“Tega banget kamu, nikah diam-diam.” Siti melirik Alya yang duduk di samping Yusuf. Sedangkan Salma dan Nek Minah duduk bersisian. “Kenalin dong, sama istri baru kamu,” sambungnya dengan senyum mengejek ke arah Alya.Yusuf melirik pada Bibi Wahyuni yang sering membuang pandangan, mengelak mata Yusuf yang tampak memendam banyak pertanyaan.“Mama ngapain sih, ke sini?” tanya Yusuf lagi. Dia tidak suka dengan kedatangan ibunya, karena Yusuf tahu, pasti ibunya ingin mengusik Alya dengan pernikahan keduanya ini.Siti tersenyum lalu merengut. “Untung aja si Wahyuni ngasih kabar kalau kamu menikah lagi dengan gadis desa yang cantik. Katanya dia Kembang Desa. Ternyata benar, dia sangat cantik,” ungkap Siti sambil memperhatikan Salma dari atas sampai bawah.Yusuf menaikkan alisnya pada Bibi Wahyuni.“Bibi keceplosan, Suf.” Wanita yang gemar memakai hijab instan itu sedikit berbisik.“Nama kamu tadi siapa?” tanya Siti pada Salma yang sejak tadi menunduk malu.“Salma, Tante.”“Kok panggil tante,
“Mama, Alya tinggal dulu ke dapur, ya. Alya mau buatin mama ayam goreng tepung kesukaan mama.” Wanita yang kesehariannya memakai gamis itu beranjak ke dapur setelah Nek Minah pamit pulang untuk bersiap berangkat ke ladang.Meski Salma sudah melarangnya, Nek Minah tetap bersikeras dan mengatakan jika dirinya tidak pergi bekerja, justru membuat badannya tidak enak. Dia juga senang berkumpul bersama buruh tani lainnya.“Mama ngobrol dulu sama Salma, ya,” sambung Alya.Siti melirik sinis pada Alya. “Yang mau ngobrol sama kamu juga siapa? Sana pergi!” usirnya sambil mengibaskan tangan.Salma merasa tidak enak melihat perlakuan mama mertuanya itu kepada Alya. Wajah Siti berubah ramah dan senyum ketika beralih pada Salma.“Dia itu tampangnya aja yang kayak malaikat, tapi kami jangan terhasut sama omongan dia. Dulu, waktu kami masih serumah, huhh ….” Siti mengeluh, membuat Salma mengerutkan kening. “Dia itu pemalasnya luar biasa. Semua pekerjaan rumah saya yang mengerjakan, dia cuman enak-en
“Mbak, malam ini sebaiknya Mbak Alya di rumah menemani Mas Yusuf dan Mama,” ucap Salma saat Alya mengantarnya sampai di depan teras rumah Nek Minah.Alya menggeleng pelan. “Mama mau kenalan lebih dalam sama kamu. Biar mbak di sini yang menamani nenek,” tolaknya.Pintu berderit dan terbuka perlahan, Nek Minah bersiap untuk pergi ke masjid. Mukena berwarna putih lusuh itu sudah dikenakan dengan rapi. Di tangannya tergantung sajadah berwarna biru yang terlihat sudah lama digunakan.“Kenapa kalian berdiri di depan rumah? Sebentar lagi mau maghrib.” Nek Minah mengingatkan.Salma dan Alya menoleh bersamaan lalu tertawa kecil.“Kalian masih saling berebutan seperti anak kecil?” tanya Nek Minah meledek.“Mbak Alya ngeyel, mau nemani nenek malam ini. Malam ini kan, giliran Salma di sini, Nek.” Salma menjelaskan.Nek Minah menarik napas kasar. “Nenek malam ini nggak usah ditemani. Nenek bukan anak kecil. Malam ini kalian di sana saja, ada mertua kalian yang harus diperhatikan,” ujar Nek Minah m
“Nak Alya?” Nek Minah menyapa saat membukakan pintu.Alya tersenyum dan mencium tangan wanita tua itu.“Salma mana?” tanya Nek Minah sambil lingak linguk ke belakang.“Salma sedang menemani mama di rumah, Nek. Mama nggak mau ditemani sama Alya, maunya sama menantu barunya,” kekeh Alya. Dia tertawa sambil menutup mulut.Nek Minah menatap sayu pada Alya. Hatinya teriris, dia mengerti perasaan Alya.“Masuk, Nak. Kita ngobrol di dalam,” ajak Nek Minah. “Nenek bikin cemilan tadi, kamu mau?” tawarnya mencoba menghibur.Alya mengangguk antusias, senyumnya mengembang senang.“Sebentar.” Nek Minah berjalan ke dapur, sedang Alya duduk di ruang tamu.Nek Minah mengusap air matanya yang tak mau berhenti menetes. Dia mengusap dada berkali-kali untuk menenangkan diri.“Betapa beruntungnya Salma menemukan orang sebaik Alya yang merelakan suaminya menikah lagi. Aku harus membalas kebaikannya dengan cara apa pun,” gumam Nek Minah sambil menyusun kue putu ke atas piring.“Ini, silahkan ….” Nek Minah me
“Dasar g*blok!”Rico tersungkur saat menerima tamparan yang begitu keras dari Wahyu. “Dengar, ya, anak nggak tahu diuntung!” Wahyu menarik kerah jaket Rico. “Nasib ibumu ada di tanganku,” peringatnya.Lelaki yang berpenampilan seperti preman itu tak punya kemampuan untuk melawan ayah tirinya. Kalau bukan karena sang ibu, dia pasti sudah meleny4pkan nyawa pria yang menikahi ibunya demi harta itu.Rico hanya diam. Matanya menatap Wahyu seolah menantang, dar*ah di sudut bibirnya dia usap dengan kasar.“Semua yang kami punya, bahkan sudah berhasil kau kuasai. Sekarang kau mau merusak hidup orang lain!” Rico menyeringai, menyindir Wahyu yang hendak pergi dari sana.Wahyu membalik badan dengan mata menyorot kemarahan.“Apa urusannya denganmu? Kau hanya seorang anak yang bahkan masih di dalam kandungan pun sudah tak dianggap oleh ayahmu!” ejek Wahyu dengan tawa kecil.Rico berdiri, membersihkan celana dan bajunya dari debu dan jerami padi yang berada di gudang ini, tempat di mana Salma pern
“Salma beneran baik-baik aja, Nek.” Perempuan yang setia dengan selendang merahnya itu menggenggam tangan sang nenek yang masih tersedu meratapi keadaan cucunya. Dia tersadar beberapa saat setelah Yusuf tiba. Cairan merah yang membuat panik Nek Minah ternyata hanya jus semangka. Lagi-lagi Alya berhasil membuat situasi menjadi tenang. Sementara itu, Siti merasa bosan. Dia sama sekali tidak peduli dengan keadaan menantunya, yang ada di pikirannya adalah, dua menantunya itu sama-sama lemah. Hanya saja, dia masih menaruh harapan pada Salma. “Setidaknya, gadis kampung itu bisa memberikanku cucu. Mungkin itu bisa membuatku melupakan masa lalu yang menyakitkan. Suatu peristiwa yang disebabkan oleh peringatan pernikahan Yusuf dan Alya. Aku hanya berharap, pernikahan Yusuf dengan Salma benar-benar membawa kebahagiaan bagiku, bukan malapetaka seperti Alya.” Siti bergumam pelan ketika semua orang sibuk berada di kamar untuk memastikan keadaan Salma.Yusuf keluar dari kamar dengan wajah marah.
“Mas, kenapa kamu biarkan mama pergi seperti itu? Nggak baik, Mas.” Alya menyayangkan kepergian mama mertuanya yang dalam keadaan emosi.Yusuf masih bergeming. Tatapannya kosong ke depan, melihat mobil yang dikemudikan Paman Didi perlahan melaju meninggalkan halaman rumahnya.“Semua ini gara-gara Alya, kan?” gumamnya pelan.Yusuf menoleh pada istrinya yang sejak tadi diabaikan.“Sayang, bukan karena kamu, bukan karena siapa-siapa. Mama seperti itu karena belum bisa menerima kepergian papa. Dia menyalahkan orang-orang, dia menyalahkan takdir. Sampai sekarang, dia belum bisa mengikhlaskan kepergian papa.”“Itu semua karena papa sibuk menyiapkan hadiah untuk peringatan hari pernikahan kita, makanya mama sangat membenci Alya.” Perempuan anggun dengan hijab merah muda itu berujar lirih.“Nggak ada hubungannya sama peringatan itu, Sayang. Memang ajalnya papa sudah tiba saat itu. Yang harus kita lakukan sekarang adalah ikhlas, bukan menyalahkan. Kamu pasti lebih tahu hal itu, kan?” Yusuf men
“Nek, ayo masuk! Di sini dingin.” Salma tiba-tiba muncul. Entah sejak kapan dia berada di bibir pintu. Wanita tua itu sangat terkejut. Tubuhnya terlihat sedikit gemetar, sorot matanya tampak menyimpan ketakutan.Saat Alya sedang mengajari Salma mengaji di dalam kamar, Nek Minah mengambil kesempatan untuk berbicara dengan Yusuf. Namun, Salma curiga saat sang Nenek tak kunjung masuk ke kamar. Dia pun izin kepada Alya untuk pura-pura ke kamar mandi. Dia mengikuti neneknya. Salma tak akan membiarkan sang nenek membocorkan rahasianya pada Yusuf.“Bukannya kamu belajar ngaji sama Alya?” tanya Yusuf seketika, saat sadar ada sesuatu yang tidak beres melihat ekspresi Nek Minah.“Aku pikir nenek pulang sendirian, karena malam ini aku pengin tidur sama nenek di sini. Boleh, kan, Mas?” Salma melirik neneknya dan memainkan mata lalu tersenyum, seraya membujuk suaminya.“Boleh,” kata Yusuf. Dia menatap Nek Minah dan Salma bergantian. Ada sesuatu yang terasa aneh dari sikap mereka berdua, tapi Yusu
“Ada apa kamu menyuruhku datang ke sini malam-malam?” tanya Yusuf seketika, saat dia sampai di tempat pertemuan yang dijanjikan Rico.Yusuf masih berdiri di tepi saung, sedangkan Rico tersenyum miring sambil menikmati sebatang rokok.“Sampean mau berdiri saja di situ?” Rico berbasa-basi.“Aku nggak suka basa-basi, cepat katakan, ada perlu apa?” desak Yusuf.Rico menggeser duduknya, kakinya mengayun di tepi saung. Hamparan langit luas menaungi mereka, sinar rembulan sebagai penerang.“Aku mau minta tolong sama sampean, sebaiknya smapean bawa Salma pergi dari desa ini!” pintanya.Yusuf melipat tangan di depan dada, keningnya berkerut heran. “Kalau kamu memang tulus menikahinya dengan niat mau menolong Salma, pergi dari desa ini adalah jalan terbaiknya. Kalau tidak ….” Rico menggantungkan ucapannya.“Kalau tidak apa?” tanya Yusuf tak sabar.“Salma itu sebenarnya ….”“Ngapain kalian di sini?!” Suara besar itu mengejutkan Rico dan Yusuf.Keduanya menoleh ke arah suara. Muncul seorang pria
“Nek, ayo masuk! Di sini dingin.” Salma tiba-tiba muncul. Entah sejak kapan dia berada di bibir pintu. Wanita tua itu sangat terkejut. Tubuhnya terlihat sedikit gemetar, sorot matanya tampak menyimpan ketakutan.Saat Alya sedang mengajari Salma mengaji di dalam kamar, Nek Minah mengambil kesempatan untuk berbicara dengan Yusuf. Namun, Salma curiga saat sang Nenek tak kunjung masuk ke kamar. Dia pun izin kepada Alya untuk pura-pura ke kamar mandi. Dia mengikuti neneknya. Salma tak akan membiarkan sang nenek membocorkan rahasianya pada Yusuf.“Bukannya kamu belajar ngaji sama Alya?” tanya Yusuf seketika, saat sadar ada sesuatu yang tidak beres melihat ekspresi Nek Minah.“Aku pikir nenek pulang sendirian, karena malam ini aku pengin tidur sama nenek di sini. Boleh, kan, Mas?” Salma melirik neneknya dan memainkan mata lalu tersenyum, seraya membujuk suaminya.“Boleh,” kata Yusuf. Dia menatap Nek Minah dan Salma bergantian. Ada sesuatu yang terasa aneh dari sikap mereka berdua, tapi Yusu
“Mas, kenapa kamu biarkan mama pergi seperti itu? Nggak baik, Mas.” Alya menyayangkan kepergian mama mertuanya yang dalam keadaan emosi.Yusuf masih bergeming. Tatapannya kosong ke depan, melihat mobil yang dikemudikan Paman Didi perlahan melaju meninggalkan halaman rumahnya.“Semua ini gara-gara Alya, kan?” gumamnya pelan.Yusuf menoleh pada istrinya yang sejak tadi diabaikan.“Sayang, bukan karena kamu, bukan karena siapa-siapa. Mama seperti itu karena belum bisa menerima kepergian papa. Dia menyalahkan orang-orang, dia menyalahkan takdir. Sampai sekarang, dia belum bisa mengikhlaskan kepergian papa.”“Itu semua karena papa sibuk menyiapkan hadiah untuk peringatan hari pernikahan kita, makanya mama sangat membenci Alya.” Perempuan anggun dengan hijab merah muda itu berujar lirih.“Nggak ada hubungannya sama peringatan itu, Sayang. Memang ajalnya papa sudah tiba saat itu. Yang harus kita lakukan sekarang adalah ikhlas, bukan menyalahkan. Kamu pasti lebih tahu hal itu, kan?” Yusuf men
“Salma beneran baik-baik aja, Nek.” Perempuan yang setia dengan selendang merahnya itu menggenggam tangan sang nenek yang masih tersedu meratapi keadaan cucunya. Dia tersadar beberapa saat setelah Yusuf tiba. Cairan merah yang membuat panik Nek Minah ternyata hanya jus semangka. Lagi-lagi Alya berhasil membuat situasi menjadi tenang. Sementara itu, Siti merasa bosan. Dia sama sekali tidak peduli dengan keadaan menantunya, yang ada di pikirannya adalah, dua menantunya itu sama-sama lemah. Hanya saja, dia masih menaruh harapan pada Salma. “Setidaknya, gadis kampung itu bisa memberikanku cucu. Mungkin itu bisa membuatku melupakan masa lalu yang menyakitkan. Suatu peristiwa yang disebabkan oleh peringatan pernikahan Yusuf dan Alya. Aku hanya berharap, pernikahan Yusuf dengan Salma benar-benar membawa kebahagiaan bagiku, bukan malapetaka seperti Alya.” Siti bergumam pelan ketika semua orang sibuk berada di kamar untuk memastikan keadaan Salma.Yusuf keluar dari kamar dengan wajah marah.
“Dasar g*blok!”Rico tersungkur saat menerima tamparan yang begitu keras dari Wahyu. “Dengar, ya, anak nggak tahu diuntung!” Wahyu menarik kerah jaket Rico. “Nasib ibumu ada di tanganku,” peringatnya.Lelaki yang berpenampilan seperti preman itu tak punya kemampuan untuk melawan ayah tirinya. Kalau bukan karena sang ibu, dia pasti sudah meleny4pkan nyawa pria yang menikahi ibunya demi harta itu.Rico hanya diam. Matanya menatap Wahyu seolah menantang, dar*ah di sudut bibirnya dia usap dengan kasar.“Semua yang kami punya, bahkan sudah berhasil kau kuasai. Sekarang kau mau merusak hidup orang lain!” Rico menyeringai, menyindir Wahyu yang hendak pergi dari sana.Wahyu membalik badan dengan mata menyorot kemarahan.“Apa urusannya denganmu? Kau hanya seorang anak yang bahkan masih di dalam kandungan pun sudah tak dianggap oleh ayahmu!” ejek Wahyu dengan tawa kecil.Rico berdiri, membersihkan celana dan bajunya dari debu dan jerami padi yang berada di gudang ini, tempat di mana Salma pern
“Nak Alya?” Nek Minah menyapa saat membukakan pintu.Alya tersenyum dan mencium tangan wanita tua itu.“Salma mana?” tanya Nek Minah sambil lingak linguk ke belakang.“Salma sedang menemani mama di rumah, Nek. Mama nggak mau ditemani sama Alya, maunya sama menantu barunya,” kekeh Alya. Dia tertawa sambil menutup mulut.Nek Minah menatap sayu pada Alya. Hatinya teriris, dia mengerti perasaan Alya.“Masuk, Nak. Kita ngobrol di dalam,” ajak Nek Minah. “Nenek bikin cemilan tadi, kamu mau?” tawarnya mencoba menghibur.Alya mengangguk antusias, senyumnya mengembang senang.“Sebentar.” Nek Minah berjalan ke dapur, sedang Alya duduk di ruang tamu.Nek Minah mengusap air matanya yang tak mau berhenti menetes. Dia mengusap dada berkali-kali untuk menenangkan diri.“Betapa beruntungnya Salma menemukan orang sebaik Alya yang merelakan suaminya menikah lagi. Aku harus membalas kebaikannya dengan cara apa pun,” gumam Nek Minah sambil menyusun kue putu ke atas piring.“Ini, silahkan ….” Nek Minah me
“Mbak, malam ini sebaiknya Mbak Alya di rumah menemani Mas Yusuf dan Mama,” ucap Salma saat Alya mengantarnya sampai di depan teras rumah Nek Minah.Alya menggeleng pelan. “Mama mau kenalan lebih dalam sama kamu. Biar mbak di sini yang menamani nenek,” tolaknya.Pintu berderit dan terbuka perlahan, Nek Minah bersiap untuk pergi ke masjid. Mukena berwarna putih lusuh itu sudah dikenakan dengan rapi. Di tangannya tergantung sajadah berwarna biru yang terlihat sudah lama digunakan.“Kenapa kalian berdiri di depan rumah? Sebentar lagi mau maghrib.” Nek Minah mengingatkan.Salma dan Alya menoleh bersamaan lalu tertawa kecil.“Kalian masih saling berebutan seperti anak kecil?” tanya Nek Minah meledek.“Mbak Alya ngeyel, mau nemani nenek malam ini. Malam ini kan, giliran Salma di sini, Nek.” Salma menjelaskan.Nek Minah menarik napas kasar. “Nenek malam ini nggak usah ditemani. Nenek bukan anak kecil. Malam ini kalian di sana saja, ada mertua kalian yang harus diperhatikan,” ujar Nek Minah m
“Mama, Alya tinggal dulu ke dapur, ya. Alya mau buatin mama ayam goreng tepung kesukaan mama.” Wanita yang kesehariannya memakai gamis itu beranjak ke dapur setelah Nek Minah pamit pulang untuk bersiap berangkat ke ladang.Meski Salma sudah melarangnya, Nek Minah tetap bersikeras dan mengatakan jika dirinya tidak pergi bekerja, justru membuat badannya tidak enak. Dia juga senang berkumpul bersama buruh tani lainnya.“Mama ngobrol dulu sama Salma, ya,” sambung Alya.Siti melirik sinis pada Alya. “Yang mau ngobrol sama kamu juga siapa? Sana pergi!” usirnya sambil mengibaskan tangan.Salma merasa tidak enak melihat perlakuan mama mertuanya itu kepada Alya. Wajah Siti berubah ramah dan senyum ketika beralih pada Salma.“Dia itu tampangnya aja yang kayak malaikat, tapi kami jangan terhasut sama omongan dia. Dulu, waktu kami masih serumah, huhh ….” Siti mengeluh, membuat Salma mengerutkan kening. “Dia itu pemalasnya luar biasa. Semua pekerjaan rumah saya yang mengerjakan, dia cuman enak-en
“Tega banget kamu, nikah diam-diam.” Siti melirik Alya yang duduk di samping Yusuf. Sedangkan Salma dan Nek Minah duduk bersisian. “Kenalin dong, sama istri baru kamu,” sambungnya dengan senyum mengejek ke arah Alya.Yusuf melirik pada Bibi Wahyuni yang sering membuang pandangan, mengelak mata Yusuf yang tampak memendam banyak pertanyaan.“Mama ngapain sih, ke sini?” tanya Yusuf lagi. Dia tidak suka dengan kedatangan ibunya, karena Yusuf tahu, pasti ibunya ingin mengusik Alya dengan pernikahan keduanya ini.Siti tersenyum lalu merengut. “Untung aja si Wahyuni ngasih kabar kalau kamu menikah lagi dengan gadis desa yang cantik. Katanya dia Kembang Desa. Ternyata benar, dia sangat cantik,” ungkap Siti sambil memperhatikan Salma dari atas sampai bawah.Yusuf menaikkan alisnya pada Bibi Wahyuni.“Bibi keceplosan, Suf.” Wanita yang gemar memakai hijab instan itu sedikit berbisik.“Nama kamu tadi siapa?” tanya Siti pada Salma yang sejak tadi menunduk malu.“Salma, Tante.”“Kok panggil tante,