“Kamu mau ke mana, Sayang?” tanya Yusuf ketika melihat istrinya membawa cake buatannya keluar rumah.
“Aku mau ke rumah Salma, Mas. Mau perkenalan sekalian jenguk neneknya. Bagaimana pun juga, dia kan, tetangga kita, Mas.” Alya menjawab sambil merapikan hijabnya.
Yusuf meletakkan ponselnya yang sejak tadi dimainkan untuk memantau perusahaan yang sekarang dipegang oleh Siska. Pria dengan janggut tipis itu mendekati sang istri.
“Kamu lupa apa yang dikatakan Bi Wahyuni tadi siang?”
Alya tersenyum manis. “Mas, Salma itu mirip denganku. Dia seperti itu karena merasa kesepian. Seseorang yang yang bersikap dingin dan misterius, biasanya banyak menyimpan rasa sakit yang hanya bisa dipendam, sebab setiap dirinya berbicara tidak pernah didengar.”
Yusuf menghela napas. Matanya tertuju pada rumah kecil yang berdinding papan kayu dengan atap yang sudah terlihat tua. Halamannya gersang, tidak ada bunga atau pohon di dekatnya. Hanya rumput liar yang tumbuh di sekitar halaman.
“Tapi kamu hati-hati, Sayang. Atau perlu aku temani?” tawar Yusuf.
“Lain kali saja, Mas. Hari ini aku duluan ke sana. Nanti kalau sudah mendapat izin, baru kita berkunjung bersama.”
Yusuf mengangguk dan membiarkan istrinya pergi. Jalan ke rumah Salma sedikit menurun dan berbatu. Namun, udara sore di Desa Pandan sangat sejuk dan menyegarkan, ditambah suguhan pemandangan sawah yang membentang, membuat Alya tak berhenti tersenyum.
Saat Bibi Wahyuni mengatakan jangan mendekati Salma, Alya justru semakin dibuat penasaran dan ingin berteman dengan gadis itu.
Kata Bi Wahyuni, dulu Salma adalah gadis yang ceria dan ramah. Tetapi, ketika baru saja kembali dari kota untuk mencari pekerjaan, Salma berubah dingin dan misterius. Hati Alya tergelitik untuk mencari tahu apa yang terjadi pada Salma. Dia ingin menjadi tempat bercurah keluh kesah bagi Salma.
“Assalamu’alaikum ….”
Dua kali Alya mengucap salam, namun tidak ada jawaban dari pemilik rumah. Hingga di salam ketiga, suara lirih pun menjawab.
Seorang wanita tua berusia enam puluhan tahun membuka pintu.
“Wa’alaikumsalam. Dengan siapa, ya?” Nek Minah mengerutkan kening. Dia baru pertama kali melihat Alya. “Kamu tetangga baru yang dibilang Didi?” tebak wanita itu.
Alya mengangguk dan tersenyum ramah. “Benar, Nek. Nama saya Alya.”
“Oh, ayo masuk!” Nek Minah membuka lebar pintu yang sudah keropos itu.
“Duduk dulu. Biar Nenek bikinin minum,” ujarnya.
“Nggak usah repot-repot, Nek. Oya, ini Alya bawain cake, tadi Alya bikin sendiri. mumpung rajin,” kekehnya.
Nek Minah duduk di kursi kayu yang sudah terlihat tua. Banyak bagian yang keropos dimakan usia.
“Terima kasih, Nak.”
“Oya, Nek. Salma mana?”
Nek Minah diam sejenak. “Kamu kenal cucu saya? Sudah pernah ketemu?”
Alya mengangguk.
“Dia lagi ke warung. Tapi, sebaiknya kamu pulang sekarang sebelum dia kembali,” titah Nek Minah.
Alya mengerutkan kening. “Kenapa, Nek? Saya hanya ingin berkenalan.”
“Sebaiknya nggak usah. Dia itu nggak pandai bergaul. Nenek takut kamu sakit hati kalau dekat dengan dia. Ucapannya terkadang ketus, Nak. Dia berubah semenjak kembali dari kota untuk mencari pekerjaan. Entah karena kesal tidak diterima kerja atau ada hal lain, nenek sendiri nggak tahu. Dia nggak mau cerita.” Nek Minah menjelaskan tentang Salma. Sesuatu yang sudah dia dengar dari Bi Wahyuni.
“Siapa tahu dia mau berteman dengan Alya, Nek.” Perempuan bergamis hitam motif bunga kecil berwarna merah muda itu tetap pada pendiriannya, yaitu ingin mendekati Salma.
“Siapa bilang?” Tiba-tiba Salma sudah berdiri di depan pintu dengan wajah tak bersahabat. Matanya menatap Alya dengan tajam seolah penuh kebencian.
“Assalamu’alaikum, Salma. Saya Alya .…” Alya berdiri dan mengulurkan tangan, tapi Salma langsung mengusirnya.
“Silahkan pulang! Saya dan nenek tidak ingin diganggu siapa pun. Tidak ingin berkenalan dengan siapa pun, dan tidak butuh bantuan siapa pun.” Salma mengambil cake yang masih utuh di atas meja, lalu mengembalikannya pada Alya.
“Salma .…” Nek Minah mencoba membujuk.
“Kenapa nenek izinkan orang asing masuk? Bagaimana jika dia ingin berbuat jahat? Jangan mudah percaya dengan penampilan luarnya, Nek!” Nada suara Salma meninggi.
“Salma, kamu nggak boleh kasar sama nenek,” ucap Alya dan meletakkan kembali cake-nya. “Baiklah, saya akan pulang. Tapi, saya akan kembali lain waktu bersama suami saya. Boleh, kan, Nek?” Alya menoleh pada Nek Minah yang mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan Alya.
Salma langsung menutup pintu ketika Alya melangkah keluar, lalu menguncinya dari dalam.
“Astaghfirullah .…” Alya mengusap dada. Ia terbayang kembali perlakuan ibu mertua dan adik-adik iparnya.
Saat kembali ke rumah, Yusuf menanyakan bagaimana perkenalan dengan tetangganya itu.
Alya tersenyum kecut. “Masih awal, Mas. Ya, begitulah .…”
“Sudahlah, Sayang. Jangan usik dia. Ingat kata Bi Wahyuni, dia pernah mencelakai seorang gadis di desa ini sampai harus dilarikan ke rumah sakit.”
“Tapi kan, kita nggak tahu apa penyebabnya, Mas. Alya yakin, dia punya alasan melakukan itu.”
Yusuf menggelengkan kepala. Alya memang keras kepala. Dia tipe orang yang kuat pendirian. Tidak mudah digoyahkan jika sudah memiliki tekad. Tak heran dia bisa menghafal Al-Qur’an hingga khatam.
“Ya sudah. Aku mau maghrib ke masjid dulu, ya.” Yusuf mengenakan pecinya dan berpamitan.
Alya tersenyum. Dia tertegun melihat suaminya yang selalu tampan jika mengenakan setelah koko berwarna putih dengan peci hitam.
“Aku jalan kaki saja. Biar banyak pahalanya. Lagian masjidnya dekat,” ucap Yusuf lagi. Namun, Alya masih tersenyum menatapnya penuh kagum.
“Kamu kenapa lihatin aku kayak gitu, Sayang?” Yusuf jadi salah tingkah.
“Kamu ganteng banget, Mas. Meski sudah lima tahun kita menikah, kamu selalu berhasil membuatku jatuh cinta setiap hari.”
Wajah Yusuf tersipu malu. Dia merasakan panas di pipinya. “Sayang, suaminya mau ke masjid malah digombalin.”
Alya tertawa melihat tingkah malu suaminya. “Ya sudah, hati-hati, ya Mas. Kalau Alya sudah selesai datang bulan, kita jalan bersama ke masjid, ya.”
“Pasti, dong.” Yusuf mengusap puncak kepala istrinya yang terbalut hijab. “Aku pergi dulu, Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Alya terus memandangi suaminya hingga ke ujung jalan. Namun, pria itu berhenti ketika berada di depan rumah Salma. Alya melihat suaminya mengangguk pada seseorang di sana. Ternyata Salma kebetulan membuka pintu untuk membuang sampah di depan.
Dari jauh, Alya memperhatikan Salma yang terus menatap suaminya.
“Dia tersenyum?” gumam Alya.
Dadanya berdesir, ketika Salma justru terlihat ramah dan mau tersenyum pada suaminya.
“Saya suaminya Alya. Tetangga baru di sana,” jelas Yusuf sambil menunjuk rumahnya yang berada di atas. Sedang Alya masih berdiri di depan teras memperhatikan mereka.
“Saya Salma. Kita sudah bertemu tadi siang di rumah Pakde Didi,” sahutnya.
“Benar. Saya permisi dulu, sudah mau azan maghrib,” pamit Yusuf dengan ramah.
Salma tersenyum dan mengangguk. Alya melihat perbedaan sikap Salma ketika bertemu dengannya dan Yusuf.
“Pesona suamiku emang nggak main-main. Bahkan, es yang sangat beku dan dingin bisa seketika mencair.” Alya berujar bangga. “Besok, aku akan ajak Mas Yusuf ke rumah Salma,” lanjutnya berencana.
“Maaf, Mas. Sa-saya nggak sengaja,” ucap Salma yang terkejut ketika tak sengaja menabrak Yusuf yang baru membuka pintu dan tidak menyadari kalau Salma sejak tadi berdiri di depan pintu rumahnya.Hari telah berganti. Salma terpaksa datang berkunjung atas perintah neneknya.“Mas .… ada apa?” Alya yang masih berada di dapur, berjalan cepat ke depan saat mendengar suara seorang perempuan.“Salma?” Alya terbelalak ketika melihat Salma mengelap baju Yusuf bagian dada yang terkena tumpahan kuah gulai yang dibawa Salma.Gadis bermata kecoklatan itu segera menghentikan kegiatannya, begitu pun Yusuf yang segera menjauh.“Ma-maaf. Saya tidak sengaja menumpahkan kuah ini ke bajunya Mas Yusuf. Saya ke sini mau mengantar sayur daun singkong gulai buatan nenek.” Salma menjelaskan dengan raut bersalah. Matanya berkali-kali menatap Alya dan Yusuf bergantian.Alya tersenyum simpul. “Nggak apa-apa, Salma. Yuk, masuk! Mas, kamu ganti baju dulu kalau mau ke rumah Paman Didi.”Yusuf mengangguk. Dia tak ban
“Sayang …. kamu kenapa? Kok tiba-tiba jadi pendiam?” tanya Yusuf yang sejak tadi memperhatikan istrinya.Alya tidak mendengarkan pertanyaan suaminya. Dia yang tengah menuangkan air minum ke dalam gelas, tak sadar jika air di dalam gelas itu sudah penuh dan tumpah.“Sayang …. airnya .…” Yusuf yang sejak tadi duduk di kursi meja makan sambil menikmati cemilan sore, bergerak cepat menyadarkan istrinya yang tengah melamun.“Astaghfirullah ….” Alya segera membereskan kekacauan yang dia buat.Yusuf dengan sigap membantu. “Biar aku aja, Sayang,” ucap Yusuf seraya merebut kain lap dari tangan Alya.Perempuan dengan paras teduh itu berdiri terpaku menatap suaminya yang sibuk membersihkan meja dapur.“Ayo, Sayang. Duduk dulu!” Yusuf membawa istrinya duduk di kursi meja makan. “Hari ini kamu berbeda. Tidak ceria dan suka godain aku kayak biasanya. Ada apa? Cerita, dong!”Alya menatap suaminya dengan raut sedih. “Mas, bagaimana kalau ternyata aku nggak bisa memberikanmu anak?”Yusuf terbelalak. “
“Nenek nggak setuju!” Suara Nek Minah meninggi. Ini pertama kalinya dia membentak cucu tersayangnya.Raut kemarahan neneknya membuat Salma seketika menunduk. “Bagaimana bisa kamu mencintai suami orang, Nduk? Sadar! Jangan bikin malu Nenek!” Nek Minah berujar lirih.Dirinya dibuat terkejut ketika malam setelah isya, Salma berterus terang ingin meminta restu agar dirinya menikah dengan Yusuf—suami Alya yang juga tetangga barunya.“Apa aku salah jatuh cinta sama Mas Yusuf, Nek?” tanya Salma dengan suara terisak.Mata Nek Minah terbuka lebar. “Jelas salah, Nduk! Itu dosa besar! Apa kamu mau jadi pelakor? Nenek membesarkan kamu dengan panduan agama! Kenapa setelah dewasa kamu malah seperti ini?” tegas Nek Minah.Di tangannya masih tergantung sajadah dan mukena lusuh yang sering digunakan untuk salat ke masjid.“Meski kita miskin, tak semestinya kamu merebut suami orang yang saat ini kamu pandang dari hartanya, Salma. Nenek kecewa sama kamu!” Nek Minah hendak meninggalkan kamar Salma.Gadi
Langit biru perlahan berubah jingga. Suasana sore yang hangat dan harum pepadian merebak memberikan aroma nyaman. Yusuf masih berada di kebun apel yang dikelola Paman Didi saat Alya menelepon dengan suara panik.“Mas, cepat pulang!”“Ada apa, Sayang?” Yusuf menatap Paman Didi yang penasaran ketika melihat ekspresi keponakannya itu.“Salma hilang. Neneknya sekarang ada di rumah kita,” beritahu Alya.Yusuf menyugar rambutnya. Dia dibuat bingung oleh ucapan istrinya.“Terus, apa masalahnya dengan kita, Sayang?”“Mas, tolong bantu cari Salma. Kamu pulang sekarang, ya!” pinta Alya dengan suara memohon.Saat Nek minah pulang dari sawah setelah seharian bekerja sebagai buruh tani, tiba-tiba Salma sudah tidak ada di rumah. Dia meninggalkan surat di atas tempat tidurnya ketika Nek Minah membuka kamar gadis itu.“Tadi malam nenek memarahinya, Nak,” beritahu Nek Minah pada Alya.Alya mengusap punggung wanita tua itu dengan lembut, seraya memberinya rasa tenang.“Maafkan, nenek. Semua salah nene
“Mas Yusuf, jangan pergi ….” panggilnya dengan suara serak dan lirih.Yusuf membalik badan. Matanya tertuju pada tangan lemah Salma yang berusaha menahannya.“Salma .…” Yusuf mendekat, berdiri di sisi tempat tidur.“Jangan pergi, Mas. Salma takut.” Dia memohon.Alya dan Nek Minah telah berdiri di belakang Yusuf. Keduanya menyaksikan bagaimana Salma memohon sambil memegang tangan pria bertubuh tegap itu.“Nak, kamu sudah sadar?” Nek Minah mendekat dan memeluk cucunya.Yusuf segera mundur, menghampiri istrinya yang tengah tersenyum getir.“Sayang, aku nggak bermaksud .…” Yusuf setengah berbisik, berusaha menjelaskan sesuatu yang mungkin membuat istrinya salah paham dengan apa yang dilihatnya barusan.Alya segera menggelengkan kepalanya, lalu meletakkan jari telunjuknya di depan bibir. “Sssttt .… aku baik-baik aja, Mas.”“Selamat sore, saya dokter Anisa yang akan memeriksa pasien.” Seorang perempuan berhijab lengkap dengan jas putihnya tersenyum ramah. “Permisi, saya periksa dulu,” ucapn
“Kondisi Salma sepertinya tidak baik-baik saja. Mungkin luka di tubuhnya mudah disembuhkan, tapi kondisi mentalnya .…” Dokter Anisa menjeda ucapannya.Alya mengerutkan kening. “Salma kenapa, Dok?”“Saya tidak bisa secara rinci menyimpulkan, semestinya kita harus rujuk Salma ke Psikiater. Dari luka-luka yang dialami Salma, sepertinya dia mengalami penyiksaan atau kekerasan, dan juga cara dia menatap orang asing yang tampak sangat ketakutan. Tubuhnya merespon dengan gemetar dan mencoba untuk bersembunyi. Apa Mbak Alya tahu sesuatu?”Alya terdiam, sama sekali tidak terpikir apa pun di benaknya, tentang Salma yang banyak menyimpan rahasia. Lalu, ungkapan Salma tentang seseorang yang mengancamnya kembali terngiang.‘Mungkinkah perbuatan orang itu?’ tanyanya dalam hati.“Saya nggak tahu apa-apa, Dok,” jawab Alya.“Bagaimana dengan calon suaminya itu? Apa mereka sering bertengkar atau dia pernah berbuat kasar pada Salma?” Pertanyaan Dokter Anisa mengejutkan Alya. Dia terbatuk karena tersed
Awan mendung seketika menaungi langit Desa Pandan yang sebelumnya terlihat cerah dengan awan putih dan sinar mentari yang menyatu menghangatkan setiap insan di bumi.Kebahagiaan dan kebebasan Salma sudah di depan mata. Namun, tiba-tiba saja Rico datang saat Yusuf hendak mengucapkan ijab kabul untuknya.“Kamu! Orang baru di kampung ini! Jangan lancang!” tunjuk Rico pada Yusuf dengan dada naik turun, napasnya terengah penuh emosi. Sepertinya dia datang ke masjid dengan berlari.Semua orang mengalihkan mata pada Rico. Pria dengan celana jeans yang robek di bagian lutut itu mendekati Salma dan menarik tangannya dengan kasar.“Ikut aku!” hardik Rico.Salma meraung kesakitan. Dia menangis meminta belas kasih.“Lepaskan Salma, Rico! Apa yang kamu lakukan!” Nek Minah tak kalah memberang, melihat cucu kesayangannya disakiti.“Salma ini milikku! Nggak boleh ada yang merebutnya!” Rico berujar dengan suara keras menggelegar di dalam masjid yang hanya dihadiri beberapa warga saja sebagai saksi.“P
“Mas, kamu dari mana? Aku khawatir,” ucap Alya ketika suaminya baru tiba di rumah malam hari selepas isya.Yusuf tidak menjawab dan langsung memeluk istrinya.“Aku minta maaf, Sayang. Aku hanya takut ….” Yusuf terisak sambil memeluk erat istrinya. “Aku nggak mau kayak papa yang nyakitin mama. Aku bahkan berjanji sama diriku sendiri untuk tetap setia dan nggak bakalan duain kamu apa pun yang terjadi, Sayang.”“Mas …. aku ngerti. Aku yang salah karena terlalu banyak menuntut kamu. Kita fokus sama tujuan kita, ya! Yaitu nolongin Salma dan juga ikhtiar buat dapatin anak.” Alya melepas pelukan suaminya. Tangannya mengusap air mata sang suami dengan lembut.Yusuf mengangguk, tangannya mengusap puncak kepala istrinya. “Aku minta maaf juga sudah membentakmu tadi.”Alya mengangguk dengan senyum manis. Dia kemudian mengajak Yusuf ke meja makan untuk menikmati hidangan yang sudah tersedia.“Kamu masak semua ini, Sayang?” tanya Yusuf ketika melihat banyak makanan terhidang.Alya menggeleng dengan
“Ada apa kamu menyuruhku datang ke sini malam-malam?” tanya Yusuf seketika, saat dia sampai di tempat pertemuan yang dijanjikan Rico.Yusuf masih berdiri di tepi saung, sedangkan Rico tersenyum miring sambil menikmati sebatang rokok.“Sampean mau berdiri saja di situ?” Rico berbasa-basi.“Aku nggak suka basa-basi, cepat katakan, ada perlu apa?” desak Yusuf.Rico menggeser duduknya, kakinya mengayun di tepi saung. Hamparan langit luas menaungi mereka, sinar rembulan sebagai penerang.“Aku mau minta tolong sama sampean, sebaiknya smapean bawa Salma pergi dari desa ini!” pintanya.Yusuf melipat tangan di depan dada, keningnya berkerut heran. “Kalau kamu memang tulus menikahinya dengan niat mau menolong Salma, pergi dari desa ini adalah jalan terbaiknya. Kalau tidak ….” Rico menggantungkan ucapannya.“Kalau tidak apa?” tanya Yusuf tak sabar.“Salma itu sebenarnya ….”“Ngapain kalian di sini?!” Suara besar itu mengejutkan Rico dan Yusuf.Keduanya menoleh ke arah suara. Muncul seorang pria
“Nek, ayo masuk! Di sini dingin.” Salma tiba-tiba muncul. Entah sejak kapan dia berada di bibir pintu. Wanita tua itu sangat terkejut. Tubuhnya terlihat sedikit gemetar, sorot matanya tampak menyimpan ketakutan.Saat Alya sedang mengajari Salma mengaji di dalam kamar, Nek Minah mengambil kesempatan untuk berbicara dengan Yusuf. Namun, Salma curiga saat sang Nenek tak kunjung masuk ke kamar. Dia pun izin kepada Alya untuk pura-pura ke kamar mandi. Dia mengikuti neneknya. Salma tak akan membiarkan sang nenek membocorkan rahasianya pada Yusuf.“Bukannya kamu belajar ngaji sama Alya?” tanya Yusuf seketika, saat sadar ada sesuatu yang tidak beres melihat ekspresi Nek Minah.“Aku pikir nenek pulang sendirian, karena malam ini aku pengin tidur sama nenek di sini. Boleh, kan, Mas?” Salma melirik neneknya dan memainkan mata lalu tersenyum, seraya membujuk suaminya.“Boleh,” kata Yusuf. Dia menatap Nek Minah dan Salma bergantian. Ada sesuatu yang terasa aneh dari sikap mereka berdua, tapi Yusu
“Mas, kenapa kamu biarkan mama pergi seperti itu? Nggak baik, Mas.” Alya menyayangkan kepergian mama mertuanya yang dalam keadaan emosi.Yusuf masih bergeming. Tatapannya kosong ke depan, melihat mobil yang dikemudikan Paman Didi perlahan melaju meninggalkan halaman rumahnya.“Semua ini gara-gara Alya, kan?” gumamnya pelan.Yusuf menoleh pada istrinya yang sejak tadi diabaikan.“Sayang, bukan karena kamu, bukan karena siapa-siapa. Mama seperti itu karena belum bisa menerima kepergian papa. Dia menyalahkan orang-orang, dia menyalahkan takdir. Sampai sekarang, dia belum bisa mengikhlaskan kepergian papa.”“Itu semua karena papa sibuk menyiapkan hadiah untuk peringatan hari pernikahan kita, makanya mama sangat membenci Alya.” Perempuan anggun dengan hijab merah muda itu berujar lirih.“Nggak ada hubungannya sama peringatan itu, Sayang. Memang ajalnya papa sudah tiba saat itu. Yang harus kita lakukan sekarang adalah ikhlas, bukan menyalahkan. Kamu pasti lebih tahu hal itu, kan?” Yusuf men
“Salma beneran baik-baik aja, Nek.” Perempuan yang setia dengan selendang merahnya itu menggenggam tangan sang nenek yang masih tersedu meratapi keadaan cucunya. Dia tersadar beberapa saat setelah Yusuf tiba. Cairan merah yang membuat panik Nek Minah ternyata hanya jus semangka. Lagi-lagi Alya berhasil membuat situasi menjadi tenang. Sementara itu, Siti merasa bosan. Dia sama sekali tidak peduli dengan keadaan menantunya, yang ada di pikirannya adalah, dua menantunya itu sama-sama lemah. Hanya saja, dia masih menaruh harapan pada Salma. “Setidaknya, gadis kampung itu bisa memberikanku cucu. Mungkin itu bisa membuatku melupakan masa lalu yang menyakitkan. Suatu peristiwa yang disebabkan oleh peringatan pernikahan Yusuf dan Alya. Aku hanya berharap, pernikahan Yusuf dengan Salma benar-benar membawa kebahagiaan bagiku, bukan malapetaka seperti Alya.” Siti bergumam pelan ketika semua orang sibuk berada di kamar untuk memastikan keadaan Salma.Yusuf keluar dari kamar dengan wajah marah.
“Dasar g*blok!”Rico tersungkur saat menerima tamparan yang begitu keras dari Wahyu. “Dengar, ya, anak nggak tahu diuntung!” Wahyu menarik kerah jaket Rico. “Nasib ibumu ada di tanganku,” peringatnya.Lelaki yang berpenampilan seperti preman itu tak punya kemampuan untuk melawan ayah tirinya. Kalau bukan karena sang ibu, dia pasti sudah meleny4pkan nyawa pria yang menikahi ibunya demi harta itu.Rico hanya diam. Matanya menatap Wahyu seolah menantang, dar*ah di sudut bibirnya dia usap dengan kasar.“Semua yang kami punya, bahkan sudah berhasil kau kuasai. Sekarang kau mau merusak hidup orang lain!” Rico menyeringai, menyindir Wahyu yang hendak pergi dari sana.Wahyu membalik badan dengan mata menyorot kemarahan.“Apa urusannya denganmu? Kau hanya seorang anak yang bahkan masih di dalam kandungan pun sudah tak dianggap oleh ayahmu!” ejek Wahyu dengan tawa kecil.Rico berdiri, membersihkan celana dan bajunya dari debu dan jerami padi yang berada di gudang ini, tempat di mana Salma pern
“Nak Alya?” Nek Minah menyapa saat membukakan pintu.Alya tersenyum dan mencium tangan wanita tua itu.“Salma mana?” tanya Nek Minah sambil lingak linguk ke belakang.“Salma sedang menemani mama di rumah, Nek. Mama nggak mau ditemani sama Alya, maunya sama menantu barunya,” kekeh Alya. Dia tertawa sambil menutup mulut.Nek Minah menatap sayu pada Alya. Hatinya teriris, dia mengerti perasaan Alya.“Masuk, Nak. Kita ngobrol di dalam,” ajak Nek Minah. “Nenek bikin cemilan tadi, kamu mau?” tawarnya mencoba menghibur.Alya mengangguk antusias, senyumnya mengembang senang.“Sebentar.” Nek Minah berjalan ke dapur, sedang Alya duduk di ruang tamu.Nek Minah mengusap air matanya yang tak mau berhenti menetes. Dia mengusap dada berkali-kali untuk menenangkan diri.“Betapa beruntungnya Salma menemukan orang sebaik Alya yang merelakan suaminya menikah lagi. Aku harus membalas kebaikannya dengan cara apa pun,” gumam Nek Minah sambil menyusun kue putu ke atas piring.“Ini, silahkan ….” Nek Minah me
“Mbak, malam ini sebaiknya Mbak Alya di rumah menemani Mas Yusuf dan Mama,” ucap Salma saat Alya mengantarnya sampai di depan teras rumah Nek Minah.Alya menggeleng pelan. “Mama mau kenalan lebih dalam sama kamu. Biar mbak di sini yang menamani nenek,” tolaknya.Pintu berderit dan terbuka perlahan, Nek Minah bersiap untuk pergi ke masjid. Mukena berwarna putih lusuh itu sudah dikenakan dengan rapi. Di tangannya tergantung sajadah berwarna biru yang terlihat sudah lama digunakan.“Kenapa kalian berdiri di depan rumah? Sebentar lagi mau maghrib.” Nek Minah mengingatkan.Salma dan Alya menoleh bersamaan lalu tertawa kecil.“Kalian masih saling berebutan seperti anak kecil?” tanya Nek Minah meledek.“Mbak Alya ngeyel, mau nemani nenek malam ini. Malam ini kan, giliran Salma di sini, Nek.” Salma menjelaskan.Nek Minah menarik napas kasar. “Nenek malam ini nggak usah ditemani. Nenek bukan anak kecil. Malam ini kalian di sana saja, ada mertua kalian yang harus diperhatikan,” ujar Nek Minah m
“Mama, Alya tinggal dulu ke dapur, ya. Alya mau buatin mama ayam goreng tepung kesukaan mama.” Wanita yang kesehariannya memakai gamis itu beranjak ke dapur setelah Nek Minah pamit pulang untuk bersiap berangkat ke ladang.Meski Salma sudah melarangnya, Nek Minah tetap bersikeras dan mengatakan jika dirinya tidak pergi bekerja, justru membuat badannya tidak enak. Dia juga senang berkumpul bersama buruh tani lainnya.“Mama ngobrol dulu sama Salma, ya,” sambung Alya.Siti melirik sinis pada Alya. “Yang mau ngobrol sama kamu juga siapa? Sana pergi!” usirnya sambil mengibaskan tangan.Salma merasa tidak enak melihat perlakuan mama mertuanya itu kepada Alya. Wajah Siti berubah ramah dan senyum ketika beralih pada Salma.“Dia itu tampangnya aja yang kayak malaikat, tapi kami jangan terhasut sama omongan dia. Dulu, waktu kami masih serumah, huhh ….” Siti mengeluh, membuat Salma mengerutkan kening. “Dia itu pemalasnya luar biasa. Semua pekerjaan rumah saya yang mengerjakan, dia cuman enak-en
“Tega banget kamu, nikah diam-diam.” Siti melirik Alya yang duduk di samping Yusuf. Sedangkan Salma dan Nek Minah duduk bersisian. “Kenalin dong, sama istri baru kamu,” sambungnya dengan senyum mengejek ke arah Alya.Yusuf melirik pada Bibi Wahyuni yang sering membuang pandangan, mengelak mata Yusuf yang tampak memendam banyak pertanyaan.“Mama ngapain sih, ke sini?” tanya Yusuf lagi. Dia tidak suka dengan kedatangan ibunya, karena Yusuf tahu, pasti ibunya ingin mengusik Alya dengan pernikahan keduanya ini.Siti tersenyum lalu merengut. “Untung aja si Wahyuni ngasih kabar kalau kamu menikah lagi dengan gadis desa yang cantik. Katanya dia Kembang Desa. Ternyata benar, dia sangat cantik,” ungkap Siti sambil memperhatikan Salma dari atas sampai bawah.Yusuf menaikkan alisnya pada Bibi Wahyuni.“Bibi keceplosan, Suf.” Wanita yang gemar memakai hijab instan itu sedikit berbisik.“Nama kamu tadi siapa?” tanya Siti pada Salma yang sejak tadi menunduk malu.“Salma, Tante.”“Kok panggil tante,