Aku terbangun saat mendengar suara klakson kapal, sebagai pertanda bahwa kapal sebentar lagi bersandar. Cukup lama aku tertidur, hampir satu jam. Aku sedikit menggerakkan badan, menghilangkan penat di badan karena duduk cukup lama.
Aku tak begitu mempedulikan Gus Nadzim yang duduk di sebelahku. Hatiku masih terluka karena kata-katanya beberapa waktu lalu. Sekali lagi kutegaskan pada otak dan hatiku jika pria yang saat ini duduk di sebelahku hanyalah partner kerja.
Setiap orang punya masa lalu, tapi ia harus tetap hidup menjalani hari-harinya. Masih harus tetap merajut mimpi dan harapan. Meskipun selama lima tahun ini aku tak mampu melakukan itu. Mulai hari ini aku bertekad harus bisa meninggalkan bayangannya sebagai masa laluku. Aku tak perlu lagi mengkhawatirkan kebahagiaannya, ataupun keadaannya. Aku bukan siapa-siapanya.
Aku meninggalkan kursi penumpang lebih dulu. Keluar menuju tempat parkir pelabuhan. Alfan dan Zaenal sudah menunggu di dekat sebuah mobil Pajero silver. Aku buru-buru mengambil tempat duduk di sebelah sopir. Sengaja menghindari duduk di jok penumpang bersama Gus Nadzim.
"Kuncinya mana? Biar aku saja yang nyetir," kata Gus Nadzim sambil menyodorkan ranselnya ke Zaenal.
"Tapi Gus ?" Zaenal tak melanjutkan kalimatnya karena Gus Nadzim telah mengambil kunci mobil dari tangannya.
Aku hanya bisa menarik napas panjang dan memegang kepalaku yang mulai pusing.
***
Aku terbangun oleh gedoran di pintu kamarku. Masih setengah tersadar kutarik handle pintu. Sebuah wajah panik segera menerobos masuk ke kamarku.
"Kamu sudah ditunggu tim tour. Hampir satu jam kami menunggu. Ponselmu tidak bisa dihubungi," kata Adlina panik. Aku baru ingat, setelah menerima telepon Yasser tadi, ponsel kumatikan.
"Pak Nadzim sudah marah-marah, karena kamu tidak profesional," katanya lagi.
Aku menepuk jidad, baru ingat jika jam dua kami berencana cek lokasi ke Pantai Bobbi dan Bukit Love untuk lokasi trip tamu-tamu pengantin. Kulihat jarum jam tanganku yang tergeletak di meja rias, pukul tiga.
"Kepalaku masih pusing. Kamu sama teman-teman yang lain saja yang berangkat," kataku beralasan.
"Teman yang lain sudah balik Kudus untuk persiapan acara di sana. Sekarang tinggal kamu, aku, dan Arfan. Kamu lupa juga?” katanya sedikit gondok.
"Kamu sama Arfan saja," kataku. Aku malas bertemu Gus Nadzim, apalagi pergi bersama untuk cek lokasi tour.
"Kamu harus ikut! Karena yang menentukan konsep acara selama tour nanti itu, Kamu." katanya tegas. Aku sudah tidak bisa berkutik jika Adlina bersikap seperti itu.
***
Tidak butuh waktu lama untukku berganti baju. Blouse katun warna tea green, pasmina hijau dengan warna sedikit lebih tua, jeans, dan sepatu kets. Sapuan tipis-tipis bedak dan lipstik supaya terlihat lebih segar karena aku tidak sempat mandi. Ransel hitam kecil di punggung, kacamata hitam kugantung di dada yang tertutup pasmina dan sedikit minyak wangi.
Gus Nadzim masih terlihat marah saat aku dan Adlina sampai di lobby resort. Sekilas ia memperhatikanku. Kemudian kembali membuang muka.
"Lain kali kerja yang profesional," katanya ketus.
Belum sempat aku membela diri, ia sudah berjalan menuju Pajero silver yang mesinnya sudah dihidupkan.
"Cha, aku tidak bisa ikut. Baru saja Nisa telepon, dia perjalanan menjemputku. Kami mau membayar DP ke beberapa katering sore ini." Adlina pamit tidak bisa ikut cek lokasi. Aku hanya bisa mengiyakan.
Gus Nadzim mempersilakan Arfan duduk di kursi sebelah sopir. Sedangkan ia mengambil tempat duduk di kursi penumpang belakang sopir. Mau tidak mau, aku harus duduk di kursi penumpang sebelah kiri. Lengkap sudah penderitaanku.
Suasana mobil hening selama perjalanan ke Pantai Bobbi yang butuh waktu sekitar satu jam. Hanya sesekali terjadi percakapan antara Arfan dan Zaenal. Sementara Gus Nadzim sibuk dengan ponselnya.
Setelah beberapa kali melalui jalan menurun curam, tanjakan, dan menikung akhirnya sampailah mobil yang kami tumpangi di area parkir Pantai Bobbi. Gapura bertuliskan Pantai Bobbi dari kreasi kayu dan topeng Bobbi berambut gondrong menyambut kami. Hamparan pasir putih membentang di sepanjang bibir laut memanjakan mata oleh pesonanya yang luar biasa indah.
Meskipun baru kali ini aku mendengar nama Pantai Bobbi tapi aku merasa tidak asing dengan tempat ini.
Kami beristirahat sebentar di salah satu warung yang sore itu buka. Kami memesan empat es degan bakar.
Beberapa saat setelah pesanan kami datang dan menikmati beberapa tegukan, kulepas sepatu kets yang kupakai dan mulai menyusuri pantai pasir putih dari sisi kanan jalan masuk. Arfan mengikutiku dengan membawa kertas notebook kecil untuk menuliskan beberapa catatan.
Kuperhatikan ada beberapa spot swafoto yang nantinya bisa kami rekomendasikan pada para tamu.
"Besok beberapa fotografer siapkan di dekat ayunan dengan dua tempat duduk itu, lalu di sana dekat spot foto dari ranting-ranting pohon yang berbentuk lambang hati, dekat ayunan dengan satu tempat duduk itu, dan dekat jungkat-jungkit kayu itu," kataku sambil menunjuk tempat- tempat yang kumaksud.
"Dekat spot foto dengan bangku panjang yang kanan kirinya dihias ranting-ranting pohon dengan latar belakang tulisan Pantai Bobbi juga," kataku sambil menunjuk ke tempat yang sedikit jauh dari bibir laut.
"Dekat rumah pohon itu juga."
Kulanjutkan langkahku sampai di depan deretan pohon kelapa. Aku mendongak. Sebuah ayunan di ketinggian yang diikatkan pada kedua pohon kelapa diayun oleh tiupan angin. Sementara pijakannya dari slice kayu yang ditata berjajar.
"Ayunan ini tidak usah direkomendasikan, kecuali tim tour punya adventure safety tools."
Beberapa langkah di depanku berdiri kokoh pohon yang cukup rindang, seperti beringin. Tapi aku tak tahu pasti nama pohon itu. Pohon itu dikelilingi batu cadas merah. Ada tulisan "Pantai Bobbi" di selembar kecil lapisan kayu. Tulisan itu ditulis tangan dan tidak rapi.
Pohon itu mengingatkanku dulu di pantai ini, aku dan Gus Nadzim serta beberapa teman dari Semarang pernah mengikuti acara lombanan oleh warga Karimunjawa, terutama dusun Kapuran. Yah, sekarang aku ingat. Pantai ini dulu bernama Pantai Nyamplung Ragas. Aku membatin.
Waktu itu, aku dan rombongan menikmati sunrise di pantai ini selama di Karimunjawa. Bernyanyi dengan iringan musik gitar sampai permukaan laut dan langit bermandikan jingga.
Bima paling suka mendendangkan lagu-lagu dangdutnya Evi Tamala, Elvi Sukaesih, Rita Sugiarto, Rhoma Irama, dan Meggy Z. Sedangkan selama di Karimunjawa, Gus Nadzim sangat suka menyanyikan lagu-lagunya Bimbo dan Iwan Fals. Sebagai lagu wajib sebelum kami meninggalkan pantai, bersama-sama menyanyikan lagu Kemesraan yang dipopulerkan Iwan Fals.
Aku tersenyum sendiri mengingat masa-masa itu. Aku menoleh ke arah Gus Nadzim yang masih asyik menikmati Es Degan bakar di warung sederhana beratap anyaman daun kelapa. Meskipun sekarang kami punya kehidupan masing-masing, biarlah masa lalu itu samar-samar tetap menautkan hati kami. Kutarik napas dalam-dalam.
Kulanjutkan langkahku melintasi pasir putih yang sisi luarnya terdapat banyak cadas berbentuk tumpukan rapi seperti tertata. Sebuah maha karya Tuhan yang luar biasa cantik.
"Besok siapkan juga beberapa tukang foto di sekitar sini." Arfan mengangguk dan membuat catatan.
Aku mengambil tempat duduk di salah satu tepi cadas yang permukaannya datar. Gus Nadzim dan Zaenal terlihat berjalan ke arah kami. Ketika sudah berada di sekitar kami berdiri, aku menanyakan konsep acara yang ditawarkan selain tamu-tamu berfoto dengan pemandangan alam.
"Biasanya, tamu-tamu kami bebaskan menikmati pantai sepuasnya. Mereka dipersilakan berfoto dan kami akan menyediakan beberapa tukang foto yang tersebar di sepanjang pantai," jelas Zaenal.
"Tidak ada konsep acara apapun?" tanyaku menandaskan, lebih pada diri sendiri. Zaenal menggeleng sebagai jawaban.
"Misalnya kita buat volly pantai, atau minum Es Degan bakar bersama," usulku.
"Pripun Gus?"
"Konsep yang disampaikan Zaenal itu adalah paket tour yang sudah kita sepakati sebelumnya," katanya enteng.
"Kalau konsep sudah tidak bisa diubah, buat apa aku capek-capek cek lokasi?" Suaraku mulai meninggi.
"Ya sudah, tak perlu cek lokasi tour ke tempat yang lain!" kataku menahan jengkel. Aku berdiri, melangkah meninggalkan mereka.
"Arfan, kita balik ke resort!"
Aku berjalan sambil mengeluarkan seluruh kekesalan hatiku sampai tidak menyadari ada serpihan terumbu karang dan terinjak kakiku yang tanpa alas.
"Aaaaa." Aku menjerit. Sebuah serpihan terumbu karang yang cukup besar menancap di antara telapak kaki dan jari tengah sampai jari manis. Spontan tanganku mengambil benda putih yang menancap itu. Darah segar mengalir deras di sela-sela jari kakiku.
Aku tidak menyadari kehadiran Gus Nadzim. Ia sangat panik ketika melihat darah segar mengalir cukup deras dari lukaku.
"Zaenal!" teriak Gus Nadzim panik.
Seperti sudah paham, Zaenal berlari ke arah mobil yang terparkir.
"Kotak P3K-nya ditaruh mana, Gus?" teriak Zaenal dari dalam mobil yang tak kalah paniknya.
"Sudah ketemu, Gus," teriak Zaenal lagi. Ia kemudian lari ke arah kami.
Sementara Arfan sudah kembali dengan membawa air mineral dalam botol. Gus Nadzim berusaha menghentikan pendarahannya dengan menekan otot-otot telapak kaki di bagian yang lebih atas dari lukaku.
Gus Nadzim membasuh lukaku dengan sebotol air mineral untuk membersihkannya dari sisa-sisa pasir. Kemudian ia membersihkannya dengan alkohol yang diberikan Zaenal. Dengan cekatan ia memberi iodin, menutup lukaku dengan kapas yang sudah dibalut kasa lalu membalutnya dengan kasa.
"Siapkan mobil, Nal! Kita bawa ke Dokter Galih," kata Gus Nadzim yang makin panik karena melihat darah masih merembes.
"Dokter Galih biasanya kalau sore muter ke rumah-rumah lansia. Kita bawa ke Bu Bidan Titin saja, Gus."
"Ya, sudah! Kemana saja, yang penting lukanya cepat dijahit," katanya agak kasar.
Aku tersenyum dalam hati melihat kepanikan yang menyergap Gus Nadzim.
***
Rofiq dan Nisa sudah menunggu kedatangan kami di pinturesort. Sebuah kursi roda sudah dipersiapkan untukku. Aku memprotesGusNadzim melalui tatapan mataku. "Sudah tidak usah protes. Ini standar pelayananresortkami. Kursi roda ini memang dipersiapkan untuk tamu-tamu berkebutuhan khusus." "Tapi aku tidak berkebutuhan khusus," protesku. "Biasanya, iya. Saat ini, kamu berkebutuhan khusus. Sudah jangan rewel!" katanya lembut namun tegas. Aku akhirnya mengalah. Duduk di kursi roda seperti orang tak berdaya. Sebenarnya ada kebahagiaan tersendiri karenaGusNadzim yang mendorong kursi rodaku menuju ke kamar tempatku menginap. Zaenal, Arfan, Rofiq, dan Nisa berjalan mengikutinya dari belakang. Sesampainya di depan pintu kamar, seorang pelayanresortmenemuiGusNadzim. Beberapa saat mereka berbisik. Sebentar kemudian pelayan itu kembali undur diri. "Nisa
"Adiba," katanya sambil menjabat tanganku. "Aricha." Ning Adiba sedikit kaget mendengar aku menyebutkan namaku. "NingIcha?" tanyanya. Aku mengangguk lesu. "KokNingIcha lebih cantik dari yang duluGus eceritakan?" Kaget mendengar ucapanNingAdiba, spontan aku mendongak ke arahGusNadzim, ia tersenyum sambil memainkan anak rambutGusFatih. "Kemarin waktu ketemu, aku juga kaget. Dulu, dia aktifis yang sering lupa mandi dan tidak pernah sempat pakai bedak," kataGusNadzim. Mereka berdua tersenyum. Merasa jadi olok-olokan mereka berdua, maka aku pun pamit undur diri. "Maaf, saya ke kamar dulu," pamitku. Adlina yang tidak memahami situasinya terlihat bingung. "Biar Adlina saja yang mengantarku," kataku saatGusNadzim bersiap mendorong kursi rodaku. "Nisa tidak perlu menemaniku. Adlina akan tidur di kamarku," lanjutku.
GusNadzim,NingAdiba, danGusFatih sampai di area parkir mobil setelah lebih dari seperempat jam kami menunggu.NingAdiba terlihat sangat cantik dengan baju tunik panjang warna coklat kopi dengan celana bahan warna hitam serta kerudung senada warna baju. SementaraGusNadzim juga terlihat sangat tampan dengankosekylinhitam danmansetpendek warna hitam dibalut cardigan kesayangannya. Benar-benar pasangan yang serasi, batinku. NingAdiba selalu menyapaku ramah. Tidak ada ekspresi kebencian ataupun kecemburuan di raut mukanya. Padahal jika menilik dari kata-katanya saat pertama kali bertemu,GusNadzim sudah banyak menceritakan tentang diriku padanya. Sikap manisNingAdiba justru semakin menyesakkan dada. Aku membuang napas cukup keras untuk sekedar melonggarkan himpitan di rongga dada. Adlina menoleh padaku, matanya penuh selidik. Aku terse
SaatGusNadzim masuk ruang praktek Dokter Guntur untuk menemaniNingAdiba, aku pamit pada Adlina untuk sekedar mencari udara segar di sekitar alun-alun dan memintanya untuk tidak menungguku. Sebuahcafekecil di salah satu ujung jalan yang mengarah ke alun-alun cukup menarik hatiku. Suasana rindang dari sulurmillion heartsmenghadirkan suasana kesejukan desa yang damai membawa kakiku memasukicafeitu. Daun yang kaku dan tebal serta berbentuk hati itu menempel pada rancangan kawat membentuk pagar menggantung di bawah atapcafe. Tanaman Terang Bulan dengan corak warna daun hijau muda yang lembut menyambutku di kiri kanan pintu masukcafe. Sementara di sudut-sudutcafe, dinding dalam maupun luarcafejuga banyak tergantung berbagai jenis tanaman sulur yang tertata sangatapik.Dischidia Gerimenjun
Sebuah suara yang sangat kukenal membuatku dan Adlina melepaskan pelukan kami. Seorang laki-laki yang tidak kalah ganteng dengan Chicco Jerikho telah berdiri di hadapanku. Ia tersenyum memperlihatkan gigi putih dan lesung pipitnya. "Yasser?" pekikku. "Bagaimana kamu tahu kalau aku menginap diresortini?" tanyaku heran. Sementara yang ditanya hanya cengar-cengir. Ia kemudian duduk tanpa menunggu kupersilakan. "Karimunjawa itu sempit,Say. Cari kamu di sini sangat mudah. Tidak usah heran," katanya. Tangannya kemudian melambai, dan tidak berapa lama seorang pramusaji datang mencatat pesanannya. "Siapa lagi, Cha?" tanya Adlina. Matanya membola. Aku meringis. "Oh ya. Kenalkan, Ini Adlina. Sepupu sekaligus sahabat terbaikku." Aku memperkenalkan Adlina pada Yasser, begitu juga sebaliknya. "Ini Yasser, temanku selama kuliah magister di Jogja." "Sekaligus keranjang sampahnya," selanya. Aku sudah
Rony memberitahuku jikaGusThoha sudah menungguku di Gazebo dekat musala. Setelah memastikan kenyamanan Aricha malam ini, aku menemuiGusThoha. GusThoha adalah salah satu teman sekaligus seniorku sewaktunyantridi Kudus. Dulu ia sangat terkenalmbeling.Tapi saat itu aku lebih suka menyebutnyaJadzab. Aku berkeyakinan suatu saat ia pasti akan kembali ke jalan perjuangan yang sudah dirintis kakek buyutnya. Ia masih keturunan salah satu kyai besar di salah satu kabupaten di Jawa Tengah. Kami berpisah sejakGusThoha lulus madrasah aliyah, lalu tiba-tiba datang menemuiku setelah bermimpi mati dan disiksa dalam kubur. Dalam mimpinya, ia bertemu kakeknya yang memintanya datang ke pesantren kami. Sejak saat itu, ia curahkan seluruh hidupnya untuk pesantren kami, dan oleh Abah ia diminta mengelola pesantren yang di Karimunjawa bersamaku. "Assalamu'alaikum,
Rasanya tidak percaya dengan apa yang kulihat. Aricha yang kukenal lugu ternyata fasih bernyanyi. Kurasa tidak hanya itu, dari gaya dan ekspresinya saat menyanyikan lagu-lagu itu terlihat bahwa ia seperti sudah terbiasa. Aku merasa benar-benar sudah tidak mengenalnya. Sepertinya aku pernah melihat wajah lelaki yang menemaninya bernyanyi itu, tapi di mana? Aku memutar kembali memori otakku, berusaha mengingat seraut wajah yang kurasa tidak asing di mataku. Oh ya, aku ingat. Laki-laki itu yang menelfonnya ketika kami di kapal. Apa karena lelaki itu, ia menjadi seperti sekarang ini? Rasa cemburu dan marah seketika bercampur aduk, menyesaki ruang dadaku. Udara menjadi terasa sangat panas. Kuambil ponsel dari saku celanaku. Kupencet nomor Zaenal darilogpanggilan. "Assalamu'alaikum," kata Zaenal dari seberang. "Wa'alaikumussalam. Batalkan kerjasama dengan EO Aricha. Bayarkan komp
PertanyaanGusNadzim benar-benar mengagetkanku. Jantungku terasa berhenti berdetak dalam beberapa detik. Aliran darah ke otakku pun terasa terhenti, sehingga dalam beberapa detik otakku tidak mampu bekerja dengan baik. "Apapun, asal tidak jadi madu istrimu," kataku sekenanya. Ia tersenyum. "Ternyata kamu bukan negosiator yang baik. Masihblindsudah setuju saja," ledeknya. "Lalu apa persyaratannya?" tanyaku tidak sabar. "Hem. Kupikir-pikir dulu." Aku merasa ia mulai mempermainkanku. "Seriuslah,Gus!" kataku mulai jengah. "Santai, tidak perlu marah-marah," katanya sambil menyunggingkan senyum yang benar-benar membuat jantungku memompa lebih cepat. Kulihat Yasser berjalan mendekat ke arah kami. Ia masih asyik dengan percakapannya denganGusFaqih. "Bagaimana, Gus?" desakku kembali. "Nanti kupikir-pikir dulu. Yang penting kamu sudah setuju," ka
Pagi ini aku tidak ada jadwal mengajar dan berniat membersihkan Musala yang ada di sebelah rumah kami, wakaf dari kakek buyutku. Tapi kulihat Bapak sudah duduk termenung di teras Musala dengan tangan kanan yang masih memegang kain pel, sementara ember hitam berada di dekat kaki kanannya. “Kedahuluan lagi deh,” kataku dengan nada kecewa. Bapak menoleh ke arahku karena terusik oleh suaraku. Bapak paling tidak bisa melihat Musala dalam keadaan kotor. Beliau tidak sabar menunggu anak-anak jemaah ngaji yang piket membersihkan Musala di hari Ahad dan hari Jumat saat mereka libur sekolah. Sehingga beliau tak segan untuk menyapu dan mengepel Musala seorang sendiri. “Bapak ada masalah?” tanyaku setelah duduk menjajarinya. “Bapak bingung. Semalam Bapak besuk Mbah Nasuha yang baru pulang dari Rumah Sakit. Akibat jatuh waktu ambil wudu di Musala dulu itu. Sekarang dia harus pakai kursi roda. Semalam dia menangis sedih karena sekarang dia tidak mungkin lagi bisa
Suasana Gubug yang didesain mirip Gazebo ini terasa sangat nyaman. Hawa sejuk, aroma wangi bunga kopi, dan suara khas Tonggeret yang dalam bahasa jawa disebut Garengpung menambah kenikmatan kopi Muria dan pisang tanduk kukus yang masih hangat tersaji. Di perkebunan kopi ini atau lebih luas di daerah Muria dan sekitarnya, hampir sepanjang hari di bulan Maret kita dapat menikmati suguhan kemewahan simfoni indah dari Tonggeret, salah satu jenis serangga anggota sub ordo Cicadomorpha, Ordo Homoptera yang memiliki sekitar tiga ribu spesies di dunia. Nyanyian Tonggeret menemaniku menemui salah satu pengusaha kopi Muria yang pernah direkomendasikan Icha, salah satu teman sekolahnya. Kami melakukan penjajakan kerjasama untuk memenuhi kebutuhan kopi di Resort milikku. Sebenarnya aku sangat ingin mengajaknya ke sini, sekaligus ziarah ke makam sunan Muria. Mungkin sangat menyenangkan berjalan bersama menyusuri satu per satu anak tangga yang d
Aku akhirnya memutuskan menerima tawaran dari yayasan untuk menjadi dosen tetap yayasan. Sudah tiga minggu ini perkuliahan kembali aktif. Manajemen EO sepenuhnya kuserahkan pada Adlina, namun aku tetap menjadi konseptor acara sesuai yang dipesan klien. Setiap sabtu dan ahad serta setiap sore sepulang dari kampus, aku tetap ke kantor EO. Sejak menjadi dosen tetap, kesibukanku di kampus bertambah dengan menjadi pembimbing skripsi mahasiswa, dilibatkan dalam kepanitiaan kegiatan kampus, maupun tugas-tugas yang lain. Meskipun kegiatan kampus dan EO cukup melelahkan, tetapi sangat kunikmati. Inilah cara efektif untuk menjauhkan berbagai kenangan dan pikiranku pada Gus Nadzim. Kenyataan bahwa Gus Nadzim sampai saat ini belum menikah, dan tetap menungguku membuatku memupuk harapan yang semakin kuat. Namun kenyataan pula bahwa Umi tidak menginginkanku, membuatku harus mengubur kembali harapan itu dalam-dalam. Menggunakan waktu yang kumiliki dengan berbagai aktivitas yang men
Perjalanan menuju rumah Mas Nanang terasa sangat lama.Icha yang duduk di kursi penumpang di sebelahku hanya menatap nanar ke jalanan beraspal. Mungkin saja suasana hatinya masih tidak nyaman dengan semua kejadian hari ini. Pagi tadi saat aku hendak menjemput rombongan ke pelabuhan,NingZahira merengek minta ikut. Aku sungguh tak percaya dengan sikap kekanak-kanakannya. Umi yang mendengar rengekan Ning Zahira pun bertitah, maka habislah aku. Agar tidak menimbulkan kegaduhan, terpaksa aku membawanya ikut menjemput rombongan. Padahal,Icha juga menjemput rombongan langsung dari hotel tempatnya menginap. Sempat kurasakan kegalauan hati, ketika kulihat ekspresi datarIcha saat melihat kehadiranku danNingZahira. Aku tidak mau ia salah paham. Maka, aku harus menjelaskan situasinya. Beruntung,Icha memahami dan percaya padaku. Tetapi lagi-lagiNingZahira membuatku pusing. Sejak acara pembukaan sampai acara ku
Tubuhku membeku seketika. Mataku membelalak dan telingaku seolah tak percaya ketika mendengar ucapanGusNadzim. Kurasakan udara di sekitarku berhenti mengalir sehingga terasa panas dan pengap. Aku benar-benar marah karena kata-katanya. "Jangan samakan hati dengan barang elektronik, yang tombolon offbisa dipencet kapan saja semau kita." semburku. "Kamu tidak perlu marah. Anggap saja ini barter kita. Harusnya aku yang lebih dulu marah, karena kamu yang lebih dulu minta aku menerimaNingZahira." Nada suaraGusNadzim tidak kalah tingginya dengan suaraku. "Kalau kamu tidak punya tombolon offdi hatimu, aku juga sama." Tangannya menggebrak meja kayu di hadapanku sampai botol air mineral yang kupesan jatuh menggelinding. Untung saja gelas kopi yang kupesan tidak ikut jatuh. Beberapa pengunjungcafemengarahkan pandangan matanya ke meja kami. Aku hanya menganggukkan kep
Aku merasa pesantren danResortsudah tidak nyaman untukku menyelesaikan proposal yang harus selesai malam ini. Keputusanku sudah bulat. Besok pagi aku kembali ke Kudus. Mengubur semua peristiwa yang terjadi di sini, dan kembali menulis cerita hidup yang baru. Aku kembali keResortmenggunakan jasa mobil rental yang kupesan. Sesampainya diResort, aku segera berkemas. Menunggu azan Magrib untuk salat. Lalu mengurus administrasi untukcek out. Sementara mobil rental kuminta menunggu dan mengantarku kembali ke tujuan selanjutnya. "Pemesanan kamar atas nama bu Aricha masih sampai dua hari lagi. Semua biaya sudah dibayar di muka." kata resepsionis. Pasti kerjaanGusNadzim, pikirku. "Tidak apa-apa, Mbak. Sayacek outsekarang saja." Aku memberikan kunci kamar dan menunggu sebentar. Resepsionis menginformasikan padaroom serviceuntuk mengecek kamarku
Kulihat Umi sedang menenangkanNingZahira yang tengah tersedu. Aku tidak mau ambil pusing, maka langkahku tak terhenti ketika melintasi mereka. "Gus." Suara Umi memanggilku. Terpaksa kuhentikan langkahku, lalu memutar badan sembilan puluh derajat. "Ya, Mi. Ada apa?" tanyaku. "Bilang sama Aricha, jangan suka mengata-ngatai orang." Umi sedikit melotot ke arahku. Aku kembali memutar badanku sampai menghadap ke arah Umi. "Icha mengata-ngataiNingZahira? Apa tidak salah? Setahuku, Icha sedang menyelesaikan proposalnya di ruang tamu pesantren sendirian." Aku sangat mengenal Icha. Dia bukan tipe penyerang. Dia baru akan menyerang ketika benar-benar tidak mungkin bertahan. "Ketemu Icha di mana? Kamu menemuinya diam-diam di ruang tamu?" Aku mendelik padaNingZahira. "Gus, jaga bicaramu.NingZahira ini calon istrimu." Suara Umi meninggi. Dari awal kedatangannya, aku sudah menduga jika dia dipersiapkan
Selepas sore di Ujung Gelam itu, aku mencoba mengabaikan Ning Zahira dan mulai berdamai denganGusNadzim. Kuputuskan untuk menunda kepulanganku hingga monitoring kementerian selesai. Kebetulan perkuliahan baru akan dimulai dua minggu ke depan, dan urusan EO semua bisa diatasi pegawaiku di kantor dengan komando Adlina. Hari ini, tim pendampingan koperasi dan KUB mendatangi satu per satu anggota KUB. Melihat proses produksi, pengemasan, data sirkulasi, data outlet, dan pembukuan yang mereka buat. Semua yang tersapu oleh mataku sudah kutuangkan dalam buku catatan. Mbak Siti, Mbak Sri, dan ibu-ibu yang lain sangat senang ketika kami sampai di rumah mereka. Ada beberapa rumah panggung khas suku Bugis yang tersebar di antara rumah-rumah khas Jawa. Tiap rumah yang kita singgahi memberikan suguhan, sampai perut kami terasa penuh. Mbak Sri memenuhi janjinya, menyuguhiku tongkol bakar sambal korek lombok setan siram klentik. Perutku sudah sangat pen
Anganku melompat ke masa lima tahun yang lalu "Menikahlah denganku,Ning!" kata Gus Nadzim tiba-tiba. Mataku membelalak. Ada getar aneh menyusup ke dada, menjalar ke syaraf otak dan menimbulkam rasa bahagia. Aku tersenyum tipis dari tempatku duduk. Hatiku terasa sangat ringan. Udara yang kuhirup terasa hangat di paru-paruku, meskipun hawa dingin di sekitar Makam Syaikh Hasan Munadi Nyatnyono menembus kain parasit jaketku dan menusuk sampai ke tulang. Sementara pemandangan kerlap kerlip lampu perkampungan penduduk terlihat seperti hamparan permadani hitam bertabur berlian. "Kuliahku belum selesai,Gus. Kamu tahu bagaimana perjuanganku bisa sampai pada tahap ini. Meskipun aku sangat mencintaimu, aku tetap lebih mencintai diriku sendiri." kataku terkekeh. Ia memasang muka cemberut. "Bukan sekarang,Ning. Aku akan menunggumu selesai wisuda. Aku juga tidak mau punya istritulalit." godanya. GusNadzim