Di tempat lain, tak begitu jauh dari kediaman Keluarga Argent, seorang wanita tampak sibuk –hilir mudik kesana-kemari, menjajakan berbagai macam makanan yang akan mereka santap malam itu.
"Gabriel! Ashton! Makanan sudah siap!" teriak Erin dari arah dapur.
"Ya, ibu. Aku datang...!" sahut seorang pemuda yang baru saja memijakan kedua kakinya di anak tangga terakhir yang menghadap langsung ke ruang makan.
Erin menoleh ‐menyambut anak keduanya itu dengan senyuman.
Gabriel, atau panggil saja Gabe, seperti kebanyakan orang. Pemilik wajah mungil itu memandangi ibunya, lalu beralih ke meja makan yang telah terisi penuh oleh berbagai macam makanan.
"Ada apa? Kenapa banyak sekali makanan? Hanya makan malam seperti biasa, 'kan?" tanya Gabe dengan sebelah alisnya yang terangkat saat netranya berhasil menangkap keberadaan kue coklat dengan beberapa lilin yang menyala di atasnya.
"Sepertinya aku harus meniup lilin-lilin ini sekarang," ujar Gabe tanpa memandang wajah ibunya sedikit pun.
"Dimana, Ash?" Erin penasaran dengan keberadaan Ashton.
Gabe mencondongkan tubuhnya ke hadapan Erin.
"Dia pergi bersama Archie. Mereka ingin mengecek pendatang baru yang menempati Mitchell Hills." jelas Gabe.
Dan... PYUHHH!
Gabe meniup lilin-lilin itu tanpa permisi. Netra Erin membilak kaget saat mendapati lilin-lilin itu padam dalam satu kali tiupan.
Gabe terkekeh pelan menyaksikan pemandangan langka tersebut. "Sudahlah. Kita mulai saja makan malamnya." katanya. "Lagi pula, Ash tidak akan peduli dengan hal-hal seperti ini. Seperti biasa." sambung Gabe dengan tenangnya."Tapi Ash pasti tersenyum lebar ketika ia bisa meniup lilin bersamamu, Gabe." sergah Erin.
"Baiklah. Akan ku nyalakan kembali lilinnya, bu." Gabe mendesah pasrah. Ia segera menarik sebuah korek gas dari hadapan Dennis, membagi apinya pada delapan belas lilin yang ada. "Sudah, 'kan?" imbuh Gabe.
PYUHHH!
Namun Gabe kembali berulah. Deretan lilin itu kembali padam dalam sekali tiupan. Erin beringsut kesal melihat tingkah menyebalkan putranya.
"Oh, sayang! Ayolah!" protes Erin.
"Kita nyalakan saat Ash benar-benar pulang, bu." jawabnya di iringi kekehan kecil di akhir kalimatnya. "Itu pun kalau dia tidak pulang lewat tengah malam." sambungnya.
Gabe mengulas senyum simpul mendapati Erin yang masih menekuk wajahnya di sebrang sana. "Permisi. Apakah kamu Nyonya Cooper?" tanya Gabe.
Gabe menggeleng sembari berdecak. Hendak menggoda kembali sang ibu."Ah. sepertinya bukan. Nyonya Cooper tidak pernah menekuk wajahnya seperti ini." lanjut Gabe sembari mengusap lembut tangan Erin.
"Maaf, nona? Kamu sembunyikan di mana ibuku yang cantik itu?" goda Gabe seraya mengerlingkan sepasang netra bulatnya saat berhasil menarik perhatian Erin.
Di sepersekian detik berikutnya Erin mengulas senyum manis saat netranya berhasil menangkap senyuman yang sama dari putranya yang tengah duduk satu meja dengannya.
"Baiklah. Kita makan sekarang! Soupnya hampir dingin." seru Erin seraya menempatkan sendok pada mangkuk milik Gabe.
"Jangan lupa berdoa." lanjutnya.
***
Seperti yang dikatakan Gabe sebelumnya, Ash bersama Archie mendatangi Mitchell Hills.
Sebuah mansion bergaya classic yang mulai hari ini telah di tempati oleh pemilik barunya, Keluarga Argent.
Ash dan Archie memindai seluruh bagian yang ada pada rumah besar itu dari kejauhan. Tidak terlalu jauh, namun cukup dekat dari jangkauan mereka.
Indera penciuman Archie mengendus sebuah aroma khas yang tak bisa terendus oleh werewolves lain, selain Alpha. "Ck! Bau ini..." gumam Archie.Entah disadari atau tidak, ucapannya terdengar cukup lantang, tidak seperti gumaman pada umumnya. Kalimat itu berhasil membuat Ash mengalihkan seluruh atensinya pada Archie yang tengah sibuk mengusap-usap ujung hidungnya.Ash menatap Archie dengan netra elangnya yang nampak menajam. "Ada makhluk lain selain vampire, 'kan?" tanya Ash tanpa ragu.Ah, tidak. Ash bukan sedang bertanya. Lebih tepatnya ia ingin mencoba menghilangkan rasa penasarannya pada Archie. Pertanyaan itu hanyalah sebuah pancingan.Sejak mereka tiba di Mitchell Hills, Ash melihat banyak gelagat aneh yang ditunjukan sahabatnya itu. Dan kini, ia sedang mencoba memastikan sesuatu yang membuatnya cukup terganggu dengan tingkah aneh Archie.Archie memberikan sebuah anggukan samar sebagai jawaban. Tanpa sadar ia tengah menarik umpan yang dilemparkan Ash padanya, lalu berujar, "Manusia... Dan... Human Hyb-"Archie segera menutup mulutnya setelah sadar bahwa ia telah menelan umpan kecil yang diberikan Ash.Bingo!
Ash tersenyum puas saat mendapatkan apa yang di inginkannya. Archie memang telah menyembunyikan sesuatu darinya.
"Hanya para Vampire, Alpha, dan Hybrid itu sendiri yang bisa mencium keberadaan Hybrid lainnya." Jelas Ash panjang lebar.
"Katakan yang sejujurnya. Siapa yang telah mengubahmu menjadi seorang Hybrid, Archie?" tuntut Ash.
*** To be continue...***
"Katakan yang sejujurnya. Siapa yang telah mengubahmu menjadi seorang Hybrid, Archie?" tuntut Ash.Archie menggaruk ujung alisnya, ia benar-benar sudah ketahuan. "Ah. Itu... Sebenarnya, aku juga tidak tahu pasti siapa yang melakukannya saat itu. Karena-"Archie terperangah. Ia belum benar-benar menyelesaikan kalimatnya, namun Ash dengan begitu tenang menyela ucapannya."Apa sang Purebloods itu ada di dalam sana?" tanya Ash seraya mengulurkan telunjuk kanannya ke bangunan megah Mitchell mansion yang terpampang jelas di hadapan mereka.Ini bahaya. Ash tak melepaskan tatapan tajamnya barang sedetik pun dari bangunan megah itu. Ia berusaha memindai, mencari pelaku yang telah mengubah sahabatnya itu.Meski tatapan dan nada bicaranya begitu tenang, hal itu justru membahayakan. Ash tengah mengumpulkan seluruh ke
Masih di ruangan yang sama, semua anggota Keluarga Argent memberikan seluruh atensinya pada Charles seorang. Ia menyimpan sendiri kegusarannya, dan berhasil membuat anak juga cucunya merasa khawatir –penasaran dengan penyebabnya.Ketiga cucunya mendekat, lalu berdiri melingkari sang kakek."Apa mulut Kakek tidak terasa asam? Kakek menjadi pendiam setelah bersentuhan dengan bocah hybrid tadi." cecar Leona.Leona merotasikan bola matanya saat Charles tiba-tiba tertawa geli melihat tingkah dan ucapannya.Tidak. Bukan hanya Charles, tapi semua orang yang ada di ruangan itu pun ikut tertawa. Ia melemparkan tatapan nyalangnya pada mereka yang telah menertawainya sejak beberapa saat lalu."Bisakah Kakek berhenti tertawa? Bukan saatnya untuk menertawakanku, kek." Leona bersungut-sungut.
"Ashton! Kemarilah, Nak." panggil Erin saat pintu depan rumahnya berderit disusul suara langkah kaki.Ash segera menegakkan tubuhnya setelah berhasil menutup rapat pintu –dihampirinya Erin dengan langkah panjangnya. "Maaf, Bu. Aku lupa kalau hari ini kita punya acara makan malam bersama." jelasnya.Erin segera memeluk putranya sambil lalu mengucap selamat disertai serangkaian doa dan harapannya pada sang sulung.Ash bergeming. Ia mengeratkan pelukannya pada Erin."Aku hampir membuat keributan, bu." lirih Ash."Apa kau membuat keributan di Mitchell Hills, Ash?" Erin penasaran.Di sepersekian detik berikutnya Ash melepaskan pelukannya, –menatap ke dalam netra sendu milik Erin.
Malia tengah asyik menuangkan air panas ke dalam mug besar kesayangannya. Senyumnya mengembang saat mendengar suara langkah kaki yang bersahutan semakin mendekat padanya."Loui. Kita bisa mengobrol di balkon kamarmu, 'kan? Aku tidak ingin memandangi bulan sen-" Malia melonjak kaget saat berbalik; Luca berdiri di ambang pintu dan menatapnya dengan sendu.Malia terus menyunggingkan senyum manisnya –ia berusaha keras mencairkan kecanggungan yang baru saja dibuatnya tanpa sengaja. "Mau bercerita tentang sesuatu?" tanya Malia penuh semangat.Luca beranjak, berjalan mendahului setelah memberikan sebuah anggukkan sebagai jawaban.Malia mengekorinya dengan canggung. Ia benar-benar bingung dan merasa tak enak hati. Ia memanggil nama Loui sebelum berbalik dan memastikan siapa yang mendatanginya saat itu.
"Kakak! Apa kau membuat Malia marah?" Leona angkat bicara setelah hampir tiga puluh menit hening karena semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing.Loui fokus mengemudi dan memperhatikan jalanan di depannya. Luca yang duduk di belakangnya sedang tenggelam bersama buku tebal yang ada dalam genggamannya.Malia yang hari itu memilih duduk di samping Luca menyandarkan kepalanya pada kaca jendela, sambil memejamkan mata –berpura-pura tidur."Loui Argent! Can you hear me?" Leona memiringkan sedikit kepalanya; memperhatikan Loui yang begitu asyik mengendarai mobil baru mereka.Loui melirik Leona sekilas, lalu kembali memberikan seluruh atensinya pada jalanan di depan mereka. Ia terkekeh pelan saat menangkap raut kesal yang ditunjukan Leona padanya. "Kita bicarakan itu nanti, Leona Argent." bisiknya.Leona menci
"Leona, kami tunggu di parkiran, ya? Sepertinya Ash ingin membicarakan banyak hal."Malia segera menarik Loui –membawanya pergi meninggalkan Leona bersama Ash.Mereka menghentikan langkahnya saat netra keduanya menangkap Leona dan Ash pergi menuju hutan belakang gedung Universitas.Awalnya, Malia dan Loui ingin membiarkan mereka menyelesaikan urusan yang harus mereka selesaikan. Namun saat indera penciuman Loui menangkap bau yang sangat tak asing. Ia menjadi khawatir.Segera Loui membawa Malia ke tempat di mana Gabe dan Archie berada –menitipkan Malia pada keduanya."Hey!" pekik Malia. "Memangnya aku barang? Kenapa kamu menitipkanku pada mereka?" Malia bersungut-sungut kesal mendengar kata 'titip' yang Loui ucapkan pada Gabe dan Archie.Loui mengulas senyum simpulnya seraya mengusap puncak kepala Malia dengan lembut dan berkata, "Ma
Satu-satunya mansion megah yang ada di area Mitchell Hills kedatangan seorang tamu. Salah satu orang penting Kota Moonwood. Erin Cooper, istri mendiang Dennis Cooper sahabat lama Charles juga Stefan Argent."Akhirnya kita bisa bertemu dan minum teh bersama seperti ini," ujar Stefan setelah menyesap tehnya dan meletakkan kembali cangkirnya di atas meja. "Anak kembarmu sudah beranjak dewasa ya, Erin." lanjutnya diiringi senyum simpul.Erin salah tingkah –entah harus senang atau merasa malu, sebab Ash telah lebih dulu menemui Stefan juga Charles –kawan lama sang suami dengan meninggalkan kesan buruk."Aku minta maaf soal itu. Dia terlalu sensitif tentang semua yang berhubungan dengan pack-nya." ucap Erin pada Stefan dengan senyum kikuk di akhir kalimat.Charles hanya tersenyum saat mendengar pen
Waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Archie masih belum bisa memejamkan matanya. Semua ucapan Ash masih berputar-putar di dalam kepalanya. Bingung, marah, –sedih menjadi satu.Ia benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika nanti ia berubah menjadi seorang vampire jahat –musuh terbesar para werewolves?Tapi, sebelum itu semua terjadi, alangkah lebih baik jika ia dilenyapkan oleh kawanannya atau sang Alpha –Ash –sahabatnya.Mau tidak mau, suka tidak suka, siap tidak siap, ia harus dilenyapkan sebelum terlambat. Karena berubah menjadi musuh terbesar para werewolves tak pernah ada dalam bayangannya.Sudah hampir satu minggu ia menutup diri dari dunia luar –mengunci dirinya di dalam studio apartment-nya. Ia tidak pergi kemanapun, tidak menemui siapapun, bahkan sengaja mematikan ponselnya dan