Dengan diliputi kebingungan dan keheranan, Rudi melangkah ke ruangan itu untuk mengadzankan dua putrinya.
Terjadi keanehan saat Rudi membisikan adzan di telinga putri keduanya. Bayi yang belum terdengar suara tangisnya sejak dilahirkan itu, tiba-tiba menangis sangat kencang begitu mendengar lafal adzan. Namun, anehnya suara tangis bayi itu terdengar sangat mengerikan. Suara tangis itu lebih terdengar seperti suara rintihan kesakitan. Hingga siapa pun yang mendengarnya, tak pelak bergidik ngeri.
Dara Syahita dan Diandra Sarinila itulah nama yang diberikan Rudi untuk kedua putrinya. Meski masih diliputi kebingungan atas lahirnya Diandra, namun Rudi dan Maya tetap menerimanya dengan ikhlas. Mayasari merawat keduanya seolah-olah keduanya memang benar-benar saudara kembar. Apalagi wajah kedua bayi itu memang benar-benar mirip.
Berbeda dengan mereka berdua, Pak Karta dan Bu Minah justru mendapat firasat akan datangnya petaka di Desa Damai. Hanya saja mereka berdua masih merahasiakan hal itu. Karena mereka berdua masih belum tahu pasti apa yang akan terjadi. Mereka hanya berusaha menepis firasat-firasat yang selalu menghampiri mereka. Mereka berusaha menerima kehadiran Diandra seperti halnya mereka menerima Dara.
Beberapa hari telah berlalu, Mayasari dan kedua bayinya sudah diijinkan pulang. Rudi sudah menambahkan satu lagi tempat tidur bayi. Karena sejak awal, hasil USG Mayasari menyebutkan hanya ada satu bayi, maka Rudi pun hanya menyiapkan satu ranjang bayi.
Kedua bayi itu tampak seperti bayi-bayi yang lain. Rudi dan Mayasari sangat menyayangi kedua bayi itu. Tanpa mereka sadari, keanehan demi keanehan mulai terjadi di Desa Damai. Diawali dari ternak warga yang mati mendadak. Gagal panen. Bahkan banyaknya anak-anak yang tiba-tiba jatuh sakit.
***
Tanpa terasa, waktu bergulir begitu cepat. Tibalah waktu untuk acara aqiqah Dara dan Diandra. Dengan dibantu tetangga sekitar, mereka menyiapkan acara aqiqahan. Dua ekor kambing telah disiapkan. Rudiansyah juga sudah mengundang hampir seluruh warga untuk datang ke acara pengajian dalam rangka aqiqah kedua putrinya.
Para tetangga mulai membicarakan mereka sejak kabar tentang Mayasari yang melahirkan bayi aneh. Rudiansyah dan Mayasari bukannya tidak tahu jika mereka sudah jadi bahan gosip. Mereka hanya berusaha untuk tak terlalu menanggapi hal itu dan tetap merawat Dara dan Diandra.
Waktu aqiqahan pun akhirnya tiba, para tamu mulai berdatangan, termasuk juga Ustadz Yusuf yang akan memimpin jalannya pengajian. Keanehan mulai terjadi saat Ustadz Yusuf memuali pengajian. Angin tiba-tiba bertiup kencang. Terdengar suara tangis bayi yang begitu menyayat hati.
Di tengah keheranan para tamu, tiba-tiba terdengar teriakan Mayasari yang panik.
“Mas ... Mas Rudi! Maas! Mas Rudi!”
“Ada apa Maya!” seru Rudi tak kalah panik dan langsung menghampiri istrinya yang saat itu sedang berada di kamar bayi. Dia terkejut saat melihat raut wajah pucat yang tergambar di wajah istrinya.
“Maya ... ada apa, Maya?!” tanya Rudi. Di belakang pria itu, para tamu sudah berkerumun karena penasaran.
“I-itu ... itu ...” ucap Maya terbata sambil menunjuk ke ranjang bayi Diandra. Rudi segera mengikuti arah telunjuk sang istri. Dan betapa terkejutnya dia, kala tak didapatinya putrinya, Diandra di sana.
“Dimana Diandra, Maya?!” tanya Rudi. Maya hanya menggeleng. Bu Minah yang juga sudah ada di sana segera menggendong Dara yang saat itu masih terlelap. Terdengar para warga mulai saling berbisik. Bahkan suara riuh bisikan mereka mampu meredam suara tangis bayi yang tadi terdengar. Hingga membuat mereka seakan lupa dengan bayi itu.
“Maya ... jawab! Di mana Diandra?!” Rudi yang mulai geram tanpa sada membentak istrinya. Ustadz Yusuf mencoba menerobos kerumunan dan memasuki kamar bayi tersebut.
“Ustadz ... tolong istri saya. Kenapa dia jadi begitu dan putri kami Diandra juga tidak ada di tempat tidurnya!” seru Rudi panik.
“Tolong ambilkan air putih satu gelas!” pinta Ustadz Yusuf. Salah seorang tamu segera mengambilkan satu gelas air putih dan memberikannya kepada Ustadz Yusuf. Kemudian Ustadz yang sudah seusia Pak Karta itu membacakan sesuatu pada air itu.
“Ini, minumkan sedikit pada istrimu. Sisanya, gunakan untuk membasuh mukanya!” ujar Ustadz Yusuf sambil mengangsurkan gelas berisi air putih itu kepada Rudi. Setelah menerima gelas itu, Rudi segera menuruti anjuran Ustadz Yusuf. Beberapa menit setelah Maya meminum air itu dan mukanya dibasuh dengan air itu, wanita muda itu tiba-tiba menangis histeris sambil memanggil nama Diandra lalu jatuh tak sadarkan diri.
Sementara beberapa tamu tetangga wanita yang hadir membantu menjaga Maya, Ustadz Yusuf melanjutkan acara pengajian. Dan lagi-lagi terdengar gemuruh suara angin dan tangis bayi yang menyayat. Kali ini suara tangis itu terdengar sayup-sayup. Rudi dan para warga seakan baru tersadar jika mereka harus menemukan Diandra.
Akhirnya, Ustadz Yusuf menyelesaikan acara pengajian yang memang sudah kacau sejak awal. Mereka memutuskan untuk mencari Diandra dengan mengikuti asal suara tangis bayi itu.
“Bu ... titip Maya dan Dara ya. Saya harus mencari Diandra dibantu Pak Ustadz dan warga lain. Dengan membawa senter dan obor, warga berbondong-bondong mencari Diandra. Tiba-tiba tangis bayi itu berhenti. Rudi dan warga lain mulai kebingungan.
“Dimana kamu, nak,” lirih Rudi sambil mendesah pelan.
“Sabar Pak Rudi, kita akan terus membantu Bapak,” ucap salah seorang warga mencoba menenangkan Rudi.
“Terima kasih, Pak,” sahut Rudi.
“Pak Ustadz, bagaimana ini? Suara tangisnya hilang. Kita harus cari kemana lagi?” tanya salah seorang warga yang sudah mulai gelisah karena hari sudah semakin larut. Angin pun masih bertiup kencang bahkan sekarang terdengar suara petir menggelegar. Tiba-tiba terdengar suara lolongan anjing di kejauhan. Satu per satu warga mulai berpamitan untuk tidak ikut melanjutkan pencarian karena merasa takut.
“Pak Rudi, maaf saya pamit pulang. Istri dan anak saya sendirian di rumah,” pamit Pak Jaka yang rumahnya hanya berjarak beberapa meter dari rumah Rudi.
“Silakan, Pak. Terima kasih sudah membantu.,” jawab Rudi. Tubuh pria itu luruh ke tanah dan terduduk lesu di sana.
“Sebaiknya kita pulang dulu saja, Pak. Malam semakin larut dan sepertinya akan ada badai. Kasihan Bu Maya dan putri Bapak yang satu lagi. Besok kita lanjutkan pencarian, kalo perlu besok kita lapor ke polisi,” usul Ustadz Yusuf.
Rudi mendesah panjang. Dia hanya bisa menuruti ucapan Ustadz Yusuf. Dalam hati dia membenarkan ucapan Ustadz Yusuf. Tidak mungkin dia melalaikan istri dan putrinya yang lain hanya karena mencari putri yang lain.
Pencarian pun untuk sementara dihentikan. Anehnya, begitu mereka memutuskan untuk mencari berhenti mencari Diandra, tangis bayi itu kembali terdengar.
Rudi pun kebingungan. Begitu juga dengan para warga. Dengan persetujuan Ustadz Yusuf mereka kembali mencari Diandra. Mereka mengikuti asal suara tangis itu. Hingga tanpa mereka sadari, mereka sudah memasuki hutan yang ada di ujung desa. Hutan yang menurut warga adalah hutan terlarang dan angker. Selama ini tak seorang pun yang berani memasukinya.
Apakah mereka akan menemukan Diandra? Dan apakah mereka akan menyadari bahwa mereka telah memasuki hutan terlarang?
Bersambung...
Pencarian terus berlanjut. Hingga tanpa mereka sadari, mereka sudah memasuki hutan yang ada di ujung desa. Hutan yang menurut warga adalah hutan terlarang dan angker. Selama ini tak seorang pun yang berani memasukinya. Beruntung, salah satu warga segera menyadari hal itu sebelum mereka masuk terlalu dalam. Saat ini mereka hanya mengandalkan lampu senter sebagai penerangan karena obor yang mereka bawa sudah mati diterpa angin yang bertiup kencang. “Ustadz, sepertinya kita sudah memasuki hutan terlarang,” bisik salah satu warga kepada Ustadz Yusuf. “Bapak benar. Sebentar. Pak Rudi, sepertinya saat ini kita sudah memasuki hutan terlarang. Bagaimana jika pencarian putri Bapak dilanjutkan besok saja?” usul Ustadz Yusuf. “Sa-saya ... ikut saja Ustadz. Saya juga sudah pasrah. Saya juga tidak ingin bapak-bapak yang lain ada dalam masalah kare
“Mas ... Diandra sudah ditemukan,” lirih wanita itu. Membuat kedua pria itu terperanjat dan menatap penuh tanya pada Mayasari. Maya yang mengerti arti tatapan itu pun memulai ceritanya. “Tadi, Pak Rahman datang ke rumah. Beliau mendapat kabar dari Bu Bidan jika saat ini, Diandra ada di Puskesmas. Kebetulan tadi Pak Rahman mengantar istrinya berobat ke sana,” terang Maya. Rudi dan Pak Karta hanya manggut-manggut tanda mengerti. “Ya sudah, biar Mas yang Puskesmas. Kamu jaga Dara di rumah,” ujar Rudi. “Tapi Mas ...” “ ... Nggak ada tapi-tapian, Maya. Turuti Mas ya. Kamu jaga Dara aja di rumah!” ucap Rudi tegas. Bukan tanpa alasan Rudi meminta hal itu dari Maya. Rudi hanya tidak ingin Maya mendapat cemoohan dari beberapa warga seperti yang dia dan bapaknya dapatkan terka
Sementara Rudi yang memilih untuk menemani istri dan dua putrinya. Terkejut saat tiba-tiba terdengar suara gaduh dari arah depan rumah. Pria itu bergegas keluar. Tapi sebelumnya dia meminta istrinya untuk tetap berada di kamar. Betapa terkejutnya dia saat melihat beberapa warga berkumpul di halaman rumah orang tuannya. Tak hanya Rudi, Bu Minah yang sudah tergopoh-gopoh keluar dari rumah juga merasa terkejut. “Hai Rudi! Bayi anehmu itu benar-benar pembawa sial!” terdengar suara nyaring seorang perempuan yang berasal dari arah belakang kerumunan warga. “Iya betul itu!” “Bayi pembawa sial!” “Buang saja jauh-jauh dari sini!” Suara-suara hujatan itu terus saja terdengar. Rudi dan Bu Minah yang masih syok dan belum mengerti dengan apa yang
POV WATI Perempuan itu bergegas meninggalkan halaman rumah orang tua Rudi. Amarah tergambar jelas di wajahnya. Bahkan dia mengabaikan orang-orang yang ditemuinya. “Hai Wati! Mau kemana ... buru-buru amat!” sapa seorang wanita paruh baya. Namun, perempuan yang ternyata Wati itu hanya diam dan terus saja berlalu. ‘Dasar aneh, ditanyain diam aja. Kesambet kali tuh orang!’ gerutu wanita paruh baya itu. Sementara itu, Wati terus melangkahkan kakinya hingga tiba di jalan raya. Dia menghentikan angkutan umum yang menuju ke Desa Dayoh. ‘Dendamku harus terbalas’ geram perempuan itu dalam hati. Kurang lebih satu jam perjalanan, akhirnya Wati tiba di Desa Dayoh. Desa tempat dia dan Mayasari berasal sebelum mereka pindah ke Desa Damai. Bergegas dia menuju ke rumah lamanya. Lima belas menit dari gapura
Waktu bergulir begitu cepatnya. Tanpa terasa satu bulan sudah Wati meninggalkan Desa Damai dan kembali ke Desa Dayoh demi untuk menyempurnakan niatnya membalas dendam kepada Mayasari. Meninggalkan Wati dengan segala ritualnya di Desa Dayoh. Ternyata hampir satu bulan ini Desa Damai mengalami petaka tiada henti. Tak hanya ternak yang mati mendadak tetapi hampir seluruh warga yang bertani dan berladang mengalami gagal panen. Sungai dan sumur tiba-tiba mengering. Bahkan, banyak anak kecil dan balita yang tiba-tiba jatuh sakit. Entah semua itu disebabkan karena apa. Hanya saja warga Desa Damai yang sempat terhasut oleh ucapan Wati tentang siapa orang tua Mayasari, mulai kasak-kusuk kembali. Tak segan mereka melontarkan tuduhan keji bahwa bencana yang terjadi di Desa Damai disebabkan oleh kehadiran bayi kembar Mayasari atau karena kutukan Mayasari yang sempat terlontar karena amarahnya. Dari kedua bayi Ma
“Kisah ini berawal, jauh sebelum kami menikah dan memiliki keturunan,” ucap Pak Karta memulai ceritanya. Namun, saat itu kami telah memiliki calon pasangan masing-masing. Kemana-mana kami selalu berempat hingga suatu hari Sarina, adik Widarta ingin ikut bergabung dengan kami. Tak ada alasan dari kami untuk menolak. Karena kami juga tak melakukan hal-hal yang aneh. Kami yang waktu itu masih muda sangat menyukai petualangan. Terkadang kami bahkan pergi ke tempat-tempat yang menurut warga adalah tempat yang angker dan terlarang untuk kami datangi. Suatu hari, di Desa Dayoh, datang seorang warga baru bernama Aki Sudra. Kami tidak tahu darimana dia berasal atau siapa dia sebenarnya. Waktu itu Aki Sudra berusia sekitar empat puluhan. Yang membuat kami heran adalah, dia memilih untuk menempati rumah kosong yang sudah tidak layak huni yang berada di ujung desa padahal masih banyak rumah yang laya
Gadis itu diam-diam tersenyum licik. Dari sorot matanya terpancar banyak rencana jahat. Sebuah rencana yang entah dia tujukan untuk siapa. Sorot mata itu tertuju hanya pada satu orang. “Hai Sudra!” apakah mereka ini pengikut baruku?!” tanya sosok itu dengan suara menggelegar. “Benar Tuan, junjungan hamba,” jawab Aki Sudra sambil membungkuk penuh hormat pada makhluk itu. Lalu terdengar suara tawa makhluk itu lagi. “Apakah mereka sudah menikah?!” tanya makhluk itu lagi. “Belum Tuanku,” jawab Aki Sudra. “Hmm ... di antara mereka siapa yang akan menikah lebih dulu?!” kembali makhluk itu bertanya. “Mereka Tuanku. Mereka akan menikah bulan depan,” jawab Aki Sudra sambil menunjuk ke arah Karta dan Minah.
Setelah menceritakan kisahnya kepada Ustadz Yusuf, Pak Karta lalu menyampaikan niatnya untuk pergi ke hutan terlarang dan bermaksud meminta bantuan Ustadz Yusuf. “Jadi, Bapak ingin kesana?” tanya Ustadz Yusuf. “Iya Ustadz. Saya berniat menemui Haruni dan Widarta dan berbicara dengan mereka. Entah kenapa saya merasa kelahiran Diandra ada kaitannya dengan mereka. Saya juga bermaksud meminta bantuan Ustadz untuk menyadarkan mereka,” terang Pak Karta. “Maaf, Pak Karta, untuk menemani Bapak ke hutan itu, mungkin saya masih bisa tapi jika untuk menyadarkan mereka, saya tidak yakin saya akan mampu,” jawab Ustadz Yusuf meragu. “Saya percaya, Ustadz pasti bisa,” ucap Pak Karta mencoba meyakinkan Ustadz Yusuf. “Kita coba saja, Pak. Kapan rencananya kita akan ke sana?&r
“Siapakah pemuda tampan itu?” Terdengar suara warga yang saling berbisik mempertanyakan tentang siapa pemuda itu. “Pak, maaf, siapa pemuda itu?” tanya Pak RT yang kebetulan berdiri di dekat Pak Sapto yang merupakan komandan dari tim polisi yang tengah sibuk memeriksa jasad gadis tak dikenal itu. “Oh, maaf, kami belum sempat memperkenalkan beliau kepada para warga di sini. Beliau Pak Ilham, seorang detektif yang dikirim dari kantor pusat untuk membantu memecahkan kasus ini,” tutur petugas polisi itu. Pak RT yang mendengar penuturan itu hanya manggut-manggut tetapi jelas terlihat bibirnya menyunggingkan senyum. Beberapa saat kemudian, jasad itu telah dikirim ke rumah sakit di kota untuk dilakukan autopsi. Sementara itu, Pak RT meminta para petugas polisi, dokter dan pemuda bern
Restia duduk dengan gelisah di sudut sebuah kafe. Sesekali ia melihat jam yang melingkar di tangannya. “Mana, sih, mereka. Hari semakin malam tapi bayangan mereka pun belum terlihat,” sungut gadis itu. Baru saja ia akan menghubungi orang yang ditunggunya melalui ponsel, mereka telah terlihat memasuki kafe itu. “Kalian darimana, sih? Aku sudah hampir dua jam menunggu kalian,” serbunya begitu Fery dan kedua temannya duduk di hadapannya. Ya, ternyata ketiga pemuda itulah yang sejak tadi ditunggunya. “Tck! Kamu lupa, kalau sudah jam pulang kerja, jalanan di kota ini berubah padat. Apalagi di perempatan depan sana pasti macet,” sahut Fery kesal. “Hah! Ya sudah, kalian pesan dulu saja,” tukas Restia. Seraya menunggu pesanan mereka, Restia yang sudah penasaran dengan apa yang ingin disampaikan se
Dua orang gadis tengah sibuk mengambil bahan makanan dari rak yang berderet di sebuah swalayan. Wajah mereka yang cantik dan terlihat mirip membuat mereka menjadi pusat perhatian. Tak hanya kaum adam tetapi juga kaum hawa. Bahkan beberapa gadis ada yang memberikan tatapan sinis karena merasa iri dengan kecantikan mereka yang nyaris sempurna. Kedua gadis itu, bukan tak menyadari telah menjadi pusat perhatian, mereka hanya berusaha bersikap biasa dan mengabaikan itu semua sesuai pesan dari ustadz Yusuf. Ya, kedua gadis itu adalah Dara dan Diandra. “Sudah semua, Kak?” tanya Diandra. Dara memperhatikan troly yang berisi belanjaan mereka. “Hanya camilan pesanan trio usil yang belum,” sahut Dara sambil terkekeh. “Ya sudah, kita ke bagian camilan dulu saja,” jawab Diandra. “Ayo,” sahut Dara.
Bakhtiar baru saja akan mengunci pintu pagar rumahnya setelah memarkirkan motornya ketika tiba-tiba dia dikejutkan suara teriakan minta tolong tak jauh dari rumahnya. ‘Suara minta tolong siapa itu?’ batin pemuda itu. Tolong! Kembali Bakhtiar mendengar suara teriakan itu. Tanpa menunggu lagi ia segera mencari arah asal suara. “Hei! Lepaskan dia!” seru pemuda itu seraya mendekat ke arah tiga orang pemuda yang tengah mengganggu seorang gadis. “Siapa kau? Pergilah dan jangan ikut campur urusan kami!” bentak salah seorang pemuda itu. “Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya orang yang tidak suka dengan laki-laki pengecut seperti kalian, yang beraninya hanya dengan seorang gadis,” sahut Bakhtiar tenang. Sementara gadis yang tadi diganggu tiga pemuda itu diam-diam menarik sudut
Dua hari telah berlalu, ustadz Yusuf yang teringat akan sesuatu kembali mengajak kedua gadis kembar itu untuk berbicara tentang hal yang ingin mereka tanyakan karena tertunda oleh ulah cucu-cucunya. Dara dan Diandra datang sambil membawa minuman dan kudapan untuk ustadz Yusuf, yang telah mereka anggap sebagai kakek mereka sendiri. Setelah meletakkan apa yang mereka bawa, kedua gadis kembar itu pun duduk di hadapan ustadz Yusuf. “Sekarang, katakan, apa yang ingin kalian tanyakan tempo hari?” ucap ustadz Yusuf membuka pembicaraan Dara dan Diandra saling melempar pandang. Hal itu membuat ustadz Yusuf mengulas senyum tipis. “Kenapa hanya saling pandang? Ayo, katakan saja,” ujar ustadz Yusuf. “Ekhem ... begini, Kek, beberapa hari yang lalu, tepatnya saat Kakek bercerita tentang tragedi
“Kalian, tinggallah sebentar di sini, saat ini aku ada perlu keluar. Tidak lama, hanya satu atau dua jam saja,” ujar Bakhtiar. Kedua gadis kembar itu saling tatap, seolah saling menanyakan pendapat. “Bagaimana? Bisa, kan, kalian tinggal di sini dulu. Hanya sampai aku kembali,” ujar pemuda itu. “Baiklah, Mas, tapi tolong kabari kakek jika kami ada di sini,” sahut Dara. “Tentu, aku akan mengabari beliau,” jawab Bakhtiar. Setelah mengabari ustadz Yusuf sesuai permintaan Dara, Bakhtiar pun bergegas pergi. Dia sengaja mengendarai motornya tetapi dia langsung bersembunyi di balik pohon tak jauh dari rumah itu. Tanpa disadari kedua gadis itu, bersamaan dengan dirinya keluar dari rumah, Bakhtiar telah membuka kembali sebagian ingatan mereka tetang kejadian sebelum mereka tiba di rumah ini. Dengan
Tubuh kedua gadis kembar itu tampak limbung dan jatuh ke tanah begitu mereka memasuki halaman rumah yang sepuluh tahun ini mereka tempati. Tampak asap tebal membubung tinggi pada salah satu tubuh gadis itu. Bakhtiar, yang mengawasi dari dalam rumah bergegas keluar saat melihat asap tebal itu semakin menipis dan menghilang. Kini, hanya ada satu tubuh gadis yang tergeletak di halaman rumah itu. Bakhtiar membopong tubuh gadis yang telah dinikahinya secara gaib beberapa hari lalu ke dalam rumah. Dibaringkannya tubuh itu ke atas ranjang. Setelah menyelimuti gadis itu, Bakhtiar keluar dari kamar menuju dapur. Pemuda itu tampak sedang menyeduh teh hangat. Ditiupkannya do’a pada minuman itu, lalu dibawanya ke kamar dimana isterinya terbaring. Dipandanginya wajah gadis itu. Terngiang ucapan sang kakek sehari sebelum dia mengikuti ustadz Yusuf. ‘Tiar, setelah ikrar pernikahan itu, jika terjadi sesuatu pada kedu
Beberapa hari kemudian, ustadz Yusuf memanggil Dara dan Diandra ke ruang pribadinya. Sesuai janjinya, hari ini ia akan menceritakan semuanya kepada kedua gadis kembar itu. Dilema yang dialaminya menghilang sudah setelah ia teringat ucapan kiai Ummar. Ia juga sudah menghubungi Bakhtiar dan meminta pemuda itu untuk bersiap jika sewaktu-waktu terjadi sesuatu. “Hari ini, kakek sudah siap menceritakan semuanya pada kalian. Apa, kalian yakin, ingin mendengar keseluruhan ceritanya?” tanya ustadz Yusuf pada kedua gadis kembar itu. “Iya, Kek,” jawab mereka serempak. Ustadz Yusuf tampak menghela napas panjang sebelum memulai ceritanya. “Sebelum kakek mulai bercerita, bisakah kalian ceritakan kembali mimpi yang kalian alami kepada kakek?” pancing ustadz Yusuf. “Iya, Kek. Waktu itu, Dara seperti dibawa ke r
Melihat Ustadz Yusuf yang masih terdiam, membuat rasa penasaran dalam diri kedua gadis kembar itu semakin besar. “Kek, ayolah, ceritakan lagi pada kami,” rengek Dara sambil bergelayut di bahu kiri ustadz Yusuf. “Iya, Kek, Andra juga penasaran lho,” kali ini, Diandra yang membujuk ustadz Yusuf. Pria tua itu, merasa semakin dilema tetapi dia harus melakukan sesuatu agar kedua gadis kembar itu tak lagi merengek padanya. “Baiklah, kakek akan cerita, tetapi tidak sekarang,” tukas ustadz Yusuf. “Yaa, Kakek, kok gitu!” seru mereka kompak. “Ada apa, ini? Ramai sekali,” ujar Halimah yang tiba-tiba hadir di sana. “Oh, itu Nek, kami sedang menonton berita kejahatan yang lagi ramai saat ini,” jawab ustadz Yusuf yang tak sepenu