Waktu berlalu sangat cepat. Tak terasa hari berganti menjadi minggu, minggu ke bulan dan akhirnya masuk hitungan tahun. Usia Dara dan Diandra telah menginjak lima tahun. Selama kurun waktu lima tahun itu, tak ada perubahan yang berarti di Desa Damai. Bisa dibilang, sejak kelahiran si kembar, Desa Damai tak lagi damai. Ada saja peristiwa yang terjadi dari peristiwa yang umum terjadi hingga peristiwa yang terjadi di luar nalar manusia.
Seperti halnya pagi ini, Maya kembali kebingungan mencari si kembar. Dia mengitari seluruh rumah dan menanyakan pada para tetangga.
“Dara ... Diandra, kalian kemana, Nak?” gumam Maya dengan langkah gontai memasuki rumah. Rudi yang melihat istrinya murung langsung tahu apa penyebab istrinya seperti itu.
“Si Kembar berulah lagi?” tanya Rudi. Rasanya dia juga lelah
“Sebenarnya apa yang terjadi, Pak ... Bu!” seru Rudi yang tiba-tiba saja masuk ke kamar mereka. “Rudi?!” seru Pak Karta dan Bu Minah hampir bersamaan. “Aku mohon Pak, tolong ceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Semua yang sudah terjadi benar-benar di luar nalarku. Di mulai dari lahirnya Diandra lalu menghilangnya dia saat malam aqiqahan. Kemudian kejadian-kejadian aneh lain hingga menghilangnya anak dan isteriku. Sekarang, muncul tanda misterirus pada bagian tubuh kedua putriku,” tutur Rudi panjang lebar dengan tatapan menuntut. Pak Karta dan Bu Minah, sama-sama menghela napas panjang dan saling berpandangan. Dengan isyarat, akhirnya mereka setuju untuk menceritakan semuanya pada Rudi. “Ya Allah! Seberat itukah masalah ini!” seru Rudi sambil mengusap wajahnya dengan gusar setelah Pak Karta dan
Meninggalkan keluarga Rudi dan Maya yang dilingkupi misteri. Jauh di Desa Dayoh, tepatnya di rumah milik Aki Sudra. Seorang wanita muda terlihat sedang berbincang dengan pemilik rumah. “Jadi, kapan kamu akan kembali ke sana?” tanya Aki Sudra sambil membersihkan golok yang tadi digunakannya untuk menebas leher babi hutan yang diburunya. “Secepatnya, Ki ... secepatnya," ucap wanita itu. “Wati, kamu tetap harus hati-hati. Jangan gegabah. Aku akan membantumu dari sini,” ujar Aki Sudra. Ya, wanita itu adalah Wati yang kini telah menguasai ilmu dari Aki Sudra. “Iya Ki!” jawab Wati. Diam-diam wanita itu menyeringai licik. ‘Tentu kamu akan membantuku dengan memberikan nyawamu Ki” batin Wati. Ternyata selama belajar dengan Aki Sudra, Wati juga mencari tahu kelemahan Aki Sudra. Dia bermaksud me
“Haruni. Aku tahu apa yang diinginkan wanita itu. Kau! Jangan pernah coba-coba melukai anakmu. Kau tahu, bukan jika hanya anakmu yang bisa menjaga calon mempelaiku?! Akan ada hukuman untukmu jika kau melanggar perintahku!” seru suara yang bergema itu. Kemudian terdengar suara tawa yang mengerikan. Haruni bergidik ngeri. Pikirannya menerawang pada hukuman yang akan dilakukan iblis itu. Dia pernah merasakannya sekali dan itu sangat mengerikan. Mendengar ancaman dari tuannya dan mantra dari wati membuatnya bimbang. “Kau tenang saja, aku akan berikan mantra agar kau bisa melawan mantra penakluk itu,” ucap suara itu. Tiba-tiba ada hembusan angin yang menerpa dirinya. Haruni juga merasa ada sesuatu yang merasuk ke dalam tubuhnya. “Sekarang kau akan bisa menahan mantra apapun. Aku juga akan berikan pada suamimu,” kembali terdengar suara yang menggelegar itu. “Te
Entah berapa lama Wati berputar-putar di dalam hutan terlarang dan selalu kembali ke gubuk Haruni dan Widarta. Sedangkan kedua orang itu raib entah kemana. “Aargh!” teriak Wati. “Berapa lama lagi aku harus berputar-putar di hutan ini?!” teriaknya. Kemudian dia jatuh terduduk dan menangis. Wati kembali mencoba untuk mencari jalan keluar dari hutan terlarang. Namun usahanya selalu gagal. Tanda yang dibuatnya selalu hilang secara misterius. Waktu terus bergulir hingga tanpa pernah disadari Wati dia telah berada di hutan itu selama lima tahun lamanya. Beda di dalam hutan, beda pula dengan di luar hutan. Desa Damai sepertinya kini benar-benar sesuai dengan namanya. Ya, desa itu terlihat damai. Si Kembar sudah berusia sepuluh tahun. Tak pernah ada bencana apapun lagi. Gadis remaja itu tumbuh layaknya gadis remaja seusi
Wati menghempaskan tubuhnya di kursi kayu yang ada di teras rumahnya. Dia mengusap kasar wajahnya. Dia bahkan tak perduli saat melihat kondisi rumahnya yang sudah mirip rumah tua. Saat ini dia hanya ingin istirahat sejenak untuk menghilangkan rasa lelahnya. Rupanya dia masih belum sadar jika dia terjebak cukup lama di hutan terlarang. Wati bangun dari duduknya dan melangkah memasuki rumah. Keningnya mengkerut saat menyadari kondisi rumahnya. ‘Bukankah aku tidak pulang hanya beberpa hari. Tapi ... kenapa rumahku seperti sudah aku tinggalkan bertahun-tahun lamanya’ gumam Wati dalam hati. Wanita itu bergidik ngeri sendiri melihat keadaan rumahnya. Dia menghembuskan napas kasar dan bergegas membersihkan rumahnya. Sesekali terdengar suara gerutuan darinya. Setelah selesai membersihkan rumah dia merasakan perutnya lapar. Dia mengambil dompetnya dan keluar rumah untuk membeli makana
Hari yang dinantikan oleh Wati akhirnya tiba juga. Malam itu adalah malam bulan purnama. Namun, bulan purnama malam itu sangat mengerikan. Entah bulannya atau hanya sinarnya yang seakan berwarna semerah darah. Di kediamannya, Ustadz Yusuf merasa sangat gelisah. Seorang wanita paruh baya mendekati Ustadz Yusuf. Wanita itu duduk di depan Ustadz Yusuf. “Pak, ada apa? Ibu perhatikan sejak tadi sepertinya Bapak gelisah sekali. Apa ada hubungannya dengan suasana malam ini?” tanya wanita itu yang ternyata adalah isteri dari utadz Yusuf. “Entahlah Bu. Bapak juga tidak tahu. Tapi, memang perasaan bapak terasa tidak enak. Seperti ... akan terjadi sesuatu yang besar,” ungkap ustadz Yusuf. Tiba-tiba terdengar suaran teriakan orang yang memanggil ustadz Yusuf dengan nada panik. “Assalamu’alaikum! Ustadz! Assalamu&
Malam itu terasa begitu sunyi. Denting jam yang tergantung disalah satu dinding kamar terdengar begitu nyaring. Membuat suasana malam itu terasa begitu mencekam. Aarrggh! Teriak Diandra yang tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Dadanya nampak naik turun dengan napas yang memburu. ‘Lagi-lagi mimpi yang sama. Siapa sebenarnya mereka? Kenapa selalu saja datang dalam mimpiku’ gumam gadis itu. Dia meraup wajahnya dengan kasar. ‘Aku harus bicara sama Kak Dara’ batin Diandra. Kemudian dia turun dari tempat tidurnya dan mengatunkan langkah keluar dari kamarnya. Suasana tampak sepi saat dia keluar dari kamar. Dia melihat ke arah kamar yang ada di sebelah kamarnya. Tampak kamar itu begitu gelap. ‘Kamar Kak Dara gelap, apa dia lembur lagi malam ini’ batin gadis itu bertanya-tanya. Dia menatap sedih kamar itu. Sudah hampir sepuluh tahun dia hanya tinggal berdua dengan kakak kembarnya. Sejak saat it
“Kek, sebenarnya, apa yang terjadi pada kak Dara?” tanya Diandra cemas. Saat ini mereka tengah duduk di ruang tengah setelah ustadz Yusuf menenangkan Dara. “Sangat panjang ceritanya,” jawab ustadz Yusuf singkat. “Sepanjang apapun, Andra siap mendengarkan, Kek. Tolong, Kek. Tolong, ceritakan semuanya,” pinta Diandra dengan tatapan memohon. Pria yang usianya tak lagi muda itu pun menghela napas panjang. “Kakek, akan ceritakan. Tapi, tidak sekarang,” ujar ustadz Yusuf. “Istirahatlah dan temani kakakmu,” sambung ustadz Yusuf. Kemudian pria itu pun bangkit dan beranjak dari duduknya. “Kakek, mau kemana?” tanya Diandra saat melihat pria tua itu melangkah menuju ke pintu keluar. “Kakek mau ke masjid lalu ke rumah pamanmu sebentar,” jawab ustadz Yusuf. Sejak sepuluh tahun lalu atau tepatnya sejak tragedi yang men
“Siapakah pemuda tampan itu?” Terdengar suara warga yang saling berbisik mempertanyakan tentang siapa pemuda itu. “Pak, maaf, siapa pemuda itu?” tanya Pak RT yang kebetulan berdiri di dekat Pak Sapto yang merupakan komandan dari tim polisi yang tengah sibuk memeriksa jasad gadis tak dikenal itu. “Oh, maaf, kami belum sempat memperkenalkan beliau kepada para warga di sini. Beliau Pak Ilham, seorang detektif yang dikirim dari kantor pusat untuk membantu memecahkan kasus ini,” tutur petugas polisi itu. Pak RT yang mendengar penuturan itu hanya manggut-manggut tetapi jelas terlihat bibirnya menyunggingkan senyum. Beberapa saat kemudian, jasad itu telah dikirim ke rumah sakit di kota untuk dilakukan autopsi. Sementara itu, Pak RT meminta para petugas polisi, dokter dan pemuda bern
Restia duduk dengan gelisah di sudut sebuah kafe. Sesekali ia melihat jam yang melingkar di tangannya. “Mana, sih, mereka. Hari semakin malam tapi bayangan mereka pun belum terlihat,” sungut gadis itu. Baru saja ia akan menghubungi orang yang ditunggunya melalui ponsel, mereka telah terlihat memasuki kafe itu. “Kalian darimana, sih? Aku sudah hampir dua jam menunggu kalian,” serbunya begitu Fery dan kedua temannya duduk di hadapannya. Ya, ternyata ketiga pemuda itulah yang sejak tadi ditunggunya. “Tck! Kamu lupa, kalau sudah jam pulang kerja, jalanan di kota ini berubah padat. Apalagi di perempatan depan sana pasti macet,” sahut Fery kesal. “Hah! Ya sudah, kalian pesan dulu saja,” tukas Restia. Seraya menunggu pesanan mereka, Restia yang sudah penasaran dengan apa yang ingin disampaikan se
Dua orang gadis tengah sibuk mengambil bahan makanan dari rak yang berderet di sebuah swalayan. Wajah mereka yang cantik dan terlihat mirip membuat mereka menjadi pusat perhatian. Tak hanya kaum adam tetapi juga kaum hawa. Bahkan beberapa gadis ada yang memberikan tatapan sinis karena merasa iri dengan kecantikan mereka yang nyaris sempurna. Kedua gadis itu, bukan tak menyadari telah menjadi pusat perhatian, mereka hanya berusaha bersikap biasa dan mengabaikan itu semua sesuai pesan dari ustadz Yusuf. Ya, kedua gadis itu adalah Dara dan Diandra. “Sudah semua, Kak?” tanya Diandra. Dara memperhatikan troly yang berisi belanjaan mereka. “Hanya camilan pesanan trio usil yang belum,” sahut Dara sambil terkekeh. “Ya sudah, kita ke bagian camilan dulu saja,” jawab Diandra. “Ayo,” sahut Dara.
Bakhtiar baru saja akan mengunci pintu pagar rumahnya setelah memarkirkan motornya ketika tiba-tiba dia dikejutkan suara teriakan minta tolong tak jauh dari rumahnya. ‘Suara minta tolong siapa itu?’ batin pemuda itu. Tolong! Kembali Bakhtiar mendengar suara teriakan itu. Tanpa menunggu lagi ia segera mencari arah asal suara. “Hei! Lepaskan dia!” seru pemuda itu seraya mendekat ke arah tiga orang pemuda yang tengah mengganggu seorang gadis. “Siapa kau? Pergilah dan jangan ikut campur urusan kami!” bentak salah seorang pemuda itu. “Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya orang yang tidak suka dengan laki-laki pengecut seperti kalian, yang beraninya hanya dengan seorang gadis,” sahut Bakhtiar tenang. Sementara gadis yang tadi diganggu tiga pemuda itu diam-diam menarik sudut
Dua hari telah berlalu, ustadz Yusuf yang teringat akan sesuatu kembali mengajak kedua gadis kembar itu untuk berbicara tentang hal yang ingin mereka tanyakan karena tertunda oleh ulah cucu-cucunya. Dara dan Diandra datang sambil membawa minuman dan kudapan untuk ustadz Yusuf, yang telah mereka anggap sebagai kakek mereka sendiri. Setelah meletakkan apa yang mereka bawa, kedua gadis kembar itu pun duduk di hadapan ustadz Yusuf. “Sekarang, katakan, apa yang ingin kalian tanyakan tempo hari?” ucap ustadz Yusuf membuka pembicaraan Dara dan Diandra saling melempar pandang. Hal itu membuat ustadz Yusuf mengulas senyum tipis. “Kenapa hanya saling pandang? Ayo, katakan saja,” ujar ustadz Yusuf. “Ekhem ... begini, Kek, beberapa hari yang lalu, tepatnya saat Kakek bercerita tentang tragedi
“Kalian, tinggallah sebentar di sini, saat ini aku ada perlu keluar. Tidak lama, hanya satu atau dua jam saja,” ujar Bakhtiar. Kedua gadis kembar itu saling tatap, seolah saling menanyakan pendapat. “Bagaimana? Bisa, kan, kalian tinggal di sini dulu. Hanya sampai aku kembali,” ujar pemuda itu. “Baiklah, Mas, tapi tolong kabari kakek jika kami ada di sini,” sahut Dara. “Tentu, aku akan mengabari beliau,” jawab Bakhtiar. Setelah mengabari ustadz Yusuf sesuai permintaan Dara, Bakhtiar pun bergegas pergi. Dia sengaja mengendarai motornya tetapi dia langsung bersembunyi di balik pohon tak jauh dari rumah itu. Tanpa disadari kedua gadis itu, bersamaan dengan dirinya keluar dari rumah, Bakhtiar telah membuka kembali sebagian ingatan mereka tetang kejadian sebelum mereka tiba di rumah ini. Dengan
Tubuh kedua gadis kembar itu tampak limbung dan jatuh ke tanah begitu mereka memasuki halaman rumah yang sepuluh tahun ini mereka tempati. Tampak asap tebal membubung tinggi pada salah satu tubuh gadis itu. Bakhtiar, yang mengawasi dari dalam rumah bergegas keluar saat melihat asap tebal itu semakin menipis dan menghilang. Kini, hanya ada satu tubuh gadis yang tergeletak di halaman rumah itu. Bakhtiar membopong tubuh gadis yang telah dinikahinya secara gaib beberapa hari lalu ke dalam rumah. Dibaringkannya tubuh itu ke atas ranjang. Setelah menyelimuti gadis itu, Bakhtiar keluar dari kamar menuju dapur. Pemuda itu tampak sedang menyeduh teh hangat. Ditiupkannya do’a pada minuman itu, lalu dibawanya ke kamar dimana isterinya terbaring. Dipandanginya wajah gadis itu. Terngiang ucapan sang kakek sehari sebelum dia mengikuti ustadz Yusuf. ‘Tiar, setelah ikrar pernikahan itu, jika terjadi sesuatu pada kedu
Beberapa hari kemudian, ustadz Yusuf memanggil Dara dan Diandra ke ruang pribadinya. Sesuai janjinya, hari ini ia akan menceritakan semuanya kepada kedua gadis kembar itu. Dilema yang dialaminya menghilang sudah setelah ia teringat ucapan kiai Ummar. Ia juga sudah menghubungi Bakhtiar dan meminta pemuda itu untuk bersiap jika sewaktu-waktu terjadi sesuatu. “Hari ini, kakek sudah siap menceritakan semuanya pada kalian. Apa, kalian yakin, ingin mendengar keseluruhan ceritanya?” tanya ustadz Yusuf pada kedua gadis kembar itu. “Iya, Kek,” jawab mereka serempak. Ustadz Yusuf tampak menghela napas panjang sebelum memulai ceritanya. “Sebelum kakek mulai bercerita, bisakah kalian ceritakan kembali mimpi yang kalian alami kepada kakek?” pancing ustadz Yusuf. “Iya, Kek. Waktu itu, Dara seperti dibawa ke r
Melihat Ustadz Yusuf yang masih terdiam, membuat rasa penasaran dalam diri kedua gadis kembar itu semakin besar. “Kek, ayolah, ceritakan lagi pada kami,” rengek Dara sambil bergelayut di bahu kiri ustadz Yusuf. “Iya, Kek, Andra juga penasaran lho,” kali ini, Diandra yang membujuk ustadz Yusuf. Pria tua itu, merasa semakin dilema tetapi dia harus melakukan sesuatu agar kedua gadis kembar itu tak lagi merengek padanya. “Baiklah, kakek akan cerita, tetapi tidak sekarang,” tukas ustadz Yusuf. “Yaa, Kakek, kok gitu!” seru mereka kompak. “Ada apa, ini? Ramai sekali,” ujar Halimah yang tiba-tiba hadir di sana. “Oh, itu Nek, kami sedang menonton berita kejahatan yang lagi ramai saat ini,” jawab ustadz Yusuf yang tak sepenu