Malia tengah asyik menuangkan air panas ke dalam mug besar kesayangannya. Senyumnya mengembang saat mendengar suara langkah kaki yang bersahutan semakin mendekat padanya.
"Loui. Kita bisa mengobrol di balkon kamarmu, 'kan? Aku tidak ingin memandangi bulan sen-" Malia melonjak kaget saat berbalik; Luca berdiri di ambang pintu dan menatapnya dengan sendu.
Malia mengekorinya dengan canggung. Ia benar-benar bingung dan merasa tak enak hati. Ia memanggil nama Loui sebelum berbalik dan memastikan siapa yang mendatanginya saat itu.
Sadar diperhatikan, Luca pun angkat bicara, "Minum dengan benar. Nanti tersedak." katanya.
Baru saja Luca menutup katup mulutnya, Malia terbatuk –tersedak. Ia segera menghampiri Malia dan menepuk-nepuk punggungnya perlahan. "Sudah ku bilang, 'kan? Minumlah dengan benar." celoteh Luca.Tak ada obrolan selama beberapa menit. Keduanya nampak canggung dan bingung harus memulai obrolan dari mana. Namun bukan Malia namanya kalau kehabisan akal untuk mencairkan kecanggungan yang ada."Kali ini akan tetap menjadi anak remaja yang duduk di bangku kelas sebelas, atau mencoba hal baru lainnya?" cecar Malia.
"Kalau Leona pasti akan menjadi teman sekelasku di Universitas... Dan, Loui...? Sepertinya Loui akan kembali menjadi mahasiswa kedokteran tingkat akhir. Seperti biasa." ujarnya penuh percaya diri.
"Jadi, kau sedang mencoba mengalah pada Luca, hm?" Rosalie akhirnya angkat bicara.
"Luca tahu kalau kau menyukai Malia." katanya. "Jangan bertingkah seolah tidak peduli padanya, atau mengalah secara terang-terangan. Itu akan menyakiti hati Luca, sayang." celoteh Rosalie saat menangkap gurat cemburu di wajah Loui.
"Loui. Bukankah ini aroma darah Ma–"
"Sshh! Ah. Kenapa sakit sekali?" Malia meringis kesakitan.
"Biar aku obati." lirih Loui yang entah sejak kapan berjongkok di hadapannya sembari mengulurkan tangan kanannya ke hadapan Malia.
"Apa ada gunanya memandangi wajahku disaat-saat seperti ini? Kau mau mati karena kehabisan darah?" cecarnya tanpa ragu.
Ia pun menoleh –menatap Malia selama beberapa saat. Walau hanya beberapa detik, tatapannya berhasil membuat Malia luluh lantah. Jantungnya berdegup cepat –tak karuan. Pipinya bersemu.
Loui mendudukkan Malia pada satu-satunya sofa panjang yang ada di dalam kamar itu."Duduklah. Aku akan mengambil emergency kit dan mengobati lukamu." ucap Loui.
"Akh! Malia Hale. Kenapa bertingkah seperti seorang penggoda?!" Ia bermonolog, merutuki tingkah memalukannya beberapa saat lalu.
"Tak apa. Aku menyukainya." sahut Loui.
"Bukankah kau yang sedang menggodaku?" bisik Loui.
Sepasang netra Malia membulat tajam. Memperhatikan Loui yang tengah memandanginya dengan tatapan mengintimidasi.
"T- tidak. Bu- bukan begitu maksu-" Ia segera menutup rapat katupnya saat Loui semakin mendekat padanya.
"Teruskanlah. Aku menyukainya..." bisik Loui lirih.
"A-ap... Apa yang kamu sukai dariku?" tanya Malia spontan.
"Te-terima kasih." ucap Malia terbata.
"That's my jobs." jawabnya.
"Good night!" pekik Malia sembari mendorong Loui menjauh.
"She's so cute." Loui mengusap katup mulutnya dengan senyum yang lebih lebar dari sebelumnya.
***To be continue.***
"Kakak! Apa kau membuat Malia marah?" Leona angkat bicara setelah hampir tiga puluh menit hening karena semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing.Loui fokus mengemudi dan memperhatikan jalanan di depannya. Luca yang duduk di belakangnya sedang tenggelam bersama buku tebal yang ada dalam genggamannya.Malia yang hari itu memilih duduk di samping Luca menyandarkan kepalanya pada kaca jendela, sambil memejamkan mata –berpura-pura tidur."Loui Argent! Can you hear me?" Leona memiringkan sedikit kepalanya; memperhatikan Loui yang begitu asyik mengendarai mobil baru mereka.Loui melirik Leona sekilas, lalu kembali memberikan seluruh atensinya pada jalanan di depan mereka. Ia terkekeh pelan saat menangkap raut kesal yang ditunjukan Leona padanya. "Kita bicarakan itu nanti, Leona Argent." bisiknya.Leona menci
"Leona, kami tunggu di parkiran, ya? Sepertinya Ash ingin membicarakan banyak hal."Malia segera menarik Loui –membawanya pergi meninggalkan Leona bersama Ash.Mereka menghentikan langkahnya saat netra keduanya menangkap Leona dan Ash pergi menuju hutan belakang gedung Universitas.Awalnya, Malia dan Loui ingin membiarkan mereka menyelesaikan urusan yang harus mereka selesaikan. Namun saat indera penciuman Loui menangkap bau yang sangat tak asing. Ia menjadi khawatir.Segera Loui membawa Malia ke tempat di mana Gabe dan Archie berada –menitipkan Malia pada keduanya."Hey!" pekik Malia. "Memangnya aku barang? Kenapa kamu menitipkanku pada mereka?" Malia bersungut-sungut kesal mendengar kata 'titip' yang Loui ucapkan pada Gabe dan Archie.Loui mengulas senyum simpulnya seraya mengusap puncak kepala Malia dengan lembut dan berkata, "Ma
Satu-satunya mansion megah yang ada di area Mitchell Hills kedatangan seorang tamu. Salah satu orang penting Kota Moonwood. Erin Cooper, istri mendiang Dennis Cooper sahabat lama Charles juga Stefan Argent."Akhirnya kita bisa bertemu dan minum teh bersama seperti ini," ujar Stefan setelah menyesap tehnya dan meletakkan kembali cangkirnya di atas meja. "Anak kembarmu sudah beranjak dewasa ya, Erin." lanjutnya diiringi senyum simpul.Erin salah tingkah –entah harus senang atau merasa malu, sebab Ash telah lebih dulu menemui Stefan juga Charles –kawan lama sang suami dengan meninggalkan kesan buruk."Aku minta maaf soal itu. Dia terlalu sensitif tentang semua yang berhubungan dengan pack-nya." ucap Erin pada Stefan dengan senyum kikuk di akhir kalimat.Charles hanya tersenyum saat mendengar pen
Waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Archie masih belum bisa memejamkan matanya. Semua ucapan Ash masih berputar-putar di dalam kepalanya. Bingung, marah, –sedih menjadi satu.Ia benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika nanti ia berubah menjadi seorang vampire jahat –musuh terbesar para werewolves?Tapi, sebelum itu semua terjadi, alangkah lebih baik jika ia dilenyapkan oleh kawanannya atau sang Alpha –Ash –sahabatnya.Mau tidak mau, suka tidak suka, siap tidak siap, ia harus dilenyapkan sebelum terlambat. Karena berubah menjadi musuh terbesar para werewolves tak pernah ada dalam bayangannya.Sudah hampir satu minggu ia menutup diri dari dunia luar –mengunci dirinya di dalam studio apartment-nya. Ia tidak pergi kemanapun, tidak menemui siapapun, bahkan sengaja mematikan ponselnya dan
Beberapa potong pakaian mulai menumpuk di atas tempat tidur Leona. Sudah berkali-kali ia mengganti berbagai macam gaya pakaian atas saran dan komentar Malia.Ia terduduk lemas di lantai saat Malia kembali memberikan gelengan pada outfit yang baru saja melekat di tubuhnya."Big no! Itu lebih cocok dipakai saat musim panas. Lagi pula, ini terlalu tipis. Kamu akan kedinginan di luar sana, Leona." Malia mengomentari floral dress selutut dengan kerah berbentuk V yang hampir mengekspos sebagian dada Leona.Leona mulai frustasi. Ia mengacak rambutnya yang sudah tertata rapih sambil lalu membalut tubuh atasnya dengan sebuah denim jacket."Pakai saja baju itu kalau memang mau menarik perhatian semua orang di kota, dan dianggap mau menggoda Ash." gertak Malia.Leona mengerang kesal. Ia segera mencopot baju yang i
Setelah berhari-hari diguyur salju tebal, pagi ini, sang surya menampakkan diri dengan gagahnya. Teriknya menesulup melalui celah jendela berfurniture serba putih itu.Segaris cahaya berhasil menyapa kelopak cantik si pemilik ruangan. Merasakan kehangatan –gadis itu menggeliat bangun –mengambil posisi duduk sembari meregangkan otot-otot tubuhnya. "Ah. Selamat pagi dunia...! Terima kasih, Tuhan. Aku masih dipercayakan untuk membuka mata dan merasakan hangatnya mentari."Malia membuka matanya saat rungunya mendengar suara ketukan pintu disertai seruan lantang seseorang –memanggil namanya. Senyumnya mengembang saat indera pendengarannya menangkap suara tersebut.Suara milik Loui. Entah ada angin apa, pagi ini Loui yang mengetuk pintu kamarnya. Dengan tergesa Malia berlari menuju pintu lalu membukanya lebar. "Selamat pagi." sapa Loui hangat.
"Kenapa, hm?" tanya Rosalie pada Loui.Loui tampak gusar –beberapa menit ia diam –tak menanggapi semua ocehan Rosalie."Khawatir dengan Malia?" Rosalie melemparkan pertanyaan lain.Pertanyaan sederhana itu berhasil menarik atensi Loui –membuatnya memutar kepalanya 45 derajat –menatap Rosalie datar."Coba telpon, sayang." usul Rosalie.Loui mengeluarkan sebuah benda pipih dari kantong celananya, menghubungi nomor ponsel Malia. Terdengar nada sambung, namun tak ada jawaban. Loui mengulangi panggilannya selama beberapa kali, namun masih tak ada jawaban.Ia hubungi nomor adik laki-lakinya, Luca. Terdengar suara napas memburu di ujung sana sesaat setelah panggilan tersambung.'Cepat kemari! Sepertinya Malia bersama dengan salah satu Skarsgard. Aku tak bisa memasuki tempat itu dan menyusulnya. Mereka menutup penglihatanku.' jelas Luca panik.Loui mengakhiri panggilan tersebut dengan segera."Ada masalah?" tanya Rosalie ketika menangkap raut pan
Malia menyantap sarapannya dengan kunyahan lambat, ia menundukan kepalanya setiap kali Loui menatapnya.Sepertinya duduk di kursi tengah benar-benar menjadi pilihan buruk. Maksud hati ingin menghindari tatapan langsung Loui, namun siapa sangka kursi paling ujung yang biasa di duduki Loui hari itu kotor, sehingga Loui kembali duduk di kursi yang bersebrangan dengan dirinya –seperti biasa.Malia merasa malu jika harus bertatapan langsung dengannya. Terlebih setiap kali ia melihat Loui menyapu bibirnya membuat rasa malunya melonjak naik, sama seperti jantungnya yang berdegup tak beraturan. Kurang ajar sekali. Batin Malia.Benar-benar memalukan jika mengingat kembali kejadian beberapa hari lalu. Saat dalam perjalanan pulang, saat manik matanya bertemu dengan milik Loui, pria itu tersenyum manis padany. Dengan sangat kurang ajar ia mendaratkan sebuah kecupan hangat pada labium ranum milik Loui. Tidak beradab sekali kau, Malia! Ia benar-benar merutuki kebodoh