Langit biru perlahan berubah jingga. Suasana sore yang hangat dan harum pepadian merebak memberikan aroma nyaman. Yusuf masih berada di kebun apel yang dikelola Paman Didi saat Alya menelepon dengan suara panik.
“Mas, cepat pulang!” “Ada apa, Sayang?” Yusuf menatap Paman Didi yang penasaran ketika melihat ekspresi keponakannya itu. “Salma hilang. Neneknya sekarang ada di rumah kita,” beritahu Alya. Yusuf menyugar rambutnya. Dia dibuat bingung oleh ucapan istrinya. “Terus, apa masalahnya dengan kita, Sayang?” “Mas, tolong bantu cari Salma. Kamu pulang sekarang, ya!” pinta Alya dengan suara memohon. Saat Nek minah pulang dari sawah setelah seharian bekerja sebagai buruh tani, tiba-tiba Salma sudah tidak ada di rumah. Dia meninggalkan surat di atas tempat tidurnya ketika Nek Minah membuka kamar gadis itu. “Tadi malam nenek memarahinya, Nak,” beritahu Nek Minah pada Alya. Alya mengusap punggung wanita tua itu dengan lembut, seraya memberinya rasa tenang. “Maafkan, nenek. Semua salah nenek. Sebenarnya Salma anak yang baik. Tapi, entah apa yang membuatnya berubah menjadi anak yang pemberontak. Nenek punya firasat, dia sedang menyembunyikan sesuatu. Tapi, setiap kali nenek tanya, dia tidak mau menjawab.” Air mata Nek Minah menetes. Alya menarik napas sejenak. Dia ingin sekali menyampaikan pada Nek Minah bahwa penyebabnya adalah seseorang yang tengah mengancamnya. “Nek, Alya ikhlas kalau Salma mau jadi istri kedua Mas Yusuf. Alya dan Mas Yusuf sudah lama belum diberi amanah seorang malaikat kecil oleh Allah. Hanya saja .…” Alya menunduk bingung. Pasalnya, Yusuf belum menyetujui permintaan Alya. “Nenek mengerti, Nak. Nenek paham. Jangan biarkan dia merebut suamimu, Nak. Nenek akan sangat malu dan .…” “Assalamu’alaikum ….” Suara salam dari Yusuf memotong pembicaraan antara Nek Minah dan Alya. Kedua wanita yang sedang duduk di ruang tamu itu melihat ke arah Yusuf. Lelaki itu mencium tangan Nek Minah, Alya pun menyambut tangan Yusuf dan menciumnya. Yusuf tersenyum ramah pada Nek Minah sembari duduk di sofa single. “Tadi istri saya bilang, Salma hilang, Nek?” tanya Yusuf memastikan. Nek Minah mengangguk. “Dia bukan tipe anak yang pembangkang. Tapi hari ini, tepatnya semenjak kedatangan kalian ke kampung ini, dia jadi berani melawan.” Alya dan Yusuf saling betatapan dengan raut bingung. “Maaf, maksud nenek bukan begitu. Bukan berarti kedatangan kalian membuat Salma .… tapi nenek .…” Wanita tua yang masih mengenakan pakaian bertaninya itu terlihat susah untuk menjelaskan. “Alya dan Mas Yusuf paham, Nek. Kami tidak tersinggung, kok. Ya kan, Mas?” Alya menoleh pada suaminya dan mendapat anggukan dari Yusuf. “Apa yang bisa kami bantu, Nek?” tanya Yusuf seketika. “Salma ingin menjadi istri kedua dari Nak Yusuf. Tapi, nenek melarangnya. Nenek nggak mau dia menjadi perebut suami orang dan merebut kebahagiaan wanita sebaik Alya,” ucap Nek Minah, matanya berkaca-kaca menatap Alya yang duduk di sebelahnya. Alya tersenyum dan menggelengkan kepala. “Alya tahu masalah yang sedang dialami Salma, Nek. Alya ikhlas. Mas Yusuf juga, kan?” tanya wanita cantik bersuara lembut itu pada suaminya. Yusuf menunduk sejenak. Hatinya diliputi kegundahan. Bagaimana mungkin dia menduakan istri yang sangat dicintainya ini. Alya adalah satu-satunya wanita di hatinya. Beberapa detik terlewati, Yusuf masih belum juga menjawab. “Mas, menikahi seorang perempuan yang membutuhkan bantuan itu diperbolehkan, apalagi sudah mendapat izin dari istri pertama.” Alya tiba-tiba berujar, memberi penjelasan mengenai poligami. Dengan tarikan napas yang panjang, akhirnya Yusuf mengangguk. “Baiklah, Nek. Yusuf akan menikahi Salma.” Bagai dihantam ombak lautan, dada Alya berdesir hebat. Padahal dia sendiri yang menyuruh dan menyetujui hal itu, tapi kenapa saat suaminya berucap demikian, tiba-tiba ada keraguan menghantuinya. Segera dia beristighfar dan kembali pada tujuannya, yaitu ikhlas untuk membantu Salma keluar dari belenggu orang yang mengancamnya. “Terima kasih, Nak. Dan, maaf .…” Suara Nek Minah tercekat. Lirih dia menggenggam tangan Alya dengan perasaan bersalah yang teramat besar. Alya tersenyum menutupi hatinya yang berkali-kali dihantam ombak, sedangkan Yusuf menatap istrinya dengan sayu. **** Setelah perbincangan siang tadi, Alya, Yusuf dan Nek Minah pergi mencari Salma. Meski tak tahu tujuan, mereka tetap berusaha dengan petunjuk yang dikatakan Nek Minah, yaitu tempat-tempat yang sesekali dikunjungi Salma, seperti kebun dan sungai. “Dia nggak punya teman. Jadi nggak mungkin dia pergi ke rumah temannya,” ujar Nek Minah. “Apa ada tempat yang sering dia kunjungi kalau sedang sedih, Nek?” tanya Alya. Nek Minah menaikkan bola matanya dan berpikir. “Kayaknya nggak ada. Dia lebih sering di kamarnya kalau sedang sedih, Nak. Paling, kalau bosan di rumah, dia ke sungai dekat ujung kebun milik Wahyu.” Alya membaca kembali surat yang ditinggalkan Salma kepada Nek Minah. Di dalam surat itu, Salma berkata ingin pergi jauh dari rumah dan jangan mencarinya. Dia akan kembali jika nenek sudah merestuinya untuk menikah dengan Yusuf. “Coba telepon lagi, Sayang!” titah Yusuf pada istrinya. “Masih nggak diangkat, Mas.” Seketika suasana hening. Semua sibuk berpikir. Hingga tiba-tiba, ketika sampai di gapura desa yang sepi dan di kelilingi pohon karet di kanan kirinya, Yusuf menginjak rem mendadak. Alya dan Nek Minah yang duduk di belakang hampir terbentur pada kursi depan. Alya segera menanyakan keadaan Nek Minah yang terlihat panik dan memegangi dadanya. “Nenek nggak apa-apa, Nak,” ucap wanita tua itu. “Ada apa, Mas?” tanya Alya pada suaminya yang masih terpaku di kursi kemudi. “Aku periksa dulu. Sepertinya tadi ada seseorang yang hampir tertabrak,” jawab Yusuf. Alya terkejut dan khawatir, tapi dia memilih diam di dalam mobil menemani Nek Minah yang masih terkejut. “Salma?” pekik Yusuf. Gadis itu sudah pingsan di tepi jalan. Di tubuhnya banyak lebam, serta pakaiannya yang sudah lusuh, ada robek di bagian bahu. Yusuf segera menggendong gadis itu. Alya melebarkan matanya ketika melihat suaminya menggendong seseorang yang saat ini sedang mereka cari. “Salma!” Alya segera turun untuk membantu suaminya. Yusuf langsung memasukkan Salma ke kursi belakang, bersama sang Nenek. Nek Minah menjerit pilu. Tangisnya pecah melihat keadaan sang cucu. “Kamu kemana aja, Nak. Kamu kenapa? Siapa yang membuatmu seperti ini?” Nek Minah tak hentinya menangis. “Bangun, Sayang. Ini nenek .…” ucap Nek Minah sambil mengusap lembut wajah dan rambut cucu tersayangnya. “Kita bawa dia ke rumah sakit, Mas!” ajak Alya dan mendapat anggukan dari Yusuf. Alya terus menoleh ke belakang seraya menenangkan Nek Minah yang belum berhenti menangis. “Nenek harus tenang, ya. Insya Allah Salma baik-baik aja. Nenek harus kuat, kalau nenek seperti ini, bagaimana kalau sakit nenek kambuh lagi? Bukankah nenek ingin melihat Salma menikah dan bahagia?” bujuk Alya dengan suara lembut dan senyum. Nek Minah mengangguk lemah dan mengusap air matanya. Mobil melaju cepat meninggalkan Desa Pandan. Sebuah rumah sakit umum yang tidak jauh dari desa pun menjadi tujuan. Yusuf segera menggendong Salma ke IDG agar segera mendapat pertolongan. Alya merangkul tangan Nek Minah, membawanya berjalan dengan tenang. Saat Yusuf sudah membaringkan Salma di atas tempat tidur pasien, dia ingin menyusul istrinya. Tanpa ia sadar, Salma telah membuka mata dan menahan tangannya. “Mas Yusuf jangan pergi ….” panggilnya dengan suara serak dan lirih.“Mas Yusuf, jangan pergi ….” panggilnya dengan suara serak dan lirih.Yusuf membalik badan. Matanya tertuju pada tangan lemah Salma yang berusaha menahannya.“Salma .…” Yusuf mendekat, berdiri di sisi tempat tidur.“Jangan pergi, Mas. Salma takut.” Dia memohon.Alya dan Nek Minah telah berdiri di belakang Yusuf. Keduanya menyaksikan bagaimana Salma memohon sambil memegang tangan pria bertubuh tegap itu.“Nak, kamu sudah sadar?” Nek Minah mendekat dan memeluk cucunya.Yusuf segera mundur, menghampiri istrinya yang tengah tersenyum getir.“Sayang, aku nggak bermaksud .…” Yusuf setengah berbisik, berusaha menjelaskan sesuatu yang mungkin membuat istrinya salah paham dengan apa yang dilihatnya barusan.Alya segera menggelengkan kepalanya, lalu meletakkan jari telunjuknya di depan bibir. “Sssttt .… aku baik-baik aja, Mas.”“Selamat sore, saya dokter Anisa yang akan memeriksa pasien.” Seorang perempuan berhijab lengkap dengan jas putihnya tersenyum ramah. “Permisi, saya periksa dulu,” ucapn
“Kondisi Salma sepertinya tidak baik-baik saja. Mungkin luka di tubuhnya mudah disembuhkan, tapi kondisi mentalnya .…” Dokter Anisa menjeda ucapannya.Alya mengerutkan kening. “Salma kenapa, Dok?”“Saya tidak bisa secara rinci menyimpulkan, semestinya kita harus rujuk Salma ke Psikiater. Dari luka-luka yang dialami Salma, sepertinya dia mengalami penyiksaan atau kekerasan, dan juga cara dia menatap orang asing yang tampak sangat ketakutan. Tubuhnya merespon dengan gemetar dan mencoba untuk bersembunyi. Apa Mbak Alya tahu sesuatu?”Alya terdiam, sama sekali tidak terpikir apa pun di benaknya, tentang Salma yang banyak menyimpan rahasia. Lalu, ungkapan Salma tentang seseorang yang mengancamnya kembali terngiang.‘Mungkinkah perbuatan orang itu?’ tanyanya dalam hati.“Saya nggak tahu apa-apa, Dok,” jawab Alya.“Bagaimana dengan calon suaminya itu? Apa mereka sering bertengkar atau dia pernah berbuat kasar pada Salma?” Pertanyaan Dokter Anisa mengejutkan Alya. Dia terbatuk karena tersed
Awan mendung seketika menaungi langit Desa Pandan yang sebelumnya terlihat cerah dengan awan putih dan sinar mentari yang menyatu menghangatkan setiap insan di bumi.Kebahagiaan dan kebebasan Salma sudah di depan mata. Namun, tiba-tiba saja Rico datang saat Yusuf hendak mengucapkan ijab kabul untuknya.“Kamu! Orang baru di kampung ini! Jangan lancang!” tunjuk Rico pada Yusuf dengan dada naik turun, napasnya terengah penuh emosi. Sepertinya dia datang ke masjid dengan berlari.Semua orang mengalihkan mata pada Rico. Pria dengan celana jeans yang robek di bagian lutut itu mendekati Salma dan menarik tangannya dengan kasar.“Ikut aku!” hardik Rico.Salma meraung kesakitan. Dia menangis meminta belas kasih.“Lepaskan Salma, Rico! Apa yang kamu lakukan!” Nek Minah tak kalah memberang, melihat cucu kesayangannya disakiti.“Salma ini milikku! Nggak boleh ada yang merebutnya!” Rico berujar dengan suara keras menggelegar di dalam masjid yang hanya dihadiri beberapa warga saja sebagai saksi.“P
“Mas, kamu dari mana? Aku khawatir,” ucap Alya ketika suaminya baru tiba di rumah malam hari selepas isya.Yusuf tidak menjawab dan langsung memeluk istrinya.“Aku minta maaf, Sayang. Aku hanya takut ….” Yusuf terisak sambil memeluk erat istrinya. “Aku nggak mau kayak papa yang nyakitin mama. Aku bahkan berjanji sama diriku sendiri untuk tetap setia dan nggak bakalan duain kamu apa pun yang terjadi, Sayang.”“Mas …. aku ngerti. Aku yang salah karena terlalu banyak menuntut kamu. Kita fokus sama tujuan kita, ya! Yaitu nolongin Salma dan juga ikhtiar buat dapatin anak.” Alya melepas pelukan suaminya. Tangannya mengusap air mata sang suami dengan lembut.Yusuf mengangguk, tangannya mengusap puncak kepala istrinya. “Aku minta maaf juga sudah membentakmu tadi.”Alya mengangguk dengan senyum manis. Dia kemudian mengajak Yusuf ke meja makan untuk menikmati hidangan yang sudah tersedia.“Kamu masak semua ini, Sayang?” tanya Yusuf ketika melihat banyak makanan terhidang.Alya menggeleng dengan
“Astaghfirullah ….” Ayla tersentak ketika membuka pintu rumah Nek Minah, ada seorang lelaki duduk sambil meyandarkan kakinya di atas meja teras, sedang di tangannya ada sebatang rokok. Mulutnya mengerucut, memainkan asapnya.“Ka-kamu?” Alya mulai takut. Pasalnya, terakhir bertemu di masjid kemarin, Rico sangat agresif dengan pakaian seperti preman.Lelaki itu menoleh pada Alya dan tersenyum lebar. Alisnya terangkat dengan mata berkedip genit.“Ada apa, Nak Alya?” Nek Minah menyusul ke depan. Di tangannya membawa semangkuk bubur kacang hijau yang akan di bawa ke rumah Yusuf. “Rico? Ngapain kamu ke sini?” Nek Minah keluar dan berdiri di depan lelaki itu.Lelaki dengan jaket denim bergambar tengkorak hitam itu menyulut rokoknya di atas meja, lalu berdiri.“Assalamu’alaikum, Nek.” Rico berujar sopan dan menunduk pada Nek Minah, tangannya mengulur hendak bersalaman.Nek Minah menyambutnya dengan canggung.“Saya ke sini mau bertemu Salma,” ucap Rico dengan senyuman yang terlihat seperti ser
“Tega banget kamu, nikah diam-diam.” Siti melirik Alya yang duduk di samping Yusuf. Sedangkan Salma dan Nek Minah duduk bersisian. “Kenalin dong, sama istri baru kamu,” sambungnya dengan senyum mengejek ke arah Alya.Yusuf melirik pada Bibi Wahyuni yang sering membuang pandangan, mengelak mata Yusuf yang tampak memendam banyak pertanyaan.“Mama ngapain sih, ke sini?” tanya Yusuf lagi. Dia tidak suka dengan kedatangan ibunya, karena Yusuf tahu, pasti ibunya ingin mengusik Alya dengan pernikahan keduanya ini.Siti tersenyum lalu merengut. “Untung aja si Wahyuni ngasih kabar kalau kamu menikah lagi dengan gadis desa yang cantik. Katanya dia Kembang Desa. Ternyata benar, dia sangat cantik,” ungkap Siti sambil memperhatikan Salma dari atas sampai bawah.Yusuf menaikkan alisnya pada Bibi Wahyuni.“Bibi keceplosan, Suf.” Wanita yang gemar memakai hijab instan itu sedikit berbisik.“Nama kamu tadi siapa?” tanya Siti pada Salma yang sejak tadi menunduk malu.“Salma, Tante.”“Kok panggil tante,
“Mama, Alya tinggal dulu ke dapur, ya. Alya mau buatin mama ayam goreng tepung kesukaan mama.” Wanita yang kesehariannya memakai gamis itu beranjak ke dapur setelah Nek Minah pamit pulang untuk bersiap berangkat ke ladang.Meski Salma sudah melarangnya, Nek Minah tetap bersikeras dan mengatakan jika dirinya tidak pergi bekerja, justru membuat badannya tidak enak. Dia juga senang berkumpul bersama buruh tani lainnya.“Mama ngobrol dulu sama Salma, ya,” sambung Alya.Siti melirik sinis pada Alya. “Yang mau ngobrol sama kamu juga siapa? Sana pergi!” usirnya sambil mengibaskan tangan.Salma merasa tidak enak melihat perlakuan mama mertuanya itu kepada Alya. Wajah Siti berubah ramah dan senyum ketika beralih pada Salma.“Dia itu tampangnya aja yang kayak malaikat, tapi kami jangan terhasut sama omongan dia. Dulu, waktu kami masih serumah, huhh ….” Siti mengeluh, membuat Salma mengerutkan kening. “Dia itu pemalasnya luar biasa. Semua pekerjaan rumah saya yang mengerjakan, dia cuman enak-en
“Mbak, malam ini sebaiknya Mbak Alya di rumah menemani Mas Yusuf dan Mama,” ucap Salma saat Alya mengantarnya sampai di depan teras rumah Nek Minah.Alya menggeleng pelan. “Mama mau kenalan lebih dalam sama kamu. Biar mbak di sini yang menamani nenek,” tolaknya.Pintu berderit dan terbuka perlahan, Nek Minah bersiap untuk pergi ke masjid. Mukena berwarna putih lusuh itu sudah dikenakan dengan rapi. Di tangannya tergantung sajadah berwarna biru yang terlihat sudah lama digunakan.“Kenapa kalian berdiri di depan rumah? Sebentar lagi mau maghrib.” Nek Minah mengingatkan.Salma dan Alya menoleh bersamaan lalu tertawa kecil.“Kalian masih saling berebutan seperti anak kecil?” tanya Nek Minah meledek.“Mbak Alya ngeyel, mau nemani nenek malam ini. Malam ini kan, giliran Salma di sini, Nek.” Salma menjelaskan.Nek Minah menarik napas kasar. “Nenek malam ini nggak usah ditemani. Nenek bukan anak kecil. Malam ini kalian di sana saja, ada mertua kalian yang harus diperhatikan,” ujar Nek Minah m
“Ada apa kamu menyuruhku datang ke sini malam-malam?” tanya Yusuf seketika, saat dia sampai di tempat pertemuan yang dijanjikan Rico.Yusuf masih berdiri di tepi saung, sedangkan Rico tersenyum miring sambil menikmati sebatang rokok.“Sampean mau berdiri saja di situ?” Rico berbasa-basi.“Aku nggak suka basa-basi, cepat katakan, ada perlu apa?” desak Yusuf.Rico menggeser duduknya, kakinya mengayun di tepi saung. Hamparan langit luas menaungi mereka, sinar rembulan sebagai penerang.“Aku mau minta tolong sama sampean, sebaiknya smapean bawa Salma pergi dari desa ini!” pintanya.Yusuf melipat tangan di depan dada, keningnya berkerut heran. “Kalau kamu memang tulus menikahinya dengan niat mau menolong Salma, pergi dari desa ini adalah jalan terbaiknya. Kalau tidak ….” Rico menggantungkan ucapannya.“Kalau tidak apa?” tanya Yusuf tak sabar.“Salma itu sebenarnya ….”“Ngapain kalian di sini?!” Suara besar itu mengejutkan Rico dan Yusuf.Keduanya menoleh ke arah suara. Muncul seorang pria
“Nek, ayo masuk! Di sini dingin.” Salma tiba-tiba muncul. Entah sejak kapan dia berada di bibir pintu. Wanita tua itu sangat terkejut. Tubuhnya terlihat sedikit gemetar, sorot matanya tampak menyimpan ketakutan.Saat Alya sedang mengajari Salma mengaji di dalam kamar, Nek Minah mengambil kesempatan untuk berbicara dengan Yusuf. Namun, Salma curiga saat sang Nenek tak kunjung masuk ke kamar. Dia pun izin kepada Alya untuk pura-pura ke kamar mandi. Dia mengikuti neneknya. Salma tak akan membiarkan sang nenek membocorkan rahasianya pada Yusuf.“Bukannya kamu belajar ngaji sama Alya?” tanya Yusuf seketika, saat sadar ada sesuatu yang tidak beres melihat ekspresi Nek Minah.“Aku pikir nenek pulang sendirian, karena malam ini aku pengin tidur sama nenek di sini. Boleh, kan, Mas?” Salma melirik neneknya dan memainkan mata lalu tersenyum, seraya membujuk suaminya.“Boleh,” kata Yusuf. Dia menatap Nek Minah dan Salma bergantian. Ada sesuatu yang terasa aneh dari sikap mereka berdua, tapi Yusu
“Mas, kenapa kamu biarkan mama pergi seperti itu? Nggak baik, Mas.” Alya menyayangkan kepergian mama mertuanya yang dalam keadaan emosi.Yusuf masih bergeming. Tatapannya kosong ke depan, melihat mobil yang dikemudikan Paman Didi perlahan melaju meninggalkan halaman rumahnya.“Semua ini gara-gara Alya, kan?” gumamnya pelan.Yusuf menoleh pada istrinya yang sejak tadi diabaikan.“Sayang, bukan karena kamu, bukan karena siapa-siapa. Mama seperti itu karena belum bisa menerima kepergian papa. Dia menyalahkan orang-orang, dia menyalahkan takdir. Sampai sekarang, dia belum bisa mengikhlaskan kepergian papa.”“Itu semua karena papa sibuk menyiapkan hadiah untuk peringatan hari pernikahan kita, makanya mama sangat membenci Alya.” Perempuan anggun dengan hijab merah muda itu berujar lirih.“Nggak ada hubungannya sama peringatan itu, Sayang. Memang ajalnya papa sudah tiba saat itu. Yang harus kita lakukan sekarang adalah ikhlas, bukan menyalahkan. Kamu pasti lebih tahu hal itu, kan?” Yusuf men
“Salma beneran baik-baik aja, Nek.” Perempuan yang setia dengan selendang merahnya itu menggenggam tangan sang nenek yang masih tersedu meratapi keadaan cucunya. Dia tersadar beberapa saat setelah Yusuf tiba. Cairan merah yang membuat panik Nek Minah ternyata hanya jus semangka. Lagi-lagi Alya berhasil membuat situasi menjadi tenang. Sementara itu, Siti merasa bosan. Dia sama sekali tidak peduli dengan keadaan menantunya, yang ada di pikirannya adalah, dua menantunya itu sama-sama lemah. Hanya saja, dia masih menaruh harapan pada Salma. “Setidaknya, gadis kampung itu bisa memberikanku cucu. Mungkin itu bisa membuatku melupakan masa lalu yang menyakitkan. Suatu peristiwa yang disebabkan oleh peringatan pernikahan Yusuf dan Alya. Aku hanya berharap, pernikahan Yusuf dengan Salma benar-benar membawa kebahagiaan bagiku, bukan malapetaka seperti Alya.” Siti bergumam pelan ketika semua orang sibuk berada di kamar untuk memastikan keadaan Salma.Yusuf keluar dari kamar dengan wajah marah.
“Dasar g*blok!”Rico tersungkur saat menerima tamparan yang begitu keras dari Wahyu. “Dengar, ya, anak nggak tahu diuntung!” Wahyu menarik kerah jaket Rico. “Nasib ibumu ada di tanganku,” peringatnya.Lelaki yang berpenampilan seperti preman itu tak punya kemampuan untuk melawan ayah tirinya. Kalau bukan karena sang ibu, dia pasti sudah meleny4pkan nyawa pria yang menikahi ibunya demi harta itu.Rico hanya diam. Matanya menatap Wahyu seolah menantang, dar*ah di sudut bibirnya dia usap dengan kasar.“Semua yang kami punya, bahkan sudah berhasil kau kuasai. Sekarang kau mau merusak hidup orang lain!” Rico menyeringai, menyindir Wahyu yang hendak pergi dari sana.Wahyu membalik badan dengan mata menyorot kemarahan.“Apa urusannya denganmu? Kau hanya seorang anak yang bahkan masih di dalam kandungan pun sudah tak dianggap oleh ayahmu!” ejek Wahyu dengan tawa kecil.Rico berdiri, membersihkan celana dan bajunya dari debu dan jerami padi yang berada di gudang ini, tempat di mana Salma pern
“Nak Alya?” Nek Minah menyapa saat membukakan pintu.Alya tersenyum dan mencium tangan wanita tua itu.“Salma mana?” tanya Nek Minah sambil lingak linguk ke belakang.“Salma sedang menemani mama di rumah, Nek. Mama nggak mau ditemani sama Alya, maunya sama menantu barunya,” kekeh Alya. Dia tertawa sambil menutup mulut.Nek Minah menatap sayu pada Alya. Hatinya teriris, dia mengerti perasaan Alya.“Masuk, Nak. Kita ngobrol di dalam,” ajak Nek Minah. “Nenek bikin cemilan tadi, kamu mau?” tawarnya mencoba menghibur.Alya mengangguk antusias, senyumnya mengembang senang.“Sebentar.” Nek Minah berjalan ke dapur, sedang Alya duduk di ruang tamu.Nek Minah mengusap air matanya yang tak mau berhenti menetes. Dia mengusap dada berkali-kali untuk menenangkan diri.“Betapa beruntungnya Salma menemukan orang sebaik Alya yang merelakan suaminya menikah lagi. Aku harus membalas kebaikannya dengan cara apa pun,” gumam Nek Minah sambil menyusun kue putu ke atas piring.“Ini, silahkan ….” Nek Minah me
“Mbak, malam ini sebaiknya Mbak Alya di rumah menemani Mas Yusuf dan Mama,” ucap Salma saat Alya mengantarnya sampai di depan teras rumah Nek Minah.Alya menggeleng pelan. “Mama mau kenalan lebih dalam sama kamu. Biar mbak di sini yang menamani nenek,” tolaknya.Pintu berderit dan terbuka perlahan, Nek Minah bersiap untuk pergi ke masjid. Mukena berwarna putih lusuh itu sudah dikenakan dengan rapi. Di tangannya tergantung sajadah berwarna biru yang terlihat sudah lama digunakan.“Kenapa kalian berdiri di depan rumah? Sebentar lagi mau maghrib.” Nek Minah mengingatkan.Salma dan Alya menoleh bersamaan lalu tertawa kecil.“Kalian masih saling berebutan seperti anak kecil?” tanya Nek Minah meledek.“Mbak Alya ngeyel, mau nemani nenek malam ini. Malam ini kan, giliran Salma di sini, Nek.” Salma menjelaskan.Nek Minah menarik napas kasar. “Nenek malam ini nggak usah ditemani. Nenek bukan anak kecil. Malam ini kalian di sana saja, ada mertua kalian yang harus diperhatikan,” ujar Nek Minah m
“Mama, Alya tinggal dulu ke dapur, ya. Alya mau buatin mama ayam goreng tepung kesukaan mama.” Wanita yang kesehariannya memakai gamis itu beranjak ke dapur setelah Nek Minah pamit pulang untuk bersiap berangkat ke ladang.Meski Salma sudah melarangnya, Nek Minah tetap bersikeras dan mengatakan jika dirinya tidak pergi bekerja, justru membuat badannya tidak enak. Dia juga senang berkumpul bersama buruh tani lainnya.“Mama ngobrol dulu sama Salma, ya,” sambung Alya.Siti melirik sinis pada Alya. “Yang mau ngobrol sama kamu juga siapa? Sana pergi!” usirnya sambil mengibaskan tangan.Salma merasa tidak enak melihat perlakuan mama mertuanya itu kepada Alya. Wajah Siti berubah ramah dan senyum ketika beralih pada Salma.“Dia itu tampangnya aja yang kayak malaikat, tapi kami jangan terhasut sama omongan dia. Dulu, waktu kami masih serumah, huhh ….” Siti mengeluh, membuat Salma mengerutkan kening. “Dia itu pemalasnya luar biasa. Semua pekerjaan rumah saya yang mengerjakan, dia cuman enak-en
“Tega banget kamu, nikah diam-diam.” Siti melirik Alya yang duduk di samping Yusuf. Sedangkan Salma dan Nek Minah duduk bersisian. “Kenalin dong, sama istri baru kamu,” sambungnya dengan senyum mengejek ke arah Alya.Yusuf melirik pada Bibi Wahyuni yang sering membuang pandangan, mengelak mata Yusuf yang tampak memendam banyak pertanyaan.“Mama ngapain sih, ke sini?” tanya Yusuf lagi. Dia tidak suka dengan kedatangan ibunya, karena Yusuf tahu, pasti ibunya ingin mengusik Alya dengan pernikahan keduanya ini.Siti tersenyum lalu merengut. “Untung aja si Wahyuni ngasih kabar kalau kamu menikah lagi dengan gadis desa yang cantik. Katanya dia Kembang Desa. Ternyata benar, dia sangat cantik,” ungkap Siti sambil memperhatikan Salma dari atas sampai bawah.Yusuf menaikkan alisnya pada Bibi Wahyuni.“Bibi keceplosan, Suf.” Wanita yang gemar memakai hijab instan itu sedikit berbisik.“Nama kamu tadi siapa?” tanya Siti pada Salma yang sejak tadi menunduk malu.“Salma, Tante.”“Kok panggil tante,