itu sebagai cucunya sama seperti halnya Dara.
“Benarkah, Bu!” seru Maya dengan netra berkaca-kaca. Bu Minah hanya mengangguk.
“Tunggulah suamimu dulu, jika kamu ingin menjemput Diandra,” ucap Bu Minah kemudian.
“Bu Minah, Mbak Maya ... saya pamit dulu. Tadi saya cuma mau menyampaikan hal itu,” pamit Pak Rahman.
“Oh iya. Terima kasih lho, Pak Rahman,” ucap Bu Minah. Bu Minah segera mengajak menantunya masuk setelah Pak Rahman pergi.
Dengan perasaan gelisah, Maya pun menuruti ucapan ibu mertuanya. Kemudian dia duduk di kursi ruang tamu sambil memangku Dara.
“Dara, syukurlah, adik kembarmu sudah ketemu, Sayang,” ucap Maya sambil membelai wajah mungil putrinya yang sedang terlelap.
“Assalamu’alaikum!” terdengar salam dari pria yang sejak tadi ditunggu Mayasari.
“Waalaikumsalam!” jawab Maya. Perempuan itu segera bangkit dari duduknya. Diciumnya punggung tangan suami dan ayah mertuanya.
Setelah menidurkan Dara di kamarnya, Maya segera membuatkan minuman untuk suami dan ayah mertuanya. Dia merasa bersalah saat melihat raut wajah lelah yang tergambar di wajah kedua pria beda generasi itu.
“Mas ... Diandra sudah ditemukan,” lirih wanita itu. Membuat kedua pria itu terperanjat dan menatap penuh tanya pada Mayasari.
Bersambung
“Mas ... Diandra sudah ditemukan,” lirih wanita itu. Membuat kedua pria itu terperanjat dan menatap penuh tanya pada Mayasari. Maya yang mengerti arti tatapan itu pun memulai ceritanya. “Tadi, Pak Rahman datang ke rumah. Beliau mendapat kabar dari Bu Bidan jika saat ini, Diandra ada di Puskesmas. Kebetulan tadi Pak Rahman mengantar istrinya berobat ke sana,” terang Maya. Rudi dan Pak Karta hanya manggut-manggut tanda mengerti. “Ya sudah, biar Mas yang Puskesmas. Kamu jaga Dara di rumah,” ujar Rudi. “Tapi Mas ...” “ ... Nggak ada tapi-tapian, Maya. Turuti Mas ya. Kamu jaga Dara aja di rumah!” ucap Rudi tegas. Bukan tanpa alasan Rudi meminta hal itu dari Maya. Rudi hanya tidak ingin Maya mendapat cemoohan dari beberapa warga seperti yang dia dan bapaknya dapatkan terka
Sementara Rudi yang memilih untuk menemani istri dan dua putrinya. Terkejut saat tiba-tiba terdengar suara gaduh dari arah depan rumah. Pria itu bergegas keluar. Tapi sebelumnya dia meminta istrinya untuk tetap berada di kamar. Betapa terkejutnya dia saat melihat beberapa warga berkumpul di halaman rumah orang tuannya. Tak hanya Rudi, Bu Minah yang sudah tergopoh-gopoh keluar dari rumah juga merasa terkejut. “Hai Rudi! Bayi anehmu itu benar-benar pembawa sial!” terdengar suara nyaring seorang perempuan yang berasal dari arah belakang kerumunan warga. “Iya betul itu!” “Bayi pembawa sial!” “Buang saja jauh-jauh dari sini!” Suara-suara hujatan itu terus saja terdengar. Rudi dan Bu Minah yang masih syok dan belum mengerti dengan apa yang
POV WATI Perempuan itu bergegas meninggalkan halaman rumah orang tua Rudi. Amarah tergambar jelas di wajahnya. Bahkan dia mengabaikan orang-orang yang ditemuinya. “Hai Wati! Mau kemana ... buru-buru amat!” sapa seorang wanita paruh baya. Namun, perempuan yang ternyata Wati itu hanya diam dan terus saja berlalu. ‘Dasar aneh, ditanyain diam aja. Kesambet kali tuh orang!’ gerutu wanita paruh baya itu. Sementara itu, Wati terus melangkahkan kakinya hingga tiba di jalan raya. Dia menghentikan angkutan umum yang menuju ke Desa Dayoh. ‘Dendamku harus terbalas’ geram perempuan itu dalam hati. Kurang lebih satu jam perjalanan, akhirnya Wati tiba di Desa Dayoh. Desa tempat dia dan Mayasari berasal sebelum mereka pindah ke Desa Damai. Bergegas dia menuju ke rumah lamanya. Lima belas menit dari gapura
Waktu bergulir begitu cepatnya. Tanpa terasa satu bulan sudah Wati meninggalkan Desa Damai dan kembali ke Desa Dayoh demi untuk menyempurnakan niatnya membalas dendam kepada Mayasari. Meninggalkan Wati dengan segala ritualnya di Desa Dayoh. Ternyata hampir satu bulan ini Desa Damai mengalami petaka tiada henti. Tak hanya ternak yang mati mendadak tetapi hampir seluruh warga yang bertani dan berladang mengalami gagal panen. Sungai dan sumur tiba-tiba mengering. Bahkan, banyak anak kecil dan balita yang tiba-tiba jatuh sakit. Entah semua itu disebabkan karena apa. Hanya saja warga Desa Damai yang sempat terhasut oleh ucapan Wati tentang siapa orang tua Mayasari, mulai kasak-kusuk kembali. Tak segan mereka melontarkan tuduhan keji bahwa bencana yang terjadi di Desa Damai disebabkan oleh kehadiran bayi kembar Mayasari atau karena kutukan Mayasari yang sempat terlontar karena amarahnya. Dari kedua bayi Ma
“Kisah ini berawal, jauh sebelum kami menikah dan memiliki keturunan,” ucap Pak Karta memulai ceritanya. Namun, saat itu kami telah memiliki calon pasangan masing-masing. Kemana-mana kami selalu berempat hingga suatu hari Sarina, adik Widarta ingin ikut bergabung dengan kami. Tak ada alasan dari kami untuk menolak. Karena kami juga tak melakukan hal-hal yang aneh. Kami yang waktu itu masih muda sangat menyukai petualangan. Terkadang kami bahkan pergi ke tempat-tempat yang menurut warga adalah tempat yang angker dan terlarang untuk kami datangi. Suatu hari, di Desa Dayoh, datang seorang warga baru bernama Aki Sudra. Kami tidak tahu darimana dia berasal atau siapa dia sebenarnya. Waktu itu Aki Sudra berusia sekitar empat puluhan. Yang membuat kami heran adalah, dia memilih untuk menempati rumah kosong yang sudah tidak layak huni yang berada di ujung desa padahal masih banyak rumah yang laya
Gadis itu diam-diam tersenyum licik. Dari sorot matanya terpancar banyak rencana jahat. Sebuah rencana yang entah dia tujukan untuk siapa. Sorot mata itu tertuju hanya pada satu orang. “Hai Sudra!” apakah mereka ini pengikut baruku?!” tanya sosok itu dengan suara menggelegar. “Benar Tuan, junjungan hamba,” jawab Aki Sudra sambil membungkuk penuh hormat pada makhluk itu. Lalu terdengar suara tawa makhluk itu lagi. “Apakah mereka sudah menikah?!” tanya makhluk itu lagi. “Belum Tuanku,” jawab Aki Sudra. “Hmm ... di antara mereka siapa yang akan menikah lebih dulu?!” kembali makhluk itu bertanya. “Mereka Tuanku. Mereka akan menikah bulan depan,” jawab Aki Sudra sambil menunjuk ke arah Karta dan Minah.
Setelah menceritakan kisahnya kepada Ustadz Yusuf, Pak Karta lalu menyampaikan niatnya untuk pergi ke hutan terlarang dan bermaksud meminta bantuan Ustadz Yusuf. “Jadi, Bapak ingin kesana?” tanya Ustadz Yusuf. “Iya Ustadz. Saya berniat menemui Haruni dan Widarta dan berbicara dengan mereka. Entah kenapa saya merasa kelahiran Diandra ada kaitannya dengan mereka. Saya juga bermaksud meminta bantuan Ustadz untuk menyadarkan mereka,” terang Pak Karta. “Maaf, Pak Karta, untuk menemani Bapak ke hutan itu, mungkin saya masih bisa tapi jika untuk menyadarkan mereka, saya tidak yakin saya akan mampu,” jawab Ustadz Yusuf meragu. “Saya percaya, Ustadz pasti bisa,” ucap Pak Karta mencoba meyakinkan Ustadz Yusuf. “Kita coba saja, Pak. Kapan rencananya kita akan ke sana?&r
“Mayaaa!” terdengar suara teriakan Rudi. Ustadz Yusuf, Pak Karta, Bu Minah dan Laila bergegas menghampiri Rudi. Pak Karta dan yang lain yang tadi menghambur ke arah Rudi tersentak saat melihat tubuh anaknya luruh ke lantai. “Rudi! Ada apa? Apa yang terjadi?!” tanya Pak Karta cemas. “M-Maya ... Maya Pak ...” “ ... Maya kenapa Rud!” seru Bu Minah. Wanita paruh baya itu langsung melesak masuk ke dalam kamar anaknya. Wanita itu terpaku seketika saat melihat tak ada menantunya yang tadi terbaring di atas kasur. “Maya,” lirih wanita itu. Pak Karta semakin bingung kala melihat reaksi sang isteri. Laki-laki itu pun melesak masuk menyusul isterinya. Dia pun tersentak seketika. Sontak dia berbalik ke arah anaknya. “Rud! Maya kemana?!” tanya Pak Karta.
“Siapakah pemuda tampan itu?” Terdengar suara warga yang saling berbisik mempertanyakan tentang siapa pemuda itu. “Pak, maaf, siapa pemuda itu?” tanya Pak RT yang kebetulan berdiri di dekat Pak Sapto yang merupakan komandan dari tim polisi yang tengah sibuk memeriksa jasad gadis tak dikenal itu. “Oh, maaf, kami belum sempat memperkenalkan beliau kepada para warga di sini. Beliau Pak Ilham, seorang detektif yang dikirim dari kantor pusat untuk membantu memecahkan kasus ini,” tutur petugas polisi itu. Pak RT yang mendengar penuturan itu hanya manggut-manggut tetapi jelas terlihat bibirnya menyunggingkan senyum. Beberapa saat kemudian, jasad itu telah dikirim ke rumah sakit di kota untuk dilakukan autopsi. Sementara itu, Pak RT meminta para petugas polisi, dokter dan pemuda bern
Restia duduk dengan gelisah di sudut sebuah kafe. Sesekali ia melihat jam yang melingkar di tangannya. “Mana, sih, mereka. Hari semakin malam tapi bayangan mereka pun belum terlihat,” sungut gadis itu. Baru saja ia akan menghubungi orang yang ditunggunya melalui ponsel, mereka telah terlihat memasuki kafe itu. “Kalian darimana, sih? Aku sudah hampir dua jam menunggu kalian,” serbunya begitu Fery dan kedua temannya duduk di hadapannya. Ya, ternyata ketiga pemuda itulah yang sejak tadi ditunggunya. “Tck! Kamu lupa, kalau sudah jam pulang kerja, jalanan di kota ini berubah padat. Apalagi di perempatan depan sana pasti macet,” sahut Fery kesal. “Hah! Ya sudah, kalian pesan dulu saja,” tukas Restia. Seraya menunggu pesanan mereka, Restia yang sudah penasaran dengan apa yang ingin disampaikan se
Dua orang gadis tengah sibuk mengambil bahan makanan dari rak yang berderet di sebuah swalayan. Wajah mereka yang cantik dan terlihat mirip membuat mereka menjadi pusat perhatian. Tak hanya kaum adam tetapi juga kaum hawa. Bahkan beberapa gadis ada yang memberikan tatapan sinis karena merasa iri dengan kecantikan mereka yang nyaris sempurna. Kedua gadis itu, bukan tak menyadari telah menjadi pusat perhatian, mereka hanya berusaha bersikap biasa dan mengabaikan itu semua sesuai pesan dari ustadz Yusuf. Ya, kedua gadis itu adalah Dara dan Diandra. “Sudah semua, Kak?” tanya Diandra. Dara memperhatikan troly yang berisi belanjaan mereka. “Hanya camilan pesanan trio usil yang belum,” sahut Dara sambil terkekeh. “Ya sudah, kita ke bagian camilan dulu saja,” jawab Diandra. “Ayo,” sahut Dara.
Bakhtiar baru saja akan mengunci pintu pagar rumahnya setelah memarkirkan motornya ketika tiba-tiba dia dikejutkan suara teriakan minta tolong tak jauh dari rumahnya. ‘Suara minta tolong siapa itu?’ batin pemuda itu. Tolong! Kembali Bakhtiar mendengar suara teriakan itu. Tanpa menunggu lagi ia segera mencari arah asal suara. “Hei! Lepaskan dia!” seru pemuda itu seraya mendekat ke arah tiga orang pemuda yang tengah mengganggu seorang gadis. “Siapa kau? Pergilah dan jangan ikut campur urusan kami!” bentak salah seorang pemuda itu. “Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya orang yang tidak suka dengan laki-laki pengecut seperti kalian, yang beraninya hanya dengan seorang gadis,” sahut Bakhtiar tenang. Sementara gadis yang tadi diganggu tiga pemuda itu diam-diam menarik sudut
Dua hari telah berlalu, ustadz Yusuf yang teringat akan sesuatu kembali mengajak kedua gadis kembar itu untuk berbicara tentang hal yang ingin mereka tanyakan karena tertunda oleh ulah cucu-cucunya. Dara dan Diandra datang sambil membawa minuman dan kudapan untuk ustadz Yusuf, yang telah mereka anggap sebagai kakek mereka sendiri. Setelah meletakkan apa yang mereka bawa, kedua gadis kembar itu pun duduk di hadapan ustadz Yusuf. “Sekarang, katakan, apa yang ingin kalian tanyakan tempo hari?” ucap ustadz Yusuf membuka pembicaraan Dara dan Diandra saling melempar pandang. Hal itu membuat ustadz Yusuf mengulas senyum tipis. “Kenapa hanya saling pandang? Ayo, katakan saja,” ujar ustadz Yusuf. “Ekhem ... begini, Kek, beberapa hari yang lalu, tepatnya saat Kakek bercerita tentang tragedi
“Kalian, tinggallah sebentar di sini, saat ini aku ada perlu keluar. Tidak lama, hanya satu atau dua jam saja,” ujar Bakhtiar. Kedua gadis kembar itu saling tatap, seolah saling menanyakan pendapat. “Bagaimana? Bisa, kan, kalian tinggal di sini dulu. Hanya sampai aku kembali,” ujar pemuda itu. “Baiklah, Mas, tapi tolong kabari kakek jika kami ada di sini,” sahut Dara. “Tentu, aku akan mengabari beliau,” jawab Bakhtiar. Setelah mengabari ustadz Yusuf sesuai permintaan Dara, Bakhtiar pun bergegas pergi. Dia sengaja mengendarai motornya tetapi dia langsung bersembunyi di balik pohon tak jauh dari rumah itu. Tanpa disadari kedua gadis itu, bersamaan dengan dirinya keluar dari rumah, Bakhtiar telah membuka kembali sebagian ingatan mereka tetang kejadian sebelum mereka tiba di rumah ini. Dengan
Tubuh kedua gadis kembar itu tampak limbung dan jatuh ke tanah begitu mereka memasuki halaman rumah yang sepuluh tahun ini mereka tempati. Tampak asap tebal membubung tinggi pada salah satu tubuh gadis itu. Bakhtiar, yang mengawasi dari dalam rumah bergegas keluar saat melihat asap tebal itu semakin menipis dan menghilang. Kini, hanya ada satu tubuh gadis yang tergeletak di halaman rumah itu. Bakhtiar membopong tubuh gadis yang telah dinikahinya secara gaib beberapa hari lalu ke dalam rumah. Dibaringkannya tubuh itu ke atas ranjang. Setelah menyelimuti gadis itu, Bakhtiar keluar dari kamar menuju dapur. Pemuda itu tampak sedang menyeduh teh hangat. Ditiupkannya do’a pada minuman itu, lalu dibawanya ke kamar dimana isterinya terbaring. Dipandanginya wajah gadis itu. Terngiang ucapan sang kakek sehari sebelum dia mengikuti ustadz Yusuf. ‘Tiar, setelah ikrar pernikahan itu, jika terjadi sesuatu pada kedu
Beberapa hari kemudian, ustadz Yusuf memanggil Dara dan Diandra ke ruang pribadinya. Sesuai janjinya, hari ini ia akan menceritakan semuanya kepada kedua gadis kembar itu. Dilema yang dialaminya menghilang sudah setelah ia teringat ucapan kiai Ummar. Ia juga sudah menghubungi Bakhtiar dan meminta pemuda itu untuk bersiap jika sewaktu-waktu terjadi sesuatu. “Hari ini, kakek sudah siap menceritakan semuanya pada kalian. Apa, kalian yakin, ingin mendengar keseluruhan ceritanya?” tanya ustadz Yusuf pada kedua gadis kembar itu. “Iya, Kek,” jawab mereka serempak. Ustadz Yusuf tampak menghela napas panjang sebelum memulai ceritanya. “Sebelum kakek mulai bercerita, bisakah kalian ceritakan kembali mimpi yang kalian alami kepada kakek?” pancing ustadz Yusuf. “Iya, Kek. Waktu itu, Dara seperti dibawa ke r
Melihat Ustadz Yusuf yang masih terdiam, membuat rasa penasaran dalam diri kedua gadis kembar itu semakin besar. “Kek, ayolah, ceritakan lagi pada kami,” rengek Dara sambil bergelayut di bahu kiri ustadz Yusuf. “Iya, Kek, Andra juga penasaran lho,” kali ini, Diandra yang membujuk ustadz Yusuf. Pria tua itu, merasa semakin dilema tetapi dia harus melakukan sesuatu agar kedua gadis kembar itu tak lagi merengek padanya. “Baiklah, kakek akan cerita, tetapi tidak sekarang,” tukas ustadz Yusuf. “Yaa, Kakek, kok gitu!” seru mereka kompak. “Ada apa, ini? Ramai sekali,” ujar Halimah yang tiba-tiba hadir di sana. “Oh, itu Nek, kami sedang menonton berita kejahatan yang lagi ramai saat ini,” jawab ustadz Yusuf yang tak sepenu