Aku membaca jadwal acaraku hari ini di whiteboard yang menggantung di samping pintu ruang kantor. Pagi sampai siang acara selapanan di pesantren, dilanjutkan pertemuan wali santri. Pukul tiga sore memberi materi Workshop Packaging produk UMKM kepada ibu-ibu di pulau Parang. Habis Maghrib rapat bersama EO persiapan resepsi pernikahan.
Zaenal kuminta menjadwal ulang rapat dengan EO melalui LAN telepon. Menurut perkiraanku, habis magrib belum bisa sampai resort sebab jarak Pulau Parang cukup jauh. Perjalanan dari pulau Parang ke resort butuh waktu sekitar tiga setengah jam.
Zaenal masuk ruanganku dan menyerahkan setumpuk berkas rencana resepsi pernikahan yang akan kami kerjakan bersama.
"Aricha Event Planner and Organizer," kataku mengeja proposal kerjasama yang disodorkan Zaenal.
"Ya gus. Itu nama EO yang akan bekerjasama dengan kita untuk menyelenggarakan resepsi pernikahan putri Bu Umma, salah satu pemilik kerajinan batik terbesar di Kudus."
Bukan soal isi kerjasama yang membuatku mengernyit, tetapi mengeja nama EO itu melahirkan harapan baru. Aku sangat berharap nama itu milik Aricha kekasihku.
Aricha Rochana Quds, perempuan pertama yang meruntuhkan kepercayaanku bahwa perempuan Kudus itu pelit dan matrealistis.
Aku biasa memanggilnya Ning Icha, ia perempuan supel yang cukup cerdas di antara kader perempuan lainnya. Pertama kali mengenalnya karena kekonyolannya memintaku memperkenalkan diri kembali saat memberi materi Wawasan Kebangsaan di acara Mapaba. Padahal dia yang telah melewatkan acara perkenalan karena mengikuti seleksi pengurus Himpunan Mahasiswa Jurusannya terlebih dahulu. Karena peristiwa itu aku lebih mudah mengingatnya.
Selain dia lebih menonjol di antara kader lainnya karena keberaniannya mengungkapkan pendapat-pendapatnya, selalu menguasai forum saat mengikuti pelatihan maupun diskusi, dia juga cukup menarik.
Dia memiliki kecantikan sempurna. Tinggi badan sekitar seratus enam puluh meter. Berat badannya proporsional. Kulit putih bersih. Memiliki bentuk hidung The Duchess Nose seperti hidung Kate Middleton yang lurus dan sempurna. Mata agak sipit. Bibir penuh dengan garis tegas. Ia memiliki dagu yang sedikit menonjol keluar. Senyumnya membuat lelaki manapun bertekuk lutut padanya. Namun bukan itu yang membuatku tergila-gila padanya.
Inner beauty yang kuat, kecerdasannya, empati yang besar, dan sifat asah asih asuhnya yang di atas rata-rata membuat hatiku terpenjara olehnya.
Sedikit keras kepala, tegas, namun hangat. Empatinya yang besar pada siapa saja sering membuat laki-laki yang dekat dengannya salah mengartikan dan akhirnya patah hati. Hatinya susah ditaklukkan oleh kebanyakan lelaki.
Membayangkan wajah ayu dan senyuman khasnya membuatku sangat ingin segera bertemu dengan pemilik Aricha Event Planner and Organizer untuk memberi kepastian pada hatiku, tetapi acara dengan ibu-ibu di Pulau Parang tidak mungkin kubatalkan.
***
Memberi materi di Workshop Packaging produk UMKM dengan ibu-ibu di pulau Parang mengingatkanku pada Aricha. Memberdayakan ibu-ibu nelayan adalah impiannya waktu itu.
"Mata pencaharian di sini selain nelayan apa?" tanya Aricha pada Hisyam waktu itu.
"Tidak ada. Pada musim Baratan, mereka praktis tidak bekerja. Perempuan lebih banyak di rumah. Sesekali membantu memperbaiki jaring yang rusak, atau menjemur ikan-ikan yang tidak laku dijual," terang Hisyam.
"Sangat eman. Potensi di sini luar biasa. Pohon Kelapa dan Pohon Jambu Mete melimpah. Banyak lahan yang dibiarkan kosong. Tongkol, Kakap Merah," katanya sambil matanya nanar mengamati kanan kiri jalan yang dipenuhi pohon Jambu Mete.
"Gus. Aku ingin masyarakat di sini lebih berdaya," kata Aricha dengan mantap.
"Jika kelak kita punya kesempatan, aku ingin membantu mereka mengembangkan agrobisnis dan wisata bahari di sini. Kita ajari ibu-ibu di sini memproses mete, supaya tidak dijual mentah, sehingga harganya menjadi lebih tinggi. Sementara daging jambu metenya bisa dibuat sirup. Klentik yang saat ini diproduksi untuk keperluan mereka sendiri bisa dikembangkan menjadi bisnis rumahan. Kita ajari cara packaging dan marketingnya. Blondonya juga bisa dibuat camilan. Selain itu kita bisa ajari mereka cara membuat VCO. Kebetulan salah satu dosenku ada yang punya perusahaan VCO, jadi nanti kita bisa belajar ke sana," katanya penuh percaya diri.
"Bapak-bapak bisa diajari berkebun dan berternak, sehingga ketika musim Baratan mereka masih punya penghasilan."
"Satu hal yang paling penting, semua produk dijual melalui koperasi. Sehingga tidak terjadi persaingan ataupun monopoli," lanjutnya penuh semangat.
Mengingat semua itu, hatiku serasa tersayat sembilu. Pilu, membeku, dan membiru.
Di mana kau sekarang, Cha? Lima tahun tak ada kabar. Hampir putus asa aku mencarimu. Gumamku perih.
Acara baru selesai ketika azan Magrib berkumandang. Peserta sangat antusias sehingga banyak pertanyaan yang diajukan. Seorang peserta workshop mendekatiku.
"Mas Gus. Ini saya bawakan Blondo kesukaan Ning Icha," katanya
Kepalaku seperti dihantam karang besar mendengarnya. Ibu yang berdiri di hadapanku pasti salah satu ibu yang dulu pernah dikunjungi Aricha.
"Setiap Mas Gus ke Parang, aku selalu lupa menitipkannya," katanya lagi. Aku hanya mengangguk dan tersenyum.
"Ning Icha kenapa tidak ikut?" katanya polos.
Duh gusti. Aku harus menjawab apa? Dulu kami memang sering mengunjungi mereka bersama. Mengedukasi masyarakat untuk mulai tidak bergantung dengan hasil laut. Bersama warga mendirikan koperasi. Setelah Aricha menghilang dari kehidupanku, semua urusan di pulau ini kuserahkan pada Hisyam. Aku hanya beberapa kali ke sini.
"Ning Icha masih ada urusan lain, Bu," kataku terbata.
Selepas salat magrib berjama'ah, aku diantar panitia menggunakan perahu kecil menuju pelabuhan di Desa Karimunjawa. Butuh waktu dua setengah jam untuk sampai pelabuhan. Kemudian kulanjutkan perjalanan menuju resort menggunakan mobil yang kuparkir di pelabuhan.
Kulajukan mobilku dengan cukup kencang. Berharap segera sampai resort dan menemui pemilik Aricha Event Planner and Organizer meskipun hanya say hello.
Suara Ariel Noah dari speaker mobil menemani perjalananku dari pelabuhan ke resort. Sesekali ujung jariku mengetuk stir mobil, dan kepalaku manggut manggut mengikuti iramanya. Setiap kali mendengar lagu ini, aku selalu saja terbawa perasaan.
Apa yang kau cari wanitaku,
apa yang kau cariTempatmu disini pujaanku,tempatmu disiniTak perlukan itu wanitaku, tak perlu begituTetaplah disini bersamaku, tetaplah disini***
Aku sampai resort sekitar pukul sepuluh kurang seperempat. Roni, resepsionis yang sift malam mengabarkan jika Zaenal dan rombongan EO pergi ziarah ke makam Sunan Nyamplungan dan Sayyid Abdullah.
Ada sedikit rasa kecewa. Tapi kupikir, aku bisa menunggu kepulangan mereka di Gazebo.
Baru beberapa menit aku duduk di Gazebo sembari berkhayal jika pemilik EO itu Aricha, tiba-tiba datang Kang Samadi dan Kang Tarno dengan tiga orang bule yang kebetulan menginap di resort.
Ketiga bule itu adalah mahasiswa yang sedang melakukan penelitian tentang jenis-jenis terumbu karang, Kang Samadi dan Kang Tarno sebagai pramuwisatanya.
Saat aku terkekeh oleh cerita-cerita lucu ketiga bule itu selama perjalanan di Karimunjawa, kulihat Zaenal dan rombongan EO memasuki pintu utama resort.
Dadaku naik turun menahan gemuruh ketika mataku sekelebat menangkap sosok yang gestur tubuhnya sangat mirip Aricha.
***
Selesai salat subuh dan istigasah pagi, aku bermaksud melihat list kamar tamu di resepsionis. Namun langkahku terhenti ketika dari kejauhan kulihat sosok perempuan yang kembali membuat dadaku bergemuruh. Lama aku memastikan, tetapi pandanganku terhalang gelapnya fajar.
***
Pimpinan EO masih belum masuk ruang rapat, padahal sudah lewat lima belas menit dari jadwal rapat. Harapanku mulai pudar, karena Aricha kekasihku orang yang sangat disiplin.
Kuketuk ketukkan ujung jari telunjukku ke meja. Kebiasaan yang aku lakukan untuk mengurangi kegundahan hati.
Jariku berhenti mengetuk meja ketika pimpinan EO masuk ruangan. Dadaku menghentak. Serta merta kebahagiaan menelusup memenuhi setiap rongga di relung relung jiwaku. Kurasa senyumku tersungging. Dadaku terasa sangat longgar.
Ia sedikit berbeda. Semakin cantik dan rapi. Baju motif strip warna light sea green dipadu dengan jeans, dan model jilbab bergo dengan warna sedikit lebih cerah membuatnya nampak sangat cantik di mataku.
Ekspresi wajahnya berubah seketika saat mata kami saling bertemu. Namun ia berusaha tenang.
Ia memimpin rapat dengan cermat. Diam-diam aku menikmati mencuri pandang padanya. Berpuluh kali kulangitkan syukurku dalam lirih, karena Allah telah memberiku anugerah yang luar biasa.
Semua hal telah ia cek. Kemudian ia menjelaskan konsep acara yang menurutku sangat biasa.
"Mohon maaf sedikit menyela. Konsep acara inti seperti itu sangat biasa. Kita buat yang sedikit berbeda," kataku.
Baru saja aku selesai menyampaikan konsep acara pernikahan, tiba-tiba ia sangat marah, membentakku, dan bahkan meninggalkan ruang rapat dengan penuh amarah. Dulu, ketika ia sedang dikuasai amarah seperti itu ia hanya butuh kutemani. Aku cukup duduk disampingnya sampai amarahnya mereda.
Aku masih bingung mengapa ia semarah itu. Sedetik kemudian aku baru menyadari bahwa konsep pernikahan yang aku usulkan adalah konsep pernikahan impiannya yang mengendap di alam sadarku.
Aku merutuki diri sendiri, karena tanpa sadar telah mengorek lukanya dan menyakitinya.
***
Mataku tak mau terpejam. Percakapan di pantai tadi benar-benar membuatku kacau.
Aricha sudah memiliki dua anak. Dia menikah dengan siapa? Apakah dia bahagia? Apakah aku mengenal lelaki yang beruntung itu? Apakah dia masih mencintaiku? Pertanyaan - pertanyaan itu bergelayut dalam pikiranku.
Tiba-tiba aku sangat menginginkan minus t benar-benar nyata tidak hanya ada dalam film Time Trax atau Dejavu. Berkhayal lubang cacing benar ada sehingga masa lalu itu bisa kuubah.
Pikiranku menembus batas waktu di suatu siang yang cukup dingin oleh guyuran hujan.
Kami makan siang di rumah makan padang di batas kota tempat kami kuliah. Ia hanya mau makan berdua denganku di tempat yang jauh dari jangkauan kader-kader lainnya, dengan alasan supaya marwahku sebagai Gus maupun senior pergerakan terjaga.Siang itu, gulai kepala kakap, sambal ijo, daun singkong dan jeruk hangat menjadi pilihan menunya. Sedangkan pilihan menuku jatuh pada Rendang, sambal ijo, daun singkong, dan es teh.
Ia makan dengan sangat lahap. Mungkin karena menyantap menu kesukaannya atau mungkin karena sangat lapar atau karena hujan yang membuat orang mudah lapar. Aku memandangnya dengan tersenyum. Namun sedetik kemudian hatiku kecut.
Aku sengaja menunggu ia selesai makan untuk menyampaikan kabar yang sangat tidak menyenangkan ini. Aku tak mau selera makannya hilang gara-gara kalimatku.
Usai cuci tangan di wastafel, ia kembali duduk di hadapanku.
"Tadi katanya ada yang mau disampaikan?" katanya sambil masih menahan rasa pedas. Ia menyeruput jeruk hangat dengan sangat nikmat.
Aku bingung mau mulai dari mana. Dia melotot ke arahku dengan lucu, memberi tanda siap mendengarkan. Ia kembali meminum jeruk hangat pesanannya.
"Aku diminta menikah dengan sepupuku, Ning Adiba."
Sontak ia tersedak demi mendengar ucapanku. Kemudian mencoba meredakan batuknya dengan meminum kembali jeruk hangatnya dari sendok. Ia terdiam lama. Hanya desahan napas yang beberapa kali terdengar berat. Matanya mulai berkaca-kaca.
Hatiku mulai sakit. Aku tak pernah kuasa melihatnya menangis. Ia bukan perempuan lemah yang biasa menangis. Jadi, jika ia menangis itu pertanda hatinya sangat tersakiti.
Tangisnya akhirnya pecah. Bahunya terguncang cukup keras. Aku ingin menenangkannya. Aku ingin memeluknya, untuk meredakan laranya.
"Inilah yang selalu aku takutkan, Gus. Saat tak ada ruang rindu yang tersisa untuk orang lain, tiba-tiba kamu harus meninggalkanku," katanya terisak.
"Aku tak akan meninggalkanmu, Ning. Kita akan perjuangkan bersama cinta kita," kataku meyakinkan.
Ia menggeleng kuat. Kedua tangannya ditelangkupkan menutupi seluruh wajahnya.
"Aku ingin, kehadiranku menjadi berkah bagi suamiku dan keluarganya. Aku tak mau membuat keluargamu bersedih. Aku orang baru yang hadir dalam hidupmu. Mereka orang tua yang lebih dulu menyayangi dan mencintaimu. Ridlo mereka mutlak untuk keberkahan dan kebahagiaanmu."
"Apakah itu artinya kamu menyerah?" tanyaku sedikit panik.
Ia mengangguk lemah.
"Tidak. Tidak. Ini bukan kamu. Aricha yang kukenal tidak semudah ini menyerah. Kita akan perjuangkan bersama," kataku semakin panik.
"Waktu akan menyembuhkan semua lukaku. Aku cukup menangisimu tiga hari, atau tujuh hari. Setelahnya, hidupku pasti akan kembali baik-baik saja," katanya sambil terus terisak.
Telepon dari Zaenal cukup mengagetkanku. Membuyarkan lamunan masa laluku.
"Besok Gus-e dan Mbak Aricha saja yang ketemu klien. Teman-teman yang lain masih menyelesaikan pekerjaan di sini karena tim EO dua hari lagi harus kembali untuk persiapan acara yang di sana. Tiketnya sudah saya pesankan untuk dua orang. Begitu dulu Gus. Saya melanjutkan rapat dengan pemilik-pemilik catering yang akan kita pakai," kata Zaenal nyerocos tak bisa diputus.
Aku tersenyum.
***
Aku sudah bersiap dilobby resort.Lima menit kemudian kulihat Aricha keluar dari kamarnya.Suite Roomyang ditempatinya kebetulan terletak di sebelah kananlobby. Sehingga aku bisa melihatnya keluar kamar dari tempatku saat ini.Ia terlihat cantik dengan padu padanblouse yukensi neckwarna putih berbahan satin,outerhijau tosca, dipadupalazzo pantsabu-abu dengan pasmina sifon warna abu-abu.Pouch bagwarnapinkabu menggantung di pundak kirinya, serta kacamata hitam menempel di kepala.Sapuan tipismake uppada bagian mata,eye linerhitam memberi kesan lebih besar pada mata sipitnya,eye shadowcoklat dan lipstik warnapeachmembuatnya tampak makin segar.Kuberikan senyum terbaikku dari tempatku berdiri. Ia membalas senyumanku. Hatiku sa
Kami hampir saja ketinggan kapal. Berlari sepanjang pelabuhan menuju kapal untuk mengejarnya. Tanpa kusadariGusNadzim menggandeng tanganku selama kami berlarian.Aku baru menyadarinya ketika masuk pintu kapal. Sejujurnya, ada hawa aneh yang menentramkan menjalari hati saat ia menggandengku. Namun aku sadar, dia bukan milikku. Maka kukendurkan pegangan tangannya. Ia meminta maaf.Saat kuletakkanpouchbagku di bawah televisi di ruang penumpang, kalung tasbihku menjuntai keluar dan sempat ia perhatikan. Cepat-cepat kumasukkan kembali kalung tasbih itu kedalamblouseku.Ia juga sempat memperhatikan gelang Kokka dan gelang cangkang kura-kura yang masih melingkar di lengan kiriku. Aku merutuki diri.Seorang pramusaji kapal menawarkan aneka snack dan minuman. Ia memesan dua kopi hitam. Kopi hitam manis untuknya dan satu kopi pahit untukku.Ia mulai mempertanyakan ke mana saja aku setelah insi
TatapanGusNadzim yang penuh selidik membuatku urung mengusap layar ponselku untuk menerima panggilan. "Diterima saja," kataGusNadzim. Aku menjadi tidak enak hati. "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumussalam. Halo Chacha," kata suara riang dari seberang. Hanya ada satu orang yang memanggilku Chacha, yaitu Yasser Syathibi. Suaranya tambah renyah begitu kusambut sapaannya. "Aku kangen Indonesia. Di sini sepi, tidak ada celotehmu. Tidak ada yang ngomel-ngomel kalau aku menunda salat. Tidak ada yang marah-marah kalau aku tidak ikut Jumatan. Tidak ada yang menyuruhku puasa aneh-aneh." Puasa aneh-aneh yang dimaksud itu puasa-puasa sunah selain puasa Senin dan Kamis. Aku tersenyum. "Aku akan segera balik ke Indonesia. Aku akan melamarmu, membawamu ke sini, dan beranak pinak supaya aku tidak kesepian lagi." Yasser masih mengoceh, namun aku sudah tidak konsen mendengarnya. KulihatGus&nbs
Aku terbangun saat mendengar suara klakson kapal, sebagai pertanda bahwa kapal sebentar lagi bersandar. Cukup lama aku tertidur, hampir satu jam. Aku sedikit menggerakkan badan, menghilangkan penat di badan karena duduk cukup lama. Aku tak begitu mempedulikanGusNadzim yang duduk di sebelahku. Hatiku masih terluka karena kata-katanya beberapa waktu lalu. Sekali lagi kutegaskan pada otak dan hatiku jika pria yang saat ini duduk di sebelahku hanyalahpartnerkerja. Setiap orang punya masa lalu, tapi ia harus tetap hidup menjalani hari-harinya. Masih harus tetap merajut mimpi dan harapan. Meskipun selama lima tahun ini aku tak mampu melakukan itu. Mulai hari ini aku bertekad harus bisa meninggalkan bayangannya sebagai masa laluku. Aku tak perlu lagi mengkhawatirkan kebahagiaannya, ataupun keadaannya. Aku bukan siapa-siapanya. Aku meninggalkan kursi penumpang lebih dulu. Keluar menuju tempat parkir pelabuhan. Alfan dan Zaenal sudah m
Rofiq dan Nisa sudah menunggu kedatangan kami di pinturesort. Sebuah kursi roda sudah dipersiapkan untukku. Aku memprotesGusNadzim melalui tatapan mataku. "Sudah tidak usah protes. Ini standar pelayananresortkami. Kursi roda ini memang dipersiapkan untuk tamu-tamu berkebutuhan khusus." "Tapi aku tidak berkebutuhan khusus," protesku. "Biasanya, iya. Saat ini, kamu berkebutuhan khusus. Sudah jangan rewel!" katanya lembut namun tegas. Aku akhirnya mengalah. Duduk di kursi roda seperti orang tak berdaya. Sebenarnya ada kebahagiaan tersendiri karenaGusNadzim yang mendorong kursi rodaku menuju ke kamar tempatku menginap. Zaenal, Arfan, Rofiq, dan Nisa berjalan mengikutinya dari belakang. Sesampainya di depan pintu kamar, seorang pelayanresortmenemuiGusNadzim. Beberapa saat mereka berbisik. Sebentar kemudian pelayan itu kembali undur diri. "Nisa
"Adiba," katanya sambil menjabat tanganku. "Aricha." Ning Adiba sedikit kaget mendengar aku menyebutkan namaku. "NingIcha?" tanyanya. Aku mengangguk lesu. "KokNingIcha lebih cantik dari yang duluGus eceritakan?" Kaget mendengar ucapanNingAdiba, spontan aku mendongak ke arahGusNadzim, ia tersenyum sambil memainkan anak rambutGusFatih. "Kemarin waktu ketemu, aku juga kaget. Dulu, dia aktifis yang sering lupa mandi dan tidak pernah sempat pakai bedak," kataGusNadzim. Mereka berdua tersenyum. Merasa jadi olok-olokan mereka berdua, maka aku pun pamit undur diri. "Maaf, saya ke kamar dulu," pamitku. Adlina yang tidak memahami situasinya terlihat bingung. "Biar Adlina saja yang mengantarku," kataku saatGusNadzim bersiap mendorong kursi rodaku. "Nisa tidak perlu menemaniku. Adlina akan tidur di kamarku," lanjutku.
GusNadzim,NingAdiba, danGusFatih sampai di area parkir mobil setelah lebih dari seperempat jam kami menunggu.NingAdiba terlihat sangat cantik dengan baju tunik panjang warna coklat kopi dengan celana bahan warna hitam serta kerudung senada warna baju. SementaraGusNadzim juga terlihat sangat tampan dengankosekylinhitam danmansetpendek warna hitam dibalut cardigan kesayangannya. Benar-benar pasangan yang serasi, batinku. NingAdiba selalu menyapaku ramah. Tidak ada ekspresi kebencian ataupun kecemburuan di raut mukanya. Padahal jika menilik dari kata-katanya saat pertama kali bertemu,GusNadzim sudah banyak menceritakan tentang diriku padanya. Sikap manisNingAdiba justru semakin menyesakkan dada. Aku membuang napas cukup keras untuk sekedar melonggarkan himpitan di rongga dada. Adlina menoleh padaku, matanya penuh selidik. Aku terse
SaatGusNadzim masuk ruang praktek Dokter Guntur untuk menemaniNingAdiba, aku pamit pada Adlina untuk sekedar mencari udara segar di sekitar alun-alun dan memintanya untuk tidak menungguku. Sebuahcafekecil di salah satu ujung jalan yang mengarah ke alun-alun cukup menarik hatiku. Suasana rindang dari sulurmillion heartsmenghadirkan suasana kesejukan desa yang damai membawa kakiku memasukicafeitu. Daun yang kaku dan tebal serta berbentuk hati itu menempel pada rancangan kawat membentuk pagar menggantung di bawah atapcafe. Tanaman Terang Bulan dengan corak warna daun hijau muda yang lembut menyambutku di kiri kanan pintu masukcafe. Sementara di sudut-sudutcafe, dinding dalam maupun luarcafejuga banyak tergantung berbagai jenis tanaman sulur yang tertata sangatapik.Dischidia Gerimenjun
Pagi ini aku tidak ada jadwal mengajar dan berniat membersihkan Musala yang ada di sebelah rumah kami, wakaf dari kakek buyutku. Tapi kulihat Bapak sudah duduk termenung di teras Musala dengan tangan kanan yang masih memegang kain pel, sementara ember hitam berada di dekat kaki kanannya. “Kedahuluan lagi deh,” kataku dengan nada kecewa. Bapak menoleh ke arahku karena terusik oleh suaraku. Bapak paling tidak bisa melihat Musala dalam keadaan kotor. Beliau tidak sabar menunggu anak-anak jemaah ngaji yang piket membersihkan Musala di hari Ahad dan hari Jumat saat mereka libur sekolah. Sehingga beliau tak segan untuk menyapu dan mengepel Musala seorang sendiri. “Bapak ada masalah?” tanyaku setelah duduk menjajarinya. “Bapak bingung. Semalam Bapak besuk Mbah Nasuha yang baru pulang dari Rumah Sakit. Akibat jatuh waktu ambil wudu di Musala dulu itu. Sekarang dia harus pakai kursi roda. Semalam dia menangis sedih karena sekarang dia tidak mungkin lagi bisa
Suasana Gubug yang didesain mirip Gazebo ini terasa sangat nyaman. Hawa sejuk, aroma wangi bunga kopi, dan suara khas Tonggeret yang dalam bahasa jawa disebut Garengpung menambah kenikmatan kopi Muria dan pisang tanduk kukus yang masih hangat tersaji. Di perkebunan kopi ini atau lebih luas di daerah Muria dan sekitarnya, hampir sepanjang hari di bulan Maret kita dapat menikmati suguhan kemewahan simfoni indah dari Tonggeret, salah satu jenis serangga anggota sub ordo Cicadomorpha, Ordo Homoptera yang memiliki sekitar tiga ribu spesies di dunia. Nyanyian Tonggeret menemaniku menemui salah satu pengusaha kopi Muria yang pernah direkomendasikan Icha, salah satu teman sekolahnya. Kami melakukan penjajakan kerjasama untuk memenuhi kebutuhan kopi di Resort milikku. Sebenarnya aku sangat ingin mengajaknya ke sini, sekaligus ziarah ke makam sunan Muria. Mungkin sangat menyenangkan berjalan bersama menyusuri satu per satu anak tangga yang d
Aku akhirnya memutuskan menerima tawaran dari yayasan untuk menjadi dosen tetap yayasan. Sudah tiga minggu ini perkuliahan kembali aktif. Manajemen EO sepenuhnya kuserahkan pada Adlina, namun aku tetap menjadi konseptor acara sesuai yang dipesan klien. Setiap sabtu dan ahad serta setiap sore sepulang dari kampus, aku tetap ke kantor EO. Sejak menjadi dosen tetap, kesibukanku di kampus bertambah dengan menjadi pembimbing skripsi mahasiswa, dilibatkan dalam kepanitiaan kegiatan kampus, maupun tugas-tugas yang lain. Meskipun kegiatan kampus dan EO cukup melelahkan, tetapi sangat kunikmati. Inilah cara efektif untuk menjauhkan berbagai kenangan dan pikiranku pada Gus Nadzim. Kenyataan bahwa Gus Nadzim sampai saat ini belum menikah, dan tetap menungguku membuatku memupuk harapan yang semakin kuat. Namun kenyataan pula bahwa Umi tidak menginginkanku, membuatku harus mengubur kembali harapan itu dalam-dalam. Menggunakan waktu yang kumiliki dengan berbagai aktivitas yang men
Perjalanan menuju rumah Mas Nanang terasa sangat lama.Icha yang duduk di kursi penumpang di sebelahku hanya menatap nanar ke jalanan beraspal. Mungkin saja suasana hatinya masih tidak nyaman dengan semua kejadian hari ini. Pagi tadi saat aku hendak menjemput rombongan ke pelabuhan,NingZahira merengek minta ikut. Aku sungguh tak percaya dengan sikap kekanak-kanakannya. Umi yang mendengar rengekan Ning Zahira pun bertitah, maka habislah aku. Agar tidak menimbulkan kegaduhan, terpaksa aku membawanya ikut menjemput rombongan. Padahal,Icha juga menjemput rombongan langsung dari hotel tempatnya menginap. Sempat kurasakan kegalauan hati, ketika kulihat ekspresi datarIcha saat melihat kehadiranku danNingZahira. Aku tidak mau ia salah paham. Maka, aku harus menjelaskan situasinya. Beruntung,Icha memahami dan percaya padaku. Tetapi lagi-lagiNingZahira membuatku pusing. Sejak acara pembukaan sampai acara ku
Tubuhku membeku seketika. Mataku membelalak dan telingaku seolah tak percaya ketika mendengar ucapanGusNadzim. Kurasakan udara di sekitarku berhenti mengalir sehingga terasa panas dan pengap. Aku benar-benar marah karena kata-katanya. "Jangan samakan hati dengan barang elektronik, yang tombolon offbisa dipencet kapan saja semau kita." semburku. "Kamu tidak perlu marah. Anggap saja ini barter kita. Harusnya aku yang lebih dulu marah, karena kamu yang lebih dulu minta aku menerimaNingZahira." Nada suaraGusNadzim tidak kalah tingginya dengan suaraku. "Kalau kamu tidak punya tombolon offdi hatimu, aku juga sama." Tangannya menggebrak meja kayu di hadapanku sampai botol air mineral yang kupesan jatuh menggelinding. Untung saja gelas kopi yang kupesan tidak ikut jatuh. Beberapa pengunjungcafemengarahkan pandangan matanya ke meja kami. Aku hanya menganggukkan kep
Aku merasa pesantren danResortsudah tidak nyaman untukku menyelesaikan proposal yang harus selesai malam ini. Keputusanku sudah bulat. Besok pagi aku kembali ke Kudus. Mengubur semua peristiwa yang terjadi di sini, dan kembali menulis cerita hidup yang baru. Aku kembali keResortmenggunakan jasa mobil rental yang kupesan. Sesampainya diResort, aku segera berkemas. Menunggu azan Magrib untuk salat. Lalu mengurus administrasi untukcek out. Sementara mobil rental kuminta menunggu dan mengantarku kembali ke tujuan selanjutnya. "Pemesanan kamar atas nama bu Aricha masih sampai dua hari lagi. Semua biaya sudah dibayar di muka." kata resepsionis. Pasti kerjaanGusNadzim, pikirku. "Tidak apa-apa, Mbak. Sayacek outsekarang saja." Aku memberikan kunci kamar dan menunggu sebentar. Resepsionis menginformasikan padaroom serviceuntuk mengecek kamarku
Kulihat Umi sedang menenangkanNingZahira yang tengah tersedu. Aku tidak mau ambil pusing, maka langkahku tak terhenti ketika melintasi mereka. "Gus." Suara Umi memanggilku. Terpaksa kuhentikan langkahku, lalu memutar badan sembilan puluh derajat. "Ya, Mi. Ada apa?" tanyaku. "Bilang sama Aricha, jangan suka mengata-ngatai orang." Umi sedikit melotot ke arahku. Aku kembali memutar badanku sampai menghadap ke arah Umi. "Icha mengata-ngataiNingZahira? Apa tidak salah? Setahuku, Icha sedang menyelesaikan proposalnya di ruang tamu pesantren sendirian." Aku sangat mengenal Icha. Dia bukan tipe penyerang. Dia baru akan menyerang ketika benar-benar tidak mungkin bertahan. "Ketemu Icha di mana? Kamu menemuinya diam-diam di ruang tamu?" Aku mendelik padaNingZahira. "Gus, jaga bicaramu.NingZahira ini calon istrimu." Suara Umi meninggi. Dari awal kedatangannya, aku sudah menduga jika dia dipersiapkan
Selepas sore di Ujung Gelam itu, aku mencoba mengabaikan Ning Zahira dan mulai berdamai denganGusNadzim. Kuputuskan untuk menunda kepulanganku hingga monitoring kementerian selesai. Kebetulan perkuliahan baru akan dimulai dua minggu ke depan, dan urusan EO semua bisa diatasi pegawaiku di kantor dengan komando Adlina. Hari ini, tim pendampingan koperasi dan KUB mendatangi satu per satu anggota KUB. Melihat proses produksi, pengemasan, data sirkulasi, data outlet, dan pembukuan yang mereka buat. Semua yang tersapu oleh mataku sudah kutuangkan dalam buku catatan. Mbak Siti, Mbak Sri, dan ibu-ibu yang lain sangat senang ketika kami sampai di rumah mereka. Ada beberapa rumah panggung khas suku Bugis yang tersebar di antara rumah-rumah khas Jawa. Tiap rumah yang kita singgahi memberikan suguhan, sampai perut kami terasa penuh. Mbak Sri memenuhi janjinya, menyuguhiku tongkol bakar sambal korek lombok setan siram klentik. Perutku sudah sangat pen
Anganku melompat ke masa lima tahun yang lalu "Menikahlah denganku,Ning!" kata Gus Nadzim tiba-tiba. Mataku membelalak. Ada getar aneh menyusup ke dada, menjalar ke syaraf otak dan menimbulkam rasa bahagia. Aku tersenyum tipis dari tempatku duduk. Hatiku terasa sangat ringan. Udara yang kuhirup terasa hangat di paru-paruku, meskipun hawa dingin di sekitar Makam Syaikh Hasan Munadi Nyatnyono menembus kain parasit jaketku dan menusuk sampai ke tulang. Sementara pemandangan kerlap kerlip lampu perkampungan penduduk terlihat seperti hamparan permadani hitam bertabur berlian. "Kuliahku belum selesai,Gus. Kamu tahu bagaimana perjuanganku bisa sampai pada tahap ini. Meskipun aku sangat mencintaimu, aku tetap lebih mencintai diriku sendiri." kataku terkekeh. Ia memasang muka cemberut. "Bukan sekarang,Ning. Aku akan menunggumu selesai wisuda. Aku juga tidak mau punya istritulalit." godanya. GusNadzim