Rofiq dan Nisa sudah menunggu kedatangan kami di pintu resort. Sebuah kursi roda sudah dipersiapkan untukku. Aku memprotes Gus Nadzim melalui tatapan mataku.
"Sudah tidak usah protes. Ini standar pelayanan resort kami. Kursi roda ini memang dipersiapkan untuk tamu-tamu berkebutuhan khusus."
"Tapi aku tidak berkebutuhan khusus," protesku.
"Biasanya, iya. Saat ini, kamu berkebutuhan khusus. Sudah jangan rewel!" katanya lembut namun tegas.
Aku akhirnya mengalah. Duduk di kursi roda seperti orang tak berdaya. Sebenarnya ada kebahagiaan tersendiri karena Gus Nadzim yang mendorong kursi rodaku menuju ke kamar tempatku menginap. Zaenal, Arfan, Rofiq, dan Nisa berjalan mengikutinya dari belakang.
Sesampainya di depan pintu kamar, seorang pelayan resort menemui Gus Nadzim. Beberapa saat mereka berbisik. Sebentar kemudian pelayan itu kembali undur diri.
"Nisa
"Adiba," katanya sambil menjabat tanganku. "Aricha." Ning Adiba sedikit kaget mendengar aku menyebutkan namaku. "NingIcha?" tanyanya. Aku mengangguk lesu. "KokNingIcha lebih cantik dari yang duluGus eceritakan?" Kaget mendengar ucapanNingAdiba, spontan aku mendongak ke arahGusNadzim, ia tersenyum sambil memainkan anak rambutGusFatih. "Kemarin waktu ketemu, aku juga kaget. Dulu, dia aktifis yang sering lupa mandi dan tidak pernah sempat pakai bedak," kataGusNadzim. Mereka berdua tersenyum. Merasa jadi olok-olokan mereka berdua, maka aku pun pamit undur diri. "Maaf, saya ke kamar dulu," pamitku. Adlina yang tidak memahami situasinya terlihat bingung. "Biar Adlina saja yang mengantarku," kataku saatGusNadzim bersiap mendorong kursi rodaku. "Nisa tidak perlu menemaniku. Adlina akan tidur di kamarku," lanjutku.
GusNadzim,NingAdiba, danGusFatih sampai di area parkir mobil setelah lebih dari seperempat jam kami menunggu.NingAdiba terlihat sangat cantik dengan baju tunik panjang warna coklat kopi dengan celana bahan warna hitam serta kerudung senada warna baju. SementaraGusNadzim juga terlihat sangat tampan dengankosekylinhitam danmansetpendek warna hitam dibalut cardigan kesayangannya. Benar-benar pasangan yang serasi, batinku. NingAdiba selalu menyapaku ramah. Tidak ada ekspresi kebencian ataupun kecemburuan di raut mukanya. Padahal jika menilik dari kata-katanya saat pertama kali bertemu,GusNadzim sudah banyak menceritakan tentang diriku padanya. Sikap manisNingAdiba justru semakin menyesakkan dada. Aku membuang napas cukup keras untuk sekedar melonggarkan himpitan di rongga dada. Adlina menoleh padaku, matanya penuh selidik. Aku terse
SaatGusNadzim masuk ruang praktek Dokter Guntur untuk menemaniNingAdiba, aku pamit pada Adlina untuk sekedar mencari udara segar di sekitar alun-alun dan memintanya untuk tidak menungguku. Sebuahcafekecil di salah satu ujung jalan yang mengarah ke alun-alun cukup menarik hatiku. Suasana rindang dari sulurmillion heartsmenghadirkan suasana kesejukan desa yang damai membawa kakiku memasukicafeitu. Daun yang kaku dan tebal serta berbentuk hati itu menempel pada rancangan kawat membentuk pagar menggantung di bawah atapcafe. Tanaman Terang Bulan dengan corak warna daun hijau muda yang lembut menyambutku di kiri kanan pintu masukcafe. Sementara di sudut-sudutcafe, dinding dalam maupun luarcafejuga banyak tergantung berbagai jenis tanaman sulur yang tertata sangatapik.Dischidia Gerimenjun
Sebuah suara yang sangat kukenal membuatku dan Adlina melepaskan pelukan kami. Seorang laki-laki yang tidak kalah ganteng dengan Chicco Jerikho telah berdiri di hadapanku. Ia tersenyum memperlihatkan gigi putih dan lesung pipitnya. "Yasser?" pekikku. "Bagaimana kamu tahu kalau aku menginap diresortini?" tanyaku heran. Sementara yang ditanya hanya cengar-cengir. Ia kemudian duduk tanpa menunggu kupersilakan. "Karimunjawa itu sempit,Say. Cari kamu di sini sangat mudah. Tidak usah heran," katanya. Tangannya kemudian melambai, dan tidak berapa lama seorang pramusaji datang mencatat pesanannya. "Siapa lagi, Cha?" tanya Adlina. Matanya membola. Aku meringis. "Oh ya. Kenalkan, Ini Adlina. Sepupu sekaligus sahabat terbaikku." Aku memperkenalkan Adlina pada Yasser, begitu juga sebaliknya. "Ini Yasser, temanku selama kuliah magister di Jogja." "Sekaligus keranjang sampahnya," selanya. Aku sudah
Rony memberitahuku jikaGusThoha sudah menungguku di Gazebo dekat musala. Setelah memastikan kenyamanan Aricha malam ini, aku menemuiGusThoha. GusThoha adalah salah satu teman sekaligus seniorku sewaktunyantridi Kudus. Dulu ia sangat terkenalmbeling.Tapi saat itu aku lebih suka menyebutnyaJadzab. Aku berkeyakinan suatu saat ia pasti akan kembali ke jalan perjuangan yang sudah dirintis kakek buyutnya. Ia masih keturunan salah satu kyai besar di salah satu kabupaten di Jawa Tengah. Kami berpisah sejakGusThoha lulus madrasah aliyah, lalu tiba-tiba datang menemuiku setelah bermimpi mati dan disiksa dalam kubur. Dalam mimpinya, ia bertemu kakeknya yang memintanya datang ke pesantren kami. Sejak saat itu, ia curahkan seluruh hidupnya untuk pesantren kami, dan oleh Abah ia diminta mengelola pesantren yang di Karimunjawa bersamaku. "Assalamu'alaikum,
Rasanya tidak percaya dengan apa yang kulihat. Aricha yang kukenal lugu ternyata fasih bernyanyi. Kurasa tidak hanya itu, dari gaya dan ekspresinya saat menyanyikan lagu-lagu itu terlihat bahwa ia seperti sudah terbiasa. Aku merasa benar-benar sudah tidak mengenalnya. Sepertinya aku pernah melihat wajah lelaki yang menemaninya bernyanyi itu, tapi di mana? Aku memutar kembali memori otakku, berusaha mengingat seraut wajah yang kurasa tidak asing di mataku. Oh ya, aku ingat. Laki-laki itu yang menelfonnya ketika kami di kapal. Apa karena lelaki itu, ia menjadi seperti sekarang ini? Rasa cemburu dan marah seketika bercampur aduk, menyesaki ruang dadaku. Udara menjadi terasa sangat panas. Kuambil ponsel dari saku celanaku. Kupencet nomor Zaenal darilogpanggilan. "Assalamu'alaikum," kata Zaenal dari seberang. "Wa'alaikumussalam. Batalkan kerjasama dengan EO Aricha. Bayarkan komp
PertanyaanGusNadzim benar-benar mengagetkanku. Jantungku terasa berhenti berdetak dalam beberapa detik. Aliran darah ke otakku pun terasa terhenti, sehingga dalam beberapa detik otakku tidak mampu bekerja dengan baik. "Apapun, asal tidak jadi madu istrimu," kataku sekenanya. Ia tersenyum. "Ternyata kamu bukan negosiator yang baik. Masihblindsudah setuju saja," ledeknya. "Lalu apa persyaratannya?" tanyaku tidak sabar. "Hem. Kupikir-pikir dulu." Aku merasa ia mulai mempermainkanku. "Seriuslah,Gus!" kataku mulai jengah. "Santai, tidak perlu marah-marah," katanya sambil menyunggingkan senyum yang benar-benar membuat jantungku memompa lebih cepat. Kulihat Yasser berjalan mendekat ke arah kami. Ia masih asyik dengan percakapannya denganGusFaqih. "Bagaimana, Gus?" desakku kembali. "Nanti kupikir-pikir dulu. Yang penting kamu sudah setuju," ka
Setelah berpamitan denganNingAdiba danGusFaqih, kami menuju ke arah Pak Gatot yang sudah menunggu kedatangan kami. "Langsung ke kampus, ya Pak!" ucapku. Pak Gatot mengiyakan dengan anggukan. Ada kebingungan tergambar di wajahnya. Aku memahaminya. Seminggu yang laluGusNadzim kuperkenalkan padanya, dan hari ini Yasser. "Oh ya. Kenalkan, ini Gus Yasser. Dia teman kuliahku di Jogja." Kedua lelaki itu pun saling berjabat tangan. "Selama aku rapat nanti, tolong Pak Gatot temaniGusYasser jalan-jalan." Yasser langsung melotot yang kusambut dengan senyuman. "Siap, Mbak." Selesai rapat perwalian, aku dan Yasser ziarah ke makam Sunan Kudus dilanjutkan ke makam Kyai Haji Arwani Amin, kyai Kudus yang sangat terkenal alim dantawadu'. Santri tahfidznya tersebar di seantero jagat Nusantara. Bahkan kitabQiro'ah Sab'ahkarangan beliau sangat terkenal di dunia. Selesai zia
Pagi ini aku tidak ada jadwal mengajar dan berniat membersihkan Musala yang ada di sebelah rumah kami, wakaf dari kakek buyutku. Tapi kulihat Bapak sudah duduk termenung di teras Musala dengan tangan kanan yang masih memegang kain pel, sementara ember hitam berada di dekat kaki kanannya. “Kedahuluan lagi deh,” kataku dengan nada kecewa. Bapak menoleh ke arahku karena terusik oleh suaraku. Bapak paling tidak bisa melihat Musala dalam keadaan kotor. Beliau tidak sabar menunggu anak-anak jemaah ngaji yang piket membersihkan Musala di hari Ahad dan hari Jumat saat mereka libur sekolah. Sehingga beliau tak segan untuk menyapu dan mengepel Musala seorang sendiri. “Bapak ada masalah?” tanyaku setelah duduk menjajarinya. “Bapak bingung. Semalam Bapak besuk Mbah Nasuha yang baru pulang dari Rumah Sakit. Akibat jatuh waktu ambil wudu di Musala dulu itu. Sekarang dia harus pakai kursi roda. Semalam dia menangis sedih karena sekarang dia tidak mungkin lagi bisa
Suasana Gubug yang didesain mirip Gazebo ini terasa sangat nyaman. Hawa sejuk, aroma wangi bunga kopi, dan suara khas Tonggeret yang dalam bahasa jawa disebut Garengpung menambah kenikmatan kopi Muria dan pisang tanduk kukus yang masih hangat tersaji. Di perkebunan kopi ini atau lebih luas di daerah Muria dan sekitarnya, hampir sepanjang hari di bulan Maret kita dapat menikmati suguhan kemewahan simfoni indah dari Tonggeret, salah satu jenis serangga anggota sub ordo Cicadomorpha, Ordo Homoptera yang memiliki sekitar tiga ribu spesies di dunia. Nyanyian Tonggeret menemaniku menemui salah satu pengusaha kopi Muria yang pernah direkomendasikan Icha, salah satu teman sekolahnya. Kami melakukan penjajakan kerjasama untuk memenuhi kebutuhan kopi di Resort milikku. Sebenarnya aku sangat ingin mengajaknya ke sini, sekaligus ziarah ke makam sunan Muria. Mungkin sangat menyenangkan berjalan bersama menyusuri satu per satu anak tangga yang d
Aku akhirnya memutuskan menerima tawaran dari yayasan untuk menjadi dosen tetap yayasan. Sudah tiga minggu ini perkuliahan kembali aktif. Manajemen EO sepenuhnya kuserahkan pada Adlina, namun aku tetap menjadi konseptor acara sesuai yang dipesan klien. Setiap sabtu dan ahad serta setiap sore sepulang dari kampus, aku tetap ke kantor EO. Sejak menjadi dosen tetap, kesibukanku di kampus bertambah dengan menjadi pembimbing skripsi mahasiswa, dilibatkan dalam kepanitiaan kegiatan kampus, maupun tugas-tugas yang lain. Meskipun kegiatan kampus dan EO cukup melelahkan, tetapi sangat kunikmati. Inilah cara efektif untuk menjauhkan berbagai kenangan dan pikiranku pada Gus Nadzim. Kenyataan bahwa Gus Nadzim sampai saat ini belum menikah, dan tetap menungguku membuatku memupuk harapan yang semakin kuat. Namun kenyataan pula bahwa Umi tidak menginginkanku, membuatku harus mengubur kembali harapan itu dalam-dalam. Menggunakan waktu yang kumiliki dengan berbagai aktivitas yang men
Perjalanan menuju rumah Mas Nanang terasa sangat lama.Icha yang duduk di kursi penumpang di sebelahku hanya menatap nanar ke jalanan beraspal. Mungkin saja suasana hatinya masih tidak nyaman dengan semua kejadian hari ini. Pagi tadi saat aku hendak menjemput rombongan ke pelabuhan,NingZahira merengek minta ikut. Aku sungguh tak percaya dengan sikap kekanak-kanakannya. Umi yang mendengar rengekan Ning Zahira pun bertitah, maka habislah aku. Agar tidak menimbulkan kegaduhan, terpaksa aku membawanya ikut menjemput rombongan. Padahal,Icha juga menjemput rombongan langsung dari hotel tempatnya menginap. Sempat kurasakan kegalauan hati, ketika kulihat ekspresi datarIcha saat melihat kehadiranku danNingZahira. Aku tidak mau ia salah paham. Maka, aku harus menjelaskan situasinya. Beruntung,Icha memahami dan percaya padaku. Tetapi lagi-lagiNingZahira membuatku pusing. Sejak acara pembukaan sampai acara ku
Tubuhku membeku seketika. Mataku membelalak dan telingaku seolah tak percaya ketika mendengar ucapanGusNadzim. Kurasakan udara di sekitarku berhenti mengalir sehingga terasa panas dan pengap. Aku benar-benar marah karena kata-katanya. "Jangan samakan hati dengan barang elektronik, yang tombolon offbisa dipencet kapan saja semau kita." semburku. "Kamu tidak perlu marah. Anggap saja ini barter kita. Harusnya aku yang lebih dulu marah, karena kamu yang lebih dulu minta aku menerimaNingZahira." Nada suaraGusNadzim tidak kalah tingginya dengan suaraku. "Kalau kamu tidak punya tombolon offdi hatimu, aku juga sama." Tangannya menggebrak meja kayu di hadapanku sampai botol air mineral yang kupesan jatuh menggelinding. Untung saja gelas kopi yang kupesan tidak ikut jatuh. Beberapa pengunjungcafemengarahkan pandangan matanya ke meja kami. Aku hanya menganggukkan kep
Aku merasa pesantren danResortsudah tidak nyaman untukku menyelesaikan proposal yang harus selesai malam ini. Keputusanku sudah bulat. Besok pagi aku kembali ke Kudus. Mengubur semua peristiwa yang terjadi di sini, dan kembali menulis cerita hidup yang baru. Aku kembali keResortmenggunakan jasa mobil rental yang kupesan. Sesampainya diResort, aku segera berkemas. Menunggu azan Magrib untuk salat. Lalu mengurus administrasi untukcek out. Sementara mobil rental kuminta menunggu dan mengantarku kembali ke tujuan selanjutnya. "Pemesanan kamar atas nama bu Aricha masih sampai dua hari lagi. Semua biaya sudah dibayar di muka." kata resepsionis. Pasti kerjaanGusNadzim, pikirku. "Tidak apa-apa, Mbak. Sayacek outsekarang saja." Aku memberikan kunci kamar dan menunggu sebentar. Resepsionis menginformasikan padaroom serviceuntuk mengecek kamarku
Kulihat Umi sedang menenangkanNingZahira yang tengah tersedu. Aku tidak mau ambil pusing, maka langkahku tak terhenti ketika melintasi mereka. "Gus." Suara Umi memanggilku. Terpaksa kuhentikan langkahku, lalu memutar badan sembilan puluh derajat. "Ya, Mi. Ada apa?" tanyaku. "Bilang sama Aricha, jangan suka mengata-ngatai orang." Umi sedikit melotot ke arahku. Aku kembali memutar badanku sampai menghadap ke arah Umi. "Icha mengata-ngataiNingZahira? Apa tidak salah? Setahuku, Icha sedang menyelesaikan proposalnya di ruang tamu pesantren sendirian." Aku sangat mengenal Icha. Dia bukan tipe penyerang. Dia baru akan menyerang ketika benar-benar tidak mungkin bertahan. "Ketemu Icha di mana? Kamu menemuinya diam-diam di ruang tamu?" Aku mendelik padaNingZahira. "Gus, jaga bicaramu.NingZahira ini calon istrimu." Suara Umi meninggi. Dari awal kedatangannya, aku sudah menduga jika dia dipersiapkan
Selepas sore di Ujung Gelam itu, aku mencoba mengabaikan Ning Zahira dan mulai berdamai denganGusNadzim. Kuputuskan untuk menunda kepulanganku hingga monitoring kementerian selesai. Kebetulan perkuliahan baru akan dimulai dua minggu ke depan, dan urusan EO semua bisa diatasi pegawaiku di kantor dengan komando Adlina. Hari ini, tim pendampingan koperasi dan KUB mendatangi satu per satu anggota KUB. Melihat proses produksi, pengemasan, data sirkulasi, data outlet, dan pembukuan yang mereka buat. Semua yang tersapu oleh mataku sudah kutuangkan dalam buku catatan. Mbak Siti, Mbak Sri, dan ibu-ibu yang lain sangat senang ketika kami sampai di rumah mereka. Ada beberapa rumah panggung khas suku Bugis yang tersebar di antara rumah-rumah khas Jawa. Tiap rumah yang kita singgahi memberikan suguhan, sampai perut kami terasa penuh. Mbak Sri memenuhi janjinya, menyuguhiku tongkol bakar sambal korek lombok setan siram klentik. Perutku sudah sangat pen
Anganku melompat ke masa lima tahun yang lalu "Menikahlah denganku,Ning!" kata Gus Nadzim tiba-tiba. Mataku membelalak. Ada getar aneh menyusup ke dada, menjalar ke syaraf otak dan menimbulkam rasa bahagia. Aku tersenyum tipis dari tempatku duduk. Hatiku terasa sangat ringan. Udara yang kuhirup terasa hangat di paru-paruku, meskipun hawa dingin di sekitar Makam Syaikh Hasan Munadi Nyatnyono menembus kain parasit jaketku dan menusuk sampai ke tulang. Sementara pemandangan kerlap kerlip lampu perkampungan penduduk terlihat seperti hamparan permadani hitam bertabur berlian. "Kuliahku belum selesai,Gus. Kamu tahu bagaimana perjuanganku bisa sampai pada tahap ini. Meskipun aku sangat mencintaimu, aku tetap lebih mencintai diriku sendiri." kataku terkekeh. Ia memasang muka cemberut. "Bukan sekarang,Ning. Aku akan menunggumu selesai wisuda. Aku juga tidak mau punya istritulalit." godanya. GusNadzim