“Jangan mendekat, menjauh kalian semua!” kata salah seorang pendaki sambil menodongkan pisau yang dibawanya.
Awan, Rosie, Cantigi, Tegar dan Jhagad pun menjauh dari mereka. Mengikuti apa yang mereka minta. Sebisa mungkin menghindari keributan, karena benda tajam sungguh bukan mainan. Sementara Jazlan mencoba berjalan mendekat.
“Kau juga berhenti di situ, jangan mendekat!” kata pendaki lain kepada Jazlan.
“Baik, baik. Aku diam. Tenang, tolong letakkan dulu pisau itu!” ucap Jazlan mencoba menenangkan.
“Diamlah. Kalian, cepa
Sementara itu, keadaan di Basecamp Gunung Argon via Roc masih memanas. Massa penduduk lokal bersama Kakek Tua tetap bersikeras menolak tim evakuasi melakukan tugasnya. Semakin malam, justru semakin banyak penduduk lokal yang berdatangan, bergabung, melakukan penolakan di depan pintu gerbang jalur pendakian.“Bukankah cerita tentang Mahluk Haus Darah hanya sedikit saja orang yang mengetahui, Pak? Tapi, kenapa sekarang jadi sebanyak ini yang melakukan penolakan?” tanya Kakak Rosie kepada Kolonel Sagara di serambi Basecamp.“Pengetahuan penduduk lokal tentang Mahluk itu memang terbatas anak muda. Tapi, pengaruh Kakek Tua lah yang terlalu besar. Kalau sudah menyangkut Hutan Terlarang, para penduduk lokal di sini hanya akan mempercayai Kakek Tu
Kakak Rosie tetap berjalan, sekali lagi mengacuhkan sosok yang tidak lain adalah Kolonel Sagara itu. Langkahnya sudah mantap sekali, kali ini tidak ada yang bisa menghentikannya.“Sudah kuduga kau akan bertindak nekad begini!” kata Kolonel Sagara sekali lagi, sambil memainkan batu, bersandar di batang pohon mangga.Sebenarnya Kolonel Sagara sudah menebak, bahwa Kakak Rosie akan bertindak nekad dengan pergi melakukan evakuasi sendirian. Ia pun menyuruh salah satu anak buahnya untuk menguntit Kakak Rosie ke mana pun pergi.“Kupikir aku sudah salah menilaimu, anak muda. Di awal pertemuan kita, kau terlihat begitu tenang. Tapi lihat, sekarang kau justru bertindak gegabah sekali!” sekali lagi Kolonel Sagara bicara.Tapi, Kakak Rosie tetap tidak memberikan respon, terus saja berjalan. Lalu, Kolonel Sagara pun melemparkan batu yang sedari tadi dimainkannya ke tanah, tepat di depan ka
Berbeda dengan Kolonel Sagara yang memang dari awal berniat memancing Kakek Tua agar bicara. Kakak Rosie terkesiap mendengar suara keras Kakek Tua.“Tahu apa kau soal masa laluku?!” lirih Kakek Tua, sambil menunduk, tangannya tampak bergetar.“Benar, kami tidak tahu apa apa, Kek!” kata Kolonel Sagara lembut, sambil duduk bersila di tanah, tepat di depan Kakek Tua.Kakak Rosie pun ikut duduk di tanah juga. Mendengarkan percakapan, tanpa berniat mengganggu sama sekali. Karena sepertinya, Kolonel Sagara punya rencana yang sebaiknya diikuti. Sedangkan Kakek Tua masih tertunduk, mencengkram erat tangannya yang bergetar.
“Kalau aku tidak bisa menguasai wilayah ini lagi, maka siapapun tidak ada yang boleh menguasainya!” ujar Jenderal Penjajah itu.“Ta..Tapi, itu terlalu berisiko, Jenderal!”“CEPAT!” perintah Jenderal Penjajah itu sambil berteriak kalap.Sambil terkesiap, prajurit itu pun lari tunggang langgang keluar ruangan setelah berkata, “Siap, Jenderal!”Sambara pun semakin penasaran dengan senjata rahasia yang dibicarakan. Hingga tanpa ia sadari, sepasang kaki milik Jenderal itu sudah ada tepat di depannya. Seketika Sambara mel
Semakin Sambara berteriak, Mahluk Haus Darah semakin bergerak beringas.BRAK.. BRAK..AAAARGGGHHHHMahluk Haus Darah itu benar benar sudah seperti kesetanan. Mereka semua menatap Sambara dengan nanar, sambil terus mendorong dorong di depan jeruji, menggapai-gapaikan tangannya, mencoba meraih tubuh Sambara.“Tolong!” lirih Sambara sekali lagi, berharap ada yang mendengarnya, berharap ada yang menolongnya.
Ayah Sambara tidak menjawab pertanyaan Sambara, namun justru bertanya balik, sambil memegang kedua lengan Sambara, menatapnya lamat lamat.“Di mana?” tanya Ayah Sambara.Sambara yang sempat mendengar percakapan dari para penjajah pun tahu, bahwa jamur hitam itu ada di ruang bawah tanah, di bawah lorong benteng. Ia pun menceritakan semuanya kepada Ayahnya.“Baik, kau di sini saja. Jika ada pasukan penjajah datang, kau bisa lari ke gua, bersembunyilah di sana. Kau mengerti?” kata Ayah Sambara kepada Sambara.“Ayah mau ke mana?” Sambara dengan polosnya bertanya.“Ayah pergi sebentar. Kau di sini saja!”Seketika itu, para gerilyawan lain pun bergerak, bersama Ayah Sambara. Di markas yang masih terletak di area tersembunyi Hutan Terlarang itu sekarang hanya tinggal Sambara dan seorang gerilyawan yang sedang terluka s
Pemilik kaki itu mengulurkan tangannya, mencoba membantu Sambara untuk bangkit. Sambara yang masih belum bisa melihat dengan jelas wajah orang itu pun takut takut menerima uluran tangannya.“Ini aku Sambara, ayo cepat bangkit!” suara laki laki yang tidak asing terdengar.“Jogoboyo?” Sambara pun berdiri akhirnya.“Kau, kenapa di sini sendirian malam malam?” tanya Jogoboyo.Sambara pun menceritakan semuanya kepada Jogoboyo, yang tidak lain adalah pimpinan dari satu satuny
Satu hal lagi yang tidak diperkirakan oleh Jenderal penjajah terjadi. Ratusan Mahluk Haus Darah yang entah berasal dari mana mulai bermunculan satu per satu. Berlarian menuju ke arah prajurit penjajah, sambil mengerang, seperti tertarik oleh suara tembakan yang menggema keras.AAAAAAAARRRGGGHH AAAARRRRRGGGHHHHH“Be..be..banyak sekali!” prajurit penjajah mulai ketakutan.“Sepertinya Pasukan Sekutu datang lebih banyak dari yang kita perkirakan, Jenderal! Bagaimana ini?” tanya salah satu prajurit penjajah panik.“Tenanglah, mereka tidak mungkin bisa melewati lubang jebakan ini!” Jenderal Penjajah masih bisa berkata sombong, mencoba menyembunyikan kepanikannya sendiri.Sementara itu, ratusan Mahluk Haus Darah yang berlarian mulai mendekat. Sambara, Jogoboyo dan masyarakat adat lain masih berdiam di tempat persembunyiannya. Mengamati apa yang terjadi.“BERSIAP! JANGAN SAMPAI LENGAH, TEMBAK SEMUA YANG LOLOS DARI JEBAKAN!” perintah Jenderal Penjajah.“SIAP JENDERAL!” seru para prajurit senja