BRAK.. BRAK..
AAAARGGGHHHH
Mahluk Haus Darah itu benar benar sudah seperti kesetanan. Mereka semua menatap Sambara dengan nanar, sambil terus mendorong dorong di depan jeruji, menggapai-gapaikan tangannya, mencoba meraih tubuh Sambara.
“Tolong!” lirih Sambara sekali lagi, berharap ada yang mendengarnya, berharap ada yang menolongnya.
Ayah Sambara tidak menjawab pertanyaan Sambara, namun justru bertanya balik, sambil memegang kedua lengan Sambara, menatapnya lamat lamat.“Di mana?” tanya Ayah Sambara.Sambara yang sempat mendengar percakapan dari para penjajah pun tahu, bahwa jamur hitam itu ada di ruang bawah tanah, di bawah lorong benteng. Ia pun menceritakan semuanya kepada Ayahnya.“Baik, kau di sini saja. Jika ada pasukan penjajah datang, kau bisa lari ke gua, bersembunyilah di sana. Kau mengerti?” kata Ayah Sambara kepada Sambara.“Ayah mau ke mana?” Sambara dengan polosnya bertanya.“Ayah pergi sebentar. Kau di sini saja!”Seketika itu, para gerilyawan lain pun bergerak, bersama Ayah Sambara. Di markas yang masih terletak di area tersembunyi Hutan Terlarang itu sekarang hanya tinggal Sambara dan seorang gerilyawan yang sedang terluka s
Pemilik kaki itu mengulurkan tangannya, mencoba membantu Sambara untuk bangkit. Sambara yang masih belum bisa melihat dengan jelas wajah orang itu pun takut takut menerima uluran tangannya.“Ini aku Sambara, ayo cepat bangkit!” suara laki laki yang tidak asing terdengar.“Jogoboyo?” Sambara pun berdiri akhirnya.“Kau, kenapa di sini sendirian malam malam?” tanya Jogoboyo.Sambara pun menceritakan semuanya kepada Jogoboyo, yang tidak lain adalah pimpinan dari satu satuny
Satu hal lagi yang tidak diperkirakan oleh Jenderal penjajah terjadi. Ratusan Mahluk Haus Darah yang entah berasal dari mana mulai bermunculan satu per satu. Berlarian menuju ke arah prajurit penjajah, sambil mengerang, seperti tertarik oleh suara tembakan yang menggema keras.AAAAAAAARRRGGGHH AAAARRRRRGGGHHHHH“Be..be..banyak sekali!” prajurit penjajah mulai ketakutan.“Sepertinya Pasukan Sekutu datang lebih banyak dari yang kita perkirakan, Jenderal! Bagaimana ini?” tanya salah satu prajurit penjajah panik.“Tenanglah, mereka tidak mungkin bisa melewati lubang jebakan ini!” Jenderal Penjajah masih bisa berkata sombong, mencoba menyembunyikan kepanikannya sendiri.Sementara itu, ratusan Mahluk Haus Darah yang berlarian mulai mendekat. Sambara, Jogoboyo dan masyarakat adat lain masih berdiam di tempat persembunyiannya. Mengamati apa yang terjadi.“BERSIAP! JANGAN SAMPAI LENGAH, TEMBAK SEMUA YANG LOLOS DARI JEBAKAN!” perintah Jenderal Penjajah.“SIAP JENDERAL!” seru para prajurit senja
Orang yang berteriak pun sampai terjatuh jatuh. Untuk kemudian berdiri dan tangan kanannya menunjuk ke arah luar benteng, sambil berkata, “I..ITU!”Lamat lamat mereka perhatikan, semakin detik semakin jelas saja. Jogoboyo dan masyarakat adat lain tercengang melihat Mahluk Haus Darah dalam jumlah tidak terkira berlarian menuju benteng saat itu “ASTAGA, CEPAT TUTUP PINTU GERBANG BENTENGNYA!” Jogoboyo memberikan perintah seraya berlari menuju pintu gerbang.Masyarakat adat lain pun mengikuti Jogoboyo. Mereka semua berusaha keras segera mendorong pintu benteng agar tertutup sebelum Mahluk Haus Darah masuk. Sambara awalnya ingin mengikuti Jogoboyo juga, tapi, sebelum melangkah, Sambara justru mendengar suara. “Seperti suara benda terjatuh. Apa mungkin ayah atau gerilyawan lain?” gumam Sambara dalam hati, penuh harap.Sambara pun menoleh ke arah gerbang benteng, awalnya Sambara ingin memberi tahu Jogoboyo. Tapi, karena Jogoboyo dan yang lain terdengar sedang sangat sibuk, Sambara pun men
“Sebelum aku mengatakan apa rencananya, aku ingin tahu terlebih dahulu jawaban kalian. Apa kalian sungguh yakin akan melakukannya bahkan jika taruhannya adalah nyawa?” tanya Jogoboyo serius.“Sekarang ini hanya tinggal keyakinan saja bagi kami, Jogoboyo!” jawab salah satu masyarakat adat.“Benar, kalau kita tidak bergerak sekarang, maka entah apa yang akan terjadi selanjutnya. Bukankah jika Mahluk Haus Darah itu bertemu semakin banyak manusia maka mereka bisa bertambah banyak tanpa bisa dihentikan lagi nantinya?” tukas masyarakat adat lain.Mendengar perkataan itu, Sambara pun mulai merasa bersalah lagi. Baginya, saat itu ia menjadi penyebab bertambahnya Mahluk Haus Darah dari pihak gerilyawan. Dan bahkan, sekarang ini dia juga sudah seperti sedang membuat masyarakat adat terlibat terlalu jauh dan terancam hidupnya oleh Mahluk Haus Darah.Sambara, walaupun masih kecil, tapi pemikirannya memang sudah seperti orang dewasa. Sayangnya, karena perasaan bersalah berlebihan inilah yang akan
“Gila sekali mereka! Apa tidak dihentikan saja genderangnya?” tanya salah seorang masyarakat adat.“Tidak bisa. Kalau dihentikan, mereka akan semakin tidak terarah dan justru menyebar ke mana mana. Persebaran api mungkin akan semakin tidak terkendali,” ucap Jogoboyo sambil membaca situasi.“Saya akan turun, Jogoboyo. Tim penabuh gendang akan butuh bantuan lebih!” kata Ayah Sambara.“Sambara ikut Ayah!” ucap Sambara sambil memegang tangan Ayahnya.“Tidak, Sambara. Kau di sini saja membantu Jogoboyo dan lainnya! Kau ‘kan penembak jitu, lakukan tugasmu di sini bersama yang lain. Kau mengerti, Nak?” kata Ayah Sambara sambil memegang kepala Sambara.Sambara pun mau tidak mau mengangguk.“Bagus, Sambara. Ayah bangga padamu, Nak. Ingatlah, tidak ada yang perlu disesali setelah ini. Semua yang terjadi memang harus terjadi, jika memang malam ini harus ada banyak pengorbanan, maka itu tidak lain untuk masa depan yang lebih baik nanti. Kau mengerti, Sambara?”“Iya, Ayah,” lirih Sambara.Sambara
Saat Sambara bangun, kebakaran hutan hebat semalaman sudah berhenti. Bahkan sepertinya karena sapuan lahar dingin semalam, area sekitar bentang yang tadinya rimbun pepohonan menjadi daerah lapang tanpa tumbuhan sedikit pun. Mahluk Haus Darah yang semalam tumpah ruah di sekitar benteng pun tidak terlihat, sepertinya juga telah tersapu oleh lahar dingin entah sampai mana. Sementara, Mahluk Haus Darah masih tergeletak tidak bergerak di dalam serambi benteng masih banyak jumlahnya.Kembali ke pintu jalan tikus menuju jalur pendakian Gunung Argon.“Setelah kejadian malam itu. Istilah Hutan Terlarang mulai dimunculkan untuk mencegah orang mendekati area benteng. Dulu, Hutan Terlarang dan Hutan Terra tidak terbatasi sungai. Setelah malam itu, sungai baru muncul, seperti Gunung Argon sendiri yang memberikan batasannya,” Kakek Tua melanjutkan ceritanya.Kolonel Sagara dan Kakak Rosie masih mendengarkan dengan takjim cerita Kakek Tua. Sekarang mereka berdua akhirnya tahu, kena
Beberapa menit sebelum teriakan terdengar.Di serambi benteng, semua pendaki yang tersisa sudah mulai mengambil posisi tidur berpencar. Riki tampak menjauh dari pendaki yang lain. Saat itu, tanpa ada seorang pun yang menyadari, tubuh Riki sesekali menggeliat, seperti orang sedang kedinginan atau terkena hawa dingin yang menusuk tulang. Kepalanya bergeleng-geleng seperti sedang seseorang yang terkena stroke.SSSSTT..Sesekali, ia pun mendesis pelan tanpa ada yang mendengar. Perangainya sungguh tidak biasa, andai ada yang mengetahui hal ini lebih awal. Sayangnya, seperti yang sudah sudah, petaka kali ini pun terjadi dengan begitu cepat tanpa ada yang menyadari. Dalam hitungan detik, Riki menunjukkan gejala yang sama sebagaimana manusia berubah menjadi Mahluk Haus Darah untuk pertama kali.Salah seorang pendaki melihat gelagat aneh Riki pun mendekatinya, sambil berkata, “Hei, kau tidak apa apa?”Riki tidak menjawab karena saat itu ia mulai kehilangan kesadarannya. Pendaki yang mendekati