“Kisah ini berawal, jauh sebelum kami menikah dan memiliki keturunan,” ucap Pak Karta memulai ceritanya.
Namun, saat itu kami telah memiliki calon pasangan masing-masing. Kemana-mana kami selalu berempat hingga suatu hari Sarina, adik Widarta ingin ikut bergabung dengan kami. Tak ada alasan dari kami untuk menolak. Karena kami juga tak melakukan hal-hal yang aneh. Kami yang waktu itu masih muda sangat menyukai petualangan. Terkadang kami bahkan pergi ke tempat-tempat yang menurut warga adalah tempat yang angker dan terlarang untuk kami datangi.
Suatu hari, di Desa Dayoh, datang seorang warga baru bernama Aki Sudra. Kami tidak tahu darimana dia berasal atau siapa dia sebenarnya. Waktu itu Aki Sudra berusia sekitar empat puluhan. Yang membuat kami heran adalah, dia memilih untuk menempati rumah kosong yang sudah tidak layak huni yang berada di ujung desa padahal masih banyak rumah yang layak huni yang bisa dia kontrak atau pun dia beli.
Penampilan dan sikapnya yang misterius menimbulkan banyak tanya pada warga desa tak terkecuali kami berenam. Bahkan, meski sudah berbulan-bulan dia tinggal di Desa Dayoh, dia jarang sekali keluar rumah.
Pada suatu ketika karena rasa penasaran yang sudah meninggi, kami berenam memberanikan diri untuk datang ke rumahnya. Dengan mengendap-endap kami mendekati rumah itu.
“Siapakah Aki Sudra ini, Pak?” tanya Ustadz Yusuf memotong cerita Pak Karta.
“Ijinkan saya lanjutkan cerita saya dulu, Ustadz,” ujar Pak Karta. Meski penasaran, Ustadz Yusuf mengijinkan Pak Karta melanjutkan ceritanya terlebih dahulu.
Flashback On
Enam orang muda-mudi terlihat mengendap-endap di halaman rumah yang tampak menyeramkan. Padahal, hari itu masih siang, bahkan matahari bersinar sangat terik. Namun, suasana rumah yang di tempati oleh pendatang baru itu.
“Berhenti!” suara menggelegar tiba-tiba menghentikan langkah enam orang muda-mudi itu. Sontak mereka berenam langsung terpaku ditempat masing-masing. Yang lebih aneh lagi, secara mengejutkan sosok yang tadi hanya terdengar suaranya itu sudah berdiri di hadapan mereka secara tiba-tiba. Padahal saat mereka tiba tempat itu sangat sepi tak terlihat siapapun di sana. Pintu rumahnya juga dalam keadaan tertutup.
Keenam orang muda-mudi itu terlihat gemetaran melihat sorot mata tajam dari laki-laki di hadapan mereka.
“Mau apa kalian?!” tanya laki-laki itu dengan nada dingin.
“K-kami ... kami hanya ingin berkunjung dan berkenalan,” jawab salah seorang dari mereka.
“Berkunjung?! Apa menurut kalian, aku terlihat suka menerima tamu. Kecuali ...” laki-laki itu menggantung kalimatnya.
“Ke-kecuali a-apa ... em ... bagaimana kami memanggil bapak?” tanya pemuda yang tadi bertanya.
“Aki! Panggil aku aki ... aki Sudra, itu namaku!” jawab laki-laki itu menyebutkan namanya.
“Siapa nama kalian?!” tanya laki-laki bernama Aki Sudra itu.
“Saya Karta, Ki dan ini tunangan saya Minah,” jawab pemuda yang sejak tadi bertanya pada Aki Sudra. Setelah pemuda bernama Karta itu memperkenalkan diri, empat orang yang lain juga memperkenalkan diri.
“Emm ... Maaf Ki, tadi kecuali apa ya?” tanya Karta masih penasaran.
“Kecuali mau belajar ilmu yang aku punya dan jadi anak buahku!” ucap Aki Sudra.
Keenam muda-mudi itu saling pandang. Mereka tak paham apa maksud laki-laki yang masih tampak asing bagi mereka.
“Hemm ... begini saja, kalian masuk saja dulu. Yah ... sebenarnya aku tidak suka menerima tamu yang tidak jelas seperti kalian. Tapi, kalian sudah di sini jadi masuklah!” perintah Aki Sudra. Seperti terhipnotis mereka berenam memasuki rumah Aki Sudra. Sementara itu, Aki Sudra terlihat sedang tersenyum licik. Entah ada rencana apa di kepala laki-laki itu.
Di dalam rumah, keenam muda-mudi itu diberikan masing-masing segelas air minum yang tanpa sepengetahuan mereka telah diberikan mantra oleh Aki Sudra.
“Kalian akan menjadi pengikutku dan akan mematuhi semua perintahku!” ucap Aki Sudra. Keenam muda-mudi itu hanya menganggukan kepala mereka.
“Ha ha ha!” terdengar suara tawa menggelegar dari Aki Sudra. Tak lama kemudian Aki Sudra mengambil sebuah wadah dan sebuah pisau kecil.
“Ini! Iris jari kalian dan teteskan darahnya ke dalam wadah ini lalu ikuti apa yang aku katakan!” perintah Aki Sudra. Keenam orang itu hanya mengikuti apa yang Aki Sudra perintahkan. Tanpa mereka sadari, setelah mereka mengucapkan sumpah dan meneteskan darah mereka ke dalam wadah itu, jiwa mereka tak hanya terikat dengan Aki Sudra tapi juga terikat dengan iblis yang selama ini menjadi junjungan dari Aki Sudra.
“Sekarang, kalian pulanglah! Tapi ingat! Besok malam kalian harus kembali ke sini. Aku akan membawa kalian ke suatu tempat untuk ritual selanjutnya!” perintah Aki Sudra.
“Baik Ki!” jawab mereka serentak. Kemudian mereka berenam pun beranjak pulang ke rumah masing-masing. Tiba-tiba Sarina berseru dan mengejutkan yang lain.
“Loh! Jariku kenapa bisa terluka gini sih!” seru Sarina. Yang lain melihat jari Sarina dan terkejut.
“Eh! Jariku juga loh!” Minah ikut berseru.
“Aneh! Kenapa jari kita bisa terluka dan masih mengeluarkan darah begini ?!” kali ini Widarta yang angkat bicara.
“Apa mungkin ... saat di rumah Aki Sudra kita melakukan sesuatu yang membuat kita terluka?” tanya Karta lagi.
“Kalo memang iya, kenapa tak ada satu pun dari kita yang ingat akan hal itu!” seru Haruni berpendapat.
“Iya juga ya?!” celetuk Sarina lagi.
“Arrghh! Sakit!” tiba-tiba Minah berteriak sambil memegang kepalanya.
“Min ... Minah! Kamu kenapa Min?!” seru Karta panik melihat tunangannya berteriak kesakitan.
“J-jang-jangan ... b-bi-ca-ra l-la-giih! A-a-ki S-su-su-dra m-ma-ma-raahh!” ucap Minah terbata sambil memegang kepalanya, lalu jatuh pingsan. Karta dan yang lainnya panik saat melihat Minah tiba-tiba pingsan setelah mengatakan sesuatu yang membuat mereka penasaran. Mereka bagaimana Aki Sudra mengetahui jika saat ini mereka sedang membahas tentang jari mereka yang tiba-tiba terluka.
“Ada apa ini?!” tiba-tiba ada seorang wanita yang mengejutkan mereka.
“Minah tiba-tiba pingsan, Bi,” celetuk Haruni.
“Cepat angkat dan bawa ke rumah saya dulu. Kebetulan rumah saya tak jauh dari sini,” ucap wanita itu.
“Baik Bi, terima kasih,” ucap Karta lalu menggendong tubuh tunangannya dan membawa ke rumah wanita itu.
Beberapa hari sejak peristiwa itu, tanpa sepengetahuan orang tua masing-masing dan warga desa lain, setiap malam jum’at kliwon mereka berenam akan mengunjungi kediaman Aki Karta. Dari sana mereka akan pergi ke bukit Lembayung yang tak jauh dari Desa Dayoh.
Di balik bukit itu ada sebuah goa yang sangat menyeramkan. Orang-orang menyebutnya Goa Iblis Hitam karena menurut cerita di dalam goa itu ada sesosok iblis hitam yang menghuninya. Tak ada yang berani memasuki goa itu. Kalaupun mereka ke bukit lembayung hanya sebatas di sisi bukit yang menghadap ke arah desa.
Di dalam goa itulah saat ini Aki Sudra dan keenam muda-mudi itu sekarang. Kebetulan, malam ini adalah malam jum’at kliwon dan bertepatan dengan bulan purnama. Saat ini mereka sedang duduk bersila melingkari sebuah lambang yang tergambar pada sebuah kain putih yang telah dihamparkan di lantai goa. Ada sebuah lilin di setiap ujung kain itu.
Sebuah mantra terucap dari bibir Aki Sudra yang diikuti oleh keenam orang itu. Bedanya, kali ini mereka melakukannya dengan sadar. Ya, mereka telah mengetahui jika mereka telah terikat dengan Aki Sudra dan iblis hitam. Tiba-tiba di tengah-tengah lambang itu keluar asap hitam tebal. Asap hitam itu membubung semakin tinggi.
Ha ha ha!
Ha ha ha!
Haa haa haa!
Terdengar suara tawa menggelegar dan menggema diseluruh goa. Suara tawa itu terdengar sangat mengerikan. Di luar suara lolongan anjing liar bercampur dengan suara angin yang bergemuruh. Bulan yang tadi terlihat terang mulai berubah menjadi hitam karena tertutup awan gelap. Suasana di bukit Lembayung seketika berubah mencekam.
Sementara itu, di dalam goa, asap hitam itu telah berubah menjadi sosok yang sangat mengerikan. Kedua bola matanya besar dan berwarna merah semerah darah. Seluruh tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu berwarna hitam dan kasar. Sedangkan tangannya memiliki kuku yang sangat panjang. Kepalanya ditumbuhi tanduk. Makhluk itu juga memiliki taring yang tajam. Tercium bau anyir darah dari tubuhnya.
Keenam orang itu sudah gemetar ketakutan. Namun mereka tak bisa berbuat apa pun lagi. Mereka tak bisa lari lagi. Jika mereka mencoba untuk lari maka mereka akan mengalami sakit kepala hebat atau sakit pada bagian tubuh yang lain. Akhirnya mereka hanya bisa pasrah. Namun, benarkah keenam muda-muda itu sungguh-sungguh terpaksa melakukan itu? Tanpa sepengetahuan yang lain, di antara mereka ada yang telah mengikat perjanjian lebih dulu dengan Aki Sudra dan sang iblis hitam. Saat ini dia sedang diam-diam menyeringai dalam senyum liciknya.
Bersambung
Gadis itu diam-diam tersenyum licik. Dari sorot matanya terpancar banyak rencana jahat. Sebuah rencana yang entah dia tujukan untuk siapa. Sorot mata itu tertuju hanya pada satu orang. “Hai Sudra!” apakah mereka ini pengikut baruku?!” tanya sosok itu dengan suara menggelegar. “Benar Tuan, junjungan hamba,” jawab Aki Sudra sambil membungkuk penuh hormat pada makhluk itu. Lalu terdengar suara tawa makhluk itu lagi. “Apakah mereka sudah menikah?!” tanya makhluk itu lagi. “Belum Tuanku,” jawab Aki Sudra. “Hmm ... di antara mereka siapa yang akan menikah lebih dulu?!” kembali makhluk itu bertanya. “Mereka Tuanku. Mereka akan menikah bulan depan,” jawab Aki Sudra sambil menunjuk ke arah Karta dan Minah.
Setelah menceritakan kisahnya kepada Ustadz Yusuf, Pak Karta lalu menyampaikan niatnya untuk pergi ke hutan terlarang dan bermaksud meminta bantuan Ustadz Yusuf. “Jadi, Bapak ingin kesana?” tanya Ustadz Yusuf. “Iya Ustadz. Saya berniat menemui Haruni dan Widarta dan berbicara dengan mereka. Entah kenapa saya merasa kelahiran Diandra ada kaitannya dengan mereka. Saya juga bermaksud meminta bantuan Ustadz untuk menyadarkan mereka,” terang Pak Karta. “Maaf, Pak Karta, untuk menemani Bapak ke hutan itu, mungkin saya masih bisa tapi jika untuk menyadarkan mereka, saya tidak yakin saya akan mampu,” jawab Ustadz Yusuf meragu. “Saya percaya, Ustadz pasti bisa,” ucap Pak Karta mencoba meyakinkan Ustadz Yusuf. “Kita coba saja, Pak. Kapan rencananya kita akan ke sana?&r
“Mayaaa!” terdengar suara teriakan Rudi. Ustadz Yusuf, Pak Karta, Bu Minah dan Laila bergegas menghampiri Rudi. Pak Karta dan yang lain yang tadi menghambur ke arah Rudi tersentak saat melihat tubuh anaknya luruh ke lantai. “Rudi! Ada apa? Apa yang terjadi?!” tanya Pak Karta cemas. “M-Maya ... Maya Pak ...” “ ... Maya kenapa Rud!” seru Bu Minah. Wanita paruh baya itu langsung melesak masuk ke dalam kamar anaknya. Wanita itu terpaku seketika saat melihat tak ada menantunya yang tadi terbaring di atas kasur. “Maya,” lirih wanita itu. Pak Karta semakin bingung kala melihat reaksi sang isteri. Laki-laki itu pun melesak masuk menyusul isterinya. Dia pun tersentak seketika. Sontak dia berbalik ke arah anaknya. “Rud! Maya kemana?!” tanya Pak Karta.
Waktu berlalu sangat cepat. Tak terasa hari berganti menjadi minggu, minggu ke bulan dan akhirnya masuk hitungan tahun. Usia Dara dan Diandra telah menginjak lima tahun. Selama kurun waktu lima tahun itu, tak ada perubahan yang berarti di Desa Damai. Bisa dibilang, sejak kelahiran si kembar, Desa Damai tak lagi damai. Ada saja peristiwa yang terjadi dari peristiwa yang umum terjadi hingga peristiwa yang terjadi di luar nalar manusia. Seperti halnya pagi ini, Maya kembali kebingungan mencari si kembar. Dia mengitari seluruh rumah dan menanyakan pada para tetangga. “Dara ... Diandra, kalian kemana, Nak?” gumam Maya dengan langkah gontai memasuki rumah. Rudi yang melihat istrinya murung langsung tahu apa penyebab istrinya seperti itu. “Si Kembar berulah lagi?” tanya Rudi. Rasanya dia juga lelah
“Sebenarnya apa yang terjadi, Pak ... Bu!” seru Rudi yang tiba-tiba saja masuk ke kamar mereka. “Rudi?!” seru Pak Karta dan Bu Minah hampir bersamaan. “Aku mohon Pak, tolong ceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Semua yang sudah terjadi benar-benar di luar nalarku. Di mulai dari lahirnya Diandra lalu menghilangnya dia saat malam aqiqahan. Kemudian kejadian-kejadian aneh lain hingga menghilangnya anak dan isteriku. Sekarang, muncul tanda misterirus pada bagian tubuh kedua putriku,” tutur Rudi panjang lebar dengan tatapan menuntut. Pak Karta dan Bu Minah, sama-sama menghela napas panjang dan saling berpandangan. Dengan isyarat, akhirnya mereka setuju untuk menceritakan semuanya pada Rudi. “Ya Allah! Seberat itukah masalah ini!” seru Rudi sambil mengusap wajahnya dengan gusar setelah Pak Karta dan
Meninggalkan keluarga Rudi dan Maya yang dilingkupi misteri. Jauh di Desa Dayoh, tepatnya di rumah milik Aki Sudra. Seorang wanita muda terlihat sedang berbincang dengan pemilik rumah. “Jadi, kapan kamu akan kembali ke sana?” tanya Aki Sudra sambil membersihkan golok yang tadi digunakannya untuk menebas leher babi hutan yang diburunya. “Secepatnya, Ki ... secepatnya," ucap wanita itu. “Wati, kamu tetap harus hati-hati. Jangan gegabah. Aku akan membantumu dari sini,” ujar Aki Sudra. Ya, wanita itu adalah Wati yang kini telah menguasai ilmu dari Aki Sudra. “Iya Ki!” jawab Wati. Diam-diam wanita itu menyeringai licik. ‘Tentu kamu akan membantuku dengan memberikan nyawamu Ki” batin Wati. Ternyata selama belajar dengan Aki Sudra, Wati juga mencari tahu kelemahan Aki Sudra. Dia bermaksud me
“Haruni. Aku tahu apa yang diinginkan wanita itu. Kau! Jangan pernah coba-coba melukai anakmu. Kau tahu, bukan jika hanya anakmu yang bisa menjaga calon mempelaiku?! Akan ada hukuman untukmu jika kau melanggar perintahku!” seru suara yang bergema itu. Kemudian terdengar suara tawa yang mengerikan. Haruni bergidik ngeri. Pikirannya menerawang pada hukuman yang akan dilakukan iblis itu. Dia pernah merasakannya sekali dan itu sangat mengerikan. Mendengar ancaman dari tuannya dan mantra dari wati membuatnya bimbang. “Kau tenang saja, aku akan berikan mantra agar kau bisa melawan mantra penakluk itu,” ucap suara itu. Tiba-tiba ada hembusan angin yang menerpa dirinya. Haruni juga merasa ada sesuatu yang merasuk ke dalam tubuhnya. “Sekarang kau akan bisa menahan mantra apapun. Aku juga akan berikan pada suamimu,” kembali terdengar suara yang menggelegar itu. “Te
Entah berapa lama Wati berputar-putar di dalam hutan terlarang dan selalu kembali ke gubuk Haruni dan Widarta. Sedangkan kedua orang itu raib entah kemana. “Aargh!” teriak Wati. “Berapa lama lagi aku harus berputar-putar di hutan ini?!” teriaknya. Kemudian dia jatuh terduduk dan menangis. Wati kembali mencoba untuk mencari jalan keluar dari hutan terlarang. Namun usahanya selalu gagal. Tanda yang dibuatnya selalu hilang secara misterius. Waktu terus bergulir hingga tanpa pernah disadari Wati dia telah berada di hutan itu selama lima tahun lamanya. Beda di dalam hutan, beda pula dengan di luar hutan. Desa Damai sepertinya kini benar-benar sesuai dengan namanya. Ya, desa itu terlihat damai. Si Kembar sudah berusia sepuluh tahun. Tak pernah ada bencana apapun lagi. Gadis remaja itu tumbuh layaknya gadis remaja seusi
“Siapakah pemuda tampan itu?” Terdengar suara warga yang saling berbisik mempertanyakan tentang siapa pemuda itu. “Pak, maaf, siapa pemuda itu?” tanya Pak RT yang kebetulan berdiri di dekat Pak Sapto yang merupakan komandan dari tim polisi yang tengah sibuk memeriksa jasad gadis tak dikenal itu. “Oh, maaf, kami belum sempat memperkenalkan beliau kepada para warga di sini. Beliau Pak Ilham, seorang detektif yang dikirim dari kantor pusat untuk membantu memecahkan kasus ini,” tutur petugas polisi itu. Pak RT yang mendengar penuturan itu hanya manggut-manggut tetapi jelas terlihat bibirnya menyunggingkan senyum. Beberapa saat kemudian, jasad itu telah dikirim ke rumah sakit di kota untuk dilakukan autopsi. Sementara itu, Pak RT meminta para petugas polisi, dokter dan pemuda bern
Restia duduk dengan gelisah di sudut sebuah kafe. Sesekali ia melihat jam yang melingkar di tangannya. “Mana, sih, mereka. Hari semakin malam tapi bayangan mereka pun belum terlihat,” sungut gadis itu. Baru saja ia akan menghubungi orang yang ditunggunya melalui ponsel, mereka telah terlihat memasuki kafe itu. “Kalian darimana, sih? Aku sudah hampir dua jam menunggu kalian,” serbunya begitu Fery dan kedua temannya duduk di hadapannya. Ya, ternyata ketiga pemuda itulah yang sejak tadi ditunggunya. “Tck! Kamu lupa, kalau sudah jam pulang kerja, jalanan di kota ini berubah padat. Apalagi di perempatan depan sana pasti macet,” sahut Fery kesal. “Hah! Ya sudah, kalian pesan dulu saja,” tukas Restia. Seraya menunggu pesanan mereka, Restia yang sudah penasaran dengan apa yang ingin disampaikan se
Dua orang gadis tengah sibuk mengambil bahan makanan dari rak yang berderet di sebuah swalayan. Wajah mereka yang cantik dan terlihat mirip membuat mereka menjadi pusat perhatian. Tak hanya kaum adam tetapi juga kaum hawa. Bahkan beberapa gadis ada yang memberikan tatapan sinis karena merasa iri dengan kecantikan mereka yang nyaris sempurna. Kedua gadis itu, bukan tak menyadari telah menjadi pusat perhatian, mereka hanya berusaha bersikap biasa dan mengabaikan itu semua sesuai pesan dari ustadz Yusuf. Ya, kedua gadis itu adalah Dara dan Diandra. “Sudah semua, Kak?” tanya Diandra. Dara memperhatikan troly yang berisi belanjaan mereka. “Hanya camilan pesanan trio usil yang belum,” sahut Dara sambil terkekeh. “Ya sudah, kita ke bagian camilan dulu saja,” jawab Diandra. “Ayo,” sahut Dara.
Bakhtiar baru saja akan mengunci pintu pagar rumahnya setelah memarkirkan motornya ketika tiba-tiba dia dikejutkan suara teriakan minta tolong tak jauh dari rumahnya. ‘Suara minta tolong siapa itu?’ batin pemuda itu. Tolong! Kembali Bakhtiar mendengar suara teriakan itu. Tanpa menunggu lagi ia segera mencari arah asal suara. “Hei! Lepaskan dia!” seru pemuda itu seraya mendekat ke arah tiga orang pemuda yang tengah mengganggu seorang gadis. “Siapa kau? Pergilah dan jangan ikut campur urusan kami!” bentak salah seorang pemuda itu. “Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya orang yang tidak suka dengan laki-laki pengecut seperti kalian, yang beraninya hanya dengan seorang gadis,” sahut Bakhtiar tenang. Sementara gadis yang tadi diganggu tiga pemuda itu diam-diam menarik sudut
Dua hari telah berlalu, ustadz Yusuf yang teringat akan sesuatu kembali mengajak kedua gadis kembar itu untuk berbicara tentang hal yang ingin mereka tanyakan karena tertunda oleh ulah cucu-cucunya. Dara dan Diandra datang sambil membawa minuman dan kudapan untuk ustadz Yusuf, yang telah mereka anggap sebagai kakek mereka sendiri. Setelah meletakkan apa yang mereka bawa, kedua gadis kembar itu pun duduk di hadapan ustadz Yusuf. “Sekarang, katakan, apa yang ingin kalian tanyakan tempo hari?” ucap ustadz Yusuf membuka pembicaraan Dara dan Diandra saling melempar pandang. Hal itu membuat ustadz Yusuf mengulas senyum tipis. “Kenapa hanya saling pandang? Ayo, katakan saja,” ujar ustadz Yusuf. “Ekhem ... begini, Kek, beberapa hari yang lalu, tepatnya saat Kakek bercerita tentang tragedi
“Kalian, tinggallah sebentar di sini, saat ini aku ada perlu keluar. Tidak lama, hanya satu atau dua jam saja,” ujar Bakhtiar. Kedua gadis kembar itu saling tatap, seolah saling menanyakan pendapat. “Bagaimana? Bisa, kan, kalian tinggal di sini dulu. Hanya sampai aku kembali,” ujar pemuda itu. “Baiklah, Mas, tapi tolong kabari kakek jika kami ada di sini,” sahut Dara. “Tentu, aku akan mengabari beliau,” jawab Bakhtiar. Setelah mengabari ustadz Yusuf sesuai permintaan Dara, Bakhtiar pun bergegas pergi. Dia sengaja mengendarai motornya tetapi dia langsung bersembunyi di balik pohon tak jauh dari rumah itu. Tanpa disadari kedua gadis itu, bersamaan dengan dirinya keluar dari rumah, Bakhtiar telah membuka kembali sebagian ingatan mereka tetang kejadian sebelum mereka tiba di rumah ini. Dengan
Tubuh kedua gadis kembar itu tampak limbung dan jatuh ke tanah begitu mereka memasuki halaman rumah yang sepuluh tahun ini mereka tempati. Tampak asap tebal membubung tinggi pada salah satu tubuh gadis itu. Bakhtiar, yang mengawasi dari dalam rumah bergegas keluar saat melihat asap tebal itu semakin menipis dan menghilang. Kini, hanya ada satu tubuh gadis yang tergeletak di halaman rumah itu. Bakhtiar membopong tubuh gadis yang telah dinikahinya secara gaib beberapa hari lalu ke dalam rumah. Dibaringkannya tubuh itu ke atas ranjang. Setelah menyelimuti gadis itu, Bakhtiar keluar dari kamar menuju dapur. Pemuda itu tampak sedang menyeduh teh hangat. Ditiupkannya do’a pada minuman itu, lalu dibawanya ke kamar dimana isterinya terbaring. Dipandanginya wajah gadis itu. Terngiang ucapan sang kakek sehari sebelum dia mengikuti ustadz Yusuf. ‘Tiar, setelah ikrar pernikahan itu, jika terjadi sesuatu pada kedu
Beberapa hari kemudian, ustadz Yusuf memanggil Dara dan Diandra ke ruang pribadinya. Sesuai janjinya, hari ini ia akan menceritakan semuanya kepada kedua gadis kembar itu. Dilema yang dialaminya menghilang sudah setelah ia teringat ucapan kiai Ummar. Ia juga sudah menghubungi Bakhtiar dan meminta pemuda itu untuk bersiap jika sewaktu-waktu terjadi sesuatu. “Hari ini, kakek sudah siap menceritakan semuanya pada kalian. Apa, kalian yakin, ingin mendengar keseluruhan ceritanya?” tanya ustadz Yusuf pada kedua gadis kembar itu. “Iya, Kek,” jawab mereka serempak. Ustadz Yusuf tampak menghela napas panjang sebelum memulai ceritanya. “Sebelum kakek mulai bercerita, bisakah kalian ceritakan kembali mimpi yang kalian alami kepada kakek?” pancing ustadz Yusuf. “Iya, Kek. Waktu itu, Dara seperti dibawa ke r
Melihat Ustadz Yusuf yang masih terdiam, membuat rasa penasaran dalam diri kedua gadis kembar itu semakin besar. “Kek, ayolah, ceritakan lagi pada kami,” rengek Dara sambil bergelayut di bahu kiri ustadz Yusuf. “Iya, Kek, Andra juga penasaran lho,” kali ini, Diandra yang membujuk ustadz Yusuf. Pria tua itu, merasa semakin dilema tetapi dia harus melakukan sesuatu agar kedua gadis kembar itu tak lagi merengek padanya. “Baiklah, kakek akan cerita, tetapi tidak sekarang,” tukas ustadz Yusuf. “Yaa, Kakek, kok gitu!” seru mereka kompak. “Ada apa, ini? Ramai sekali,” ujar Halimah yang tiba-tiba hadir di sana. “Oh, itu Nek, kami sedang menonton berita kejahatan yang lagi ramai saat ini,” jawab ustadz Yusuf yang tak sepenu