Sementara itu, keadaan di Basecamp Gunung Argon via Roc masih memanas. Massa penduduk lokal bersama Kakek Tua tetap bersikeras menolak tim evakuasi melakukan tugasnya. Semakin malam, justru semakin banyak penduduk lokal yang berdatangan, bergabung, melakukan penolakan di depan pintu gerbang jalur pendakian.
“Bukankah cerita tentang Mahluk Haus Darah hanya sedikit saja orang yang mengetahui, Pak? Tapi, kenapa sekarang jadi sebanyak ini yang melakukan penolakan?” tanya Kakak Rosie kepada Kolonel Sagara di serambi Basecamp.
“Pengetahuan penduduk lokal tentang Mahluk itu memang terbatas anak muda. Tapi, pengaruh Kakek Tua lah yang terlalu besar. Kalau sudah menyangkut Hutan Terlarang, para penduduk lokal di sini hanya akan mempercayai Kakek Tu
Kakak Rosie tetap berjalan, sekali lagi mengacuhkan sosok yang tidak lain adalah Kolonel Sagara itu. Langkahnya sudah mantap sekali, kali ini tidak ada yang bisa menghentikannya.“Sudah kuduga kau akan bertindak nekad begini!” kata Kolonel Sagara sekali lagi, sambil memainkan batu, bersandar di batang pohon mangga.Sebenarnya Kolonel Sagara sudah menebak, bahwa Kakak Rosie akan bertindak nekad dengan pergi melakukan evakuasi sendirian. Ia pun menyuruh salah satu anak buahnya untuk menguntit Kakak Rosie ke mana pun pergi.“Kupikir aku sudah salah menilaimu, anak muda. Di awal pertemuan kita, kau terlihat begitu tenang. Tapi lihat, sekarang kau justru bertindak gegabah sekali!” sekali lagi Kolonel Sagara bicara.Tapi, Kakak Rosie tetap tidak memberikan respon, terus saja berjalan. Lalu, Kolonel Sagara pun melemparkan batu yang sedari tadi dimainkannya ke tanah, tepat di depan ka
Berbeda dengan Kolonel Sagara yang memang dari awal berniat memancing Kakek Tua agar bicara. Kakak Rosie terkesiap mendengar suara keras Kakek Tua.“Tahu apa kau soal masa laluku?!” lirih Kakek Tua, sambil menunduk, tangannya tampak bergetar.“Benar, kami tidak tahu apa apa, Kek!” kata Kolonel Sagara lembut, sambil duduk bersila di tanah, tepat di depan Kakek Tua.Kakak Rosie pun ikut duduk di tanah juga. Mendengarkan percakapan, tanpa berniat mengganggu sama sekali. Karena sepertinya, Kolonel Sagara punya rencana yang sebaiknya diikuti. Sedangkan Kakek Tua masih tertunduk, mencengkram erat tangannya yang bergetar.
“Kalau aku tidak bisa menguasai wilayah ini lagi, maka siapapun tidak ada yang boleh menguasainya!” ujar Jenderal Penjajah itu.“Ta..Tapi, itu terlalu berisiko, Jenderal!”“CEPAT!” perintah Jenderal Penjajah itu sambil berteriak kalap.Sambil terkesiap, prajurit itu pun lari tunggang langgang keluar ruangan setelah berkata, “Siap, Jenderal!”Sambara pun semakin penasaran dengan senjata rahasia yang dibicarakan. Hingga tanpa ia sadari, sepasang kaki milik Jenderal itu sudah ada tepat di depannya. Seketika Sambara mel
Semakin Sambara berteriak, Mahluk Haus Darah semakin bergerak beringas.BRAK.. BRAK..AAAARGGGHHHHMahluk Haus Darah itu benar benar sudah seperti kesetanan. Mereka semua menatap Sambara dengan nanar, sambil terus mendorong dorong di depan jeruji, menggapai-gapaikan tangannya, mencoba meraih tubuh Sambara.“Tolong!” lirih Sambara sekali lagi, berharap ada yang mendengarnya, berharap ada yang menolongnya.
Ayah Sambara tidak menjawab pertanyaan Sambara, namun justru bertanya balik, sambil memegang kedua lengan Sambara, menatapnya lamat lamat.“Di mana?” tanya Ayah Sambara.Sambara yang sempat mendengar percakapan dari para penjajah pun tahu, bahwa jamur hitam itu ada di ruang bawah tanah, di bawah lorong benteng. Ia pun menceritakan semuanya kepada Ayahnya.“Baik, kau di sini saja. Jika ada pasukan penjajah datang, kau bisa lari ke gua, bersembunyilah di sana. Kau mengerti?” kata Ayah Sambara kepada Sambara.“Ayah mau ke mana?” Sambara dengan polosnya bertanya.“Ayah pergi sebentar. Kau di sini saja!”Seketika itu, para gerilyawan lain pun bergerak, bersama Ayah Sambara. Di markas yang masih terletak di area tersembunyi Hutan Terlarang itu sekarang hanya tinggal Sambara dan seorang gerilyawan yang sedang terluka s
Pemilik kaki itu mengulurkan tangannya, mencoba membantu Sambara untuk bangkit. Sambara yang masih belum bisa melihat dengan jelas wajah orang itu pun takut takut menerima uluran tangannya.“Ini aku Sambara, ayo cepat bangkit!” suara laki laki yang tidak asing terdengar.“Jogoboyo?” Sambara pun berdiri akhirnya.“Kau, kenapa di sini sendirian malam malam?” tanya Jogoboyo.Sambara pun menceritakan semuanya kepada Jogoboyo, yang tidak lain adalah pimpinan dari satu satuny
Satu hal lagi yang tidak diperkirakan oleh Jenderal penjajah terjadi. Ratusan Mahluk Haus Darah yang entah berasal dari mana mulai bermunculan satu per satu. Berlarian menuju ke arah prajurit penjajah, sambil mengerang, seperti tertarik oleh suara tembakan yang menggema keras.AAAAAAAARRRGGGHH AAAARRRRRGGGHHHHH“Be..be..banyak sekali!” prajurit penjajah mulai ketakutan.“Sepertinya Pasukan Sekutu datang lebih banyak dari yang kita perkirakan, Jenderal! Bagaimana ini?” tanya salah satu prajurit penjajah panik.“Tenanglah, mereka tidak mungkin bisa melewati lubang jebakan ini!” Jenderal Penjajah masih bisa berkata sombong, mencoba menyembunyikan kepanikannya sendiri.Sementara itu, ratusan Mahluk Haus Darah yang berlarian mulai mendekat. Sambara, Jogoboyo dan masyarakat adat lain masih berdiam di tempat persembunyiannya. Mengamati apa yang terjadi.“BERSIAP! JANGAN SAMPAI LENGAH, TEMBAK SEMUA YANG LOLOS DARI JEBAKAN!” perintah Jenderal Penjajah.“SIAP JENDERAL!” seru para prajurit senja
Orang yang berteriak pun sampai terjatuh jatuh. Untuk kemudian berdiri dan tangan kanannya menunjuk ke arah luar benteng, sambil berkata, “I..ITU!”Lamat lamat mereka perhatikan, semakin detik semakin jelas saja. Jogoboyo dan masyarakat adat lain tercengang melihat Mahluk Haus Darah dalam jumlah tidak terkira berlarian menuju benteng saat itu “ASTAGA, CEPAT TUTUP PINTU GERBANG BENTENGNYA!” Jogoboyo memberikan perintah seraya berlari menuju pintu gerbang.Masyarakat adat lain pun mengikuti Jogoboyo. Mereka semua berusaha keras segera mendorong pintu benteng agar tertutup sebelum Mahluk Haus Darah masuk. Sambara awalnya ingin mengikuti Jogoboyo juga, tapi, sebelum melangkah, Sambara justru mendengar suara. “Seperti suara benda terjatuh. Apa mungkin ayah atau gerilyawan lain?” gumam Sambara dalam hati, penuh harap.Sambara pun menoleh ke arah gerbang benteng, awalnya Sambara ingin memberi tahu Jogoboyo. Tapi, karena Jogoboyo dan yang lain terdengar sedang sangat sibuk, Sambara pun men
Bukan hanya Cantigi yang panik, Rosie, Tegar dan Jazlan juga. Kedua orang laki-laki itu tampak melongok ke jembatan yang sudah tergantung ke sisi jurang.Melihat Jhagad bergelantungan, Jazlan mau bergerak menolong. “Gad!?”“Biar aku saja, kau tunggu di sini,” cegah Tegar sambil sudah bergerak, menuruni jembatan itu.“Bertahan, Gad!” teriak Jazlan.Jhagad sendiri tampak sedang bergelantungan, tangannya berpegang ke tali jembatan terbawah sambil kakinya menendang-nendang Mahluk Haus Darah yang memegangi kakinya.“Bantu aku,” Awan tiba-tiba berteriak, membuat Jazlan menoleh.Ternyata, laki-laki itu sedang memegangi tali jembatan yang masih terikat di pohon.Beruntungnya, kebakarannya tidak sampai melahap tanaman di sekitar jembatan gantung itu.“Talinya sudah menipis sekali,” kata Jazlan seketika melihat kondisi talinya.Sementara itu, Tegar tampak sudah akan sampai di posisi Jhagad.“Hati-hati!” teriak Cantigi, Rosie menatap harap-harap cemas.“Naik, buat apa kau turun?!” ucap Jhagad ke
Para perempuan tampak istirahat. Jazlan dan Tegar juga. Lumayan, masih tersisa beberapa jam sebelum mereka harus berlari nanti.Tinggallah Awan dan Jhagad saja yang masih terjaga. “Kau tidak tidur?” tanya Jhagad kepada Awan.“Bisa kita bicara di luar?” Awan justru bertanya balik.“Bicara apa?”“Tempat buang air,” ucap Awan dengan nada serius sambil melirik ke arah sahabatnya.Paham dengan maksud Awan, Jhagad mengiyakan. “Oh, ok.”Kepada yang lain mungkin Jhagad bisa pura-pura dan menyembunyikan semuanya. Tapi, kepada Awan lain cerita.Di saat orang-orang tidak curiga, hanya Aw
“Tenang, sepertinya, mereka tidak bisa melihat kita dalam kabut ini,” kata Awan, berdiri di samping Rosie.“Benar. Sebaiknya kita bergegas,” Jhagad yang di depan pun segera memberikan komando.Mereka terus berjalan, sambil melihat ke bayangan di kabut untuk jaga-jaga.Tapi, Mahluk Haus Darah itu tidak menyerang. Sepertinya benar, mereka aman di dalam lingkup kabut itu.Beberapa menit kemudian, sebuah cahaya lampu kuning terlihat.“Jogoboyo?!” sapa Jhagad.“Cepat ikuti aku,” ucap Jogoboyo sambil berjalan.Jhagad dan rekan-rekannya pun mengikuti ke mana Jogoboyo pergi.
“Benar, ‘kan? Ini bukan langkah manusia,” ucap Tegar kepada Jhagad. “Aku tahu, tapi tidak perlu membuat orang semakin takut bukan?” sindir Jhagad, membuat Tegar menoleh ke belakang. Melihat Rosie dan rombongan perempuan lainnya, ia pun merasa bersalah karena membuat mereka tegang begitu. “Sorry-sorry, kemungkinan itu suara langkah hewan. Jangan panik” “Heh. Langkahnya semakin mendekat, mengarah ke sini,” kata Jazlan sambil bersiap dengan tongkat pendaki yang ia bawa sejak tadi. “Jangan menyerang lebih dulu. Matikan saja headlampnya,” usul Tegar. “Ha? Serius?” sahut Sivi seolah tidak setuju dengan ide Tegar itu. “Serius. Ini ruangan tertutup, kalau itu hewan buas, kita sebaiknya tidak menyerang, tapi bersembunyi. Satu-satunya cara sembunyi ya cuma membuat gelap ruangan, agar hewan itu tidak melihat.” “Kalau itu hewan yang peka dengan bau manusia bagaimana?” “Iya juga.” Tegar jadi berpikir ulang.
“Sepertinya benar ini lorong bawah tanah. Ujungnya tidak terlihat, masuklah,” jawab Tegar.Mendengarnya, Jhagad dan Jazlan pun saling tatap. Seolah sudah bersepakat, Jhagad masuk ke dalam peti itu lebih dulu.Jhagad sudah ada bersama Tegar, giliran Jazlan menyusul.Dengan bantuan cahaya headlamp yang redup, mereka bertiga pun mulai melihat lorong bawah tanahnya.“Coba lihat ini!” kata Tegar yang sedang memeriksa sebuah lukisan di dinding sebelah kanan.Jhagad dan Jazlan berjalan mendekat. Melihat lukisan itu, Jazlan berceletuk. “Peta?”“Sepertinya iya. Ini benteng, ini padang rumputnya.” Jhagad berkata sambil menunjuk ke arah peta, menunjuk tempat yang ia sebut.“Dan yang ini, sepertinya jalur lorong ini.” Tegar menunjuk jalur di peta itu. “Kalau dari sini, lorongnya terhubung dengan salah satu gua di dekat jembatan. Benar ‘kan?”“Kupikir juga begitu.” Jhagad setuju.“Hah…!” Jazlan menghela napas lega. “Ok, aku akan menyusuri lorong ini kalau begitu.”“Kalau menurutku, sebaiknya kita
Bukannya menjawab pertanyaan Cantigi, Jazlan justru memanggil Awan, “Wan!”Awan pun menoleh. Jazlan menatapnya, mereka pun saling tatap untuk beberapa detik. Sementara, yang lainnya masih menunggu. Jhagad mulai menyadari bahwa ada hal yang serius hanya dari melihat ekspresi Jazlan saat itu. Jazlan orang yang penuh humor tiba-tiba saja menunjukkan ekspresi tegang, jelas bukan pertanda baik. Bahkan Rosie pun juga ikut tegang dibuatnya.“Kau ingat jembatan gantungnya?” tanya Jazlan sambil masih menatap Awan.Untuk sejenak, Awan terlihat berpikir. Mencoba mengingat-ingat kembali tentang jembatan gantung yang menjadi pembatas dan satu-satunya penghubung antara Hutan Terra dan Hutan Terlarang. Ekspresi Awan lantas berubah ketika akhirnya mengingat sesuatu. Hal kecil yang ternyata bisa berdampak kepada risiko dan ancaman yang skalanya lebih besar.“Gerbang jembatan gantungnya terbuka,” ucap Awan dengan nada suara yang tampak menyesal.“Benar,” Jazlan membenarkan.“Gerbang jembatan gantung? M
Jhagad lantas memberikan isyarat agar tidak ada siapapun yang bersuara, sementara dirinya maju mendekat ke arah tumpukan tong bekas untuk memeriksa sumber suara. Pelan tapi pasti, Jhagad mulai mendekati tumpukan tong bekas. Teman-temannya harap-harap cemas mengamatinya dari belakang.Rosie sudah takut jika yang menjadi sumber suara di tumpukan tong bekas adalah Mahluk Haus Darah. Baru saja pintu gerbang dengan susah payah mereka tutup, jika ada Mahluk Haus Darah maka akan jadi sia-sia saja jadinya. Jhagad yang sudah berdiri tepat di depan tumpukan tong pun mulai menyibakkan padangannya, mencari celah, mengintip tumpukan bagian dalam.“Hati-hati, Gad!” gumam Rosie dalam hati.Perlahan Jhagad memberanikan diri mengangkat satu tong bekas yang ada di tumpukan paling atas. Seketika itu juga Jhagad terperanjat melihat apa yang ada di balik tumpukan tong bekas. Melihat Jhagad terperanjat, Awan dan Tegar langsung membuat pagar pelindung di depan Rosie dan Cantigi. Sementara Jazlan, mulai bers
Kemudian suara pintu gerbang benteng terbuka terdengar. Awan yang sangat sensitif dengan suara pun langsung menyadarinya. Jhagad yang melihat ekspresi Awan berubah seketika bertanya, “Ada apa, Wan?”“Pintu gerbang sepertinya baru saja terbuka,” kata Awan singkat.“Aku juga mendengarnya sekilas,” imbuh Tegar membenarkan pernyataan Awan.“Kenapa ini? Apa yang sebenarnya terjadi, mereka tidak mungkin secara sadar membuka pintu gerbang, bukan?” tanya Cantigi heran.“Benar, itu tidak mungkin. Bahkan mereka saja takut kepada kita sehingga tadi tidak mau membukakan pintu gerbangnya,” ucap Rosie membenarkan Cantigi.“Entah apa yang sebenarnya terjadi!” Jhagad yang masih mencoba melongok ke arah luar penjara tetap tidak tahu bisa melihat apa apa.Samar samar hanya terdengar jeritan dan teriakan para pendaki yang sepertinya sedang dikejar-kejar Mahluk Haus Darah. Rosie hanya bisa menutup telinga, sementara Cantigi memeluknya mencoba menenangkan. Awan dan Tegar masih tampak berpikir. Sementara J
Beberapa menit sebelum teriakan terdengar.Di serambi benteng, semua pendaki yang tersisa sudah mulai mengambil posisi tidur berpencar. Riki tampak menjauh dari pendaki yang lain. Saat itu, tanpa ada seorang pun yang menyadari, tubuh Riki sesekali menggeliat, seperti orang sedang kedinginan atau terkena hawa dingin yang menusuk tulang. Kepalanya bergeleng-geleng seperti sedang seseorang yang terkena stroke.SSSSTT..Sesekali, ia pun mendesis pelan tanpa ada yang mendengar. Perangainya sungguh tidak biasa, andai ada yang mengetahui hal ini lebih awal. Sayangnya, seperti yang sudah sudah, petaka kali ini pun terjadi dengan begitu cepat tanpa ada yang menyadari. Dalam hitungan detik, Riki menunjukkan gejala yang sama sebagaimana manusia berubah menjadi Mahluk Haus Darah untuk pertama kali.Salah seorang pendaki melihat gelagat aneh Riki pun mendekatinya, sambil berkata, “Hei, kau tidak apa apa?”Riki tidak menjawab karena saat itu ia mulai kehilangan kesadarannya. Pendaki yang mendekati