“Maaf, Mas. Sa-saya nggak sengaja,” ucap Salma yang terkejut ketika tak sengaja menabrak Yusuf yang baru membuka pintu dan tidak menyadari kalau Salma sejak tadi berdiri di depan pintu rumahnya.
Hari telah berganti. Salma terpaksa datang berkunjung atas perintah neneknya.
“Mas .… ada apa?” Alya yang masih berada di dapur, berjalan cepat ke depan saat mendengar suara seorang perempuan.
“Salma?” Alya terbelalak ketika melihat Salma mengelap baju Yusuf bagian dada yang terkena tumpahan kuah gulai yang dibawa Salma.
Gadis bermata kecoklatan itu segera menghentikan kegiatannya, begitu pun Yusuf yang segera menjauh.
“Ma-maaf. Saya tidak sengaja menumpahkan kuah ini ke bajunya Mas Yusuf. Saya ke sini mau mengantar sayur daun singkong gulai buatan nenek.” Salma menjelaskan dengan raut bersalah. Matanya berkali-kali menatap Alya dan Yusuf bergantian.
Alya tersenyum simpul. “Nggak apa-apa, Salma. Yuk, masuk! Mas, kamu ganti baju dulu kalau mau ke rumah Paman Didi.”
Yusuf mengangguk. Dia tak banyak bicara, apalagi setelah dirinya tertangkap oleh Alya saat Salma membersihkan bajunya.
“Ini buatan nenek? Wah …. kelihatannya enak banget.” Alya berujar senang. Namun, Salma tidak menampakkan ekspresi ramah. Wajahnya datar dan kembali dingin.
“Saya mau minta maaf atas sikap saya kemarin, Mbak,” ungkap Salma sambil menunduk.
Alya meraih tangan Salma. “Mbak udah maafin dari kemarin. Mbak yakin, kamu gadis yang baik. Kalau butuh teman curhat, Mbak siap jadi pendengarmu, Salma.”
Gadis berselendang merah itu mengangkat kepala dan menarik tangannya yang digenggam Alya, dengan kasar, dia menatap Alya tanpa senyum. Alya meredupkan senyuman, melihat tidak ada respon yang mengenakan dari Salma.
“Saya minta maaf atas permintaan nenek, bukan karena saya merasa bersalah. Jadi, Mbak Alya sebaiknya jangan berharap saya akan mau menjadi teman apalagi harus curhat. Saya lebih nyaman sendiri,” ungkapnya penuh penekanan.
Alya tertegun. Bukan pertama kali niat baik dan sikap ramahnya dibalas dengan ucapan pedas. Dia sudah cukup banyak menelan pil pahit dari ibu mertua dan adik-adik iparnya.
“Saya permisi.” Salma berdiri dan melangkah pelan menuju pintu keluar.
“Bagaimana kalau dengan Mas Yusuf? Apa kamu mau berteman dengan suami saya?” Pertanyaan Alya seketika membuat Salma menghentikan langkah. Dia membalik badan dengan kening berkerut heran.
Alya tersenyum dan mendektinya. “Aku lihat kamu kemarin tersenyum ramah pada Mas Yusuf.”
Salma menunduk dan salah tingkah. Yusuf muncul dari kamar dan sudah berganti pakaian. Dia tak sengaja mendengar ucapan istrinya.
“Sayang …. ada apa?” Yusuf mendekat dan merangkul bahu sang istri di depan Salma.
Gadis itu terlihat kesal dan segera pergi tanpa menanggapi ucapan Alya.
“Kamu masih maksain buat bisa berteman sama gadis itu? Lihat saja, sikapnya sangat ketus sama kamu,” ucap Yusuf ketika Salma sudah menjauh.
Alya tertawa kecil. “Tapi sama kamu dia mau senyum, kan?” tanya Alya dengan alis terangkat.
Yusuf mencebik. “Tetap saja, dia nggak ramah sama kamu, Sayang. Kamu jangan terlalu baik sama orang, apalagi kita di sini masih baru. Kita belum mengenal bagaimana karakter orang-orang di sini. Aku nggak mau kejadian di rumah mama terulang lagi. Aku mau kamu bahagia di sini dan menjalani proses program kehamilan dengan tenang.”
Alya mengangguk dengan bibir tersenyum dan sejenak memejamkan mata. Dia meresapi ucapan suaminya dengan dalam.
“Baik, Mas.”
****
Beberapa hari telah berlalu. Selama itu pula dia tidak pernah bertemu dengan tetangganya. Baik Nek Minah maupun Salma.
Alya hanya bisa di rumah, Yusuf tidak memperbolehkan dirinya melakukan pekerjaan berat. Jika ingin keluar rumah, Yusuf harus ikut menemani. Pekerjaan rumah seperti memasak, menyapu dan sebagainya, semua direbut oleh Yusuf. Dia ingin meratukan istri tercintanya.
“Dokter bilang apa?” tanya Yusuf mengingatkan istrinya.
Alya menaikkan alis, pura-pura berpikir,
“Kamu nggak boleh kelelahan dan stress, Sayang.”
“Tapi aku bosan kalau nggak ngerjain apa-apa,” rengek Alya dengan mulut mencebik manja.
“Kamu boleh membuat kue, melakukan apa saja, tapi ….” Jari telunjuk Yusuf terangkat. “Jangan terlalu dipaksakan, kalau capek berhenti. Mengerti, Sayang?”
Alya mengangguk. “Kalau bermain dengan Salma?”
Yusuf menarik napas kasar. “Dia sudah bilang nggak mau berteman dengan kamu, Sayang. Jangan dipaksa! Kita nggak tahu dia orangnya seperti apa. Lagi pula dia sibuk bekerja menjadi buruh tani di sawah Paman Didi.”
“Aku akan ke rumahnya menemani Nek Minah, boleh? Aku juga butuh teman cerita, Mas.”
Yusuf mengangguk dan membawa kepala sang istri ke pelukannya.
Tak lama setelah Yusuf pergi ke kebun bersama Paman Didi, Salma bergegas naik, sambil sesekali melihat ke belakang, memperhatikan mobil Yusuf yang melaju pelan.
Suara ketukan pintu tanpa salam membuat Alya ragu membuka pintu. Jika itu suaminya, kenapa tidak ada suara mobil kembali.
“Mbak, ini aku Salma.”
Alya segera membuka pintu dan menyuguhkan senyum ramah sebagai sambutan untuk Salma.
“Wa’alaikumsalam, Salma,” ucap Alya menyindir, bahwa sebaiknya seseorang yang bertamu itu hendaknya mengucap salam.
Salma membuang wajah ke samping, dia paham maksud Alya. “Assalamu’alaikum ….” ucapnya dengan malas.
Alya tersenyum dan kembali menjawab salam Salma. “Ayo masuk!”
Salma langsung duduk di sofa tanpa dipersilahkan.
“Kebetulan banget kamu datang, mbak tadi lagi bikin bakwan jagung, kamu mau?” Alya berjalan ke dapur yang tak jauh dari ruang tamu dan mengambilkan cemilan untuk disuguhkan.
Salma hanya diam dan memperhatikan seisi rumah. Foto pernikahan Alya dan Yusuf dipandangi dengan ekspresi yang tak bisa dijelaskan.
Ketika Alya datang, Salma mengalihkan pandangan ke sembarang arah. Alya tersenyum dan mengetahui kalau barusan Salma menatap dalam, pada figura yang terpampang wajah senyum bahagia dirinya dan Yusuf.
“Mbak beruntung ya, punya suami seperti Mas Yusuf,” celetuknya.
“Alhamdulillah ….” jawab Alya sambil menggeser teh manis hangat ke arah Salma.
“Saya juga ingin menjadi seperti Mbak Alya, apakah bisa?”
Pertanyaan Salma terdengar ambigu dan membingungankan Alya.
“Tentu saja, kamu akan menemukan jodoh yang baik nantinya, selagi kamu memantaskan diri menjadi insan yang baik,” jelas Alya.
Salma menatap Alya penuh arti. Dia tidak bisa berbasa-basi. Salma tidak ingin menahan sesuatu yang sudah beberapa hari ini dia tahan.
“Mbak, kamu mau berteman denganku, kan?” tanya Salma.
Alya mengangguk dengan senyum senang, menganggap Salma telah berubah pikiran.
“Kalau begitu, bolehkah saya mengisi kekosongan kalian di rumah ini?”
Lagi-lagi pertanyaan Salma membingungkan Alya.
“Maksud kamu?” tanya Alya dengan alis nyaris tertaut.
“Bukankah Mbak Alya tidak kunjung hamil?” Salma tersenyum miring, seolah mengejek Alya.
Perempuan bergamis biru langit itu terkejut. Hatinya bagai dihantam ombak besar. Alya terdiam menatap Salma dengan perasaan berbeda. Dia bisa menahan sakit hati jika itu perkataan atau sikap Salma yang biasanya, tetapi kenapa Salma harus membahas tentang kehamilan?
“Mbak …. izinkan saya menikah dengan Mas Yusuf. Insya Allah saya bisa memberikannya buah hati.” Salma menggeser posisi duduknya, mendekati Alya yang terperanga dengan ucapan Salma barusan.
“Sayang …. kamu kenapa? Kok tiba-tiba jadi pendiam?” tanya Yusuf yang sejak tadi memperhatikan istrinya.Alya tidak mendengarkan pertanyaan suaminya. Dia yang tengah menuangkan air minum ke dalam gelas, tak sadar jika air di dalam gelas itu sudah penuh dan tumpah.“Sayang …. airnya .…” Yusuf yang sejak tadi duduk di kursi meja makan sambil menikmati cemilan sore, bergerak cepat menyadarkan istrinya yang tengah melamun.“Astaghfirullah ….” Alya segera membereskan kekacauan yang dia buat.Yusuf dengan sigap membantu. “Biar aku aja, Sayang,” ucap Yusuf seraya merebut kain lap dari tangan Alya.Perempuan dengan paras teduh itu berdiri terpaku menatap suaminya yang sibuk membersihkan meja dapur.“Ayo, Sayang. Duduk dulu!” Yusuf membawa istrinya duduk di kursi meja makan. “Hari ini kamu berbeda. Tidak ceria dan suka godain aku kayak biasanya. Ada apa? Cerita, dong!”Alya menatap suaminya dengan raut sedih. “Mas, bagaimana kalau ternyata aku nggak bisa memberikanmu anak?”Yusuf terbelalak. “
“Nenek nggak setuju!” Suara Nek Minah meninggi. Ini pertama kalinya dia membentak cucu tersayangnya.Raut kemarahan neneknya membuat Salma seketika menunduk. “Bagaimana bisa kamu mencintai suami orang, Nduk? Sadar! Jangan bikin malu Nenek!” Nek Minah berujar lirih.Dirinya dibuat terkejut ketika malam setelah isya, Salma berterus terang ingin meminta restu agar dirinya menikah dengan Yusuf—suami Alya yang juga tetangga barunya.“Apa aku salah jatuh cinta sama Mas Yusuf, Nek?” tanya Salma dengan suara terisak.Mata Nek Minah terbuka lebar. “Jelas salah, Nduk! Itu dosa besar! Apa kamu mau jadi pelakor? Nenek membesarkan kamu dengan panduan agama! Kenapa setelah dewasa kamu malah seperti ini?” tegas Nek Minah.Di tangannya masih tergantung sajadah dan mukena lusuh yang sering digunakan untuk salat ke masjid.“Meski kita miskin, tak semestinya kamu merebut suami orang yang saat ini kamu pandang dari hartanya, Salma. Nenek kecewa sama kamu!” Nek Minah hendak meninggalkan kamar Salma.Gadi
Langit biru perlahan berubah jingga. Suasana sore yang hangat dan harum pepadian merebak memberikan aroma nyaman. Yusuf masih berada di kebun apel yang dikelola Paman Didi saat Alya menelepon dengan suara panik.“Mas, cepat pulang!”“Ada apa, Sayang?” Yusuf menatap Paman Didi yang penasaran ketika melihat ekspresi keponakannya itu.“Salma hilang. Neneknya sekarang ada di rumah kita,” beritahu Alya.Yusuf menyugar rambutnya. Dia dibuat bingung oleh ucapan istrinya.“Terus, apa masalahnya dengan kita, Sayang?”“Mas, tolong bantu cari Salma. Kamu pulang sekarang, ya!” pinta Alya dengan suara memohon.Saat Nek minah pulang dari sawah setelah seharian bekerja sebagai buruh tani, tiba-tiba Salma sudah tidak ada di rumah. Dia meninggalkan surat di atas tempat tidurnya ketika Nek Minah membuka kamar gadis itu.“Tadi malam nenek memarahinya, Nak,” beritahu Nek Minah pada Alya.Alya mengusap punggung wanita tua itu dengan lembut, seraya memberinya rasa tenang.“Maafkan, nenek. Semua salah nene
“Mas Yusuf, jangan pergi ….” panggilnya dengan suara serak dan lirih.Yusuf membalik badan. Matanya tertuju pada tangan lemah Salma yang berusaha menahannya.“Salma .…” Yusuf mendekat, berdiri di sisi tempat tidur.“Jangan pergi, Mas. Salma takut.” Dia memohon.Alya dan Nek Minah telah berdiri di belakang Yusuf. Keduanya menyaksikan bagaimana Salma memohon sambil memegang tangan pria bertubuh tegap itu.“Nak, kamu sudah sadar?” Nek Minah mendekat dan memeluk cucunya.Yusuf segera mundur, menghampiri istrinya yang tengah tersenyum getir.“Sayang, aku nggak bermaksud .…” Yusuf setengah berbisik, berusaha menjelaskan sesuatu yang mungkin membuat istrinya salah paham dengan apa yang dilihatnya barusan.Alya segera menggelengkan kepalanya, lalu meletakkan jari telunjuknya di depan bibir. “Sssttt .… aku baik-baik aja, Mas.”“Selamat sore, saya dokter Anisa yang akan memeriksa pasien.” Seorang perempuan berhijab lengkap dengan jas putihnya tersenyum ramah. “Permisi, saya periksa dulu,” ucapn
“Kondisi Salma sepertinya tidak baik-baik saja. Mungkin luka di tubuhnya mudah disembuhkan, tapi kondisi mentalnya .…” Dokter Anisa menjeda ucapannya.Alya mengerutkan kening. “Salma kenapa, Dok?”“Saya tidak bisa secara rinci menyimpulkan, semestinya kita harus rujuk Salma ke Psikiater. Dari luka-luka yang dialami Salma, sepertinya dia mengalami penyiksaan atau kekerasan, dan juga cara dia menatap orang asing yang tampak sangat ketakutan. Tubuhnya merespon dengan gemetar dan mencoba untuk bersembunyi. Apa Mbak Alya tahu sesuatu?”Alya terdiam, sama sekali tidak terpikir apa pun di benaknya, tentang Salma yang banyak menyimpan rahasia. Lalu, ungkapan Salma tentang seseorang yang mengancamnya kembali terngiang.‘Mungkinkah perbuatan orang itu?’ tanyanya dalam hati.“Saya nggak tahu apa-apa, Dok,” jawab Alya.“Bagaimana dengan calon suaminya itu? Apa mereka sering bertengkar atau dia pernah berbuat kasar pada Salma?” Pertanyaan Dokter Anisa mengejutkan Alya. Dia terbatuk karena tersed
Awan mendung seketika menaungi langit Desa Pandan yang sebelumnya terlihat cerah dengan awan putih dan sinar mentari yang menyatu menghangatkan setiap insan di bumi.Kebahagiaan dan kebebasan Salma sudah di depan mata. Namun, tiba-tiba saja Rico datang saat Yusuf hendak mengucapkan ijab kabul untuknya.“Kamu! Orang baru di kampung ini! Jangan lancang!” tunjuk Rico pada Yusuf dengan dada naik turun, napasnya terengah penuh emosi. Sepertinya dia datang ke masjid dengan berlari.Semua orang mengalihkan mata pada Rico. Pria dengan celana jeans yang robek di bagian lutut itu mendekati Salma dan menarik tangannya dengan kasar.“Ikut aku!” hardik Rico.Salma meraung kesakitan. Dia menangis meminta belas kasih.“Lepaskan Salma, Rico! Apa yang kamu lakukan!” Nek Minah tak kalah memberang, melihat cucu kesayangannya disakiti.“Salma ini milikku! Nggak boleh ada yang merebutnya!” Rico berujar dengan suara keras menggelegar di dalam masjid yang hanya dihadiri beberapa warga saja sebagai saksi.“P
“Mas, kamu dari mana? Aku khawatir,” ucap Alya ketika suaminya baru tiba di rumah malam hari selepas isya.Yusuf tidak menjawab dan langsung memeluk istrinya.“Aku minta maaf, Sayang. Aku hanya takut ….” Yusuf terisak sambil memeluk erat istrinya. “Aku nggak mau kayak papa yang nyakitin mama. Aku bahkan berjanji sama diriku sendiri untuk tetap setia dan nggak bakalan duain kamu apa pun yang terjadi, Sayang.”“Mas …. aku ngerti. Aku yang salah karena terlalu banyak menuntut kamu. Kita fokus sama tujuan kita, ya! Yaitu nolongin Salma dan juga ikhtiar buat dapatin anak.” Alya melepas pelukan suaminya. Tangannya mengusap air mata sang suami dengan lembut.Yusuf mengangguk, tangannya mengusap puncak kepala istrinya. “Aku minta maaf juga sudah membentakmu tadi.”Alya mengangguk dengan senyum manis. Dia kemudian mengajak Yusuf ke meja makan untuk menikmati hidangan yang sudah tersedia.“Kamu masak semua ini, Sayang?” tanya Yusuf ketika melihat banyak makanan terhidang.Alya menggeleng dengan
“Astaghfirullah ….” Ayla tersentak ketika membuka pintu rumah Nek Minah, ada seorang lelaki duduk sambil meyandarkan kakinya di atas meja teras, sedang di tangannya ada sebatang rokok. Mulutnya mengerucut, memainkan asapnya.“Ka-kamu?” Alya mulai takut. Pasalnya, terakhir bertemu di masjid kemarin, Rico sangat agresif dengan pakaian seperti preman.Lelaki itu menoleh pada Alya dan tersenyum lebar. Alisnya terangkat dengan mata berkedip genit.“Ada apa, Nak Alya?” Nek Minah menyusul ke depan. Di tangannya membawa semangkuk bubur kacang hijau yang akan di bawa ke rumah Yusuf. “Rico? Ngapain kamu ke sini?” Nek Minah keluar dan berdiri di depan lelaki itu.Lelaki dengan jaket denim bergambar tengkorak hitam itu menyulut rokoknya di atas meja, lalu berdiri.“Assalamu’alaikum, Nek.” Rico berujar sopan dan menunduk pada Nek Minah, tangannya mengulur hendak bersalaman.Nek Minah menyambutnya dengan canggung.“Saya ke sini mau bertemu Salma,” ucap Rico dengan senyuman yang terlihat seperti ser
“Maaf, Yusuf. Aku harus sampaikan ini sama kamu,” kata Dokter Cindy dengan berat hati dan wajah muram.“Ada apa, Cin?” Yusuf tak bisa menyembunyikan rasa cemasnya.“Aku turut berduka cita atas apa yang terjadi. Aku ngerti betapa hancurnya hati kalian, aku mau menjelaskan sebisa mungkin meskipun aku belum bisa memastikan tanpa adanya pemeriksaan lanjut.” Cindy menyampaikan dengan suara pelan dan hati-hati.Suara isakan terdengar dari Ibunya Alya. Pak Hamdan segera memeluk istrinya dan membuatnya tenang.“Kenapa bisa?!” Suara Yusuf meninggi, terdengar seperti membentak.Cindy seketika menunduk.“Maaf, Cin. Aku nggak bermaksud marah sama kamu.”“Aku ngerti perasaan kamu, Suf. Pecahnya ketuban yang terjadi pada Alya, menjadi faktor pemicu, tapi bukan hanya itu satu-satunya penyebab. Beberapa kemungkinan yang perlu kita investigasi lebih lanjut adalah infeksi yang menyebabkan aliran darah dan oksigen ke plasenta berkurang.”Yusuf terduduk dan membingkai kepalanya yang tiba-tiba berdenyut n
“Mas, perutku sakit.” Alya meringis sambil memegangi perutnya yang sudah membesar. Dia merasakan sensasi aneh dan rasa sakit yang luar biasa yang membuat dia harus segera menelepon sang suami yang saat ini sedang berada di kebun apel.Tangan kiri Alya bertopang pada jendela kamarnya, sedangkan yang satunya memegang ponsel. Matanya menatap pemandangan sawah di mana pepadian telah menguning dan tak lama lagi akan memasuki musim panen.“Aku pulang sekarang!” Yusuf mengakhiri panggilan. Enam bulan berlalu begitu cepat. Tetapi bagi Alya dan Yusuf, waktu berjalan begitu lambat. Tak sabar rasanya menunggu kehadiran buah hati. Saat ini, adalah masa-masa menegangkan di mana usia kehamilan Alya memasuki minggu ke 37. Selama waktu itu pula, Yusuf telah menjatuhkan talak pada Salma disaksikan Aldi, Alya dan Paman Didi. Dia akhirnya menuruti permintaan Salma pada surat itu, bukan karena Aldi ingin menggantikannya, tapi demi kesehatan mental mereka semua, jika memang itu yang diinginkan Salma.“
“Itu Salma, Mas!” Alya menunjuk rekaman CCTV yang ditunjukkan Cindy pada layar komputernya.Kening perempuan berjas putih itu mengerut heran, kenapa dua temannya itu mengenal pasien yang ia tangani kemarin.Yusuf mengangguk, dia juga melihat Salma menangis sedangkan Rico berusaha menenangkannya.“Mas, telepon Rico, tanyakan di mana Salma. Aku mau ngomong sama dia,” pinta Alya, menarik lengan baju suaminya seperti anak kecil.Yusuf membawa istrinya duduk agar tenang. “Ingat kata Cindy barusan? Kamu nggak boleh stres!” peringat Yusuf dengan nada pelan.Alya akhirnya mengangguk patuh. Dia mengusap perutnya, menarik napas dan berusaha menenangkan diri.“Cin, makasih banyak, ya. Kita pamit dulu, nanti bakalan rutin periksa ke kamu,” ucap Yusuf berpamitan dengan senyum seolah tak ada masalah.Cindy dengan raut bingung, mengangguk saja. Padahal dia masih ingin mengobrol karena penasaran kenapa Yusuf dan Alya bisa mengenal perempuan itu, tapi dia tidak berhak tahu dan tidak berani bertanya le
“Mas, kenapa? Kok, kelihatannya lagi mikirin sesuatu?” Alya sejak tadi memperhatikan suaminya yang tampak berubah.Setelah menerima berita bahagia, ekspresi yang sebelumnya ceria tiba-tiba berubah redup setelah kembali dari rumah Salma.Yusuf menoleh sejenak, sedang tangannya sibuk mengemudikan mobil.“Nggak ada, Sayang.”“Kamu mikirin apa?” tanya Alya dengan nada tegas tapi lembut. Dia tahu, suaminya sedang menyembunyikan sesuatu.Ibu yang sejak tadi di belakang, hanya diam dan mendengarkan.Yusuf masih diam. Sesekali dia menarik senyum seperti dipaksakan.“Apa kamu masih marah sama aku, Mas? Tebak Alya.Yusuf menggeleng cepat. “Enggak, Sayang. Aku cuma ….”“Apa ada sesuatu yang kamu temukan di rumah Salma tadi?” Alya menebak lagi. Sekarang wajah Yusuf tampak terkejut, namun akhirnya mengangguk.“Salma meninggalkan surat.” Yusuf melirik kaca spion depan, melihat ibu mertuanya dengan tatapan sungkan.Sejak tadi dia menyembunyikan hal itu karena tidak ingin ibu mertuanya mendengar. Di
Beberapa hari kemudian, kondisi ibu semakin membaik dan diperbolehkan untuk pulang. Sementara ayah, masih dalam perawatan. Aldi mengabaikan tugas akhir kuliahnya untuk sementara demi menjaga sang ayah. Dia yang membantu mengisi memori baru ketika ayahnya tersadar dan tidak mengingat apa pun bahkan namanya sendiri.Kemarin, ibu ikut pulang ke Desa Pandan. Alya sangat senang bisa bersama sang ibu meski belum bisa berkumpul kembali dengan ayahnya.“Sayang, aku mau ke kebun dulu, ya. Sudah beberapa hari aku jarang mengontrol proyek. Kasihan Paman Didi,” ucap Yusuf berpamitan, ketika selesai sarapan.Alya mengangguk dan tersenyum, sambil membereskan piring di atas meja.“Bu, Yusuf pamit, nanti siang kita ke rumah sakit lagi, jengukin ayah, ya.” Yusuf mencium punggung tangan mertuanya.Wanita yang gemar memakasi songkok jika berada di dalam rumah itu mengangguk dan tersenyum hangat.Alya mengantarkan suaminya ke depan pintu setelah membereskan piring kotor. Dia berjalan pelan seperti tidak
“Bagaimana keadaan ayah saya, Dok?” tanya Aldi seketika, setelah dokter keluar dari ruang operasi. Dari sisi lain, Yusuf berlari menghampiri Aldi. Dia meninggalkan Salma yang masih belum sadarkan diri dan dalam perawatan di ruang IGD sebelum dokter menentukan ruangan rawat. Dengan napas terengah-engah. Yusuf berdiri di samping Aldi. “Kabar baiknya, Alhamdulillah pasien sudah berhasil ditangani.” “Kabar buruknya?” tanya Yusuf ragu. “Kemungkinan beliau akan mengalami amnesia,” jawab sang dokter. Yusuf menepuk bahu Aldi untuk menenangkannya. Dokter dan rekannya pamit dari sana. Tak lama kemudian, Pak Hamdan dibawa ke ruang ICU. Aldi terduduk lemah. Dia bersyukur ayahnya masih selamat, meski setelah sadar nanti, sang ayah tidak akan mengenalinya. “Terima kasih, Allah. Setidaknya ini akan membuat ayah melupakan masa lalu tersakitnya. Biarkan aku yang menanggung rasa bersalahnya ya Allah ….” Keluh Aldi sambil menangkupkan tangan dan menjatuhkan wajahnya di atas tangan yang
“Dokter ….” Aldi berteriak memanggil dokter yang sedang berjalan menuju ruangan ibunya.Setelah mendengar penjelasan sang ayah tentang masa lalu yang terjadi antara Salma dan dirinya, Salma tak cukup puas sampai di situ. Tanpa basa basi, dia menjelaskan secara langsung tentang siapa dirinya saat ini. Hal itu memicu kambuhnya penyakit ibunya Alya. Dadanya sesak dan sulit bernapas.Saat semua orang panik dan beralih pada ibunya Alya, Salma keluar dari ruangan. Dia berharap Alya dan Aldi mengalami hal yang sama dengan dirinya. Dia ingin melihat, bagaimana kedua anak yang bahagia itu, ketika kehilangan orang yang paling dicintai.“Nggak adil, Tuhan, kalau mereka masih bahagia sementara aku menderita. Meski alasannya melakukan itu demi uang untuk berobat istrinya, tapi kenapa dia tega sampai harus menghilangkan nyawa orang tuaku? Apa semurah itu harga nyawa orang tuaku, Tuhan?” Hujan deras menerpa bumi. Salma berjalan sambil memeluk lengannya. Tubuhnya menggigil dan ia biarkan basah kuyub
“Gimana hasilnya, Sayang?” Yusuf mengulurkan tangan, meminta alat tes kehamilan yang masih disembunyikan oleh Alya di belakang punggungnya.Perlahan Alya menutup kembali pintu kamar mandi, dia tersenyum kikuk pada suaminya dan sesekali melirik pada ibunya yang tersenyum sembari menaik turunkan alisnya.“Mana? Aku mau lihat,” pinta Yusuf sambil menggoyangkan tangannya yang terulur. “Apa hasilnya nggak sesuai harapan?” tanya Yusuf, dia menurunkan tangannya dan berhenti memaksa Alya yang ekspresi wajahnya tidak bisa dijelaskan.“Mas, sebenarnya aku ….”“Assalamu’alaikum ….” Suara Aldi membuyarkan semuanya. Dia tersenyum lebar, di belakangnya seorang pria yang selama ini sangat dirindukan oleh keluarga, ikut masuk dengan senyum penuh rindu.Selama ini, mereka hanya melepas rindu lewat panggilan suara atau video. Namun hari ini, raga seorang ayah dan suami yang pergi demi mencari nafkah, sudah dapat dipeluk.Semua kompak menjawab salam. Pak Hamdi pertama kali menghampiri sang istri. Memelu
“Apa yang harus aku lakukan, Al?” tanya Salma dengan perasaan putus asa. Kini, dia tidak punya lagi harapan untuk terus menempel pada rumah tangga Yusuf dan Alya. Matahari mulai naik. Cuaca hari ini sangat cerah. Terik cahayanya menerpa wajah Salma, membuat mata kecoklatannya seakan memancarkan sinar. Aldi terdiam dalam keterpesonaannya ketika Salma menatapnya dengan mata berkaca-kaca.“Aku tahu, sejak awal aku sudah salah melangkah. Tapi, berkat Mas Yusuf, aku bisa membuat Pakde Wahyu masuk ke dalam penjara. Walaupun nenek tidak bisa menyaksikan kemenanganku.” Salma menunduk sedih.Aldi menarik napas sembari memejamkan mata, menghirup oksigen yang dilepaskan oleh pohon-pohon di sekeliling taman rumah sakit.“Kamu harus pergi dari hidup mereka. Biarkan Mbak Alya bahagia.” Aldi membuang pandangan ke depan. Menatap lurus seolah sedang menerawang masa lalu. “Sejak kecil, hidupnya sudah banyak mengalah. Demi aku, dia rela tidak kuliah. Padahal dia bercita-cita menjadi seorang desainer.