“Alya! Gimana, sih, kamu?! Lihat nih, baju kesayanganku jadi bolong gara-gara kamu ceroboh!” bentak Siska. Meski dia lebih muda dan berstatus sebagai adik ipar, dia tidak pernah memanggil Alya dengan sebutan ‘Kakak atau Mbak’, kecuali di depan Yusuf—Abangnya.
Alya segera berlari ke ruang laundry. Dirinya dibuat bingung, sebab ibu mertuanya juga kerap kali berteriak memanggilnya untuk menyelesaikan pekerjaan di dapur. Sementara Siska, meminta untuk disetrikakan baju kerjanya.
“Maaf, Sis. Aku lupa, soalnya tadi mama ….”
“Apa? Mau nyalahin mama lagi? Kamunya aja yang kerja nggak becus!” Siska mendorong bahu Alya dengan kasar. “Pokoknya aku nggak mau tahu, kamu harus ganti bajuku sama persis kayak gini, paham?!” sentak Siska dengan mata melotot.
“Iya ….” Alya menyahut dengan kepala menunduk.
“Sekarang setrikain lagi baju yang lain. Buruan!” Suara Siska bagaikan petir yang menggelegar di pagi hari. Perempuan dengan potongan rambut bob itu masuk ke dalam kamar mandi dengan membanting pintu.
Alya segera mengambil baju lain dari keranjang baju kering. Namun, belum sempat meletakkan baju di atas meja setrika, ibu mertuanya berteriak dari arah dapur.
“Alya! Ini gimana, sih, kamu masak? Ayam goreng jadi gosong semua begini!”
Alya mematikan setrika sebelum akhirnya berlari ke dapur. Aroma pahit tercium saat Alya memasuki dapur.
“Maaf, Ma. Tadi Alya lagi .…”
“Halah! Banyak alasan! Cepat kerjain, Siska dan Kirana sebentar lagi berangkat. Kalau mereka telat, ini semua gara-gara kamu!” Wanita paruh baya dengan rambut disanggul itu mengarahkan jari telunjuknya ke wajah Alya.
Setiap hari, selama lima tahun berjalan, Alya selalu diperlakukan semena-mena oleh ibu mertua dan kedua adik iparnya. Tetapi, jika di depan suaminya, dia diperlakukan baik bagaikan ratu. Alya bungkam, sebab dirinya tidak ingin membuat Yusuf membenci keluarganya.
Ibu mertua hanya berdiri sambil melipat tangan, memperhatikan Alya memasak, sama sekali tidak membantu. Sedangkan Siska, setiap pagi meminta bajunya agar disetrika ulang. Meski Alya sudah menyetrika dan melipat rapi ke dalam lemari, semua itu percuma. Sementara adik bungsu Yusuf yang masih SMA, juga sama. Setiap ada tugas sekolah, dia meminta Alya yang mengerjakannya.
“Mbak Alya! Sarapanku mana?!” teriak Kirana, gadis berusia tujuh belas tahun yang masih duduk di bangku SMA itu melipat tangan dan duduk di kursi meja makan.
“Iya, ini sudah selesai,” sahut Alya sambil menyeka keringat di keningnya.
Dengan langkah cepat, Alya menyajikan makanan di meja makan, kemudian ia segera kembali ke ruang laundry untuk melanjutkan pekerjaan yang tadi tertunda. Dia berlarian kesana kemari. Bahkan, tidak jarang dia terjatuh karena terburu-buru mengerjakan ini dan itu tanpa jeda.
“Dasar nggak becus, lelet!” gumam Siti—ibu mertuanya.
Berkali-kali Alya memegang kepalanya yang mulai berdenyut. Sejak bangun subuh, dia sama sekali belum menelan sepotong makanan pun.
Ahmad Yusuf Al Ghifari, lelaki yang telah menjadi suaminya selama lima tahun itu adalah seorang pengusaha muda. Dia selalu berangkat ke kantor setelah subuh karena jarak rumah ke kantor lumayan jauh. Apalagi kalau ada meeting dengan klien, Yusuf akan berangkat sebelum subuh dan kembali ke rumah sebelum maghrib. Sehingga, dia tidak pernah tahu apa yang terjadi di rumah itu.
“Mana bajuku?!” Siska datang dengan wajah ketat.
“Ini, sudah rapi,” sahut Alya dengan senyum tipis di bibirnya.
Siska merebut baju itu dari tangan Alya dengan kasar. Alya merasa sangat lapar, dia kembali ke ruang makan. Namun, semua lauk sudah habis, hanya tersisa satu potong paha ayam dan sepiring nasi.
“Ini punya Siska!” beritahu Siti, saat mata Alya menatap ke arah makanan.
“Mbak Alya! Tolong ambilin cermin kecil aku, dong, di kamar!” pinta Kirana.
Gadis remaja itu telah bersiap untuk berangkat ke sekolah.
“Buat apa cermin, Ki?” tanya Alya.
“Nggak usah banyak tanya, Mbak! Ambilin aja apa yang aku suruh!” cerca Kirana.
Alya menarik napas sejenak dan menuruti permintaan Kirana. Gadis itu menerima cerminnya dengan kasar. Tidak pernah sekali pun Alya mendengar keluarga Yusuf mengucapkan kata ‘maaf’ dan ‘terima kasih’ kecuali di depan suaminya.
Setelah Siska dan Kirana pergi, Alya ingin menyantap sisa nasi yang ada di meja makan. Namun, Siti memukul tangannya dan menghalangi tindakan Alya.
“Enak saja kamu mau makan. Tuh, cuci dulu semua baju, bersihkan rumah dan cuci piring, baru kamu boleh makan. Mengerti?”
Alya mengangguk dan sekuat tenaga menahan tangis. Sambil menahan rasa lapar yang membuat perutnya terasa terlilit, Alya mengerjakan satu per satu pekerjaan rumah. Namun, ketika ia akan menjemurkan pakaian, seketika pandangannya mulai gelap. Tubuh Alya limbung dan hilang kesadaran.
****
“Sayang, kamu sudah sadar?” Yusuf menggenggam tangan istrinya dengan wajah cemas.
Alya membuka mata dan menyadari dirinya berada di ruangan serba putih. Alya memijat kepalanya yang masih berdenyut.
“Aku di mana, Mas?”
“Kamu di rumah sakit, Sayang. Tadi kamu pingsan.” Yusuf mengeratkan genggaman tangan istrinya. “Kenapa kamu sembunyikan semuanya dari aku? Kenapa selama ini kamu tahan? Aku merasa jadi suami yang nggak berguna.” Suara Yusuf bergetar, raut wajahnya penuh penyesalan.
“Maksud kamu apa, Mas? Aku cuma kelelahan, nggak ada yang perlu dikhawatirkan.” Alya mengusap punggung tangan suaminya dengan lembut.
“Aku sudah tahu semuanya. Mama dan adik-adikku memperlakukan kamu dengan tidak baik,” ucap Yusuf sambil meletakkan tangan di ujung mata agar cairan bening di sana tidak jatuh.
Alya tertegun. Bagaimana suaminya tahu?
“Setelah ini kita akan pindah. Aku sudah memutuskan semuanya. Kita akan tinggal berdua saja, Sayang.”
“Tapi mama ….” Entah kenapa Alya malah memikirkan mereka. Bagaimana jika Alya tidak ada di rumah itu? Bagaimana mereka akan melakukan semuanya tanpa Alya?
Awal menikah, Alya masih diperlakukan baik, karena saat itu masih ada Ayah mertua yang menyayanginya seperti anak sendiri. Namun, saat peringatan satu tahun pernikahan Yusuf dan Alya, Ayah mertuanya meninggal.
Sejak saat itu, ibu mertua dan kedua adik iparnya membenci Alya. Mereka mengatakan bahwa hari pernikahan Alya dan Yusuf membawa malapetaka, tentu saja semua itu dikatakan di belakang Yusuf. Sebagai anak lelaki pertama dan satu-satunya, Yusuf sangat dihormati di rumah itu. Apalagi Yusuf yang saat ini mengelola perusahaan dan membiayai hidup mereka semua.
“Selama ini aku perhatikan kamu yang sering kelelahan, tubuhmu semakin kurus, tanganmu yang terlihat kasar dan rusak. Aku tahu kamu tidak akan mengaku jika kutanyai, jadi aku memasang CCTV diam-diam di rumah itu, saat aku melihat kamu pingsan, aku segera meninggalkan meeting, karena kulihat mama sama sekali tidak berniat menolongmu,” jelas Yusuf. “Aku minta maaf, Sayang. Maafkan mama dan adik-adikku.” Yusuf berujar lirih sambil menyeka air matanya.
Alya tersenyum tipis dan menggelengkan kepala. “Kamu nggak salah, Mas. mama dan adik-adik juga nggak salah. Memang sudah kewajibanku mengurus rumah.”
“Enggak! Kamu itu ratuku! Kamu harus banyak istirahat dan fokus dengan program kehamilan yang sudah kita rencanakan. Kita pindah ke desa, ya. Disana ada pamanku yang mengelola sawah dan kebun peninggalan Almarhum Papa. Mungkin, di sana kamu akan merasa tenang dan jauh dari perbuatan buruk keluargaku.”
“Mas .… tapi .…”
Yusuf meletakkan jari telunjuknya di bibir Alya. “Kamu tidak perlu memikirkan mereka, Sayang. Mulai sekarang, fokus pada kebahagiaan kita dan kamu bisa muroja’ah tanpa terganggu,” ujarnya.
Alya mengangguk dan tersenyum lega. Selama lima tahun, dia mendapat perlakuan buruk dari keluarga suaminya dan tak mampu untuk mengungkapkannya. Alya hanya bisa meminta petunjuk pada Allah, dan hari ini, Allah melepaskannya dari belenggu itu. Selama ini, Alya hanya memiliki waktu beberapa menit untuk mengulang hafalan sebagai kewajiban seorang Penghafal Al-Qur’an.
“Terima kasih, Mas.” Alya meletakkan telapak tangan suaminya ke pipi, merasakan hangatnya kasih sayang seorang suami. Dia bersyukur memiliki suami yang peduli dan memihaknya.
“Apa? Pindah?”
Entah sejak kapan Siti masuk ke ruang rawat Alya, dia berjalan mendekat dengan ekspresi tidak suka. Suaranya berhasil membuat Alya dan Yusuf terkejut dan menoleh bersamaan.
“Mama nggak setuju!” sentaknya.
“Kalau itu masalah perusahaan, Yusuf akan menyerahkan semuanya pada Siska. Apa mama akan setuju?”Siti terdiam. Sejak tadi dia memprotes keputusan anaknya untuk pindah ke desa. Namun, ketika dia mengatakan akan menyerahkan semuanya pada Siska, Siti berpikir kembali.“Tapi, Siska belum berpengalaman, Suf. Apa kamu yakin akan pergi dari rumah demi perempuan ini?” Siti menunjuk menantunya.“Perempuan ini? Dia istriku, Ma. Tolong hargai Alya sedikit saja. Apa tidak cukup selama ini mama dan adik-adik selalu menyakitinya?”Siti melirik tajam pada Alya. Kini, dia tidak perlu menyembunyikan rasa bencinya lagi di depan Yusuf. Saat tadi Yusuf pulang terburu-buru dan berlari ke belakang halaman untuk menolong istrinya, Siti terkejut dan tak mampu menjelaskan apa pun.“Mama nggak tahu kalau dia pingsan,” ucap Siti berbohong.Namun, Yusuf menunjukkan bukti rekaman CCTV dan semua perbuatan keluarganya tidak bisa dielakkan lagi sebelum akhirnya membawa Alya ke rumah sakit. Cukup lama Alya dibiarkan
“Kamu mau ke mana, Sayang?” tanya Yusuf ketika melihat istrinya membawa cake buatannya keluar rumah.“Aku mau ke rumah Salma, Mas. Mau perkenalan sekalian jenguk neneknya. Bagaimana pun juga, dia kan, tetangga kita, Mas.” Alya menjawab sambil merapikan hijabnya.Yusuf meletakkan ponselnya yang sejak tadi dimainkan untuk memantau perusahaan yang sekarang dipegang oleh Siska. Pria dengan janggut tipis itu mendekati sang istri.“Kamu lupa apa yang dikatakan Bi Wahyuni tadi siang?”Alya tersenyum manis. “Mas, Salma itu mirip denganku. Dia seperti itu karena merasa kesepian. Seseorang yang yang bersikap dingin dan misterius, biasanya banyak menyimpan rasa sakit yang hanya bisa dipendam, sebab setiap dirinya berbicara tidak pernah didengar.”Yusuf menghela napas. Matanya tertuju pada rumah kecil yang berdinding papan kayu dengan atap yang sudah terlihat tua. Halamannya gersang, tidak ada bunga atau pohon di dekatnya. Hanya rumput liar yang tumbuh di sekitar halaman.“Tapi kamu hati-hati, Sa
“Maaf, Mas. Sa-saya nggak sengaja,” ucap Salma yang terkejut ketika tak sengaja menabrak Yusuf yang baru membuka pintu dan tidak menyadari kalau Salma sejak tadi berdiri di depan pintu rumahnya.Hari telah berganti. Salma terpaksa datang berkunjung atas perintah neneknya.“Mas .… ada apa?” Alya yang masih berada di dapur, berjalan cepat ke depan saat mendengar suara seorang perempuan.“Salma?” Alya terbelalak ketika melihat Salma mengelap baju Yusuf bagian dada yang terkena tumpahan kuah gulai yang dibawa Salma.Gadis bermata kecoklatan itu segera menghentikan kegiatannya, begitu pun Yusuf yang segera menjauh.“Ma-maaf. Saya tidak sengaja menumpahkan kuah ini ke bajunya Mas Yusuf. Saya ke sini mau mengantar sayur daun singkong gulai buatan nenek.” Salma menjelaskan dengan raut bersalah. Matanya berkali-kali menatap Alya dan Yusuf bergantian.Alya tersenyum simpul. “Nggak apa-apa, Salma. Yuk, masuk! Mas, kamu ganti baju dulu kalau mau ke rumah Paman Didi.”Yusuf mengangguk. Dia tak ban
“Sayang …. kamu kenapa? Kok tiba-tiba jadi pendiam?” tanya Yusuf yang sejak tadi memperhatikan istrinya.Alya tidak mendengarkan pertanyaan suaminya. Dia yang tengah menuangkan air minum ke dalam gelas, tak sadar jika air di dalam gelas itu sudah penuh dan tumpah.“Sayang …. airnya .…” Yusuf yang sejak tadi duduk di kursi meja makan sambil menikmati cemilan sore, bergerak cepat menyadarkan istrinya yang tengah melamun.“Astaghfirullah ….” Alya segera membereskan kekacauan yang dia buat.Yusuf dengan sigap membantu. “Biar aku aja, Sayang,” ucap Yusuf seraya merebut kain lap dari tangan Alya.Perempuan dengan paras teduh itu berdiri terpaku menatap suaminya yang sibuk membersihkan meja dapur.“Ayo, Sayang. Duduk dulu!” Yusuf membawa istrinya duduk di kursi meja makan. “Hari ini kamu berbeda. Tidak ceria dan suka godain aku kayak biasanya. Ada apa? Cerita, dong!”Alya menatap suaminya dengan raut sedih. “Mas, bagaimana kalau ternyata aku nggak bisa memberikanmu anak?”Yusuf terbelalak. “
“Nenek nggak setuju!” Suara Nek Minah meninggi. Ini pertama kalinya dia membentak cucu tersayangnya.Raut kemarahan neneknya membuat Salma seketika menunduk. “Bagaimana bisa kamu mencintai suami orang, Nduk? Sadar! Jangan bikin malu Nenek!” Nek Minah berujar lirih.Dirinya dibuat terkejut ketika malam setelah isya, Salma berterus terang ingin meminta restu agar dirinya menikah dengan Yusuf—suami Alya yang juga tetangga barunya.“Apa aku salah jatuh cinta sama Mas Yusuf, Nek?” tanya Salma dengan suara terisak.Mata Nek Minah terbuka lebar. “Jelas salah, Nduk! Itu dosa besar! Apa kamu mau jadi pelakor? Nenek membesarkan kamu dengan panduan agama! Kenapa setelah dewasa kamu malah seperti ini?” tegas Nek Minah.Di tangannya masih tergantung sajadah dan mukena lusuh yang sering digunakan untuk salat ke masjid.“Meski kita miskin, tak semestinya kamu merebut suami orang yang saat ini kamu pandang dari hartanya, Salma. Nenek kecewa sama kamu!” Nek Minah hendak meninggalkan kamar Salma.Gadi
Langit biru perlahan berubah jingga. Suasana sore yang hangat dan harum pepadian merebak memberikan aroma nyaman. Yusuf masih berada di kebun apel yang dikelola Paman Didi saat Alya menelepon dengan suara panik.“Mas, cepat pulang!”“Ada apa, Sayang?” Yusuf menatap Paman Didi yang penasaran ketika melihat ekspresi keponakannya itu.“Salma hilang. Neneknya sekarang ada di rumah kita,” beritahu Alya.Yusuf menyugar rambutnya. Dia dibuat bingung oleh ucapan istrinya.“Terus, apa masalahnya dengan kita, Sayang?”“Mas, tolong bantu cari Salma. Kamu pulang sekarang, ya!” pinta Alya dengan suara memohon.Saat Nek minah pulang dari sawah setelah seharian bekerja sebagai buruh tani, tiba-tiba Salma sudah tidak ada di rumah. Dia meninggalkan surat di atas tempat tidurnya ketika Nek Minah membuka kamar gadis itu.“Tadi malam nenek memarahinya, Nak,” beritahu Nek Minah pada Alya.Alya mengusap punggung wanita tua itu dengan lembut, seraya memberinya rasa tenang.“Maafkan, nenek. Semua salah nene
“Mas Yusuf, jangan pergi ….” panggilnya dengan suara serak dan lirih.Yusuf membalik badan. Matanya tertuju pada tangan lemah Salma yang berusaha menahannya.“Salma .…” Yusuf mendekat, berdiri di sisi tempat tidur.“Jangan pergi, Mas. Salma takut.” Dia memohon.Alya dan Nek Minah telah berdiri di belakang Yusuf. Keduanya menyaksikan bagaimana Salma memohon sambil memegang tangan pria bertubuh tegap itu.“Nak, kamu sudah sadar?” Nek Minah mendekat dan memeluk cucunya.Yusuf segera mundur, menghampiri istrinya yang tengah tersenyum getir.“Sayang, aku nggak bermaksud .…” Yusuf setengah berbisik, berusaha menjelaskan sesuatu yang mungkin membuat istrinya salah paham dengan apa yang dilihatnya barusan.Alya segera menggelengkan kepalanya, lalu meletakkan jari telunjuknya di depan bibir. “Sssttt .… aku baik-baik aja, Mas.”“Selamat sore, saya dokter Anisa yang akan memeriksa pasien.” Seorang perempuan berhijab lengkap dengan jas putihnya tersenyum ramah. “Permisi, saya periksa dulu,” ucapn
“Kondisi Salma sepertinya tidak baik-baik saja. Mungkin luka di tubuhnya mudah disembuhkan, tapi kondisi mentalnya .…” Dokter Anisa menjeda ucapannya.Alya mengerutkan kening. “Salma kenapa, Dok?”“Saya tidak bisa secara rinci menyimpulkan, semestinya kita harus rujuk Salma ke Psikiater. Dari luka-luka yang dialami Salma, sepertinya dia mengalami penyiksaan atau kekerasan, dan juga cara dia menatap orang asing yang tampak sangat ketakutan. Tubuhnya merespon dengan gemetar dan mencoba untuk bersembunyi. Apa Mbak Alya tahu sesuatu?”Alya terdiam, sama sekali tidak terpikir apa pun di benaknya, tentang Salma yang banyak menyimpan rahasia. Lalu, ungkapan Salma tentang seseorang yang mengancamnya kembali terngiang.‘Mungkinkah perbuatan orang itu?’ tanyanya dalam hati.“Saya nggak tahu apa-apa, Dok,” jawab Alya.“Bagaimana dengan calon suaminya itu? Apa mereka sering bertengkar atau dia pernah berbuat kasar pada Salma?” Pertanyaan Dokter Anisa mengejutkan Alya. Dia terbatuk karena tersed
“Ada apa kamu menyuruhku datang ke sini malam-malam?” tanya Yusuf seketika, saat dia sampai di tempat pertemuan yang dijanjikan Rico.Yusuf masih berdiri di tepi saung, sedangkan Rico tersenyum miring sambil menikmati sebatang rokok.“Sampean mau berdiri saja di situ?” Rico berbasa-basi.“Aku nggak suka basa-basi, cepat katakan, ada perlu apa?” desak Yusuf.Rico menggeser duduknya, kakinya mengayun di tepi saung. Hamparan langit luas menaungi mereka, sinar rembulan sebagai penerang.“Aku mau minta tolong sama sampean, sebaiknya smapean bawa Salma pergi dari desa ini!” pintanya.Yusuf melipat tangan di depan dada, keningnya berkerut heran. “Kalau kamu memang tulus menikahinya dengan niat mau menolong Salma, pergi dari desa ini adalah jalan terbaiknya. Kalau tidak ….” Rico menggantungkan ucapannya.“Kalau tidak apa?” tanya Yusuf tak sabar.“Salma itu sebenarnya ….”“Ngapain kalian di sini?!” Suara besar itu mengejutkan Rico dan Yusuf.Keduanya menoleh ke arah suara. Muncul seorang pria
“Nek, ayo masuk! Di sini dingin.” Salma tiba-tiba muncul. Entah sejak kapan dia berada di bibir pintu. Wanita tua itu sangat terkejut. Tubuhnya terlihat sedikit gemetar, sorot matanya tampak menyimpan ketakutan.Saat Alya sedang mengajari Salma mengaji di dalam kamar, Nek Minah mengambil kesempatan untuk berbicara dengan Yusuf. Namun, Salma curiga saat sang Nenek tak kunjung masuk ke kamar. Dia pun izin kepada Alya untuk pura-pura ke kamar mandi. Dia mengikuti neneknya. Salma tak akan membiarkan sang nenek membocorkan rahasianya pada Yusuf.“Bukannya kamu belajar ngaji sama Alya?” tanya Yusuf seketika, saat sadar ada sesuatu yang tidak beres melihat ekspresi Nek Minah.“Aku pikir nenek pulang sendirian, karena malam ini aku pengin tidur sama nenek di sini. Boleh, kan, Mas?” Salma melirik neneknya dan memainkan mata lalu tersenyum, seraya membujuk suaminya.“Boleh,” kata Yusuf. Dia menatap Nek Minah dan Salma bergantian. Ada sesuatu yang terasa aneh dari sikap mereka berdua, tapi Yusu
“Mas, kenapa kamu biarkan mama pergi seperti itu? Nggak baik, Mas.” Alya menyayangkan kepergian mama mertuanya yang dalam keadaan emosi.Yusuf masih bergeming. Tatapannya kosong ke depan, melihat mobil yang dikemudikan Paman Didi perlahan melaju meninggalkan halaman rumahnya.“Semua ini gara-gara Alya, kan?” gumamnya pelan.Yusuf menoleh pada istrinya yang sejak tadi diabaikan.“Sayang, bukan karena kamu, bukan karena siapa-siapa. Mama seperti itu karena belum bisa menerima kepergian papa. Dia menyalahkan orang-orang, dia menyalahkan takdir. Sampai sekarang, dia belum bisa mengikhlaskan kepergian papa.”“Itu semua karena papa sibuk menyiapkan hadiah untuk peringatan hari pernikahan kita, makanya mama sangat membenci Alya.” Perempuan anggun dengan hijab merah muda itu berujar lirih.“Nggak ada hubungannya sama peringatan itu, Sayang. Memang ajalnya papa sudah tiba saat itu. Yang harus kita lakukan sekarang adalah ikhlas, bukan menyalahkan. Kamu pasti lebih tahu hal itu, kan?” Yusuf men
“Salma beneran baik-baik aja, Nek.” Perempuan yang setia dengan selendang merahnya itu menggenggam tangan sang nenek yang masih tersedu meratapi keadaan cucunya. Dia tersadar beberapa saat setelah Yusuf tiba. Cairan merah yang membuat panik Nek Minah ternyata hanya jus semangka. Lagi-lagi Alya berhasil membuat situasi menjadi tenang. Sementara itu, Siti merasa bosan. Dia sama sekali tidak peduli dengan keadaan menantunya, yang ada di pikirannya adalah, dua menantunya itu sama-sama lemah. Hanya saja, dia masih menaruh harapan pada Salma. “Setidaknya, gadis kampung itu bisa memberikanku cucu. Mungkin itu bisa membuatku melupakan masa lalu yang menyakitkan. Suatu peristiwa yang disebabkan oleh peringatan pernikahan Yusuf dan Alya. Aku hanya berharap, pernikahan Yusuf dengan Salma benar-benar membawa kebahagiaan bagiku, bukan malapetaka seperti Alya.” Siti bergumam pelan ketika semua orang sibuk berada di kamar untuk memastikan keadaan Salma.Yusuf keluar dari kamar dengan wajah marah.
“Dasar g*blok!”Rico tersungkur saat menerima tamparan yang begitu keras dari Wahyu. “Dengar, ya, anak nggak tahu diuntung!” Wahyu menarik kerah jaket Rico. “Nasib ibumu ada di tanganku,” peringatnya.Lelaki yang berpenampilan seperti preman itu tak punya kemampuan untuk melawan ayah tirinya. Kalau bukan karena sang ibu, dia pasti sudah meleny4pkan nyawa pria yang menikahi ibunya demi harta itu.Rico hanya diam. Matanya menatap Wahyu seolah menantang, dar*ah di sudut bibirnya dia usap dengan kasar.“Semua yang kami punya, bahkan sudah berhasil kau kuasai. Sekarang kau mau merusak hidup orang lain!” Rico menyeringai, menyindir Wahyu yang hendak pergi dari sana.Wahyu membalik badan dengan mata menyorot kemarahan.“Apa urusannya denganmu? Kau hanya seorang anak yang bahkan masih di dalam kandungan pun sudah tak dianggap oleh ayahmu!” ejek Wahyu dengan tawa kecil.Rico berdiri, membersihkan celana dan bajunya dari debu dan jerami padi yang berada di gudang ini, tempat di mana Salma pern
“Nak Alya?” Nek Minah menyapa saat membukakan pintu.Alya tersenyum dan mencium tangan wanita tua itu.“Salma mana?” tanya Nek Minah sambil lingak linguk ke belakang.“Salma sedang menemani mama di rumah, Nek. Mama nggak mau ditemani sama Alya, maunya sama menantu barunya,” kekeh Alya. Dia tertawa sambil menutup mulut.Nek Minah menatap sayu pada Alya. Hatinya teriris, dia mengerti perasaan Alya.“Masuk, Nak. Kita ngobrol di dalam,” ajak Nek Minah. “Nenek bikin cemilan tadi, kamu mau?” tawarnya mencoba menghibur.Alya mengangguk antusias, senyumnya mengembang senang.“Sebentar.” Nek Minah berjalan ke dapur, sedang Alya duduk di ruang tamu.Nek Minah mengusap air matanya yang tak mau berhenti menetes. Dia mengusap dada berkali-kali untuk menenangkan diri.“Betapa beruntungnya Salma menemukan orang sebaik Alya yang merelakan suaminya menikah lagi. Aku harus membalas kebaikannya dengan cara apa pun,” gumam Nek Minah sambil menyusun kue putu ke atas piring.“Ini, silahkan ….” Nek Minah me
“Mbak, malam ini sebaiknya Mbak Alya di rumah menemani Mas Yusuf dan Mama,” ucap Salma saat Alya mengantarnya sampai di depan teras rumah Nek Minah.Alya menggeleng pelan. “Mama mau kenalan lebih dalam sama kamu. Biar mbak di sini yang menamani nenek,” tolaknya.Pintu berderit dan terbuka perlahan, Nek Minah bersiap untuk pergi ke masjid. Mukena berwarna putih lusuh itu sudah dikenakan dengan rapi. Di tangannya tergantung sajadah berwarna biru yang terlihat sudah lama digunakan.“Kenapa kalian berdiri di depan rumah? Sebentar lagi mau maghrib.” Nek Minah mengingatkan.Salma dan Alya menoleh bersamaan lalu tertawa kecil.“Kalian masih saling berebutan seperti anak kecil?” tanya Nek Minah meledek.“Mbak Alya ngeyel, mau nemani nenek malam ini. Malam ini kan, giliran Salma di sini, Nek.” Salma menjelaskan.Nek Minah menarik napas kasar. “Nenek malam ini nggak usah ditemani. Nenek bukan anak kecil. Malam ini kalian di sana saja, ada mertua kalian yang harus diperhatikan,” ujar Nek Minah m
“Mama, Alya tinggal dulu ke dapur, ya. Alya mau buatin mama ayam goreng tepung kesukaan mama.” Wanita yang kesehariannya memakai gamis itu beranjak ke dapur setelah Nek Minah pamit pulang untuk bersiap berangkat ke ladang.Meski Salma sudah melarangnya, Nek Minah tetap bersikeras dan mengatakan jika dirinya tidak pergi bekerja, justru membuat badannya tidak enak. Dia juga senang berkumpul bersama buruh tani lainnya.“Mama ngobrol dulu sama Salma, ya,” sambung Alya.Siti melirik sinis pada Alya. “Yang mau ngobrol sama kamu juga siapa? Sana pergi!” usirnya sambil mengibaskan tangan.Salma merasa tidak enak melihat perlakuan mama mertuanya itu kepada Alya. Wajah Siti berubah ramah dan senyum ketika beralih pada Salma.“Dia itu tampangnya aja yang kayak malaikat, tapi kami jangan terhasut sama omongan dia. Dulu, waktu kami masih serumah, huhh ….” Siti mengeluh, membuat Salma mengerutkan kening. “Dia itu pemalasnya luar biasa. Semua pekerjaan rumah saya yang mengerjakan, dia cuman enak-en
“Tega banget kamu, nikah diam-diam.” Siti melirik Alya yang duduk di samping Yusuf. Sedangkan Salma dan Nek Minah duduk bersisian. “Kenalin dong, sama istri baru kamu,” sambungnya dengan senyum mengejek ke arah Alya.Yusuf melirik pada Bibi Wahyuni yang sering membuang pandangan, mengelak mata Yusuf yang tampak memendam banyak pertanyaan.“Mama ngapain sih, ke sini?” tanya Yusuf lagi. Dia tidak suka dengan kedatangan ibunya, karena Yusuf tahu, pasti ibunya ingin mengusik Alya dengan pernikahan keduanya ini.Siti tersenyum lalu merengut. “Untung aja si Wahyuni ngasih kabar kalau kamu menikah lagi dengan gadis desa yang cantik. Katanya dia Kembang Desa. Ternyata benar, dia sangat cantik,” ungkap Siti sambil memperhatikan Salma dari atas sampai bawah.Yusuf menaikkan alisnya pada Bibi Wahyuni.“Bibi keceplosan, Suf.” Wanita yang gemar memakai hijab instan itu sedikit berbisik.“Nama kamu tadi siapa?” tanya Siti pada Salma yang sejak tadi menunduk malu.“Salma, Tante.”“Kok panggil tante,