Suara azan subuh terdengar sangat dekat di kamarku. Mataku masih lengket, dan kepalaku terasa berat. Semalam tidurku tak nyenyak. Bayangan laki-laki yang duduk di gazebo bersama beberapa bule dan dua lelaki berblangkon cukup mengusikku.
Kami baru saja memasuki resort pukul sepuluh malam setelah ziarah ke makam Sayyid Abdullah bin Abdullatif dan Syaikh Amir Hasan Sunan Nyamplungan, saat tawa renyah dari gazebo paling ujung dekat bibir pantai mencuri perhatianku. Suara seraknya yang khas mengingatkanku pada seseorang. Pandangan mataku menubruk sebuah siluet. Bentuk dan gestur tubuh laki-laki yang tak kulihat jelas wajahnya karena jarak kami yang cukup jauh serta terhalang oleh gelapnya malam itu kembali mengingatkanku pada Gus Nadzim.
Aku merutuki diri sendiri. Segala sesuatu yang kutemui selama di Karimunjawa selalu terhubung padanya. Sebait lirik lagu Judika tiba-tiba mengetuk alam bawah sadarku.
Cinta karena cinta
Tak perlu kau tanyakanTanpa alasan cinta datang dan bertahtaCinta karena cintaJangan tanyakan mengapaTak bisa jelaskan karena hati ini telah bicaraAku bangkit dari tempat tidur dengan malas, namun tiba-tiba menjadi bersemangat saat sayup-sayup kudengar suara beberapa orang membaca Asmaul Husna. Resort ini cukup berjarak dari perkampungan sehingga suara-suara itu tidak mungkin berasal dari perkampungan warga. Rasa penasaranku muncul.
Selesai mandi, salat, dan wirid rutinan, aku bergegas keluar kamar untuk mencari sumber suara. Namun suara-suara itu sudah tak terdengar lagi.
Seorang petugas hotel jalan bergegas melewati depan kamarku, darinya kudapatkan informasi bahwa suara pembacaan Asmaul Husna berasal dari musala resort yang berjarak sekitar lima puluh meter dari kamarku menginap.
"Karyawan di sini jama'ah lima waktu secara bergiliran, supaya tidak mengganggu pelayanan terhadap tamu-tamu resort. Setiap ba'da Subuh kami membaca Istighotsah dan Asmaul Husna yang dipimpin langsung oleh Bapak," katanya. Sedetik kemudian ia berlalu.
Kulihat seorang laki-laki dengan pakaian casual keluar dari musala. Laki-laki itu memandang ke arahku cukup lama, namun jarak yang cukup jauh dan gelapnya fajar menyebabkan jatuhnya bayangan pada bintik kuning mataku tak mampu diterjemahkan otakku. Gestur tubuhnya, kembali mengingatkanku pada satu nama, Gus
Nadzim.***
Aku agak tergopoh masuk ke ruang rapat, karena terlambat. Nikmatnya Pindang Serani Tongkol saat sarapan pagi ini membuatku lupa kalau makanan asam dan pedas tidak boleh masuk perutku. Alhasil, penyakit lambungku kambuh.
Rapat belum dimulai saat aku masuk ruangan. Arfan mempersilakanku duduk di kursi deret depan menghadap peserta rapat. Ada empat kursi dengan satu meja panjang. Tiga kursi telah diduduki Adlina, Zaenal, dan jantungku seakan berhenti berdetak ketika mataku bersirobok dengan seorang lelaki, Gus Nadzim.
Ya Allah. Skenario hidup seperti apalagi yang telah tertuliskan untukku? Rintihku dalam hati.
Arfan mengenalkanku pada laki-laki yang di masa lalu sangat kukenal, sekaligus pemilik resort yang akan kami pakai untuk penyelenggaraan resepsi pernikahan klien-ku.
"Perkenalkan, Mbak. Ini Pak Nadzim."
Mataku berkunang-kunang. Semua rasa berdesakan di dada. Aku menarik napas sangat dalam, sangat pelan supaya perubahan ekspresiku tak sempat ditangkap siapapun. Kupejamkan mata cukup lama untuk mengumpulkan serpihan-serpihan kekuatan. Kusambut uluran tangan kekar itu.
"Aricha," kataku dengan senyum yang kupaksakan. Menahan bulir bening supaya tak jatuh dari kelopak mataku.
Gus Nadzim tersenyum manis. Sebuah senyuman yang tak pernah kabur dari ingatanku. Kenangan-kenangan bersama Gus Nadzim yang sudah kukubur di bawah alam sadarku satu per satu mencuat.
Adlina membuka acara. Mengawali rapat dengan bacaan Surah Fatihah. Memperkenalkan seluruh tim, baik yang berasal dari EO kami maupun tim dari Karimunjawa. Menjelaskan job description masing-masing bagian, dan tanya jawab. Riuh rendah suara mereka tak lagi terdengar di telingaku. Aku hanyut dalam lamunanku sendiri. Pada lima tahun yang lalu.
Flashback on
"Aku ingin konsep pernikahan outdoor di pinggir pantai sambil menyaksikan senja bersama tamu-tamu," kataku di rumah panggung tempat kami homestay sambil memandang ke arah pantai.
Gus Nadzim hanya tersenyum. Aku kembali nyerocos.
"Nanti kita gelar karpet merah dari rumah panggung ini sampai pantai sana. Pada saat acara resepsi akan dimulai, kita berjalan dari sini sampai tempat resepsi dengan diiringi Salawat Badar. Biar orang tua kita berjalan di depan, sebagai simbol kita mengikuti jejak beliau membangun rumah tangga sampai tua. Setelah sampai pelaminan, kita sungkeman. Minta doa restu dan mengucapkan terima kasih karena sudah mendidik, merawat, dan membesarkan kita. Kemudian pembacaan maulid diiringi Terbang Papat. Aku tidak mempermasalahkan kita pakai maulid 'Iqd al-Jawahir atau Simtutduror."
Gus Nadzim terbahak. Seperti biasa mengacak acak jilbabku.
Flashback off
Telapak tangan Adlina menepuk-nepuk bahuku. Aku sedikit berjingkat karena kaget. Mata Adlina sedikit melotot, mulutnya memberi tanda saatnya aku yang berbicara.
"Baiklah. Kita cek persiapan masing-masing bagian. Aku rasa komunikasi yang dibangun sebelumnya antara tim kami dengan tim di sini sudah cukup intens." Ada getaran dalam suaraku saat aku menganggukkan kepala pada Gus Nadzim sebagai bentuk laporan yang sudah dikerjakan tim selama ini.
"Bagian panggung dan dekorasi, Dika."
"Siap. Denah tata lokasi dan panggung sudah kami serahkan Mbak Una," kata Dika.
"Bagian make up dan bridal, Cacik dan Fitri."
"Make up dan seluruh pakaian pengantin beserta seragam keluarga sudah siap. Semua ditangani tim kita," kata Cacik, sementara Fitri mengangguk angguk.
"Bagian catering, Mbak Umroh."
"Catering secara keseluruhan ditangani pihak resort dengan melibatkan usaha catering rumahan yang ada di Karimunjawa. Secara teknis, pihak resort yang bertanggungjawab. Sampai saat ini, Insya Allah semua clear."
"Oke. Dokumentasi, Ima silakan laporannya."
"Dokumentasi meliputi Foto, Video Shoot, dan drone sudah siap."
"Sip. Bu Umma minta hiburannya diganti Gambusan, Zaki tolong bisa mengkondisikan."
"Faaliq n Friend's menguasai semua genre musik. Jadi tidak masalah jika konsepnya kita ubah jadi lagu-lagu gambus," kata Zaki menjelaskan.
"Oke."
"Untuk perjalanan wisata para tamu selama tiga hari di sini, tolong Mas Rofiq nanti menyerahkan rundown acaranya kepada kami."
"Siap." Rofiq menjawab dengan penuh antusias.
"Konsep acara inti mulai pembukaan, qiro', salawat, sambutan pihak pengantin laki-laki, sambutan pihak pengantin perempuan, Ular-ular Nganten atau mauidloh hasanah, dan do'a. Semua petugas sudah dihubungi?" Belum selesai ucapanku, tiba-tiba gus Nadzim menyela.
"Mohon maaf sedikit menyela. Konsep acara inti seperti itu sangat biasa. Kita buat yang sedikit berbeda."
"Kita hamparkan karpet merah mulai dari pintu Joglo ke pelaminan. Pengantin berjalan dari Joglo ke pelaminan dengan diiringi salawat Badar. Iring-iringannya bapak dari kedua mempelai berjalan paling depan, diikuti ibu, lalu kedua pengantin menuju pelaminan. Dilanjutkan Sungkeman. Lalu pembacaan Maulid 'Iqd al-Jawahir atau Simtutduror, baru acara inti."
Mendengar Gus Nadzim menyampaikan konsep pernikahan yang dulu pernah menjadi impianku membuat dadaku bergemuruh, sesak, dan hampir tak bisa bernapas. Ulu hatiku terasa sangat nyeri, sakit, dan perih. Serasa ahli tenung mengirimkan ribuan jarum beracun ke hati dan jantungku. Amarahku memuncak.
"Maaf pak. Acara kita tinggal dua minggu lagi. Semua persiapan sudah dilakukan. Mohon Anda jangan mengacaukan acara. Silakan konsep itu Anda pakai untuk pernikahan Anda atau anak Anda kelak." Nada suaraku meninggi dan bergetar. Aku hampir menangis.
"Apa susahnya kita ubah, toh masih cukup waktu. Dua minggu cukup untuk persiapan kita," kejarnya.
"Cukup!" bentakku sambil mengambil ancang-ancang untuk berdiri. Aku tak tahu setan mana yang telah merasukiku.
Ruangan menjadi hening. Semua timku memandangiku dengan mata bertanya-tanya, tak percaya tiba-tiba aku semarah itu. Aku meninggalkan ruangan dengan penuh amarah.
Aku marah pada diriku sendiri karena membayangkan hari-hariku ke depan selama di sini akan sangat berat. Ia begitu dekat dan sangat nyata, namun aku tak mampu meraihnya.
***
Aku dan Adlina tiduran di kursi malas yang berada di bibir pantai. Memandangi rembulan yang sedang bagus-bagusnya. Mendengarkan riuh rendah deburan ombak. Suara gitar Zaki dan lagu-lagu yang dinyanyikan oleh teman-temanku disisi pantai yang lain menambah sahdu suasana. Aku dan Adlina saling diam. Seperti biasa ketika aku sedang kalut, dia cukup duduk menemaniku. Sesekali mengusap punggungku, mengelus tanganku, atau menggenggam tanganku cukup untuk memberiku kekuatan.
Adlina adalah sepupuku. Kami tumbuh bersama. Kuliah di universitas yang sama. Bedanya, aku tinggal di pesantren sedang dia tinggal di kos. Aku aktif di kegiatan intra kampus maupun ekstra kampus, dia menjadi mahasiswa baik-baik yang hidupnya didedikasikan hanya untuk belajar. Dia tidak mengenal Gus Nadzim meskipun Adlina sangat dekat denganku.
Adlina mengambil ponselnya yang bergetar di meja yang berada di antara kursi kami.
"Contoh souvenir dibawa ke sini. Aku temui dulu orangnya. Kamu baik-baik saja di sini, jangan nyebur ke laut," katanya sedikit menggodaku. Aku tersenyum.
Kupejamkan mata, menikmati deburan ombak yang menenangkan. Mengisi penuh rongga paru-paruku dengan oksigen yang dibawa oleh angin malam pantai. Aku membuka mata, namun pandanganku pada bulan terhalang seraut wajah.
Aku kaget bukan kepalang. Aku beringsut dari tidurku, kemudian duduk bersila. Sesosok lelaki yang selama ini mengisi seluruh ruang hatiku tanpa tersisa telah berdiri di hadapanku. Ia sedikitpun tidak berubah. Tatapan matanya tetap tajam dan sejuk. Kumis dan jambangnya dicukur habis. Fashionable dan wangi.
"Boleh aku duduk?" tanyanya. Tanpa menunggu jawabanku, dia sudah duduk di kursi malas yang ditinggalkan Adlina.
"Hai, apa kabar?" katanya memulai memecah kesunyian diantara kami.
"Alhamdulillah, baik," kataku sambil melemparkan senyum yang kurasa kaku. Kembali hening.
"Maafkan sikapku tadi," kataku. Ia mengangguk dan tersenyum. Tenggorokanku tiba-tiba terasa kering.
"Aku bahagia kamu masih mengingat impian pernikahan kita." Matanya tajam memandang ke arahku. Aku salah tingkah dan kikuk.
"Awalnya aku tak percaya kalau itu kamu. Tapi setelah kamu marah tadi, aku yakin kalau kamu Aricha-ku."
Aricha-ku? ya Allah, jangan lagi ia mengucapkan itu di hadapanku.
Aku menarik napas. Sudut mataku sudah mulai mengembun.
"Kamu tidak mengajar, Ning?" katanya ringan.
Lagi-lagi sebuah batu besar seakan menghimpit paru-paruku. Ning adalah panggilan kesayangannya untukku waktu itu. Aku dulu selalu memprotesnya, karena aku bukan keturunan kyai besar yang pantas dipanggil Ning. Meskipun bapak di kampung hampir tiap malam biasa mengisi pengajian rutin di musala dan masjid.
Waktu itu, ia sering bilang, "Kita tak mungkin bisa meminta dan memilih dilahirkan dari rahimnya siapa. Ning atau Gus bukan hak mutlak untuk anak-anak kyai. Panggilan itu pantas disandangkan pada siapa saja yang tekun beribadah, zuhud, memiliki ilmu agama, mengabdikan hidupnya untuk kemaslahatan umat, dan mengabdikan seluruh ilmunya untuk Allah, niat yang benar dalam berilmu dan beramal." Alasan itulah yang membuatku mau saja dipanggil Ning olehnya.
"Jangan panggil aku Ning, namaku Aricha," kataku tajam. Karena label Ning atau bukan Ning itulah yang telah menjungkir balikkan hidup dan cintaku.
"Kenapa kamu tidak mengajar," tanyanya mengulang.
"Ada seseorang yang pernah bilang padaku, mengajar tak selamanya di depan kelas. Belajar tak selamanya di bawah atap sekolah. Sekolah bisa saja tanpa dinding, atau tanpa atap," kataku.
Matanya berbinar mendengar jawabanku.
"Terimakasih. Kamu masih mengingat semuanya dengan sangat baik."
Kali ini aku memandangnya dengan tajam. Ingin kusampaikan sebait puisi padanya, tapi lidahku kelu.
Tuhan..
Semua ingatan tentangnyaTersusun rapi dalam lobus hatikuMenghujam kuat tak tergoyahkanAku ingin membakar singgasana hatikuAgar ia tak lagi bertahta di sanaPonselku bergetar. Panggilan masuk dari ibu.
"Assalamu'alaikum." Setelah menjawab salamku, Ibu dengan suara tenang mengabarkan jika Ave sedang dirawat di rumah sakit.
"Averroes masuk rumah sakit? Muntaber? Njih Bu. Besok Icha sebelum ketemu bu Umma ke rumah sakit dulu. Mbak Tik malam ini jangan boleh pulang, suruh menemani Salsabila. Terimakasih bu. Assalamu'alaikum."
"Siapa?" Tanya Gus Nadzim cepat.
"Anakku masuk rumah sakit."
"Anakmu?" tanyanya. Dia berusaha menutupi rasa kagetnya, tapi ekspresi itu sudah kutangkap lebih dulu.
Aku mengangguk. Gus Nadzim menarik napas panjang.
"Sudah malam, istirahatlah. Besok kapal berangkat jam sembilan dari sini. Jangan sampai terlambat, karena Bu Umma sudah menunggu kita," katanya mengingatkanku.
Sedetik kemudian dia pamit kembali ke resort.
Aku kembali memejamkan mata. Berusaha mengurangi beban menanggung rasa jika esok menempuh perjalanan bersama. Aku bergidik membayangkannya. Kali ini air mataku tak mampu kutahan.
***
Aku membaca jadwal acaraku hari ini diwhiteboardyang menggantung di samping pintu ruang kantor. Pagi sampai siang acaraselapanandi pesantren, dilanjutkan pertemuan wali santri. Pukul tiga sore memberi materiWorkshop Packagingproduk UMKM kepada ibu-ibu di pulau Parang. Habis Maghrib rapat bersama EO persiapan resepsi pernikahan. Zaenal kuminta menjadwal ulang rapat dengan EO melalui LAN telepon. Menurut perkiraanku, habis magrib belum bisa sampairesortsebab jarak Pulau Parang cukup jauh. Perjalanan dari pulau Parang keresortbutuh waktu sekitar tiga setengah jam. Zaenal masuk ruanganku dan menyerahkan setumpuk berkas rencana resepsi pernikahan yang akan kami kerjakan bersama. "ArichaEventPlanner and Organizer," kataku mengeja proposal kerjasama yang disodorkan Zaenal. "Ya gus. Itu nama EO yang
Aku sudah bersiap dilobby resort.Lima menit kemudian kulihat Aricha keluar dari kamarnya.Suite Roomyang ditempatinya kebetulan terletak di sebelah kananlobby. Sehingga aku bisa melihatnya keluar kamar dari tempatku saat ini.Ia terlihat cantik dengan padu padanblouse yukensi neckwarna putih berbahan satin,outerhijau tosca, dipadupalazzo pantsabu-abu dengan pasmina sifon warna abu-abu.Pouch bagwarnapinkabu menggantung di pundak kirinya, serta kacamata hitam menempel di kepala.Sapuan tipismake uppada bagian mata,eye linerhitam memberi kesan lebih besar pada mata sipitnya,eye shadowcoklat dan lipstik warnapeachmembuatnya tampak makin segar.Kuberikan senyum terbaikku dari tempatku berdiri. Ia membalas senyumanku. Hatiku sa
Kami hampir saja ketinggan kapal. Berlari sepanjang pelabuhan menuju kapal untuk mengejarnya. Tanpa kusadariGusNadzim menggandeng tanganku selama kami berlarian.Aku baru menyadarinya ketika masuk pintu kapal. Sejujurnya, ada hawa aneh yang menentramkan menjalari hati saat ia menggandengku. Namun aku sadar, dia bukan milikku. Maka kukendurkan pegangan tangannya. Ia meminta maaf.Saat kuletakkanpouchbagku di bawah televisi di ruang penumpang, kalung tasbihku menjuntai keluar dan sempat ia perhatikan. Cepat-cepat kumasukkan kembali kalung tasbih itu kedalamblouseku.Ia juga sempat memperhatikan gelang Kokka dan gelang cangkang kura-kura yang masih melingkar di lengan kiriku. Aku merutuki diri.Seorang pramusaji kapal menawarkan aneka snack dan minuman. Ia memesan dua kopi hitam. Kopi hitam manis untuknya dan satu kopi pahit untukku.Ia mulai mempertanyakan ke mana saja aku setelah insi
TatapanGusNadzim yang penuh selidik membuatku urung mengusap layar ponselku untuk menerima panggilan. "Diterima saja," kataGusNadzim. Aku menjadi tidak enak hati. "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumussalam. Halo Chacha," kata suara riang dari seberang. Hanya ada satu orang yang memanggilku Chacha, yaitu Yasser Syathibi. Suaranya tambah renyah begitu kusambut sapaannya. "Aku kangen Indonesia. Di sini sepi, tidak ada celotehmu. Tidak ada yang ngomel-ngomel kalau aku menunda salat. Tidak ada yang marah-marah kalau aku tidak ikut Jumatan. Tidak ada yang menyuruhku puasa aneh-aneh." Puasa aneh-aneh yang dimaksud itu puasa-puasa sunah selain puasa Senin dan Kamis. Aku tersenyum. "Aku akan segera balik ke Indonesia. Aku akan melamarmu, membawamu ke sini, dan beranak pinak supaya aku tidak kesepian lagi." Yasser masih mengoceh, namun aku sudah tidak konsen mendengarnya. KulihatGus&nbs
Aku terbangun saat mendengar suara klakson kapal, sebagai pertanda bahwa kapal sebentar lagi bersandar. Cukup lama aku tertidur, hampir satu jam. Aku sedikit menggerakkan badan, menghilangkan penat di badan karena duduk cukup lama. Aku tak begitu mempedulikanGusNadzim yang duduk di sebelahku. Hatiku masih terluka karena kata-katanya beberapa waktu lalu. Sekali lagi kutegaskan pada otak dan hatiku jika pria yang saat ini duduk di sebelahku hanyalahpartnerkerja. Setiap orang punya masa lalu, tapi ia harus tetap hidup menjalani hari-harinya. Masih harus tetap merajut mimpi dan harapan. Meskipun selama lima tahun ini aku tak mampu melakukan itu. Mulai hari ini aku bertekad harus bisa meninggalkan bayangannya sebagai masa laluku. Aku tak perlu lagi mengkhawatirkan kebahagiaannya, ataupun keadaannya. Aku bukan siapa-siapanya. Aku meninggalkan kursi penumpang lebih dulu. Keluar menuju tempat parkir pelabuhan. Alfan dan Zaenal sudah m
Rofiq dan Nisa sudah menunggu kedatangan kami di pinturesort. Sebuah kursi roda sudah dipersiapkan untukku. Aku memprotesGusNadzim melalui tatapan mataku. "Sudah tidak usah protes. Ini standar pelayananresortkami. Kursi roda ini memang dipersiapkan untuk tamu-tamu berkebutuhan khusus." "Tapi aku tidak berkebutuhan khusus," protesku. "Biasanya, iya. Saat ini, kamu berkebutuhan khusus. Sudah jangan rewel!" katanya lembut namun tegas. Aku akhirnya mengalah. Duduk di kursi roda seperti orang tak berdaya. Sebenarnya ada kebahagiaan tersendiri karenaGusNadzim yang mendorong kursi rodaku menuju ke kamar tempatku menginap. Zaenal, Arfan, Rofiq, dan Nisa berjalan mengikutinya dari belakang. Sesampainya di depan pintu kamar, seorang pelayanresortmenemuiGusNadzim. Beberapa saat mereka berbisik. Sebentar kemudian pelayan itu kembali undur diri. "Nisa
"Adiba," katanya sambil menjabat tanganku. "Aricha." Ning Adiba sedikit kaget mendengar aku menyebutkan namaku. "NingIcha?" tanyanya. Aku mengangguk lesu. "KokNingIcha lebih cantik dari yang duluGus eceritakan?" Kaget mendengar ucapanNingAdiba, spontan aku mendongak ke arahGusNadzim, ia tersenyum sambil memainkan anak rambutGusFatih. "Kemarin waktu ketemu, aku juga kaget. Dulu, dia aktifis yang sering lupa mandi dan tidak pernah sempat pakai bedak," kataGusNadzim. Mereka berdua tersenyum. Merasa jadi olok-olokan mereka berdua, maka aku pun pamit undur diri. "Maaf, saya ke kamar dulu," pamitku. Adlina yang tidak memahami situasinya terlihat bingung. "Biar Adlina saja yang mengantarku," kataku saatGusNadzim bersiap mendorong kursi rodaku. "Nisa tidak perlu menemaniku. Adlina akan tidur di kamarku," lanjutku.
GusNadzim,NingAdiba, danGusFatih sampai di area parkir mobil setelah lebih dari seperempat jam kami menunggu.NingAdiba terlihat sangat cantik dengan baju tunik panjang warna coklat kopi dengan celana bahan warna hitam serta kerudung senada warna baju. SementaraGusNadzim juga terlihat sangat tampan dengankosekylinhitam danmansetpendek warna hitam dibalut cardigan kesayangannya. Benar-benar pasangan yang serasi, batinku. NingAdiba selalu menyapaku ramah. Tidak ada ekspresi kebencian ataupun kecemburuan di raut mukanya. Padahal jika menilik dari kata-katanya saat pertama kali bertemu,GusNadzim sudah banyak menceritakan tentang diriku padanya. Sikap manisNingAdiba justru semakin menyesakkan dada. Aku membuang napas cukup keras untuk sekedar melonggarkan himpitan di rongga dada. Adlina menoleh padaku, matanya penuh selidik. Aku terse
Pagi ini aku tidak ada jadwal mengajar dan berniat membersihkan Musala yang ada di sebelah rumah kami, wakaf dari kakek buyutku. Tapi kulihat Bapak sudah duduk termenung di teras Musala dengan tangan kanan yang masih memegang kain pel, sementara ember hitam berada di dekat kaki kanannya. “Kedahuluan lagi deh,” kataku dengan nada kecewa. Bapak menoleh ke arahku karena terusik oleh suaraku. Bapak paling tidak bisa melihat Musala dalam keadaan kotor. Beliau tidak sabar menunggu anak-anak jemaah ngaji yang piket membersihkan Musala di hari Ahad dan hari Jumat saat mereka libur sekolah. Sehingga beliau tak segan untuk menyapu dan mengepel Musala seorang sendiri. “Bapak ada masalah?” tanyaku setelah duduk menjajarinya. “Bapak bingung. Semalam Bapak besuk Mbah Nasuha yang baru pulang dari Rumah Sakit. Akibat jatuh waktu ambil wudu di Musala dulu itu. Sekarang dia harus pakai kursi roda. Semalam dia menangis sedih karena sekarang dia tidak mungkin lagi bisa
Suasana Gubug yang didesain mirip Gazebo ini terasa sangat nyaman. Hawa sejuk, aroma wangi bunga kopi, dan suara khas Tonggeret yang dalam bahasa jawa disebut Garengpung menambah kenikmatan kopi Muria dan pisang tanduk kukus yang masih hangat tersaji. Di perkebunan kopi ini atau lebih luas di daerah Muria dan sekitarnya, hampir sepanjang hari di bulan Maret kita dapat menikmati suguhan kemewahan simfoni indah dari Tonggeret, salah satu jenis serangga anggota sub ordo Cicadomorpha, Ordo Homoptera yang memiliki sekitar tiga ribu spesies di dunia. Nyanyian Tonggeret menemaniku menemui salah satu pengusaha kopi Muria yang pernah direkomendasikan Icha, salah satu teman sekolahnya. Kami melakukan penjajakan kerjasama untuk memenuhi kebutuhan kopi di Resort milikku. Sebenarnya aku sangat ingin mengajaknya ke sini, sekaligus ziarah ke makam sunan Muria. Mungkin sangat menyenangkan berjalan bersama menyusuri satu per satu anak tangga yang d
Aku akhirnya memutuskan menerima tawaran dari yayasan untuk menjadi dosen tetap yayasan. Sudah tiga minggu ini perkuliahan kembali aktif. Manajemen EO sepenuhnya kuserahkan pada Adlina, namun aku tetap menjadi konseptor acara sesuai yang dipesan klien. Setiap sabtu dan ahad serta setiap sore sepulang dari kampus, aku tetap ke kantor EO. Sejak menjadi dosen tetap, kesibukanku di kampus bertambah dengan menjadi pembimbing skripsi mahasiswa, dilibatkan dalam kepanitiaan kegiatan kampus, maupun tugas-tugas yang lain. Meskipun kegiatan kampus dan EO cukup melelahkan, tetapi sangat kunikmati. Inilah cara efektif untuk menjauhkan berbagai kenangan dan pikiranku pada Gus Nadzim. Kenyataan bahwa Gus Nadzim sampai saat ini belum menikah, dan tetap menungguku membuatku memupuk harapan yang semakin kuat. Namun kenyataan pula bahwa Umi tidak menginginkanku, membuatku harus mengubur kembali harapan itu dalam-dalam. Menggunakan waktu yang kumiliki dengan berbagai aktivitas yang men
Perjalanan menuju rumah Mas Nanang terasa sangat lama.Icha yang duduk di kursi penumpang di sebelahku hanya menatap nanar ke jalanan beraspal. Mungkin saja suasana hatinya masih tidak nyaman dengan semua kejadian hari ini. Pagi tadi saat aku hendak menjemput rombongan ke pelabuhan,NingZahira merengek minta ikut. Aku sungguh tak percaya dengan sikap kekanak-kanakannya. Umi yang mendengar rengekan Ning Zahira pun bertitah, maka habislah aku. Agar tidak menimbulkan kegaduhan, terpaksa aku membawanya ikut menjemput rombongan. Padahal,Icha juga menjemput rombongan langsung dari hotel tempatnya menginap. Sempat kurasakan kegalauan hati, ketika kulihat ekspresi datarIcha saat melihat kehadiranku danNingZahira. Aku tidak mau ia salah paham. Maka, aku harus menjelaskan situasinya. Beruntung,Icha memahami dan percaya padaku. Tetapi lagi-lagiNingZahira membuatku pusing. Sejak acara pembukaan sampai acara ku
Tubuhku membeku seketika. Mataku membelalak dan telingaku seolah tak percaya ketika mendengar ucapanGusNadzim. Kurasakan udara di sekitarku berhenti mengalir sehingga terasa panas dan pengap. Aku benar-benar marah karena kata-katanya. "Jangan samakan hati dengan barang elektronik, yang tombolon offbisa dipencet kapan saja semau kita." semburku. "Kamu tidak perlu marah. Anggap saja ini barter kita. Harusnya aku yang lebih dulu marah, karena kamu yang lebih dulu minta aku menerimaNingZahira." Nada suaraGusNadzim tidak kalah tingginya dengan suaraku. "Kalau kamu tidak punya tombolon offdi hatimu, aku juga sama." Tangannya menggebrak meja kayu di hadapanku sampai botol air mineral yang kupesan jatuh menggelinding. Untung saja gelas kopi yang kupesan tidak ikut jatuh. Beberapa pengunjungcafemengarahkan pandangan matanya ke meja kami. Aku hanya menganggukkan kep
Aku merasa pesantren danResortsudah tidak nyaman untukku menyelesaikan proposal yang harus selesai malam ini. Keputusanku sudah bulat. Besok pagi aku kembali ke Kudus. Mengubur semua peristiwa yang terjadi di sini, dan kembali menulis cerita hidup yang baru. Aku kembali keResortmenggunakan jasa mobil rental yang kupesan. Sesampainya diResort, aku segera berkemas. Menunggu azan Magrib untuk salat. Lalu mengurus administrasi untukcek out. Sementara mobil rental kuminta menunggu dan mengantarku kembali ke tujuan selanjutnya. "Pemesanan kamar atas nama bu Aricha masih sampai dua hari lagi. Semua biaya sudah dibayar di muka." kata resepsionis. Pasti kerjaanGusNadzim, pikirku. "Tidak apa-apa, Mbak. Sayacek outsekarang saja." Aku memberikan kunci kamar dan menunggu sebentar. Resepsionis menginformasikan padaroom serviceuntuk mengecek kamarku
Kulihat Umi sedang menenangkanNingZahira yang tengah tersedu. Aku tidak mau ambil pusing, maka langkahku tak terhenti ketika melintasi mereka. "Gus." Suara Umi memanggilku. Terpaksa kuhentikan langkahku, lalu memutar badan sembilan puluh derajat. "Ya, Mi. Ada apa?" tanyaku. "Bilang sama Aricha, jangan suka mengata-ngatai orang." Umi sedikit melotot ke arahku. Aku kembali memutar badanku sampai menghadap ke arah Umi. "Icha mengata-ngataiNingZahira? Apa tidak salah? Setahuku, Icha sedang menyelesaikan proposalnya di ruang tamu pesantren sendirian." Aku sangat mengenal Icha. Dia bukan tipe penyerang. Dia baru akan menyerang ketika benar-benar tidak mungkin bertahan. "Ketemu Icha di mana? Kamu menemuinya diam-diam di ruang tamu?" Aku mendelik padaNingZahira. "Gus, jaga bicaramu.NingZahira ini calon istrimu." Suara Umi meninggi. Dari awal kedatangannya, aku sudah menduga jika dia dipersiapkan
Selepas sore di Ujung Gelam itu, aku mencoba mengabaikan Ning Zahira dan mulai berdamai denganGusNadzim. Kuputuskan untuk menunda kepulanganku hingga monitoring kementerian selesai. Kebetulan perkuliahan baru akan dimulai dua minggu ke depan, dan urusan EO semua bisa diatasi pegawaiku di kantor dengan komando Adlina. Hari ini, tim pendampingan koperasi dan KUB mendatangi satu per satu anggota KUB. Melihat proses produksi, pengemasan, data sirkulasi, data outlet, dan pembukuan yang mereka buat. Semua yang tersapu oleh mataku sudah kutuangkan dalam buku catatan. Mbak Siti, Mbak Sri, dan ibu-ibu yang lain sangat senang ketika kami sampai di rumah mereka. Ada beberapa rumah panggung khas suku Bugis yang tersebar di antara rumah-rumah khas Jawa. Tiap rumah yang kita singgahi memberikan suguhan, sampai perut kami terasa penuh. Mbak Sri memenuhi janjinya, menyuguhiku tongkol bakar sambal korek lombok setan siram klentik. Perutku sudah sangat pen
Anganku melompat ke masa lima tahun yang lalu "Menikahlah denganku,Ning!" kata Gus Nadzim tiba-tiba. Mataku membelalak. Ada getar aneh menyusup ke dada, menjalar ke syaraf otak dan menimbulkam rasa bahagia. Aku tersenyum tipis dari tempatku duduk. Hatiku terasa sangat ringan. Udara yang kuhirup terasa hangat di paru-paruku, meskipun hawa dingin di sekitar Makam Syaikh Hasan Munadi Nyatnyono menembus kain parasit jaketku dan menusuk sampai ke tulang. Sementara pemandangan kerlap kerlip lampu perkampungan penduduk terlihat seperti hamparan permadani hitam bertabur berlian. "Kuliahku belum selesai,Gus. Kamu tahu bagaimana perjuanganku bisa sampai pada tahap ini. Meskipun aku sangat mencintaimu, aku tetap lebih mencintai diriku sendiri." kataku terkekeh. Ia memasang muka cemberut. "Bukan sekarang,Ning. Aku akan menunggumu selesai wisuda. Aku juga tidak mau punya istritulalit." godanya. GusNadzim