“Nenek nggak setuju!” Suara Nek Minah meninggi. Ini pertama kalinya dia membentak cucu tersayangnya.
Raut kemarahan neneknya membuat Salma seketika menunduk. “Bagaimana bisa kamu mencintai suami orang, Nduk? Sadar! Jangan bikin malu Nenek!” Nek Minah berujar lirih. Dirinya dibuat terkejut ketika malam setelah isya, Salma berterus terang ingin meminta restu agar dirinya menikah dengan Yusuf—suami Alya yang juga tetangga barunya. “Apa aku salah jatuh cinta sama Mas Yusuf, Nek?” tanya Salma dengan suara terisak. Mata Nek Minah terbuka lebar. “Jelas salah, Nduk! Itu dosa besar! Apa kamu mau jadi pelakor? Nenek membesarkan kamu dengan panduan agama! Kenapa setelah dewasa kamu malah seperti ini?” tegas Nek Minah. Di tangannya masih tergantung sajadah dan mukena lusuh yang sering digunakan untuk salat ke masjid. “Meski kita miskin, tak semestinya kamu merebut suami orang yang saat ini kamu pandang dari hartanya, Salma. Nenek kecewa sama kamu!” Nek Minah hendak meninggalkan kamar Salma. Gadis berhidung mungil itu bergeming. Menatap sang nenek yang beranjak pergi. Sebelumnya dia mengatakan pada neneknya bahwa dia ingin menikah dengan lelaki kaya dan saat ini dirinya tengah mengincar Yusuf. “Tapi dulu ibuku juga begitu, kan, Nek? Bukakah, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya? Orang-orang di kampung ini selalu mengatakan hal itu pada Salma. Biar Salma wujudkan ucapan mereka, Nek.” Suara Salma tegas dan bergetar. Rahangnya mengeras seolah ingin melampiaskan amarahnya. Nek Minah menghentikan langkah, gemuruh amarah menyelimuti hatinya. Sejak kecil, dia mengasuh dan membesarkan Salma seorang diri dan selama itu pula dia tidak pernah semarah ini. Hatinya teramat sakit, ketika Salma kembali mengorek masa lalu tentang ibunya—anak semata wayang Nek Minah. Salma keluar dari kamarnya, menyusul sang Nenek yang masih berdiri mematung di depan pintu kamar yang saling berhadapan itu. “Biar orang-orang puas, Nek. Salma akan wujudkan ucapan mereka. Salma lelah selalu dikatai anak pelakor. Setiap ada lelaki yang menggoda Salma, mereka langsung menuduh Salma yang macam-macam. Apa nenek tega melihat Salma diperlakukan seperti itu terus menerus?” Suara bergetar itu terdengar sangat putus asa. Air mata Nek Minah mengalir. Dia tidak merubah posisinya. Baru saja hari ini dia kembali sehat setelah beberapa minggu hanya bisa istirahat di rumah. Namun, hari ini pula dirinya harus merasakan sakit yang lain. Bukan sakit secara fisik, tapi hati dan perasaannya yang tergores. “Nduk, jangan hiraukan kata orang .…” “Salma capek, Nek! Nggak ada satu pun yang ngertiin perasaan Salma!” teriaknya dengan penuh emosi. Air mata Nek Minah mengalir deras. Tangannya memegang dada yang terasa sangat sesak. “Apa pun alasannya, Nenek tidak bisa merestui kamu dengan Yusuf. Kalau ibumu dulu seperti itu, setidaknya kamu jangan! Seharusnya kamu buktikan pada semua orang, bahwa kamu berbeda!” Nek Minah memohon. Salma mendekati neneknya, berdiri di depan wanita tua yang sedang terisak itu. “Mbak Alya sudah mengizinkan Salma untuk menjadi madunya, Nek. Mbak Alya sendiri yang mengatakan kalau Salma boleh menjadi istrinya Mas Yusuf,” ucapnya dengan tatapan antusias dan senyuman yang terlihat mengerikan. Nek Minah menepis tangan cucunya dengan kasar. “Kamu gila! Kamu benar-benar hilang akal, Salma!” bentak Nek Minah, lalu masuk ke dalam kamar, mengunci pintunya rapat-rapat dan menangis tersedu di balik pintu. **** Dua puluh tahun silam. Arini, wanita cantik yang dijuluki Kembang Desa itu dipinang oleh lelaki tampan dan kaya. Saat itu, rasa bangga dan bahagia tengah dirasakan Nek Minah sebagai seorang ibu. Arini yang bekerja di sebuah restoran di kota besar, mampu meluluhkan hati seorang pengusaha bernama Zulfan. “Kamu kenal dari mana, Nak?” tanya Nek Minah kala itu, ketika putrinya mengenalkan calon suaminya yang berasal dari kota. Arini tersenyum malu. “Dia pelanggan setia di restoran tempat Arini kerja, Bu. Ternyata diam-diam dia menyukai Arini. Selain tampan, dia juga kaya. Siapa yang mau menolak pria seperti itu,” ucapnya dengan rasa bangga. Nek Minah merasa sedikit keberatan, karena sebelumnya ada lelaki di kampung ini yang ingin serius dengan Arini dan setia menunggunya. Pria itu bernama Wahyu, kekasih Arini sejak masa remaja. Namun, mereka harus rela terpisahkan oleh jarak karena Arini memutuskan untuk bekerja di kota, karena Nek Minah tak mampu membiayai Arini yang ingin lanjut sekolah. Arini pun harus berhenti sekolah saat memasuki kelas tiga SMA. Apalagi, ayahnya sudah meninggal sejak ia masih balita. “Bagaimana dengan Wahyu, Nak. Dia pemuda yang baik. Dia setia menunggu kamu di sini, dan terus bekerja keras demi menikahimu,” peringat Nek Minah. Arini mendengkus kesal. “Nikah kalau cuma modal cinta nggak akan bahagia, Bu. Mas Wahyu hanya bekerja sebagai petani. Sampai kapan kita hidup susah terus, Bu? Apa ibu nggak capek dihina terus sama orang?” Nek Minah terdiam. Sejak lama dia membayangkan Arini menikah dengan Wahyu. Pemuda sederhana yang giat bekerja dan penyabar. “Ya sudah, terserah kamu saja. Tapi setidaknya, kamu bicara baik-baik dengan Nak Wahyu agar dia tidak sakit hati,” titah Nek Minah. Pernikahan Arini dan Zulfan digelar di Desa Pandan. Saat itu, perayaan pernikahan yang diadakan oleh Zulfan terbilang mewah bagi kalangan orang-orang di Desa Pandan. Zulfan mengatakan, menikah sah secara agama lebih dulu, baru nanti ketika kembali ke kota, akan mengurus semua berkasnya dan menikah ulang secara hukum negara. Orang-orang desa sangat antusias karena hidangan pesta pernikahan Arini saat itu sangat mewah. Semua orang bersuka cita kecuali Wahyu. Dia tidak ingin menghadiri pernikahan mantan kekasihnya itu. Hatinya hancur oleh pengkhianatan yang dilakukan Arini. Hingga suatu siang, ada seorang wanita turun dari mobil dan menghampiri Wahyu yang tengah melamun di depan teras rumahnya. “Selamat siang, Mas. Saya mau tanya.” Wanita yang berpenampilan elegan itu menghampiri Wahyu. Pemuda yang gemar memakai kaus oblong putih polos itu mendekati si Wanita. “Ada yang bisa saya bantu, Mbak?” “Mas, tahu nggak alamat rumahnya Arini?” tanya wanita itu dengan raut wajah yang membingungkan Wahyu. Antara sedih dan marah. “Oh, Mbaknya mau kondangan?” tebak Wahyu. Wanita itu tidak menjawab. Ia malah menangis tersedu sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Wahyu jadi bingung. “Mbak, kok malah nangis?” Wanita itu tidak menjawab lagi. Dia justru merebahkan kepalanya ke dada Wahyu. Orang-orang yang lewat mengira Wahyu cepat melupakan Arini dengan wanita lain. “Mbak, maaf. Tapi nanti bisa menimbulkan fitnah.” Wahyu mengangkat kepala wanita itu perlahan. “Maaf, Mas. Saya nggak sengaja,” ucap wanita itu sambil mengusap pipinya yang basah. Dia berusaha untuk menenangkan diri. Wahyu menerka dalam hati, apakah wanita ini senasib dengannya. “Mbak ditinggal nikah sama mantan pacar yang sekarang menikah dengan Arini?” tebak Wahyu. Wanita itu mendongak dengan mata terbuka lebar. “Saya istrinya Mas Zulfan,” ungkapnya.Langit biru perlahan berubah jingga. Suasana sore yang hangat dan harum pepadian merebak memberikan aroma nyaman. Yusuf masih berada di kebun apel yang dikelola Paman Didi saat Alya menelepon dengan suara panik.“Mas, cepat pulang!”“Ada apa, Sayang?” Yusuf menatap Paman Didi yang penasaran ketika melihat ekspresi keponakannya itu.“Salma hilang. Neneknya sekarang ada di rumah kita,” beritahu Alya.Yusuf menyugar rambutnya. Dia dibuat bingung oleh ucapan istrinya.“Terus, apa masalahnya dengan kita, Sayang?”“Mas, tolong bantu cari Salma. Kamu pulang sekarang, ya!” pinta Alya dengan suara memohon.Saat Nek minah pulang dari sawah setelah seharian bekerja sebagai buruh tani, tiba-tiba Salma sudah tidak ada di rumah. Dia meninggalkan surat di atas tempat tidurnya ketika Nek Minah membuka kamar gadis itu.“Tadi malam nenek memarahinya, Nak,” beritahu Nek Minah pada Alya.Alya mengusap punggung wanita tua itu dengan lembut, seraya memberinya rasa tenang.“Maafkan, nenek. Semua salah nene
“Mas Yusuf, jangan pergi ….” panggilnya dengan suara serak dan lirih.Yusuf membalik badan. Matanya tertuju pada tangan lemah Salma yang berusaha menahannya.“Salma .…” Yusuf mendekat, berdiri di sisi tempat tidur.“Jangan pergi, Mas. Salma takut.” Dia memohon.Alya dan Nek Minah telah berdiri di belakang Yusuf. Keduanya menyaksikan bagaimana Salma memohon sambil memegang tangan pria bertubuh tegap itu.“Nak, kamu sudah sadar?” Nek Minah mendekat dan memeluk cucunya.Yusuf segera mundur, menghampiri istrinya yang tengah tersenyum getir.“Sayang, aku nggak bermaksud .…” Yusuf setengah berbisik, berusaha menjelaskan sesuatu yang mungkin membuat istrinya salah paham dengan apa yang dilihatnya barusan.Alya segera menggelengkan kepalanya, lalu meletakkan jari telunjuknya di depan bibir. “Sssttt .… aku baik-baik aja, Mas.”“Selamat sore, saya dokter Anisa yang akan memeriksa pasien.” Seorang perempuan berhijab lengkap dengan jas putihnya tersenyum ramah. “Permisi, saya periksa dulu,” ucapn
“Kondisi Salma sepertinya tidak baik-baik saja. Mungkin luka di tubuhnya mudah disembuhkan, tapi kondisi mentalnya .…” Dokter Anisa menjeda ucapannya.Alya mengerutkan kening. “Salma kenapa, Dok?”“Saya tidak bisa secara rinci menyimpulkan, semestinya kita harus rujuk Salma ke Psikiater. Dari luka-luka yang dialami Salma, sepertinya dia mengalami penyiksaan atau kekerasan, dan juga cara dia menatap orang asing yang tampak sangat ketakutan. Tubuhnya merespon dengan gemetar dan mencoba untuk bersembunyi. Apa Mbak Alya tahu sesuatu?”Alya terdiam, sama sekali tidak terpikir apa pun di benaknya, tentang Salma yang banyak menyimpan rahasia. Lalu, ungkapan Salma tentang seseorang yang mengancamnya kembali terngiang.‘Mungkinkah perbuatan orang itu?’ tanyanya dalam hati.“Saya nggak tahu apa-apa, Dok,” jawab Alya.“Bagaimana dengan calon suaminya itu? Apa mereka sering bertengkar atau dia pernah berbuat kasar pada Salma?” Pertanyaan Dokter Anisa mengejutkan Alya. Dia terbatuk karena tersed
Awan mendung seketika menaungi langit Desa Pandan yang sebelumnya terlihat cerah dengan awan putih dan sinar mentari yang menyatu menghangatkan setiap insan di bumi.Kebahagiaan dan kebebasan Salma sudah di depan mata. Namun, tiba-tiba saja Rico datang saat Yusuf hendak mengucapkan ijab kabul untuknya.“Kamu! Orang baru di kampung ini! Jangan lancang!” tunjuk Rico pada Yusuf dengan dada naik turun, napasnya terengah penuh emosi. Sepertinya dia datang ke masjid dengan berlari.Semua orang mengalihkan mata pada Rico. Pria dengan celana jeans yang robek di bagian lutut itu mendekati Salma dan menarik tangannya dengan kasar.“Ikut aku!” hardik Rico.Salma meraung kesakitan. Dia menangis meminta belas kasih.“Lepaskan Salma, Rico! Apa yang kamu lakukan!” Nek Minah tak kalah memberang, melihat cucu kesayangannya disakiti.“Salma ini milikku! Nggak boleh ada yang merebutnya!” Rico berujar dengan suara keras menggelegar di dalam masjid yang hanya dihadiri beberapa warga saja sebagai saksi.“P
“Mas, kamu dari mana? Aku khawatir,” ucap Alya ketika suaminya baru tiba di rumah malam hari selepas isya.Yusuf tidak menjawab dan langsung memeluk istrinya.“Aku minta maaf, Sayang. Aku hanya takut ….” Yusuf terisak sambil memeluk erat istrinya. “Aku nggak mau kayak papa yang nyakitin mama. Aku bahkan berjanji sama diriku sendiri untuk tetap setia dan nggak bakalan duain kamu apa pun yang terjadi, Sayang.”“Mas …. aku ngerti. Aku yang salah karena terlalu banyak menuntut kamu. Kita fokus sama tujuan kita, ya! Yaitu nolongin Salma dan juga ikhtiar buat dapatin anak.” Alya melepas pelukan suaminya. Tangannya mengusap air mata sang suami dengan lembut.Yusuf mengangguk, tangannya mengusap puncak kepala istrinya. “Aku minta maaf juga sudah membentakmu tadi.”Alya mengangguk dengan senyum manis. Dia kemudian mengajak Yusuf ke meja makan untuk menikmati hidangan yang sudah tersedia.“Kamu masak semua ini, Sayang?” tanya Yusuf ketika melihat banyak makanan terhidang.Alya menggeleng dengan
“Astaghfirullah ….” Ayla tersentak ketika membuka pintu rumah Nek Minah, ada seorang lelaki duduk sambil meyandarkan kakinya di atas meja teras, sedang di tangannya ada sebatang rokok. Mulutnya mengerucut, memainkan asapnya.“Ka-kamu?” Alya mulai takut. Pasalnya, terakhir bertemu di masjid kemarin, Rico sangat agresif dengan pakaian seperti preman.Lelaki itu menoleh pada Alya dan tersenyum lebar. Alisnya terangkat dengan mata berkedip genit.“Ada apa, Nak Alya?” Nek Minah menyusul ke depan. Di tangannya membawa semangkuk bubur kacang hijau yang akan di bawa ke rumah Yusuf. “Rico? Ngapain kamu ke sini?” Nek Minah keluar dan berdiri di depan lelaki itu.Lelaki dengan jaket denim bergambar tengkorak hitam itu menyulut rokoknya di atas meja, lalu berdiri.“Assalamu’alaikum, Nek.” Rico berujar sopan dan menunduk pada Nek Minah, tangannya mengulur hendak bersalaman.Nek Minah menyambutnya dengan canggung.“Saya ke sini mau bertemu Salma,” ucap Rico dengan senyuman yang terlihat seperti ser
“Tega banget kamu, nikah diam-diam.” Siti melirik Alya yang duduk di samping Yusuf. Sedangkan Salma dan Nek Minah duduk bersisian. “Kenalin dong, sama istri baru kamu,” sambungnya dengan senyum mengejek ke arah Alya.Yusuf melirik pada Bibi Wahyuni yang sering membuang pandangan, mengelak mata Yusuf yang tampak memendam banyak pertanyaan.“Mama ngapain sih, ke sini?” tanya Yusuf lagi. Dia tidak suka dengan kedatangan ibunya, karena Yusuf tahu, pasti ibunya ingin mengusik Alya dengan pernikahan keduanya ini.Siti tersenyum lalu merengut. “Untung aja si Wahyuni ngasih kabar kalau kamu menikah lagi dengan gadis desa yang cantik. Katanya dia Kembang Desa. Ternyata benar, dia sangat cantik,” ungkap Siti sambil memperhatikan Salma dari atas sampai bawah.Yusuf menaikkan alisnya pada Bibi Wahyuni.“Bibi keceplosan, Suf.” Wanita yang gemar memakai hijab instan itu sedikit berbisik.“Nama kamu tadi siapa?” tanya Siti pada Salma yang sejak tadi menunduk malu.“Salma, Tante.”“Kok panggil tante,
“Mama, Alya tinggal dulu ke dapur, ya. Alya mau buatin mama ayam goreng tepung kesukaan mama.” Wanita yang kesehariannya memakai gamis itu beranjak ke dapur setelah Nek Minah pamit pulang untuk bersiap berangkat ke ladang.Meski Salma sudah melarangnya, Nek Minah tetap bersikeras dan mengatakan jika dirinya tidak pergi bekerja, justru membuat badannya tidak enak. Dia juga senang berkumpul bersama buruh tani lainnya.“Mama ngobrol dulu sama Salma, ya,” sambung Alya.Siti melirik sinis pada Alya. “Yang mau ngobrol sama kamu juga siapa? Sana pergi!” usirnya sambil mengibaskan tangan.Salma merasa tidak enak melihat perlakuan mama mertuanya itu kepada Alya. Wajah Siti berubah ramah dan senyum ketika beralih pada Salma.“Dia itu tampangnya aja yang kayak malaikat, tapi kami jangan terhasut sama omongan dia. Dulu, waktu kami masih serumah, huhh ….” Siti mengeluh, membuat Salma mengerutkan kening. “Dia itu pemalasnya luar biasa. Semua pekerjaan rumah saya yang mengerjakan, dia cuman enak-en
“Ada apa kamu menyuruhku datang ke sini malam-malam?” tanya Yusuf seketika, saat dia sampai di tempat pertemuan yang dijanjikan Rico.Yusuf masih berdiri di tepi saung, sedangkan Rico tersenyum miring sambil menikmati sebatang rokok.“Sampean mau berdiri saja di situ?” Rico berbasa-basi.“Aku nggak suka basa-basi, cepat katakan, ada perlu apa?” desak Yusuf.Rico menggeser duduknya, kakinya mengayun di tepi saung. Hamparan langit luas menaungi mereka, sinar rembulan sebagai penerang.“Aku mau minta tolong sama sampean, sebaiknya smapean bawa Salma pergi dari desa ini!” pintanya.Yusuf melipat tangan di depan dada, keningnya berkerut heran. “Kalau kamu memang tulus menikahinya dengan niat mau menolong Salma, pergi dari desa ini adalah jalan terbaiknya. Kalau tidak ….” Rico menggantungkan ucapannya.“Kalau tidak apa?” tanya Yusuf tak sabar.“Salma itu sebenarnya ….”“Ngapain kalian di sini?!” Suara besar itu mengejutkan Rico dan Yusuf.Keduanya menoleh ke arah suara. Muncul seorang pria
“Nek, ayo masuk! Di sini dingin.” Salma tiba-tiba muncul. Entah sejak kapan dia berada di bibir pintu. Wanita tua itu sangat terkejut. Tubuhnya terlihat sedikit gemetar, sorot matanya tampak menyimpan ketakutan.Saat Alya sedang mengajari Salma mengaji di dalam kamar, Nek Minah mengambil kesempatan untuk berbicara dengan Yusuf. Namun, Salma curiga saat sang Nenek tak kunjung masuk ke kamar. Dia pun izin kepada Alya untuk pura-pura ke kamar mandi. Dia mengikuti neneknya. Salma tak akan membiarkan sang nenek membocorkan rahasianya pada Yusuf.“Bukannya kamu belajar ngaji sama Alya?” tanya Yusuf seketika, saat sadar ada sesuatu yang tidak beres melihat ekspresi Nek Minah.“Aku pikir nenek pulang sendirian, karena malam ini aku pengin tidur sama nenek di sini. Boleh, kan, Mas?” Salma melirik neneknya dan memainkan mata lalu tersenyum, seraya membujuk suaminya.“Boleh,” kata Yusuf. Dia menatap Nek Minah dan Salma bergantian. Ada sesuatu yang terasa aneh dari sikap mereka berdua, tapi Yusu
“Mas, kenapa kamu biarkan mama pergi seperti itu? Nggak baik, Mas.” Alya menyayangkan kepergian mama mertuanya yang dalam keadaan emosi.Yusuf masih bergeming. Tatapannya kosong ke depan, melihat mobil yang dikemudikan Paman Didi perlahan melaju meninggalkan halaman rumahnya.“Semua ini gara-gara Alya, kan?” gumamnya pelan.Yusuf menoleh pada istrinya yang sejak tadi diabaikan.“Sayang, bukan karena kamu, bukan karena siapa-siapa. Mama seperti itu karena belum bisa menerima kepergian papa. Dia menyalahkan orang-orang, dia menyalahkan takdir. Sampai sekarang, dia belum bisa mengikhlaskan kepergian papa.”“Itu semua karena papa sibuk menyiapkan hadiah untuk peringatan hari pernikahan kita, makanya mama sangat membenci Alya.” Perempuan anggun dengan hijab merah muda itu berujar lirih.“Nggak ada hubungannya sama peringatan itu, Sayang. Memang ajalnya papa sudah tiba saat itu. Yang harus kita lakukan sekarang adalah ikhlas, bukan menyalahkan. Kamu pasti lebih tahu hal itu, kan?” Yusuf men
“Salma beneran baik-baik aja, Nek.” Perempuan yang setia dengan selendang merahnya itu menggenggam tangan sang nenek yang masih tersedu meratapi keadaan cucunya. Dia tersadar beberapa saat setelah Yusuf tiba. Cairan merah yang membuat panik Nek Minah ternyata hanya jus semangka. Lagi-lagi Alya berhasil membuat situasi menjadi tenang. Sementara itu, Siti merasa bosan. Dia sama sekali tidak peduli dengan keadaan menantunya, yang ada di pikirannya adalah, dua menantunya itu sama-sama lemah. Hanya saja, dia masih menaruh harapan pada Salma. “Setidaknya, gadis kampung itu bisa memberikanku cucu. Mungkin itu bisa membuatku melupakan masa lalu yang menyakitkan. Suatu peristiwa yang disebabkan oleh peringatan pernikahan Yusuf dan Alya. Aku hanya berharap, pernikahan Yusuf dengan Salma benar-benar membawa kebahagiaan bagiku, bukan malapetaka seperti Alya.” Siti bergumam pelan ketika semua orang sibuk berada di kamar untuk memastikan keadaan Salma.Yusuf keluar dari kamar dengan wajah marah.
“Dasar g*blok!”Rico tersungkur saat menerima tamparan yang begitu keras dari Wahyu. “Dengar, ya, anak nggak tahu diuntung!” Wahyu menarik kerah jaket Rico. “Nasib ibumu ada di tanganku,” peringatnya.Lelaki yang berpenampilan seperti preman itu tak punya kemampuan untuk melawan ayah tirinya. Kalau bukan karena sang ibu, dia pasti sudah meleny4pkan nyawa pria yang menikahi ibunya demi harta itu.Rico hanya diam. Matanya menatap Wahyu seolah menantang, dar*ah di sudut bibirnya dia usap dengan kasar.“Semua yang kami punya, bahkan sudah berhasil kau kuasai. Sekarang kau mau merusak hidup orang lain!” Rico menyeringai, menyindir Wahyu yang hendak pergi dari sana.Wahyu membalik badan dengan mata menyorot kemarahan.“Apa urusannya denganmu? Kau hanya seorang anak yang bahkan masih di dalam kandungan pun sudah tak dianggap oleh ayahmu!” ejek Wahyu dengan tawa kecil.Rico berdiri, membersihkan celana dan bajunya dari debu dan jerami padi yang berada di gudang ini, tempat di mana Salma pern
“Nak Alya?” Nek Minah menyapa saat membukakan pintu.Alya tersenyum dan mencium tangan wanita tua itu.“Salma mana?” tanya Nek Minah sambil lingak linguk ke belakang.“Salma sedang menemani mama di rumah, Nek. Mama nggak mau ditemani sama Alya, maunya sama menantu barunya,” kekeh Alya. Dia tertawa sambil menutup mulut.Nek Minah menatap sayu pada Alya. Hatinya teriris, dia mengerti perasaan Alya.“Masuk, Nak. Kita ngobrol di dalam,” ajak Nek Minah. “Nenek bikin cemilan tadi, kamu mau?” tawarnya mencoba menghibur.Alya mengangguk antusias, senyumnya mengembang senang.“Sebentar.” Nek Minah berjalan ke dapur, sedang Alya duduk di ruang tamu.Nek Minah mengusap air matanya yang tak mau berhenti menetes. Dia mengusap dada berkali-kali untuk menenangkan diri.“Betapa beruntungnya Salma menemukan orang sebaik Alya yang merelakan suaminya menikah lagi. Aku harus membalas kebaikannya dengan cara apa pun,” gumam Nek Minah sambil menyusun kue putu ke atas piring.“Ini, silahkan ….” Nek Minah me
“Mbak, malam ini sebaiknya Mbak Alya di rumah menemani Mas Yusuf dan Mama,” ucap Salma saat Alya mengantarnya sampai di depan teras rumah Nek Minah.Alya menggeleng pelan. “Mama mau kenalan lebih dalam sama kamu. Biar mbak di sini yang menamani nenek,” tolaknya.Pintu berderit dan terbuka perlahan, Nek Minah bersiap untuk pergi ke masjid. Mukena berwarna putih lusuh itu sudah dikenakan dengan rapi. Di tangannya tergantung sajadah berwarna biru yang terlihat sudah lama digunakan.“Kenapa kalian berdiri di depan rumah? Sebentar lagi mau maghrib.” Nek Minah mengingatkan.Salma dan Alya menoleh bersamaan lalu tertawa kecil.“Kalian masih saling berebutan seperti anak kecil?” tanya Nek Minah meledek.“Mbak Alya ngeyel, mau nemani nenek malam ini. Malam ini kan, giliran Salma di sini, Nek.” Salma menjelaskan.Nek Minah menarik napas kasar. “Nenek malam ini nggak usah ditemani. Nenek bukan anak kecil. Malam ini kalian di sana saja, ada mertua kalian yang harus diperhatikan,” ujar Nek Minah m
“Mama, Alya tinggal dulu ke dapur, ya. Alya mau buatin mama ayam goreng tepung kesukaan mama.” Wanita yang kesehariannya memakai gamis itu beranjak ke dapur setelah Nek Minah pamit pulang untuk bersiap berangkat ke ladang.Meski Salma sudah melarangnya, Nek Minah tetap bersikeras dan mengatakan jika dirinya tidak pergi bekerja, justru membuat badannya tidak enak. Dia juga senang berkumpul bersama buruh tani lainnya.“Mama ngobrol dulu sama Salma, ya,” sambung Alya.Siti melirik sinis pada Alya. “Yang mau ngobrol sama kamu juga siapa? Sana pergi!” usirnya sambil mengibaskan tangan.Salma merasa tidak enak melihat perlakuan mama mertuanya itu kepada Alya. Wajah Siti berubah ramah dan senyum ketika beralih pada Salma.“Dia itu tampangnya aja yang kayak malaikat, tapi kami jangan terhasut sama omongan dia. Dulu, waktu kami masih serumah, huhh ….” Siti mengeluh, membuat Salma mengerutkan kening. “Dia itu pemalasnya luar biasa. Semua pekerjaan rumah saya yang mengerjakan, dia cuman enak-en
“Tega banget kamu, nikah diam-diam.” Siti melirik Alya yang duduk di samping Yusuf. Sedangkan Salma dan Nek Minah duduk bersisian. “Kenalin dong, sama istri baru kamu,” sambungnya dengan senyum mengejek ke arah Alya.Yusuf melirik pada Bibi Wahyuni yang sering membuang pandangan, mengelak mata Yusuf yang tampak memendam banyak pertanyaan.“Mama ngapain sih, ke sini?” tanya Yusuf lagi. Dia tidak suka dengan kedatangan ibunya, karena Yusuf tahu, pasti ibunya ingin mengusik Alya dengan pernikahan keduanya ini.Siti tersenyum lalu merengut. “Untung aja si Wahyuni ngasih kabar kalau kamu menikah lagi dengan gadis desa yang cantik. Katanya dia Kembang Desa. Ternyata benar, dia sangat cantik,” ungkap Siti sambil memperhatikan Salma dari atas sampai bawah.Yusuf menaikkan alisnya pada Bibi Wahyuni.“Bibi keceplosan, Suf.” Wanita yang gemar memakai hijab instan itu sedikit berbisik.“Nama kamu tadi siapa?” tanya Siti pada Salma yang sejak tadi menunduk malu.“Salma, Tante.”“Kok panggil tante,