Share

Memeluk Luka

Penulis: Mita el Rahma
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-04 15:37:14

Aku sudah bersiap di lobby resort. Lima menit kemudian kulihat Aricha keluar dari kamarnya. Suite Room yang ditempatinya kebetulan terletak di sebelah kanan lobby. Sehingga aku bisa melihatnya keluar kamar dari tempatku saat ini.

Ia terlihat cantik dengan padu padan blouse yukensi neck warna putih berbahan satin, outer hijau tosca, dipadu palazzo pants abu-abu dengan pasmina sifon warna abu-abu. Pouch bag warna pink abu menggantung di pundak kirinya, serta kacamata hitam menempel di kepala.

Sapuan tipis make up pada bagian mata, eye liner hitam memberi kesan lebih besar pada mata sipitnya, eye shadow coklat dan lipstik warna peach membuatnya tampak makin segar.

Kuberikan senyum terbaikku dari tempatku berdiri. Ia membalas senyumanku. Hatiku sangat bahagia dan berbunga-bunga seperti sedang jatuh cinta. Bait lagu-lagu cinta mulai bersenandung di kepalaku. Aku tak peduli jika ia telah punya suami dan dua anak, yang jelas hari ini ia akan bersamaku dan berada di dekatku.

Sembari menunggu Zaenal yang tak kunjung muncul, ia menjelaskan hal-hal yang nanti akan kami komunikasikan dengan Bu Umma. Ia membagi materi apa saja yang ia presentasikan, dan materi apa saja yang aku presentasikan. Karena ini kerja tim, maka ia tak mau terkesan mendominasi. Salah satu sifat yang kusuka darinya sejak dulu.

Seperempat jam kemudian Zaenal datang tergopoh-gopoh dan meminta maaf karena terlambat. Sejak subuh ia bolak-balik ke kamar mandi karena masuk angin. Setelah dikeroki dan minum jamu masuk angin, ia sudah mulai baikan.

Satu jam perjalanan dari resort ke pelabuhan terasa sangat lama. Ia yang duduk di kursi penumpang hanya diam sepanjang perjalanan.

Melalui kaca spion, kuperhatikan pandangan matanya yang selalu mengarah keluar kaca mobil. Memperhatikan deretan tumbuhan bakau di sepanjang jalan. Sedangkan aku duduk di sebelah Zaenal.

Sengaja aku mengambil tempat duduk di sebelah sopir supaya ia nyaman. Karena jika kami duduk di kursi yang sama pasti akan membuatnya tak nyaman dan hal itu bisa menimbulkan kecurigaan Zaenal.

***

Seperti perkiraanku, kami berlarian di pelabuhan supaya tidak ketinggalan kapal. Sampai di pintu pelabuhan, dengan cepat petugas memindai tiket kami dan meminta kami bergegas masuk kapal. Kami berlarian sampai lupa berpamitan pada Zaenal.

Aku juga tidak sadar saat kutarik tangan Aricha supaya berlari lebih cepat menuju kapal. Sampai di pintu kapal, kami baru menyadarinya. Ia melepaskan pegangan tanganku dengan tangan kirinya. Ia tersenyum, getir. Sejak dulu, tak pernah sekalipun ia mau kugandeng meskipun kami hanya berdua saja.

"Maaf, reflek," kataku.

Setelah petugas mengecek tiket, kami dipersilahkan masuk ke ruang VIP penumpang. Seorang petugas perempuan dalam ruang penumpang mempersilakan kami meletakkan tas di depan kursi penumpang paling depan atau di bawah televisi besar kira-kira berukuran lima puluh lima inch.

Saat ia menunduk meletakkan tasnya, kulihat sebuah kalung coklat kehitaman menjuntai di antara kerudungnya. Menyadari aku memperhatikan benda itu, dengan cepat ia menyembunyikannya kembali di balik blousenya. Pandanganku beralih ke tangan kirinya. Sebuah gelang Kokka warna coklat dan gelang cangkang kura-kura berbentuk ular melingkar manis di sana. Aku tersenyum.

Lalu kami mencari kursi nomor sebelas dan dua belas. Kursi itu berada di deret sebelah kanan, persis di samping jendela. Aku mempersilakan ia duduk terlebih dahulu. Ia sudah ingin menolak namun kutunjukkan kembali bahwa tiket atas namanya di kursi nomor dua belas. Ia pun mengalah. Aku kembali tersenyum. Posisi duduk yang membuatnya terpenjara.

Ia masih tak banyak bicara. Ia hanya memandang ke arah luar melalui jendela. Seorang pramusaji kapal menawarkan aneka snack dan minuman.

"Kopi hitam dua. Satu dengan gula, satu tanpa gula," kataku. Aricha menoleh ketika mendengar aku memesan dua gelas kopi hitam.

"Masih minum kopi pahit kan?" tanyaku. Ia mengangguk.

"Masih suka pakai kalung tasbih dan gelang Kokka juga?" tanyaku lagi. Ia meringis.

Aricha sangat menyukai kopi, selain aromanya yang enak alasan lainnya karena pesan gurunya. 

"Guru diniyah-ku pernah bilang, selama bau biji kopi masih tercium aromanya di mulut seseorang, maka selama itu pula malaikat akan beristighfar untuknya," katanya saat kutanyakan kenapa ia sangat suka minuman pahit itu.

Begitu pula dengan kalung tasbih maupun gelang Kokka. Ia punya alasan sendiri. 

"Aku bukan orang yang bisa duduk lama-lama untuk berzikir. Jadi, tasbih maupun gelang yang kadang-kadang kugunakan untuk berzikir ini biar menempel di badanku, dengan berharap semoga Allah memandangku sebagai orang yang banyak berzikir," lanjutnya kala itu.

Gelang cangkang kura-kura itu sengaja aku pesankan pada Arif, seorang pengrajin dari Pulau Parang. Ia sendiri yang meminta model ular. Ia menyukai filosofi ular. Binatang yang terlihat lemah, melata tanpa kaki dan tangan tetapi menyimpan senjata mematikan.

"Gelang cangkang kura-kuranya masih dipakai juga?" godaku.

Ia tersenyum. Mukanya memerah. Mungkin malu atau marah pada dirinya sendiri.

"Terima kasih. Semua kenanganku masih melekat bersamamu," bisikku. 

Aku tak bisa menceritakan bagaimana bahagianya diriku. Melihat tasbih, gelang Kokka, dan gelang cangkang kura-kura pemberianku masih melekat di badannya.

Pramusaji menyerahkan kopi yang kupesan. Satu gelas kuberikan padanya. Pikirku inilah kesempatan untuk menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang selama ini menggangguku.

"Ning," kataku. Sontak ia menoleh dan melotot padaku.

"Oh ya, Maaf." Aku tahu dia sangat tidak nyaman dengan panggilan itu.

"Setelah kita makan siang di warung padang waktu itu, kamu menghilang ke mana?" tanyaku.

"Menyesali kebodohanku karena telah mencintai dan menerima cintamu. Menyesali kebodohanku karena ternyata tak menyisakan ruang kosong di hatiku untuk orang lain," katanya menerawang, kali ini memandang ke arah televisi yang menayangkan film Alladin, tapi tatapan matanya kosong.

"Menyesali kebodohanku memupuk harapan pada orang yang jelas akan meninggalkanku," lanjutnya lagi.

"Aku tak pernah meninggalkanmu. Justru kamu yang tiba-tiba meninggalkanku." Aku memprotes.

"Aku memintamu untuk tetap bersamaku. Bersama-sama memperjuangkan cinta kita, tapi kamu justru menghilang," lanjutku.

"Aku tak punya kekuatan untuk bertarung melawan Ning-mu, apalagi Abah dan Umi. Lebih baik mundur alon-alon, karena sadar siapa aku," jawabnya. Ada getar dalam suaranya.

"Aku bisa jadi kekuatanmu," kataku sedikit meradang.

"Tahukah kamu, satu hari setelah siang itu, aku mencarimu ke pesantren. Katanya, malam kamu sudah boyong. Lalu aku ke basecamp, teman-teman di sana

tidak ada yang tahu kamu di mana.  Nomor ponselmu tak bisa dihubungi. Aku tak tahu di mana rumahmu karena kamu tak pernah izinkan aku kesana," kataku. Dadaku terasa sesak, kenangan itu menghimpitku.

"Aku mencarimu ke mana-mana seperti orang gila. Aku tanya semua temanmu yang aku kenal, tapi tetap saja kamu tak kutemukan. Kamu seperti hilang ditelan bumi. Seandainya saja waktu itu kamu tidak menghilang begitu saja, cerita kita tak akan seperti ini," ucapku nelangsa.

"Cukup, Gus! Cukup! Tidak ada yang perlu kita sesali. Terima saja takdir kita dengan ikhlas. Allah lebih tahu mana yang terbaik untuk kita. Sekarang kita punya kehidupan masing-masing." Nada suaranya ditekan, supaya penumpang lain tak mendengarnya.

Ia memegang gelas kopinya semakin erat. Air matanya satu persatu jatuh. Ada luka di matanya. Beberapa kali ia menarik napas berat. Bahunya mulai terguncang.

Suasana terasa hening, meskipun suara televisi menggelegar. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing.

***

Sebuah Fortuner putih telah menunggu kedatangan kami di pelabuhan. Pak Gatot, sopir keluarga Aricha membukakan pintu mobil untuk kami.

"Kita ke RSI dulu, Pak Gatot. Lihat kondisi Avverous," kata Aricha memberi perintah.

"Ya, Mbak," jawab pak Gatot takzim.

"Mas Ave kemungkinan hari ini sudah boleh pulang. Tadi Ibu pesan, habis Asar saya diminta jemput ke RSI," lanjutnya.

"Masuk rumah sakit kapan? Baru tadi malam ‘kan?" tanyaku sedikit heran. Pak Gatot tertawa kecil, memperlihatkan gigi dengan sedikit bekas tar yang menempel.

"Mas Ave masuk rumah sakit sejak Mbak Icha berangkat ke Karimun. Tapi Mbak Icha baru dikabari tadi malam. Ibu tidak mau mengganggu konsentrasi Mbak Icha," jelasnya.

Selama perjalanan, pak Gatot mendominasi pembicaraan. Menceritakan Avverous yang menang juara salawat di masjid, kelucuan Salsabila saat mengikuti maulid Barjanzi di musala, kegiatan abahnya Aricha yang sangat padat di bulan maulid ini.

Hampir tiap malam pak Gatot mengantar beliau memberikan mauidloh hasanah di majelis-majelis maulid, dan kebahagiaannya ketika nderekke Abah, ia ikut mendapatkan ingkung dan satu embor besar nasi.

Setelah perjalanan hampir satu jam, mobil yang dikemudikan Pak Gatot memasuki halaman rumah sakit.

Aricha melewati koridor rumah sakit dengan langkah-langkah panjang, sesekali melewati jalan setapak yang diapit taman rumah sakit menuju bangsal ruang VIP.

Seorang anak laki-laki dengan tangan terinfus, terlihat berbinar ketika pintu kamar dibuka Aricha.

"Mama Ichaaaa," katanya panjang.

Mereka saling berpelukan. Aricha menciumi pipi tembem itu berkali-kali.

"Maafkan Mama Icha ya," katanya dengan mata berkaca-kaca.

"Nggak apa-apa. Mama Icha ‘kan pergi bekerja. Mas Ave sudah ditemani Eyang Uti sama Bulek Aya," katanya polos.

"Bulek Aya bolos kuliah. Sekarang baru nganter Dik Salsa beli ayam goreng. Kemarin Eyang Kung juga nungguin Mas Ave di sini," katanya lagi.

Seorang perempuan, yang aku yakin masa mudanya sangat mirip dengan Aricha, mempersilakanku duduk di sofa yang terletak di ujung ranjang. 

"Oh ya, Bu. Ini Gus Nadzim." Aricha memperkenalkanku pada perempuan yang ternyata ibunya. Perempuan itu sedikit terkejut. Mengangguk dan tersenyum kecil. Sedetik kemudian ia telah membawa Aricha keluar kamar.

Kulihat Aricha menganggung-angguk mendengarkan ibunya berbicara. Kemudian ia berbicara dengan gestur sedang meyakinkan ibunya. Bahkan kedua tangannya memegang bahu ibunya dan ia berbicara sambil mengangguk-anggukkan kepala.

Dari dalam kamar kulihat seorang anak perempuan yang berusia TK, berseragam sekolah batik khas salah satu sekolah khusus perempuan yang terkenal di Kudus, terlihat dari bedge yang menempel di baju, datang dengan membawa tentengan makanan cepat saji bersama seorang perempuan remaja.

"Mama Icha, kapan pulang?" katanya sambil menghambur ke pelukan Aricha.

Aricha membalas pelukan itu dengan hangat. Pipi anak perempuan itu dicium bergantian. Sebaliknya, anak perempuan itu juga mencium Aricha dengan penuh cinta.

Tiba-tiba dadaku terasa sakit menyaksikan adegan-adegan itu. 

Ya Allah. Meskipun dalam setiap doaku selalu kumintakan kebahagiaan untuknya, tetapi kenapa hati ini sangat sakit melihatnya bahagia bersama yang lain.

Aricha sudah kembali ke kamar bersama putrinya. 

"Mbak Salsa sama Mas Ave salim dulu sama teman Mama Icha," katanya.

Aku beranjak dari tempat dudukku dan menerima uluran tangan-tangan mungil itu.

"Gus Nadzim ini temannya Papa kalian juga lho."

Mendengar kalimat Aricha, tiba-tiba lambungku terasa penuh cairan asam, dadaku panas dan sesak seperti dihimpit batu besar.

***

Komen (3)
goodnovel comment avatar
janari
sepertinya salsa averos ini anak2 dari calonnya icha..apa udah jd anak tirinya..
goodnovel comment avatar
janari
keren ceritanya mba...narasinya jg bagus sangat layak dibukukan ini
goodnovel comment avatar
afaya lana
"gus nadzim ini teman papa kalian lho" mgkn kalimat ini akan mengusik malam malam gus nadzim
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • MENJEMPUT CINTA DI UJUNG GELAM   Kota Kelana

    Kami hampir saja ketinggan kapal. Berlari sepanjang pelabuhan menuju kapal untuk mengejarnya. Tanpa kusadariGusNadzim menggandeng tanganku selama kami berlarian.Aku baru menyadarinya ketika masuk pintu kapal. Sejujurnya, ada hawa aneh yang menentramkan menjalari hati saat ia menggandengku. Namun aku sadar, dia bukan milikku. Maka kukendurkan pegangan tangannya. Ia meminta maaf.Saat kuletakkanpouchbagku di bawah televisi di ruang penumpang, kalung tasbihku menjuntai keluar dan sempat ia perhatikan. Cepat-cepat kumasukkan kembali kalung tasbih itu kedalamblouseku.Ia juga sempat memperhatikan gelang Kokka dan gelang cangkang kura-kura yang masih melingkar di lengan kiriku. Aku merutuki diri.Seorang pramusaji kapal menawarkan aneka snack dan minuman. Ia memesan dua kopi hitam. Kopi hitam manis untuknya dan satu kopi pahit untukku.Ia mulai mempertanyakan ke mana saja aku setelah insi

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-05
  • MENJEMPUT CINTA DI UJUNG GELAM   Remukan Rasa

    TatapanGusNadzim yang penuh selidik membuatku urung mengusap layar ponselku untuk menerima panggilan. "Diterima saja," kataGusNadzim. Aku menjadi tidak enak hati. "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumussalam. Halo Chacha," kata suara riang dari seberang. Hanya ada satu orang yang memanggilku Chacha, yaitu Yasser Syathibi. Suaranya tambah renyah begitu kusambut sapaannya. "Aku kangen Indonesia. Di sini sepi, tidak ada celotehmu. Tidak ada yang ngomel-ngomel kalau aku menunda salat. Tidak ada yang marah-marah kalau aku tidak ikut Jumatan. Tidak ada yang menyuruhku puasa aneh-aneh." Puasa aneh-aneh yang dimaksud itu puasa-puasa sunah selain puasa Senin dan Kamis. Aku tersenyum. "Aku akan segera balik ke Indonesia. Aku akan melamarmu, membawamu ke sini, dan beranak pinak supaya aku tidak kesepian lagi." Yasser masih mengoceh, namun aku sudah tidak konsen mendengarnya. KulihatGus&nbs

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-06
  • MENJEMPUT CINTA DI UJUNG GELAM   Pesona Pantai Bobbi

    Aku terbangun saat mendengar suara klakson kapal, sebagai pertanda bahwa kapal sebentar lagi bersandar. Cukup lama aku tertidur, hampir satu jam. Aku sedikit menggerakkan badan, menghilangkan penat di badan karena duduk cukup lama. Aku tak begitu mempedulikanGusNadzim yang duduk di sebelahku. Hatiku masih terluka karena kata-katanya beberapa waktu lalu. Sekali lagi kutegaskan pada otak dan hatiku jika pria yang saat ini duduk di sebelahku hanyalahpartnerkerja. Setiap orang punya masa lalu, tapi ia harus tetap hidup menjalani hari-harinya. Masih harus tetap merajut mimpi dan harapan. Meskipun selama lima tahun ini aku tak mampu melakukan itu. Mulai hari ini aku bertekad harus bisa meninggalkan bayangannya sebagai masa laluku. Aku tak perlu lagi mengkhawatirkan kebahagiaannya, ataupun keadaannya. Aku bukan siapa-siapanya. Aku meninggalkan kursi penumpang lebih dulu. Keluar menuju tempat parkir pelabuhan. Alfan dan Zaenal sudah m

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-07
  • MENJEMPUT CINTA DI UJUNG GELAM   Dalam Sebuah Labirin

    Rofiq dan Nisa sudah menunggu kedatangan kami di pinturesort. Sebuah kursi roda sudah dipersiapkan untukku. Aku memprotesGusNadzim melalui tatapan mataku. "Sudah tidak usah protes. Ini standar pelayananresortkami. Kursi roda ini memang dipersiapkan untuk tamu-tamu berkebutuhan khusus." "Tapi aku tidak berkebutuhan khusus," protesku. "Biasanya, iya. Saat ini, kamu berkebutuhan khusus. Sudah jangan rewel!" katanya lembut namun tegas. Aku akhirnya mengalah. Duduk di kursi roda seperti orang tak berdaya. Sebenarnya ada kebahagiaan tersendiri karenaGusNadzim yang mendorong kursi rodaku menuju ke kamar tempatku menginap. Zaenal, Arfan, Rofiq, dan Nisa berjalan mengikutinya dari belakang. Sesampainya di depan pintu kamar, seorang pelayanresortmenemuiGusNadzim. Beberapa saat mereka berbisik. Sebentar kemudian pelayan itu kembali undur diri. "Nisa

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-08
  • MENJEMPUT CINTA DI UJUNG GELAM   Nyanyian Rindu

    "Adiba," katanya sambil menjabat tanganku. "Aricha." Ning Adiba sedikit kaget mendengar aku menyebutkan namaku. "NingIcha?" tanyanya. Aku mengangguk lesu. "KokNingIcha lebih cantik dari yang duluGus eceritakan?" Kaget mendengar ucapanNingAdiba, spontan aku mendongak ke arahGusNadzim, ia tersenyum sambil memainkan anak rambutGusFatih. "Kemarin waktu ketemu, aku juga kaget. Dulu, dia aktifis yang sering lupa mandi dan tidak pernah sempat pakai bedak," kataGusNadzim. Mereka berdua tersenyum. Merasa jadi olok-olokan mereka berdua, maka aku pun pamit undur diri. "Maaf, saya ke kamar dulu," pamitku. Adlina yang tidak memahami situasinya terlihat bingung. "Biar Adlina saja yang mengantarku," kataku saatGusNadzim bersiap mendorong kursi rodaku. "Nisa tidak perlu menemaniku. Adlina akan tidur di kamarku," lanjutku.

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-06
  • MENJEMPUT CINTA DI UJUNG GELAM   Aku Diantara Kau dan Dia

    GusNadzim,NingAdiba, danGusFatih sampai di area parkir mobil setelah lebih dari seperempat jam kami menunggu.NingAdiba terlihat sangat cantik dengan baju tunik panjang warna coklat kopi dengan celana bahan warna hitam serta kerudung senada warna baju. SementaraGusNadzim juga terlihat sangat tampan dengankosekylinhitam danmansetpendek warna hitam dibalut cardigan kesayangannya. Benar-benar pasangan yang serasi, batinku. NingAdiba selalu menyapaku ramah. Tidak ada ekspresi kebencian ataupun kecemburuan di raut mukanya. Padahal jika menilik dari kata-katanya saat pertama kali bertemu,GusNadzim sudah banyak menceritakan tentang diriku padanya. Sikap manisNingAdiba justru semakin menyesakkan dada. Aku membuang napas cukup keras untuk sekedar melonggarkan himpitan di rongga dada. Adlina menoleh padaku, matanya penuh selidik. Aku terse

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-06
  • MENJEMPUT CINTA DI UJUNG GELAM   Hati yang Kalah

    SaatGusNadzim masuk ruang praktek Dokter Guntur untuk menemaniNingAdiba, aku pamit pada Adlina untuk sekedar mencari udara segar di sekitar alun-alun dan memintanya untuk tidak menungguku. Sebuahcafekecil di salah satu ujung jalan yang mengarah ke alun-alun cukup menarik hatiku. Suasana rindang dari sulurmillion heartsmenghadirkan suasana kesejukan desa yang damai membawa kakiku memasukicafeitu. Daun yang kaku dan tebal serta berbentuk hati itu menempel pada rancangan kawat membentuk pagar menggantung di bawah atapcafe. Tanaman Terang Bulan dengan corak warna daun hijau muda yang lembut menyambutku di kiri kanan pintu masukcafe. Sementara di sudut-sudutcafe, dinding dalam maupun luarcafejuga banyak tergantung berbagai jenis tanaman sulur yang tertata sangatapik.Dischidia Gerimenjun

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-06
  • MENJEMPUT CINTA DI UJUNG GELAM   Sandaran Hati

    Sebuah suara yang sangat kukenal membuatku dan Adlina melepaskan pelukan kami. Seorang laki-laki yang tidak kalah ganteng dengan Chicco Jerikho telah berdiri di hadapanku. Ia tersenyum memperlihatkan gigi putih dan lesung pipitnya. "Yasser?" pekikku. "Bagaimana kamu tahu kalau aku menginap diresortini?" tanyaku heran. Sementara yang ditanya hanya cengar-cengir. Ia kemudian duduk tanpa menunggu kupersilakan. "Karimunjawa itu sempit,Say. Cari kamu di sini sangat mudah. Tidak usah heran," katanya. Tangannya kemudian melambai, dan tidak berapa lama seorang pramusaji datang mencatat pesanannya. "Siapa lagi, Cha?" tanya Adlina. Matanya membola. Aku meringis. "Oh ya. Kenalkan, Ini Adlina. Sepupu sekaligus sahabat terbaikku." Aku memperkenalkan Adlina pada Yasser, begitu juga sebaliknya. "Ini Yasser, temanku selama kuliah magister di Jogja." "Sekaligus keranjang sampahnya," selanya. Aku sudah

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-06

Bab terbaru

  • MENJEMPUT CINTA DI UJUNG GELAM   Mengetuk Pintu Langit

    Pagi ini aku tidak ada jadwal mengajar dan berniat membersihkan Musala yang ada di sebelah rumah kami, wakaf dari kakek buyutku. Tapi kulihat Bapak sudah duduk termenung di teras Musala dengan tangan kanan yang masih memegang kain pel, sementara ember hitam berada di dekat kaki kanannya. “Kedahuluan lagi deh,” kataku dengan nada kecewa. Bapak menoleh ke arahku karena terusik oleh suaraku. Bapak paling tidak bisa melihat Musala dalam keadaan kotor. Beliau tidak sabar menunggu anak-anak jemaah ngaji yang piket membersihkan Musala di hari Ahad dan hari Jumat saat mereka libur sekolah. Sehingga beliau tak segan untuk menyapu dan mengepel Musala seorang sendiri. “Bapak ada masalah?” tanyaku setelah duduk menjajarinya. “Bapak bingung. Semalam Bapak besuk Mbah Nasuha yang baru pulang dari Rumah Sakit. Akibat jatuh waktu ambil wudu di Musala dulu itu. Sekarang dia harus pakai kursi roda. Semalam dia menangis sedih karena sekarang dia tidak mungkin lagi bisa

  • MENJEMPUT CINTA DI UJUNG GELAM   Luruhku

    Suasana Gubug yang didesain mirip Gazebo ini terasa sangat nyaman. Hawa sejuk, aroma wangi bunga kopi, dan suara khas Tonggeret yang dalam bahasa jawa disebut Garengpung menambah kenikmatan kopi Muria dan pisang tanduk kukus yang masih hangat tersaji. Di perkebunan kopi ini atau lebih luas di daerah Muria dan sekitarnya, hampir sepanjang hari di bulan Maret kita dapat menikmati suguhan kemewahan simfoni indah dari Tonggeret, salah satu jenis serangga anggota sub ordo Cicadomorpha, Ordo Homoptera yang memiliki sekitar tiga ribu spesies di dunia. Nyanyian Tonggeret menemaniku menemui salah satu pengusaha kopi Muria yang pernah direkomendasikan Icha, salah satu teman sekolahnya. Kami melakukan penjajakan kerjasama untuk memenuhi kebutuhan kopi di Resort milikku. Sebenarnya aku sangat ingin mengajaknya ke sini, sekaligus ziarah ke makam sunan Muria. Mungkin sangat menyenangkan berjalan bersama menyusuri satu per satu anak tangga yang d

  • MENJEMPUT CINTA DI UJUNG GELAM   Mendekap Rindu

    Aku akhirnya memutuskan menerima tawaran dari yayasan untuk menjadi dosen tetap yayasan. Sudah tiga minggu ini perkuliahan kembali aktif. Manajemen EO sepenuhnya kuserahkan pada Adlina, namun aku tetap menjadi konseptor acara sesuai yang dipesan klien. Setiap sabtu dan ahad serta setiap sore sepulang dari kampus, aku tetap ke kantor EO. Sejak menjadi dosen tetap, kesibukanku di kampus bertambah dengan menjadi pembimbing skripsi mahasiswa, dilibatkan dalam kepanitiaan kegiatan kampus, maupun tugas-tugas yang lain. Meskipun kegiatan kampus dan EO cukup melelahkan, tetapi sangat kunikmati. Inilah cara efektif untuk menjauhkan berbagai kenangan dan pikiranku pada Gus Nadzim. Kenyataan bahwa Gus Nadzim sampai saat ini belum menikah, dan tetap menungguku membuatku memupuk harapan yang semakin kuat. Namun kenyataan pula bahwa Umi tidak menginginkanku, membuatku harus mengubur kembali harapan itu dalam-dalam. Menggunakan waktu yang kumiliki dengan berbagai aktivitas yang men

  • MENJEMPUT CINTA DI UJUNG GELAM   Mengintip Suara Langit

    Perjalanan menuju rumah Mas Nanang terasa sangat lama.Icha yang duduk di kursi penumpang di sebelahku hanya menatap nanar ke jalanan beraspal. Mungkin saja suasana hatinya masih tidak nyaman dengan semua kejadian hari ini. Pagi tadi saat aku hendak menjemput rombongan ke pelabuhan,NingZahira merengek minta ikut. Aku sungguh tak percaya dengan sikap kekanak-kanakannya. Umi yang mendengar rengekan Ning Zahira pun bertitah, maka habislah aku. Agar tidak menimbulkan kegaduhan, terpaksa aku membawanya ikut menjemput rombongan. Padahal,Icha juga menjemput rombongan langsung dari hotel tempatnya menginap. Sempat kurasakan kegalauan hati, ketika kulihat ekspresi datarIcha saat melihat kehadiranku danNingZahira. Aku tidak mau ia salah paham. Maka, aku harus menjelaskan situasinya. Beruntung,Icha memahami dan percaya padaku. Tetapi lagi-lagiNingZahira membuatku pusing. Sejak acara pembukaan sampai acara ku

  • MENJEMPUT CINTA DI UJUNG GELAM   Isyarat Langit

    Tubuhku membeku seketika. Mataku membelalak dan telingaku seolah tak percaya ketika mendengar ucapanGusNadzim. Kurasakan udara di sekitarku berhenti mengalir sehingga terasa panas dan pengap. Aku benar-benar marah karena kata-katanya. "Jangan samakan hati dengan barang elektronik, yang tombolon offbisa dipencet kapan saja semau kita." semburku. "Kamu tidak perlu marah. Anggap saja ini barter kita. Harusnya aku yang lebih dulu marah, karena kamu yang lebih dulu minta aku menerimaNingZahira." Nada suaraGusNadzim tidak kalah tingginya dengan suaraku. "Kalau kamu tidak punya tombolon offdi hatimu, aku juga sama." Tangannya menggebrak meja kayu di hadapanku sampai botol air mineral yang kupesan jatuh menggelinding. Untung saja gelas kopi yang kupesan tidak ikut jatuh. Beberapa pengunjungcafemengarahkan pandangan matanya ke meja kami. Aku hanya menganggukkan kep

  • MENJEMPUT CINTA DI UJUNG GELAM   Silang Rasa

    Aku merasa pesantren danResortsudah tidak nyaman untukku menyelesaikan proposal yang harus selesai malam ini. Keputusanku sudah bulat. Besok pagi aku kembali ke Kudus. Mengubur semua peristiwa yang terjadi di sini, dan kembali menulis cerita hidup yang baru. Aku kembali keResortmenggunakan jasa mobil rental yang kupesan. Sesampainya diResort, aku segera berkemas. Menunggu azan Magrib untuk salat. Lalu mengurus administrasi untukcek out. Sementara mobil rental kuminta menunggu dan mengantarku kembali ke tujuan selanjutnya. "Pemesanan kamar atas nama bu Aricha masih sampai dua hari lagi. Semua biaya sudah dibayar di muka." kata resepsionis. Pasti kerjaanGusNadzim, pikirku. "Tidak apa-apa, Mbak. Sayacek outsekarang saja." Aku memberikan kunci kamar dan menunggu sebentar. Resepsionis menginformasikan padaroom serviceuntuk mengecek kamarku

  • MENJEMPUT CINTA DI UJUNG GELAM   Jalan Penyucian Jiwa

    Kulihat Umi sedang menenangkanNingZahira yang tengah tersedu. Aku tidak mau ambil pusing, maka langkahku tak terhenti ketika melintasi mereka. "Gus." Suara Umi memanggilku. Terpaksa kuhentikan langkahku, lalu memutar badan sembilan puluh derajat. "Ya, Mi. Ada apa?" tanyaku. "Bilang sama Aricha, jangan suka mengata-ngatai orang." Umi sedikit melotot ke arahku. Aku kembali memutar badanku sampai menghadap ke arah Umi. "Icha mengata-ngataiNingZahira? Apa tidak salah? Setahuku, Icha sedang menyelesaikan proposalnya di ruang tamu pesantren sendirian." Aku sangat mengenal Icha. Dia bukan tipe penyerang. Dia baru akan menyerang ketika benar-benar tidak mungkin bertahan. "Ketemu Icha di mana? Kamu menemuinya diam-diam di ruang tamu?" Aku mendelik padaNingZahira. "Gus, jaga bicaramu.NingZahira ini calon istrimu." Suara Umi meninggi. Dari awal kedatangannya, aku sudah menduga jika dia dipersiapkan

  • MENJEMPUT CINTA DI UJUNG GELAM   Kafa'ah

    Selepas sore di Ujung Gelam itu, aku mencoba mengabaikan Ning Zahira dan mulai berdamai denganGusNadzim. Kuputuskan untuk menunda kepulanganku hingga monitoring kementerian selesai. Kebetulan perkuliahan baru akan dimulai dua minggu ke depan, dan urusan EO semua bisa diatasi pegawaiku di kantor dengan komando Adlina. Hari ini, tim pendampingan koperasi dan KUB mendatangi satu per satu anggota KUB. Melihat proses produksi, pengemasan, data sirkulasi, data outlet, dan pembukuan yang mereka buat. Semua yang tersapu oleh mataku sudah kutuangkan dalam buku catatan. Mbak Siti, Mbak Sri, dan ibu-ibu yang lain sangat senang ketika kami sampai di rumah mereka. Ada beberapa rumah panggung khas suku Bugis yang tersebar di antara rumah-rumah khas Jawa. Tiap rumah yang kita singgahi memberikan suguhan, sampai perut kami terasa penuh. Mbak Sri memenuhi janjinya, menyuguhiku tongkol bakar sambal korek lombok setan siram klentik. Perutku sudah sangat pen

  • MENJEMPUT CINTA DI UJUNG GELAM   Ujung Gelam

    Anganku melompat ke masa lima tahun yang lalu "Menikahlah denganku,Ning!" kata Gus Nadzim tiba-tiba. Mataku membelalak. Ada getar aneh menyusup ke dada, menjalar ke syaraf otak dan menimbulkam rasa bahagia. Aku tersenyum tipis dari tempatku duduk. Hatiku terasa sangat ringan. Udara yang kuhirup terasa hangat di paru-paruku, meskipun hawa dingin di sekitar Makam Syaikh Hasan Munadi Nyatnyono menembus kain parasit jaketku dan menusuk sampai ke tulang. Sementara pemandangan kerlap kerlip lampu perkampungan penduduk terlihat seperti hamparan permadani hitam bertabur berlian. "Kuliahku belum selesai,Gus. Kamu tahu bagaimana perjuanganku bisa sampai pada tahap ini. Meskipun aku sangat mencintaimu, aku tetap lebih mencintai diriku sendiri." kataku terkekeh. Ia memasang muka cemberut. "Bukan sekarang,Ning. Aku akan menunggumu selesai wisuda. Aku juga tidak mau punya istritulalit." godanya. GusNadzim

DMCA.com Protection Status