Share

KISSES

Malia tengah asyik menuangkan air panas ke dalam  mug besar kesayangannya. Senyumnya mengembang saat mendengar suara langkah kaki yang bersahutan semakin mendekat padanya.

"Loui. Kita bisa mengobrol di balkon kamarmu, 'kan? Aku tidak ingin memandangi bulan sen-" Malia melonjak kaget saat berbalik; Luca berdiri di ambang pintu dan menatapnya dengan sendu.

Malia terus menyunggingkan senyum manisnya –ia berusaha keras mencairkan kecanggungan yang baru saja dibuatnya tanpa sengaja. "Mau bercerita tentang sesuatu?" tanya Malia penuh semangat.

Luca beranjak, berjalan mendahului setelah memberikan sebuah anggukkan sebagai jawaban.

Malia mengekorinya dengan canggung. Ia benar-benar bingung dan merasa tak enak hati. Ia memanggil nama Loui sebelum berbalik dan memastikan siapa yang mendatanginya saat itu.

Ia benar-benar merasa kalau dirinya penyebab dari tatapan sendu yang ditunjukkan Luca padanya beberapa saat lalu.

Mereka pun duduk bersama di balkon kamar Luca. Dengan canggung Malia menyesap cokelat hangatnya sambil sesekali mencuri pandang ke tempat di mana Luca berada.

Sadar diperhatikan, Luca pun angkat bicara, "Minum dengan benar. Nanti tersedak." katanya.

Baru saja Luca menutup katup mulutnya, Malia terbatuk –tersedak. Ia segera menghampiri Malia dan menepuk-nepuk punggungnya perlahan. "Sudah ku bilang, 'kan? Minumlah dengan benar." celoteh Luca.

Tak ada obrolan selama beberapa menit. Keduanya nampak canggung dan bingung harus memulai obrolan dari mana. Namun bukan Malia namanya kalau kehabisan akal untuk mencairkan kecanggungan yang ada.

"Kali ini akan tetap menjadi anak remaja yang duduk di bangku kelas sebelas, atau mencoba hal baru lainnya?" cecar Malia.

Malia meletakkan mug besarnya ke hadapan Luca. Membuat Luca kembali memberikan seluruh atensinya pada Malia yang duduk berhadapan dengannya.

Luca mengernyit bingung. Kedua pangkal alisnya hampir menyatu. "Hal baru?" Luca menjeda pertanyaannya. Ia meraih mug tersebut, lalu mengulurkannya ke hadapan Malia. "Misalnya, apa?" tanya Luca.

Malia memegangi kembali mug kesayangannya itu, lalu menjawab, "Uhm... Menjadi anak remaja yang duduk di bangku kelas delapan atau sembilan, mungkin?" ucapnya setengah meledek.

Luca mendengus seraya mengulum senyum. "Bisa-bisanya Malia bercanda soal itu, bukannya dia tahu usiaku sudah ratusan tahun?" batinnya.

Malia terkekeh pelan sembari memiringkan kepalanya, menatap Luca dengan mata berbinarnya. "Hey! Tersenyumlah. Kau terlihat sangat manis saat tersenyum." imbuh Malia.

Tanpa sadar Luca pun tersenyum, membuat Malia ikut tersenyum.

"Kalau Leona pasti akan menjadi teman sekelasku di Universitas... Dan, Loui...? Sepertinya Loui akan kembali menjadi mahasiswa kedokteran tingkat akhir. Seperti biasa." ujarnya penuh percaya diri.

Sementara itu di ruangan lain, Loui bersama Rosalie tengah berdiri di ambang pintu kamar menghadap balkon tengah –memerhatikan segala macam interaksi antara Luca dan Malia.

"Jadi, kau sedang mencoba mengalah pada Luca, hm?" Rosalie akhirnya angkat bicara.

Loui terperanjat kaget. Ia hampir lupa kalau sejak beberapa menit yang lalu ia tengah terlibat dalam sebuah obrolan bersama Rosalie.

Namun ia tiba-tiba bungkam saat mendengar tawa renyah milik Malia dari balkon sebrang.

"Luca tahu kalau kau menyukai Malia." katanya. "Jangan bertingkah seolah tidak peduli padanya, atau mengalah secara terang-terangan. Itu akan menyakiti hati Luca, sayang." celoteh Rosalie saat menangkap gurat cemburu di wajah Loui.

Rosalie menajamkan indera penciumannya. Bau harum yang begitu dikenalnya tercium jelas. Rosalie mengendus pelan. Bau anyirnya begitu harum dan memabukan.

"Loui. Bukankah ini aroma darah Ma–"

Rosalie menggeleng seraya mengulas senyuman saat mendapati sisi kanannya telah kosong. "Lihat! Sigap sekali dia begitu mencium aroma ini." gumamnya.

Sementara itu, di sebrang sana Malia tengah menekan luka pada telapak tangannya sekuat tenaga. Sesekali ia meringis kesakitan. Tak ada yang bisa Luca lakukan selain menyingkirkan pecahan mug dan bergegas pergi meninggalkan Malia seorang diri di sana.

Luca akan selalu menghindari Malia dalam keadaan seperti ini.

Bagaimana pun, aroma darah Malia benar-benar segar juga begitu menggoda. Dan untuk vampire minor seperti Luca akan sulit menahan diri dari godaan tersebut.

Itulah alasan mengapa Luca selalu menghindar setiap kali ada kejadian seperti ini.

"Sshh! Ah. Kenapa sakit sekali?" Malia meringis kesakitan.

"Biar aku obati." lirih Loui yang entah sejak kapan berjongkok di hadapannya sembari mengulurkan tangan kanannya ke hadapan Malia.

Malia bergeming. Ia masih asyik memandangi Loui dengan jantungnya yang berdebar. Loui berdecak kesal karena Malia tak kunjung menyambut uluran tangannya. Ia mengangkat tubuh mungil Malia tanpa permisi, lalu membawanya masuk ke dalam kamar.

"Apa ada gunanya memandangi wajahku disaat-saat seperti ini? Kau mau mati karena kehabisan darah?" cecarnya tanpa ragu.

Malia mengernyit, kedua pangkal alisnya tampak hampir menyatu. "H- hey! Ka- kau sedang memarahiku, huh?" Meski tergagap akhirnya Malia membuka suara setelah beberapa menit lalu tenggelam dalam pesona seorang Loui.

Ia pun menoleh –menatap Malia selama beberapa saat. Walau hanya beberapa detik, tatapannya berhasil membuat Malia luluh lantah. Jantungnya berdegup cepat –tak karuan. Pipinya bersemu.

Loui mendudukkan Malia pada satu-satunya sofa panjang yang ada di dalam kamar itu.

"Duduklah. Aku akan mengambil emergency kit dan mengobati lukamu." ucap Loui.

Dengan kemampuan bergerak cepatnya Loui menghilang dari pandangan Malia dalam sekejap.

Di detik berikutnya Malia memekik sembari menutupi wajahnya yang masih memerah dan terasa panas. Namun di sepersekian detik berikutnya ia meringis karena tanpa sadar telah menepuk-nepuk wajahnya dengan tangannya yang terluka.

"Akh! Malia Hale. Kenapa bertingkah seperti seorang penggoda?!" Ia bermonolog, merutuki tingkah memalukannya beberapa saat lalu.

"Tak apa. Aku menyukainya." sahut Loui.

Ia tersentak –spontan mengelus dadanya saat Loui tiba-tiba muncul kembali di hadapannya. "Ah. Loui, kenapa selalu mengagetkanku?!" pekiknya.

Loui bergeming. Tak ada yang ia lakukan selain menatap Malia lurus. Tatapan yang berhasil membuatnya tergugu-gugu. "B- berhenti menggodaku, Loui!" lanjutnya dengan tergagap.

Lagi-lagi tingkahnya berhasil membuat Loui mengembangkan senyumnya. Dan tiba-tiba Loui mendekat –memiringkan sedikit kepalanya di depan wajah Malia.

"Bukankah kau yang sedang menggodaku?" bisik Loui.

Sepasang netra Malia membulat tajam. Memperhatikan Loui yang tengah memandanginya dengan tatapan mengintimidasi.

"T- tidak. Bu- bukan begitu maksu-" Ia segera menutup rapat katupnya saat Loui semakin mendekat padanya.

"Teruskanlah. Aku menyukainya..." bisik Loui lirih.

"A-ap... Apa yang kamu sukai dariku?" tanya Malia spontan.

Di beberapa detik berikutnya Malia memejamkan mata –merutuki kebodohannya. Bisa-bisanya bertanya spontan seperti itu? Bodoh sekali. Terlalu percaya diri.

Loui terkekeh pelan sembari mengusap puncak kepala Malia dengan lembut. "Aku akan membersihkan lukamu." ucapnya.

Malia tak kunjung membuka matanya. Ia membiarkan Loui membersihkan luka pada telapak tangannya.

Hingga beberapa menit berlalu, ia memberanikan diri –membuka mata saat Loui selesai membalut tangannya dengan sangat rapih.

"Te-terima kasih." ucap Malia terbata.

"That's my jobs." jawabnya.

Entah mendapat dorongan dari mana, dalam sekejap Malia mencondongkan tubuhnya ke hadapan Loui –menangkap bahu lebar Loui seraya mendaratkan sebuah kecupan pada katup Loui.

Loui tak menunjukan reaksi apapun. Yang di lakukannya saat itu hanya memandangi sang gadis dengan netranya yang terbuka lebar. Berusaha menjernihkan pikirannya dengan sentuhan yang baru saja Malia berikan.

"Good night!" pekik Malia sembari mendorong Loui menjauh.

Dengan segera Malia berlari meninggalkan Loui sendiri di dalam kamarnya. Loui terkekeh. Sebuah senyuman terbit, membuat lesungan di kanan dan kirinya menambah kesan manis pada senyum yang disunggingkannya.

"She's so cute." Loui mengusap katup mulutnya dengan senyum yang lebih lebar dari sebelumnya.

***To be continue.***

  

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status