Peluh bercucuran membasahi kedua sisi wajah pria berhidung mancung yang tengah terengah kehabisan napas.
Rahangnya nampak begitu tegas saat segaris keringat turun melalui tulangnya yang menonjol. Ia membungkuk sembari mengusap sebagian keringat yang meluncur membasahi ekor mata kanannya.
Gadis yang ia kejar selama beberapa menit lalu akhirnya berbalik –membungkuk seraya mengulurkan tangan kanannya, hendak menyapu sebagian keringat yang membanjiri sisi kiri wajah pria yang ada di hadapannya."Biar aku bantu, Ash." ucap sang gadis.
"Leona," panggil Ash seperti ingin menanyakan sesuatu.
"Hm?" Gadis itu menaikan pandangannya; menatap Ash yang sedikit lebih tinggi darinya.
"Bicaralah, Ash. Jangan setengah-setengah." sambung Leona.
"Apa artinya aku untukmu, Leona?" tanya Ash; nada bicaranya terdengar sedikit tinggi dan itu berhasil membuyarkan segala macam lamunan Leona.
"Tanpa aku jelaskan, kau sudah tahu betul jawabannya, 'kan?" ujar Leona diiringi tawa sarkas di akhir kalimat.
Ash menunjukan seringainya sebelum akhirnya melakukan hal yang sama, –mendekatkan wajahnya pada Leona, membuat ujung hidung mereka saling beradu.
Ash mendesah pasrah. Ia memejamkan matanya selama beberapa saat, lalu menatap ke dalam netra hazel milik Leona."Baiklah. Lakukan sesukamu, Leona Argent." lirih Ash.
Ash berbalik, dengan langkahnya yang panjang, Ash meninggalkan Leona dalam sekejap.
Leona bergeming. Yang ia lakukan hanya memandangi kepergian Ash dengan tatapan sendunya.
Ia baru saja menyadari bahwa apa yang ada dalam pikirannya berbanding terbalik dengan apa yang ada dalam pikiran Ash.Ia pikir Ash akan memeluknya, memintanya untuk berada di sisinya—selamanya. Namun seolah tertampar kenyataan, dengan lantang seseorang berteriak, melontarkan kalimat yang benar-benar membuat sepasang netra bulatnya terbuka lebar selama beberapa detik."Kalian tidak akan pernah bisa bersama!" seru seseorang dari suatu tempat.
"Menyerahlah, Argent!" sambungnya seraya menampakkan diri dari balik pohon besar; tak jauh dari tempat Leona berpijak saat itu.
Benar yang dikatakan orang itu. Sekeras apapun mereka berusaha untuk bersama, mereka memang tak akan pernah bisa menyatu.
Setelah meresapi arti kalimat yang orang tersebut katakan, Leona menundukkan kepalanya selama beberapa saat; mengembuskan napasnya dengan kasar seraya mendongak, menatap langit sore yang entah sejak kapan nampak begitu abu-abu. Seperti perasaannya.
"Sudahlah. Berhenti mendatangiku, Damien Skarsgard. Aku tidak tertarik untuk kembali padamu!" seru Leona saat ekor matanya berhasil menangkap sosok yang sangat dikenalnya. Damien Skarsgard.
"Menyerahlah jika sudah menyadarinya, Argent!" tegas Damien sekali lagi.
Netra elangnya tengah memindai Leona dari ujung kepala hingga ujung kaki. Entah apa yang ia temukan di sana, namun itu benar-benar berhasil membuatnya tersenyum miring saat netra mereka akhirnya bertemu.
Damien mengulurkan tangan kanannya ke hadapan Leona. "Kembalilah padaku, Leona. Menjadi bagian dari Keluarga Skarsgard bukanlah sebuah kesalahan." ucap Damien penuh harap."Berhenti mengganggunya, Damien!" pekik Ash.
"Ash?" panggil Leona saat netranya berhasil menangkap sosok Ash yang tengah mengulas seringai tajamnya.
"Sejak kapan kau berada di atas sana?" tanya Leona penasaran.
"Kembalilah padaku." bisik Damien. "Tak ada gunanya mencintai makhluk yang bukan kaummu, Argent."
***
To be continue...
***
Salju pertama turun sore itu. Seluruh anggota Keluarga Argent memandangi hamparan putih yang mereka pijak. Kota Moonwood menyambut kedatangan para makhluk berdarah dingin itu dengan butiran putih yang turun dari langit. Satu persatu dari mereka memasuki pekarangan rumah bergaya classic itu. Rumah yang akan mereka jadikan sebagai tempat berlindung baru, –persembunyian dari kejaran para Skarsgard.Rumah itu jauh lebih besar dari tempat tinggal mereka sebelumnya. Semuanya terlihat begitu nyaman. Bahkan, Malia banyak tersenyum sejak ia memasuki rumah itu untuk pertama kalinya. Ia tampak begitu senang. Dengan suaranya yang riang, dalam sudut pandang Malia, suasana rumah itu terasa seperti suasana tempat tinggal keluarga aslinya, Keluarga Hale. Loui yang sejak memijakkan kedua kakinya di tanah Moonwood hanya m
Di tempat lain, tak begitu jauh dari kediaman Keluarga Argent, seorang wanita tampak sibuk –hilir mudik kesana-kemari, menjajakan berbagai macam makanan yang akan mereka santap malam itu. Erin Cooper. Seorang ibu tunggal yang menjadi tulang punggung keluarga sejak kepergian suaminya, sepuluh tahun lalu. Pagi hingga sore hari ia akan sibuk dengan segala macam pekerjaan kantor, malamnya ia menunaikan tugasnya sebagai seorang ibu bagi kedua anak kembarnya. Gabriel dan Ashton.Sekilas keluarga kecil itu nampak seperti keluarga biasa pada umumnya. Namun kenyataannya mereka bukan dari kalangan keluarga biasa. Erin adalah istri dari Dennis Cooper –seorang werewolf yang paling disegani di Kota Moonwood. Dennis meninggal sepuluh tahun lalu saat terjadi perselisihan antara klan werewolves dan klan vampire, –kematian Dennis masih menjadi mister
"Katakan yang sejujurnya. Siapa yang telah mengubahmu menjadi seorang Hybrid, Archie?" tuntut Ash.Archie menggaruk ujung alisnya, ia benar-benar sudah ketahuan. "Ah. Itu... Sebenarnya, aku juga tidak tahu pasti siapa yang melakukannya saat itu. Karena-"Archie terperangah. Ia belum benar-benar menyelesaikan kalimatnya, namun Ash dengan begitu tenang menyela ucapannya."Apa sang Purebloods itu ada di dalam sana?" tanya Ash seraya mengulurkan telunjuk kanannya ke bangunan megah Mitchell mansion yang terpampang jelas di hadapan mereka.Ini bahaya. Ash tak melepaskan tatapan tajamnya barang sedetik pun dari bangunan megah itu. Ia berusaha memindai, mencari pelaku yang telah mengubah sahabatnya itu.Meski tatapan dan nada bicaranya begitu tenang, hal itu justru membahayakan. Ash tengah mengumpulkan seluruh ke
Masih di ruangan yang sama, semua anggota Keluarga Argent memberikan seluruh atensinya pada Charles seorang. Ia menyimpan sendiri kegusarannya, dan berhasil membuat anak juga cucunya merasa khawatir –penasaran dengan penyebabnya.Ketiga cucunya mendekat, lalu berdiri melingkari sang kakek."Apa mulut Kakek tidak terasa asam? Kakek menjadi pendiam setelah bersentuhan dengan bocah hybrid tadi." cecar Leona.Leona merotasikan bola matanya saat Charles tiba-tiba tertawa geli melihat tingkah dan ucapannya.Tidak. Bukan hanya Charles, tapi semua orang yang ada di ruangan itu pun ikut tertawa. Ia melemparkan tatapan nyalangnya pada mereka yang telah menertawainya sejak beberapa saat lalu."Bisakah Kakek berhenti tertawa? Bukan saatnya untuk menertawakanku, kek." Leona bersungut-sungut.
"Ashton! Kemarilah, Nak." panggil Erin saat pintu depan rumahnya berderit disusul suara langkah kaki.Ash segera menegakkan tubuhnya setelah berhasil menutup rapat pintu –dihampirinya Erin dengan langkah panjangnya. "Maaf, Bu. Aku lupa kalau hari ini kita punya acara makan malam bersama." jelasnya.Erin segera memeluk putranya sambil lalu mengucap selamat disertai serangkaian doa dan harapannya pada sang sulung.Ash bergeming. Ia mengeratkan pelukannya pada Erin."Aku hampir membuat keributan, bu." lirih Ash."Apa kau membuat keributan di Mitchell Hills, Ash?" Erin penasaran.Di sepersekian detik berikutnya Ash melepaskan pelukannya, –menatap ke dalam netra sendu milik Erin.
Malia tengah asyik menuangkan air panas ke dalam mug besar kesayangannya. Senyumnya mengembang saat mendengar suara langkah kaki yang bersahutan semakin mendekat padanya."Loui. Kita bisa mengobrol di balkon kamarmu, 'kan? Aku tidak ingin memandangi bulan sen-" Malia melonjak kaget saat berbalik; Luca berdiri di ambang pintu dan menatapnya dengan sendu.Malia terus menyunggingkan senyum manisnya –ia berusaha keras mencairkan kecanggungan yang baru saja dibuatnya tanpa sengaja. "Mau bercerita tentang sesuatu?" tanya Malia penuh semangat.Luca beranjak, berjalan mendahului setelah memberikan sebuah anggukkan sebagai jawaban.Malia mengekorinya dengan canggung. Ia benar-benar bingung dan merasa tak enak hati. Ia memanggil nama Loui sebelum berbalik dan memastikan siapa yang mendatanginya saat itu.
"Kakak! Apa kau membuat Malia marah?" Leona angkat bicara setelah hampir tiga puluh menit hening karena semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing.Loui fokus mengemudi dan memperhatikan jalanan di depannya. Luca yang duduk di belakangnya sedang tenggelam bersama buku tebal yang ada dalam genggamannya.Malia yang hari itu memilih duduk di samping Luca menyandarkan kepalanya pada kaca jendela, sambil memejamkan mata –berpura-pura tidur."Loui Argent! Can you hear me?" Leona memiringkan sedikit kepalanya; memperhatikan Loui yang begitu asyik mengendarai mobil baru mereka.Loui melirik Leona sekilas, lalu kembali memberikan seluruh atensinya pada jalanan di depan mereka. Ia terkekeh pelan saat menangkap raut kesal yang ditunjukan Leona padanya. "Kita bicarakan itu nanti, Leona Argent." bisiknya.Leona menci
"Leona, kami tunggu di parkiran, ya? Sepertinya Ash ingin membicarakan banyak hal."Malia segera menarik Loui –membawanya pergi meninggalkan Leona bersama Ash.Mereka menghentikan langkahnya saat netra keduanya menangkap Leona dan Ash pergi menuju hutan belakang gedung Universitas.Awalnya, Malia dan Loui ingin membiarkan mereka menyelesaikan urusan yang harus mereka selesaikan. Namun saat indera penciuman Loui menangkap bau yang sangat tak asing. Ia menjadi khawatir.Segera Loui membawa Malia ke tempat di mana Gabe dan Archie berada –menitipkan Malia pada keduanya."Hey!" pekik Malia. "Memangnya aku barang? Kenapa kamu menitipkanku pada mereka?" Malia bersungut-sungut kesal mendengar kata 'titip' yang Loui ucapkan pada Gabe dan Archie.Loui mengulas senyum simpulnya seraya mengusap puncak kepala Malia dengan lembut dan berkata, "Ma