“Maaf, Yusuf. Aku harus sampaikan ini sama kamu,” kata Dokter Cindy dengan berat hati dan wajah muram.“Ada apa, Cin?” Yusuf tak bisa menyembunyikan rasa cemasnya.“Aku turut berduka cita atas apa yang terjadi. Aku ngerti betapa hancurnya hati kalian, aku mau menjelaskan sebisa mungkin meskipun aku belum bisa memastikan tanpa adanya pemeriksaan lanjut.” Cindy menyampaikan dengan suara pelan dan hati-hati.Suara isakan terdengar dari Ibunya Alya. Pak Hamdan segera memeluk istrinya dan membuatnya tenang.“Kenapa bisa?!” Suara Yusuf meninggi, terdengar seperti membentak.Cindy seketika menunduk.“Maaf, Cin. Aku nggak bermaksud marah sama kamu.”“Aku ngerti perasaan kamu, Suf. Pecahnya ketuban yang terjadi pada Alya, menjadi faktor pemicu, tapi bukan hanya itu satu-satunya penyebab. Beberapa kemungkinan yang perlu kita investigasi lebih lanjut adalah infeksi yang menyebabkan aliran darah dan oksigen ke plasenta berkurang.”Yusuf terduduk dan membingkai kepalanya yang tiba-tiba berdenyut n
“Alya! Gimana, sih, kamu?! Lihat nih, baju kesayanganku jadi bolong gara-gara kamu ceroboh!” bentak Siska. Meski dia lebih muda dan berstatus sebagai adik ipar, dia tidak pernah memanggil Alya dengan sebutan ‘Kakak atau Mbak’, kecuali di depan Yusuf—Abangnya.Alya segera berlari ke ruang laundry. Dirinya dibuat bingung, sebab ibu mertuanya juga kerap kali berteriak memanggilnya untuk menyelesaikan pekerjaan di dapur. Sementara Siska, meminta untuk disetrikakan baju kerjanya.“Maaf, Sis. Aku lupa, soalnya tadi mama ….”“Apa? Mau nyalahin mama lagi? Kamunya aja yang kerja nggak becus!” Siska mendorong bahu Alya dengan kasar. “Pokoknya aku nggak mau tahu, kamu harus ganti bajuku sama persis kayak gini, paham?!” sentak Siska dengan mata melotot.“Iya ….” Alya menyahut dengan kepala menunduk.“Sekarang setrikain lagi baju yang lain. Buruan!” Suara Siska bagaikan petir yang menggelegar di pagi hari. Perempuan dengan potongan rambut bob itu masuk ke dalam kamar mandi dengan membanting pintu.
“Kalau itu masalah perusahaan, Yusuf akan menyerahkan semuanya pada Siska. Apa mama akan setuju?”Siti terdiam. Sejak tadi dia memprotes keputusan anaknya untuk pindah ke desa. Namun, ketika dia mengatakan akan menyerahkan semuanya pada Siska, Siti berpikir kembali.“Tapi, Siska belum berpengalaman, Suf. Apa kamu yakin akan pergi dari rumah demi perempuan ini?” Siti menunjuk menantunya.“Perempuan ini? Dia istriku, Ma. Tolong hargai Alya sedikit saja. Apa tidak cukup selama ini mama dan adik-adik selalu menyakitinya?”Siti melirik tajam pada Alya. Kini, dia tidak perlu menyembunyikan rasa bencinya lagi di depan Yusuf. Saat tadi Yusuf pulang terburu-buru dan berlari ke belakang halaman untuk menolong istrinya, Siti terkejut dan tak mampu menjelaskan apa pun.“Mama nggak tahu kalau dia pingsan,” ucap Siti berbohong.Namun, Yusuf menunjukkan bukti rekaman CCTV dan semua perbuatan keluarganya tidak bisa dielakkan lagi sebelum akhirnya membawa Alya ke rumah sakit. Cukup lama Alya dibiarkan
“Kamu mau ke mana, Sayang?” tanya Yusuf ketika melihat istrinya membawa cake buatannya keluar rumah.“Aku mau ke rumah Salma, Mas. Mau perkenalan sekalian jenguk neneknya. Bagaimana pun juga, dia kan, tetangga kita, Mas.” Alya menjawab sambil merapikan hijabnya.Yusuf meletakkan ponselnya yang sejak tadi dimainkan untuk memantau perusahaan yang sekarang dipegang oleh Siska. Pria dengan janggut tipis itu mendekati sang istri.“Kamu lupa apa yang dikatakan Bi Wahyuni tadi siang?”Alya tersenyum manis. “Mas, Salma itu mirip denganku. Dia seperti itu karena merasa kesepian. Seseorang yang yang bersikap dingin dan misterius, biasanya banyak menyimpan rasa sakit yang hanya bisa dipendam, sebab setiap dirinya berbicara tidak pernah didengar.”Yusuf menghela napas. Matanya tertuju pada rumah kecil yang berdinding papan kayu dengan atap yang sudah terlihat tua. Halamannya gersang, tidak ada bunga atau pohon di dekatnya. Hanya rumput liar yang tumbuh di sekitar halaman.“Tapi kamu hati-hati, Sa
“Maaf, Mas. Sa-saya nggak sengaja,” ucap Salma yang terkejut ketika tak sengaja menabrak Yusuf yang baru membuka pintu dan tidak menyadari kalau Salma sejak tadi berdiri di depan pintu rumahnya.Hari telah berganti. Salma terpaksa datang berkunjung atas perintah neneknya.“Mas .… ada apa?” Alya yang masih berada di dapur, berjalan cepat ke depan saat mendengar suara seorang perempuan.“Salma?” Alya terbelalak ketika melihat Salma mengelap baju Yusuf bagian dada yang terkena tumpahan kuah gulai yang dibawa Salma.Gadis bermata kecoklatan itu segera menghentikan kegiatannya, begitu pun Yusuf yang segera menjauh.“Ma-maaf. Saya tidak sengaja menumpahkan kuah ini ke bajunya Mas Yusuf. Saya ke sini mau mengantar sayur daun singkong gulai buatan nenek.” Salma menjelaskan dengan raut bersalah. Matanya berkali-kali menatap Alya dan Yusuf bergantian.Alya tersenyum simpul. “Nggak apa-apa, Salma. Yuk, masuk! Mas, kamu ganti baju dulu kalau mau ke rumah Paman Didi.”Yusuf mengangguk. Dia tak ban
“Sayang …. kamu kenapa? Kok tiba-tiba jadi pendiam?” tanya Yusuf yang sejak tadi memperhatikan istrinya.Alya tidak mendengarkan pertanyaan suaminya. Dia yang tengah menuangkan air minum ke dalam gelas, tak sadar jika air di dalam gelas itu sudah penuh dan tumpah.“Sayang …. airnya .…” Yusuf yang sejak tadi duduk di kursi meja makan sambil menikmati cemilan sore, bergerak cepat menyadarkan istrinya yang tengah melamun.“Astaghfirullah ….” Alya segera membereskan kekacauan yang dia buat.Yusuf dengan sigap membantu. “Biar aku aja, Sayang,” ucap Yusuf seraya merebut kain lap dari tangan Alya.Perempuan dengan paras teduh itu berdiri terpaku menatap suaminya yang sibuk membersihkan meja dapur.“Ayo, Sayang. Duduk dulu!” Yusuf membawa istrinya duduk di kursi meja makan. “Hari ini kamu berbeda. Tidak ceria dan suka godain aku kayak biasanya. Ada apa? Cerita, dong!”Alya menatap suaminya dengan raut sedih. “Mas, bagaimana kalau ternyata aku nggak bisa memberikanmu anak?”Yusuf terbelalak. “
“Nenek nggak setuju!” Suara Nek Minah meninggi. Ini pertama kalinya dia membentak cucu tersayangnya.Raut kemarahan neneknya membuat Salma seketika menunduk. “Bagaimana bisa kamu mencintai suami orang, Nduk? Sadar! Jangan bikin malu Nenek!” Nek Minah berujar lirih.Dirinya dibuat terkejut ketika malam setelah isya, Salma berterus terang ingin meminta restu agar dirinya menikah dengan Yusuf—suami Alya yang juga tetangga barunya.“Apa aku salah jatuh cinta sama Mas Yusuf, Nek?” tanya Salma dengan suara terisak.Mata Nek Minah terbuka lebar. “Jelas salah, Nduk! Itu dosa besar! Apa kamu mau jadi pelakor? Nenek membesarkan kamu dengan panduan agama! Kenapa setelah dewasa kamu malah seperti ini?” tegas Nek Minah.Di tangannya masih tergantung sajadah dan mukena lusuh yang sering digunakan untuk salat ke masjid.“Meski kita miskin, tak semestinya kamu merebut suami orang yang saat ini kamu pandang dari hartanya, Salma. Nenek kecewa sama kamu!” Nek Minah hendak meninggalkan kamar Salma.Gadi
Langit biru perlahan berubah jingga. Suasana sore yang hangat dan harum pepadian merebak memberikan aroma nyaman. Yusuf masih berada di kebun apel yang dikelola Paman Didi saat Alya menelepon dengan suara panik.“Mas, cepat pulang!”“Ada apa, Sayang?” Yusuf menatap Paman Didi yang penasaran ketika melihat ekspresi keponakannya itu.“Salma hilang. Neneknya sekarang ada di rumah kita,” beritahu Alya.Yusuf menyugar rambutnya. Dia dibuat bingung oleh ucapan istrinya.“Terus, apa masalahnya dengan kita, Sayang?”“Mas, tolong bantu cari Salma. Kamu pulang sekarang, ya!” pinta Alya dengan suara memohon.Saat Nek minah pulang dari sawah setelah seharian bekerja sebagai buruh tani, tiba-tiba Salma sudah tidak ada di rumah. Dia meninggalkan surat di atas tempat tidurnya ketika Nek Minah membuka kamar gadis itu.“Tadi malam nenek memarahinya, Nak,” beritahu Nek Minah pada Alya.Alya mengusap punggung wanita tua itu dengan lembut, seraya memberinya rasa tenang.“Maafkan, nenek. Semua salah nene
“Maaf, Yusuf. Aku harus sampaikan ini sama kamu,” kata Dokter Cindy dengan berat hati dan wajah muram.“Ada apa, Cin?” Yusuf tak bisa menyembunyikan rasa cemasnya.“Aku turut berduka cita atas apa yang terjadi. Aku ngerti betapa hancurnya hati kalian, aku mau menjelaskan sebisa mungkin meskipun aku belum bisa memastikan tanpa adanya pemeriksaan lanjut.” Cindy menyampaikan dengan suara pelan dan hati-hati.Suara isakan terdengar dari Ibunya Alya. Pak Hamdan segera memeluk istrinya dan membuatnya tenang.“Kenapa bisa?!” Suara Yusuf meninggi, terdengar seperti membentak.Cindy seketika menunduk.“Maaf, Cin. Aku nggak bermaksud marah sama kamu.”“Aku ngerti perasaan kamu, Suf. Pecahnya ketuban yang terjadi pada Alya, menjadi faktor pemicu, tapi bukan hanya itu satu-satunya penyebab. Beberapa kemungkinan yang perlu kita investigasi lebih lanjut adalah infeksi yang menyebabkan aliran darah dan oksigen ke plasenta berkurang.”Yusuf terduduk dan membingkai kepalanya yang tiba-tiba berdenyut n
“Mas, perutku sakit.” Alya meringis sambil memegangi perutnya yang sudah membesar. Dia merasakan sensasi aneh dan rasa sakit yang luar biasa yang membuat dia harus segera menelepon sang suami yang saat ini sedang berada di kebun apel.Tangan kiri Alya bertopang pada jendela kamarnya, sedangkan yang satunya memegang ponsel. Matanya menatap pemandangan sawah di mana pepadian telah menguning dan tak lama lagi akan memasuki musim panen.“Aku pulang sekarang!” Yusuf mengakhiri panggilan. Enam bulan berlalu begitu cepat. Tetapi bagi Alya dan Yusuf, waktu berjalan begitu lambat. Tak sabar rasanya menunggu kehadiran buah hati. Saat ini, adalah masa-masa menegangkan di mana usia kehamilan Alya memasuki minggu ke 37. Selama waktu itu pula, Yusuf telah menjatuhkan talak pada Salma disaksikan Aldi, Alya dan Paman Didi. Dia akhirnya menuruti permintaan Salma pada surat itu, bukan karena Aldi ingin menggantikannya, tapi demi kesehatan mental mereka semua, jika memang itu yang diinginkan Salma.“
“Itu Salma, Mas!” Alya menunjuk rekaman CCTV yang ditunjukkan Cindy pada layar komputernya.Kening perempuan berjas putih itu mengerut heran, kenapa dua temannya itu mengenal pasien yang ia tangani kemarin.Yusuf mengangguk, dia juga melihat Salma menangis sedangkan Rico berusaha menenangkannya.“Mas, telepon Rico, tanyakan di mana Salma. Aku mau ngomong sama dia,” pinta Alya, menarik lengan baju suaminya seperti anak kecil.Yusuf membawa istrinya duduk agar tenang. “Ingat kata Cindy barusan? Kamu nggak boleh stres!” peringat Yusuf dengan nada pelan.Alya akhirnya mengangguk patuh. Dia mengusap perutnya, menarik napas dan berusaha menenangkan diri.“Cin, makasih banyak, ya. Kita pamit dulu, nanti bakalan rutin periksa ke kamu,” ucap Yusuf berpamitan dengan senyum seolah tak ada masalah.Cindy dengan raut bingung, mengangguk saja. Padahal dia masih ingin mengobrol karena penasaran kenapa Yusuf dan Alya bisa mengenal perempuan itu, tapi dia tidak berhak tahu dan tidak berani bertanya le
“Mas, kenapa? Kok, kelihatannya lagi mikirin sesuatu?” Alya sejak tadi memperhatikan suaminya yang tampak berubah.Setelah menerima berita bahagia, ekspresi yang sebelumnya ceria tiba-tiba berubah redup setelah kembali dari rumah Salma.Yusuf menoleh sejenak, sedang tangannya sibuk mengemudikan mobil.“Nggak ada, Sayang.”“Kamu mikirin apa?” tanya Alya dengan nada tegas tapi lembut. Dia tahu, suaminya sedang menyembunyikan sesuatu.Ibu yang sejak tadi di belakang, hanya diam dan mendengarkan.Yusuf masih diam. Sesekali dia menarik senyum seperti dipaksakan.“Apa kamu masih marah sama aku, Mas? Tebak Alya.Yusuf menggeleng cepat. “Enggak, Sayang. Aku cuma ….”“Apa ada sesuatu yang kamu temukan di rumah Salma tadi?” Alya menebak lagi. Sekarang wajah Yusuf tampak terkejut, namun akhirnya mengangguk.“Salma meninggalkan surat.” Yusuf melirik kaca spion depan, melihat ibu mertuanya dengan tatapan sungkan.Sejak tadi dia menyembunyikan hal itu karena tidak ingin ibu mertuanya mendengar. Di
Beberapa hari kemudian, kondisi ibu semakin membaik dan diperbolehkan untuk pulang. Sementara ayah, masih dalam perawatan. Aldi mengabaikan tugas akhir kuliahnya untuk sementara demi menjaga sang ayah. Dia yang membantu mengisi memori baru ketika ayahnya tersadar dan tidak mengingat apa pun bahkan namanya sendiri.Kemarin, ibu ikut pulang ke Desa Pandan. Alya sangat senang bisa bersama sang ibu meski belum bisa berkumpul kembali dengan ayahnya.“Sayang, aku mau ke kebun dulu, ya. Sudah beberapa hari aku jarang mengontrol proyek. Kasihan Paman Didi,” ucap Yusuf berpamitan, ketika selesai sarapan.Alya mengangguk dan tersenyum, sambil membereskan piring di atas meja.“Bu, Yusuf pamit, nanti siang kita ke rumah sakit lagi, jengukin ayah, ya.” Yusuf mencium punggung tangan mertuanya.Wanita yang gemar memakasi songkok jika berada di dalam rumah itu mengangguk dan tersenyum hangat.Alya mengantarkan suaminya ke depan pintu setelah membereskan piring kotor. Dia berjalan pelan seperti tidak
“Bagaimana keadaan ayah saya, Dok?” tanya Aldi seketika, setelah dokter keluar dari ruang operasi. Dari sisi lain, Yusuf berlari menghampiri Aldi. Dia meninggalkan Salma yang masih belum sadarkan diri dan dalam perawatan di ruang IGD sebelum dokter menentukan ruangan rawat. Dengan napas terengah-engah. Yusuf berdiri di samping Aldi. “Kabar baiknya, Alhamdulillah pasien sudah berhasil ditangani.” “Kabar buruknya?” tanya Yusuf ragu. “Kemungkinan beliau akan mengalami amnesia,” jawab sang dokter. Yusuf menepuk bahu Aldi untuk menenangkannya. Dokter dan rekannya pamit dari sana. Tak lama kemudian, Pak Hamdan dibawa ke ruang ICU. Aldi terduduk lemah. Dia bersyukur ayahnya masih selamat, meski setelah sadar nanti, sang ayah tidak akan mengenalinya. “Terima kasih, Allah. Setidaknya ini akan membuat ayah melupakan masa lalu tersakitnya. Biarkan aku yang menanggung rasa bersalahnya ya Allah ….” Keluh Aldi sambil menangkupkan tangan dan menjatuhkan wajahnya di atas tangan yang
“Dokter ….” Aldi berteriak memanggil dokter yang sedang berjalan menuju ruangan ibunya.Setelah mendengar penjelasan sang ayah tentang masa lalu yang terjadi antara Salma dan dirinya, Salma tak cukup puas sampai di situ. Tanpa basa basi, dia menjelaskan secara langsung tentang siapa dirinya saat ini. Hal itu memicu kambuhnya penyakit ibunya Alya. Dadanya sesak dan sulit bernapas.Saat semua orang panik dan beralih pada ibunya Alya, Salma keluar dari ruangan. Dia berharap Alya dan Aldi mengalami hal yang sama dengan dirinya. Dia ingin melihat, bagaimana kedua anak yang bahagia itu, ketika kehilangan orang yang paling dicintai.“Nggak adil, Tuhan, kalau mereka masih bahagia sementara aku menderita. Meski alasannya melakukan itu demi uang untuk berobat istrinya, tapi kenapa dia tega sampai harus menghilangkan nyawa orang tuaku? Apa semurah itu harga nyawa orang tuaku, Tuhan?” Hujan deras menerpa bumi. Salma berjalan sambil memeluk lengannya. Tubuhnya menggigil dan ia biarkan basah kuyub
“Gimana hasilnya, Sayang?” Yusuf mengulurkan tangan, meminta alat tes kehamilan yang masih disembunyikan oleh Alya di belakang punggungnya.Perlahan Alya menutup kembali pintu kamar mandi, dia tersenyum kikuk pada suaminya dan sesekali melirik pada ibunya yang tersenyum sembari menaik turunkan alisnya.“Mana? Aku mau lihat,” pinta Yusuf sambil menggoyangkan tangannya yang terulur. “Apa hasilnya nggak sesuai harapan?” tanya Yusuf, dia menurunkan tangannya dan berhenti memaksa Alya yang ekspresi wajahnya tidak bisa dijelaskan.“Mas, sebenarnya aku ….”“Assalamu’alaikum ….” Suara Aldi membuyarkan semuanya. Dia tersenyum lebar, di belakangnya seorang pria yang selama ini sangat dirindukan oleh keluarga, ikut masuk dengan senyum penuh rindu.Selama ini, mereka hanya melepas rindu lewat panggilan suara atau video. Namun hari ini, raga seorang ayah dan suami yang pergi demi mencari nafkah, sudah dapat dipeluk.Semua kompak menjawab salam. Pak Hamdi pertama kali menghampiri sang istri. Memelu
“Apa yang harus aku lakukan, Al?” tanya Salma dengan perasaan putus asa. Kini, dia tidak punya lagi harapan untuk terus menempel pada rumah tangga Yusuf dan Alya. Matahari mulai naik. Cuaca hari ini sangat cerah. Terik cahayanya menerpa wajah Salma, membuat mata kecoklatannya seakan memancarkan sinar. Aldi terdiam dalam keterpesonaannya ketika Salma menatapnya dengan mata berkaca-kaca.“Aku tahu, sejak awal aku sudah salah melangkah. Tapi, berkat Mas Yusuf, aku bisa membuat Pakde Wahyu masuk ke dalam penjara. Walaupun nenek tidak bisa menyaksikan kemenanganku.” Salma menunduk sedih.Aldi menarik napas sembari memejamkan mata, menghirup oksigen yang dilepaskan oleh pohon-pohon di sekeliling taman rumah sakit.“Kamu harus pergi dari hidup mereka. Biarkan Mbak Alya bahagia.” Aldi membuang pandangan ke depan. Menatap lurus seolah sedang menerawang masa lalu. “Sejak kecil, hidupnya sudah banyak mengalah. Demi aku, dia rela tidak kuliah. Padahal dia bercita-cita menjadi seorang desainer.