Liora merasa semuannya menjadi gelap. Hari sudah malam, ia meringkuk diatas lantai tanah didalam ruangan penjara kecil ini. Ia pasrah dengan apa yang terjadi pada dirinya. 3 tahun, ya dia harus terus seperti ini selama 3 tahun sampai usianya menginjak 17 tahun. Apakah setelah itu ia akan dibunuh? Atau dibebeskan atau bahkan menjadi selir dari pria bajingan berdarah bangsawan itu.
Tiba-tiba Liora mendengar suara gerbang besi yang dibuka paksa. Lalu ia menatap kearah sinar yang memasuki ruangan yang pengap itu, terlihat dua pelayan memasuki ruangan ini dengan membawa nampan yang berisi setelah air dan sepiring roti gandum. Liora didudukkan secara paksa dan disuapin secara paksa juga. Hingga ia tercekik dan merasa sesuatu dari tenggorokannya mendesak untuk keluar. Pelayan ini menyuapinya dengan cara kasar, mencekoki air putih secara terus-menerus sampai air putih itu tumpah mengenai bajunya. Liora menitikkan air matanya, ia merasa lapar tapi apakah roti hambar ini bisa mengenyangkannya sampai besok. Setelah selesai makan, Liora diseret paksa oleh kedua pelayan wanita bersifat bengis itu. Ia dipaksa masuk kedalam harrem yang diisi banyak matras selir. Semua pandang mata memandang kearahnya jijik, beberapa gadis kenalannya tadi pagi sudah berpakaian rapi. Sementara ia terus digeret secara paksa dan kasar memasuki kamar mandi. Lalu ia di lemparkan kekamar mandi. "Gadis pemberontak sepertimu harus dikasari. " Bapp Pintu ditutup kasar, Liora memandang kearah shower yang lebih kumuh dari pemandian yang tadi pagi. Ia mencoba membersihkan diri, memakai shampo dan sabun yang ia rasa wanginya sesuai dengan seleranya. Ia melihat gaun berwarna merah berani dengan renda menggoda yang mengitari tangannya. Pakaian ini pas, tidak membuat tubuh kecilnya tenggelam seperti tadi. Baru saja ia ingin keluar, ia menatap kearah pisau buah yang terletak dimeja. Ada banyak buah-buahan disana beserta dengan pisau buahnya. Ia mengurungkan niatnya untuk keluar, air matanya kembali jatuh. Ia mengingat kepergian orang tuanya. Setelah ini, dia harus masuk kedalam penjara kumuh bau tanah itu lagi. Menahan lapar dan haus seharian. Ia kemudian mendekati pisau itu, lalu mengenggamnya erat. "Ibu." Lirih Liora menatap kosong dan datar kearah depan. "Ayah, putrimu disiksa hiks." Lirih Liora. Liora kembali menangis terisak, hingga tanpa sadar pisau buah yang ia gengggam dan nan tajam itu menusuk nadiny. Membuat darah segar dengan cepat mengalir deras dipergelangan tangannya. Liora melihat kedepan, ia melihat bayangan putih yang bewujud seperti kedua orang tuanya seolah-olah menyuruhnya untuk cepat mengakhiri hidupnya. Ntah itu perbuatan setan yang menginginkannya mati atau memang sangat orang tua yang tak ingin melihatnya lebih tersiksa lagi. Liora bertekad kuat untuk membunuh dirinya sendiri, terlepas dari bayangan itu ia juga merasa tersiksa secara perlahan seperti ini. "Mending aku mati, dari pada harus menahan sakit ini selama bertahun-tahun." Lirih Liora memejamkan matanya membiarkan rasa sakit menjulur dinadinya. Hingga pandangannya memutih, kepalanya bak dihantam ribuan balok, lututnya lemas hingga yang ia dengar terakhir kali adalah suara dobrakan pintu. "Siapkan tabib!" Suara itu yang terakhir ia dengar. *** Kedua pelayan panik mengendong tubuh kecil Liora memasuki harrem, bahkan mereka sampai tak menyadari ada dua orang pangeran yang tengah memilih selir untuk penghangat ranjang mereka malam ini. Pandangan Elgard dan Mike jatuh pada gadis kecil dengan darah mengucur dipergelangan tangannya, bahkan darahnya mengotori marmer harrem. Para selir meringis jijik dan kesakitan merasakan apa yang Liora rasakan. "Hormat yang mulia, bisakah kami membawa gadis pemberontak ini keruangan perawatan? " Tanya kepala pelayan yang tak henti menyiksa para selir. Elgard menaikkan sebelah alis matanya. "Apa yang terjadi padanya?" Tanya pria muda berperawakan gagah dan tampan itu. "Dia menyakiti dirinya sendiri, dia memotong urat nadinya." Ujar kepala pelayan yang masih tak kunjung berani menatap wajah pengerannya itu. "Sial!" Rutuk Elgard. "Berikan perawatan yang layak untuknya." Kepala pelayan itu mengangguk dan membawa Liora keruangan tabib. Elgard memandang darah segar yang membanjiri marmer harrem. Lalu pandangannya jatuh pada wajah pucat dengan rambut gelap itu. Manik biru terang yang tertutup bulu mata lentik, wajah putih pucat dan bibir merah yang hampir membuatnya menggila dan hilang tata krama sebagai seorang pangeran menjadi putih pucat dan pecah-pecah. Tabib memberbani pergelangan tangan Liora. Liora masih hidup, goresan pisau itu tak tetap mengenai nadinya hanya saja ia banyak kekurangan darah. Pintu terbuka kasar, menampilkan seorang pangeran bertubuh kekar memasuki ruang perawatan. Para tabib dan pelayan menunduk seketika, Louise menatap tubuh kecil yang melemas dan terbaring di ranjang sana. "Ada yang bisa hamba bantu, yang mulia?" Kata sang tabib. Mata abu-abu Louise terangkat menatap tabib tersebut. "Setelah dia benar-benar sehat, kembalikan dia kepenjara. Dan jangan biarkan dia keluar dari penjara sebelum aku kembali kekerajaan." Ujar Elgard dingin, lalu dia keluar dan kembali membanting pintu kamar yang terdiri dari dua pintu kayu yang menjulang tinggi. *** Liora merasa pergelangan tangannya kesemutan, sangat perih dan kebab. Ia menatap kesekeliling ruangan berhiasan coklat tak ada seorang pun diruangan ini. Ia kembali memejamkan matanya. Ia fikir dia sudah benar-benar mati, tetapi kenyataan pahit harus ditelannya mentah-mentah. Tuhan seolah-olah menginginkannya untuk menanggung penderitaan ini lebih lama lagi. Cklek Pintu terbuka, menampilkan seorang wanita berumur sekitar 40 tahun membawa nampan. Wajah wanita ini lebih lama dari pada pelayan lainnya dan wanita inilah salah satu budak yang memandikannya saat pertama kali menginjak kerajaan. "Anda kekurangan banyak darah, anda harus makan makanan bergizi untuk kedepannya tuan putriku yang sangat manis." Senandung wanita ini membuat Liora menyunggingkan senyuman tipis, sebuah suara ramah dan nada yang sedikit lari dari suaranya. "Buka mulutmu, putri yang cantik." Kata wanita itu. Liora membuka mulutnya dan merasakan suapan lembut masuk kedalam mulutnya. Roti dengan hati sapi, dengan daging merah, kacang kacangan dan juga kentang. "Mengapa aku masih disini?" Lirih Liora dan wanita itu menatap Liora dengan prihatin. "Karena belum masanya kau berakhir, tuan putriku." Kata budak ini dan lagi-lagi menyuapi Liora dengan sangat lembut tanpa pemaksaan seperti wanita yang tadi malam dipenjara. "Kenapa aku harus makan makanan bangsawan?" Budak itu menyuapi Liora lagi dengan lembut. "Kau kekurangan banyak darah dan kau harus makan makanan bergizi." Jawab budak ini. "Memangnya apa peduli kalian jika aku mati?" Jawaban Liora membuat hati budak pelayan ini terhenyak. "Bukan kami yang perduli, tuan putri." Ujar pelayan itu lembut. Lalu pelayan itu menyambung katanya dan lebih tepatnya seperti berbisik. "Tetapi calon raja kita." Liora tersentak dan hampir menyemburkan susu yang ia minum. Bagaimana bisa pria bajingan itu memperdulikannya? Apakah itu salah satu cara untuk membuat hidupnya lebih menderita. Kemudian pelayan itu menangkup wajah kecil Liora dengan sentuhan lembut dan tulus. "Jangan akhiri hidupmu lagi, tuan putri. Aku sangat yakin kau mampu mengubah persejarahan dunia. Kau mampu membuat pangeran Elgard bertekuk lutut dibawahmu, mengubah kekejaman sejarah dunia eropa, dan memerdekakan kami sebagai budak yang sering disiksa. Membebaskan kehidupan rakyat jelata yang tersiksa dengan iuran pajak yang sangat tinggi. Dan kau akan menjadi pengganti ratu carolline yang meninggal 5 tahun lalu." Liora menggelengkan kepalanya. Sampai kapan pun ia tidak akan sudi menjadi selir dan harus menyerahkan tubuhnya pada penguasa keji seperti Elgard. "Tidak akan!" "Kami memohon padamu, kami juga berharap padamu dan kami sangat yakin kau bisa mewujudkan harapan kami." "Tidak akan! Aku tidak akan menyerahkan tubuhku pada pria bengis seperti mereka!" Ujar Liora menggeleng tegas. "Aku sangat yakin darah ratu Carolline memberkatimu. Kisahmu dan kisahnya sangat mirip budak itu. Carolline siapa? "Carolline?" Budak itu mengangguk. "Ibu pangeran Edgard. Dulunya Mark adalah raja penggila kelamin dan sangat kejam pada rakyatnya. Namun Carolline adalah wanita berhati lembut mampu membuat Mark tergila-gila padanya dan berubah atas tindakan Carolline. Hidup rakyat menjadi damai dan tentram setelah Mark mensahkan Carolline menjadi istrinya. Namun setelah Carolline meninggal, Mark kembali menjadi kejam dan kekejamannya diwarisi oleh pangeran Louise." Liora terhenyak seketika mendengar apa yang dikatakan pelayan itu. "Tidak akan! Aku tidak tertarik sama sekali dengan jabatan seorang ratu dan penguasa dunia. Aku hanya akan membalaskan dendamku pada pria bengis itu." "Itu yang akan membuat sang pangeran tertarik padamu, aku pamit." Pelayan itu pergi meninggalkan Liora sendiri. Ia tidak mengerti dengan masa depannya, ia memejamkan matanya meratapi kesialan yang sedang dirasakannya hingga bau maskulin itu, kembali tercium di indra penciumannya.Liora masih terbaring di ranjangnya, pikirannya penuh dengan kata-kata pelayan tadi. Ratu Carolline. Wanita itu bisa mengubah seorang raja yang kejam. Namun, apa hubungannya dengan dirinya? Ia hanya seorang gadis biasa yang kehilangan segalanya.Ia menarik napas dalam, menatap langit-langit kayu ruangan itu. Tubuhnya masih lemah akibat kehilangan banyak darah, tapi pikirannya tidak bisa diam. Apa sebenarnya yang mereka inginkan dariku? Mengapa semua orang berbicara seolah aku memiliki peran penting dalam kerajaan ini?Pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Seorang pria tua dengan jubah panjang memasuki ruangan dengan langkah mantap. Wajahnya penuh keriput, namun matanya tajam seperti mata elang yang mengamati mangsanya. Liora mengenal pria ini. Perdana Menteri Godric. Ia adalah penasihat utama Raja Mark, pria paling berpengaruh di istana selain keluarga kerajaan.Tanpa basa-basi, Godric berbicara. "Kau gadis yang membuat keributan itu?" suaranya berat, penuh wib
BAB 4 – Jerat yang Semakin MengikatHujan turun dengan derasnya di luar istana, menciptakan irama yang menggema di seluruh lorong-lorong batu. Angin malam bertiup kencang, menggoyangkan tirai kamar Liora yang kecil dan sunyi. Namun, di dalam dirinya, badai yang jauh lebih besar tengah berkecamuk.Sejak kepulangan Elgard, istana menjadi semakin gelap. Para pelayan tampak lebih hati-hati dalam bergerak, para prajurit lebih waspada, dan para bangsawan saling bertukar tatapan penuh makna. Pangeran Elgard tidak hanya kembali dari medan perang, tetapi ia juga kembali dengan aura yang lebih dingin dan lebih kejam dari sebelumnya.Namun yang paling mengusik pikiran Liora adalah perintah yang di terimanya malam ini.Ia akan diperkenalkan secara resmi sebagai selir Pangeran Elgard dalam sebuah perjamuan kerajaan.Sebuah status yang tidak pernah ia inginkan.---Liora duduk di sudut kamarnya, menatap api lilin yang mulai meredup. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai pertanyaan."Untuk apa semua i
BAB 5 – Jeratan Tak TerelakkanLiora berdiri di tengah aula perjamuan, telapak tangannya masih berada dalam genggaman Elgard. Udara di ruangan itu terasa berat, penuh dengan tatapan para bangsawan yang mengamati mereka dengan berbagai ekspresi—penasaran, iri, dan bahkan ada yang menunjukkan tanda-tanda ketidaksenangan.Ia dapat merasakan jantungnya berdegup lebih cepat, tetapi wajahnya tetap tanpa ekspresi."Aku bukan pion mereka."Jika mereka ingin mempermainkannya dalam politik istana, maka ia harus memastikan dirinya bukan sekadar alat yang bisa digunakan dan dibuang.Elgard menatapnya dengan intens, seolah menantikan reaksi darinya. Namun, Liora tidak memberikan apa pun. Ia membiarkan keheningan di antara mereka menggantung, menolak untuk memberikan kepuasan pada pangeran kejam itu.Namun, keheningan mereka akhirnya terputus ketika seorang bangsawan tua dengan janggut panjang dan mantel biru keemasan melangkah mendekat."Yang Mulia Pangeran Elgard," katanya dengan nada penuh sopan
BAB 6 – Perangkap dalam BayanganMalam terasa lebih panjang dari biasanya. Liora duduk di ranjangnya, pikirannya dipenuhi kata-kata Elgard."Kesempatan untuk membalas dendam dengan cara yang tidak akan membuatmu mati sia-sia."Apakah ia benar-benar harus percaya pada pria itu?Tiba-tiba, suara langkah kaki di lorong membuatnya tersadar. Langkah yang berat dan teratur, seolah milik seseorang yang tak terburu-buru, tetapi juga tak ingin terlihat mencurigakan.Liora meraih belati kecil yang ia sembunyikan di bawah bantal—satu-satunya alat perlindungan yang ia miliki. Napasnya tertahan ketika pintu kayu itu terbuka perlahan.Seorang pelayan pria masuk, membawa nampan dengan sebuah teko dan cangkir porselen."Yang Mulia Pangeran Elgard mengirimkan teh untuk Anda," katanya dengan suara datar.Liora tetap diam, matanya mengawasi setiap gerak-geriknya.Pelayan itu berjalan ke meja kecil di dekat tempat tidurnya, menuangkan teh ke dalam cangkir, lalu menunduk hormat. "Silakan diminum sebelum t
BAB 8 – Jerat di Antara KekuasaanMalam itu, angin dingin berembus melewati jendela kamarnya. Liora duduk di tepi ranjang, matanya menatap kosong ke arah bulan yang menggantung di langit.Pengenalan resminya sebagai selir Pangeran Elgard telah mengguncang istana. Bukan hanya para selir lain yang kini melihatnya sebagai ancaman, tetapi juga para bangsawan yang menyadari bahwa keberadaannya bisa mengubah keseimbangan kekuasaan.Dan kemudian, ada Pangeran Mike.Pria itu telah menawarkan kebebasan, tetapi dengan harga yang terlalu mahal—pengkhianatan terhadap Elgard.Namun, apakah ia benar-benar berpihak pada Elgard?Liora mengepalkan tangannya. Tidak. Ia tidak berada di sisi siapa pun.Ia hanya berada di pihaknya sendiri.---Bayangan di Lorong IstanaLiora bangkit dari tempat tidurnya, mengambil jubah tipis, lalu membuka pintu kamarnya dengan hati-hati.Ia tidak bisa tidur malam ini
Angin malam berembus kencang saat Liora berdiri di balkon kamarnya, memandangi istana yang tampak begitu tenang dari luar. Namun, ia tahu, di dalam tembok megah itu, perang diam-diam sedang berlangsung.Pangeran Elgard dan Pangeran Mike.Dua pria yang sama-sama haus kekuasaan, tetapi dengan cara yang berbeda.Dan sekarang, ia berada di tengah-tengahnya.Ancaman Mike masih terngiang di kepalanya. Jika ia tidak berpihak pada pria itu, ia mungkin tidak akan bertahan lama di istana ini. Tetapi berpihak pada Elgard juga bukan pilihan yang lebih baik.Liora menghela napas panjang.Ia tidak ingin terjebak di antara mereka.Ia harus mencari jalan keluar.---Sebuah Undangan yang BerbahayaPagi itu, seorang pelayan mengetuk pintu kamarnya dengan wajah tegang."Ada pesan untuk Anda, Nona Liora," katanya sambil menyerahkan gulungan kertas kecil yang disegel dengan lilin merah.
Kematian Bangsawan Ravier mengguncang seluruh istana.Semua orang berbicara tentangnya.Namun, tidak ada yang berani mengajukan pertanyaan secara terbuka.Karena mereka tahu—terlalu banyak bicara di tempat ini hanya akan membawa kematian lebih cepat.Liora mengamati para bangsawan yang berbisik di sudut-sudut ruangan saat ia berjalan menyusuri aula. Beberapa dari mereka menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu, sementara yang lain tampak menilai.Ia bisa merasakan sorotan tajam Pangeran Mike dari kejauhan, tetapi ia pura-pura tidak melihatnya.Yang lebih mengejutkan, Pangeran Elgard belum memberikan pernyataan apa pun tentang kematian Ravier.Seolah ia sengaja membiarkan semua orang tenggelam dalam ketakutan mereka sendiri.---Pertemuan yang Tak TerdugaHari itu berlalu dengan ketegangan yang semakin memuncak.Menjelang senja, seorang pelayan datang ke kamarnya, membawa pesan dari
BAB 10 – Di Antara Dinding yang SamaHari pertama Liora tinggal di ruang pribadi Elgard terasa seperti siksaan.Ia masih belum terbiasa dengan keberadaan pria itu yang selalu ada di sekitarnya memandangnya dengan tatapan penuh teka-teki, seolah sedang mengamatinya.Ruangannya lebih luas daripada kamar selir pada umumnya. Dindingnya di hiasi dengan lukisan-lukisan peperangan, dan ada rak buku besar di satu sisi. Tempat tidurnya lebar dan mewah, tetapi Liora lebih memilih tidur di sofa yang terletak di dekat jendela.Tentu saja, Elgard hanya tertawa melihat keengganannya itu."Kenapa? Takut aku akan melakukan sesuatu?" godanya malam itu saat melihat Liora bersiap untuk tidur di sofa.Liora menatapnya dengan tajam. "Aku hanya tidak ingin berbagi tempat tidur denganmu."Elgard hanya mengangkat bahu. "Terserah."Meski begitu, ia tidak pernah benar-benar meninggalkan Liora sendirian.---Pagi ya
BAB 16 – Pengkhianatan di Balik BayanganLiora tidak bisa mengabaikan firasat buruk yang menggelayuti hatinya.Sejak pagi, istana terasa lebih mencekam. Bisikan-bisikan di koridor semakin banyak, para pelayan terlihat lebih waspada, dan beberapa prajurit tampak gelisah saat berjaga.Sesuatu sedang terjadi.Dan Liora tahu, cepat atau lambat, badai itu akan menghantamnya.Di ruangannya, Elgard berdiri dengan ekspresi tegang. Di hadapannya, seorang pengawal berlutut, menyampaikan laporan."Pangeran, kita menemukan seseorang yang mencoba menyelinap ke dalam bagian istana yang seharusnya terlarang."Elgard menyipitkan mata. "Siapa?"Pengawal itu ragu sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Seorang selir… dan dia membawa surat dari pihak luar."Jantung Liora mencelos.Selir?Apa mungkin salah satu dari mereka adalah pengkhianat?Elgard mengangguk pelan, lalu melirik Liora. "Aku ingin ka
BAB 15 – Kebenaran yang Menyakitkan Liora tidak bisa tidur malam itu. Bukan karena udara yang dingin atau nyala lilin yang meredup di sudut ruangan. Melainkan karena kata-kata Elgard yang terus terngiang di kepalanya. "Aku tidak ingin membunuhmu." Apa artinya itu? Selama ini, ia selalu berpikir bahwa hubungannya dengan Elgard adalah permainan kekuasaan. Ia hanyalah selir yang tidak diinginkan, boneka yang terperangkap dalam istana kejam ini. Tapi semakin lama ia berada di sisi Elgard, semakin banyak hal yang tidak bisa ia pahami. Perlakuan Elgard padanya terlalu kontradiktif—kadang ia terasa seperti musuh, kadang terasa seperti sesuatu yang lebih dari sekadar penguasa dan selir. Dan itu yang membuat segalanya semakin berbahaya. Liora tidak boleh jatuh ke dalam jebakan ini. Karena pada akhirnya, Elgard tetaplah musuhnya. --- Pagi yang Mencekam Saat fajar menyingsing, ketegangan sudah menggantung di udara. Kabar tentang pergerakan Pangeran Mike semakin santer terdengar.
BAB 14 – Dinding yang Mulai RetakMalam itu terasa begitu panjang bagi Liora.Elgard belum kembali sejak peristiwa penyusupan di istana, dan meskipun ia mencoba mengabaikan kekhawatirannya, pikirannya terus berputar.Ia tidak seharusnya peduli.Ia tidak seharusnya merasa seperti ini.Namun, setiap suara di luar pintu membuatnya tersentak, berharap melihat sosok Elgard masuk dengan selamat.Ketika akhirnya pintu terbuka dan Elgard melangkah masuk, Liora langsung bangkit dari duduknya.Tapi sebelum kata-kata keluar dari bibirnya, ia melihat noda darah di lengan dan dadanya."Kau terluka?" tanyanya cepat, tanpa berpikir.Elgard mengangkat alis, tampak terkejut dengan reaksinya. "Ini bukan darahku."Liora menelan ludah. "Apa yang terjadi?"Elgard berjalan melewati ruangan dan menjatuhkan diri di kursi, tampak kelelahan. "Penyusupnya tertangkap. Tapi ini bukan hanya percobaan pembunuhan biasa, Liora."Liora mendekat, duduk di hadapannya. "Apa maksudmu?"Elgard menatapnya dengan serius. "Or
BAB 13 – Di Antara Kebencian dan KetertarikanLiora merasa jantungnya belum kembali ke ritme normal sejak pertemuan semalam. Tatapan Elgard, suaranya yang dalam, dan kata-katanya yang menggema di benaknya masih terus menghantuinya."Bahwa kau tidak akan bisa lari dariku."Ia ingin menyangkalnya.Ia ingin percaya bahwa semua ini hanya permainan kekuasaan Elgard—hanya cara lain untuk mengendalikannya.Tapi setiap kali ia mengingat bagaimana Elgard menatapnya malam itu, ada sesuatu yang aneh yang merayapi hatinya. Sesuatu yang membuatnya semakin gelisah.Ia duduk di tepi tempat tidur, memandangi jendela besar yang memperlihatkan langit mendung. Angin bertiup pelan, membawa udara sejuk ke dalam ruangan.Pintu kamar terbuka tanpa peringatan.Elgard masuk dengan santai, seolah-olah ini adalah kamarnya sendiri.Liora mendengus. "Kau tidak bisa mengetuk dulu?"Elgard tersenyum kecil. "Kenapa? Kau sedang melakukan sesuatu yang tidak ingin kulihat?"Liora memutar bola matanya. "Aku ingin sendir
BAB 12 – Jarak yang Semakin MemudarLiora duduk di tepi jendela, menatap hujan yang turun perlahan di luar istana. Udara dingin merambat masuk melalui celah jendela, membuatnya merapatkan selimut di bahunya.Pikirannya masih dipenuhi kata-kata Elgard semalam."Apa kau pernah berpikir bahwa mungkin kita tidak harus menjadi musuh?"Liora menghela napas.Jawabannya jelas. Tidak.Tapi kenapa ia masih memikirkannya?---Percakapan yang MenggangguElgard memasuki ruangan dengan langkah santai. Ia sudah berganti pakaian dengan jubah hitam yang selalu membuat auranya semakin gelap dan menekan.Liora berpura-pura tidak memperhatikannya, tetapi Elgard berhenti tepat di belakangnya."Kenapa kau melamun pagi-pagi begini?" tanyanya.Liora menoleh dengan tatapan tajam. "Sejak kapan kau peduli dengan apa yang kupikirkan?"Elgard menyeringai. "Sejak kau mulai tampak seperti seseorang yang kebingungan."Liora mendengus dan beranjak dari tempat duduknya, hendak pergi, tapi Elgard tiba-tiba menarik perg
BAB 13 – Jarak yang Semakin MemudarLiora duduk di tepi jendela, menatap hujan yang turun perlahan di luar istana. Udara dingin merambat masuk melalui celah jendela, membuatnya merapatkan selimut di bahunya.Pikirannya masih dipenuhi kata-kata Elgard semalam."Apa kau pernah berpikir bahwa mungkin kita tidak harus menjadi musuh?"Liora menghela napas.Jawabannya jelas. Tidak.Tapi kenapa ia masih memikirkannya?---Percakapan yang MenggangguElgard memasuki ruangan dengan langkah santai. Ia sudah berganti pakaian dengan jubah hitam yang selalu membuat auranya semakin gelap dan menekan.Liora berpura-pura tidak memperhatikannya, tetapi Elgard berhenti tepat di belakangnya."Kenapa kau melamun pagi-pagi begini?" tanyanya.Liora menoleh dengan tatapan tajam. "Sejak kapan kau peduli dengan apa yang kupikirkan?"Elgard menyeringai. "Sejak kau mulai tampak seperti seseorang yang kebingungan."Liora mendengus dan beranjak dari tempat duduknya, hendak pergi, tapi Elgard tiba-tiba menarik perg
BAB 11 – Perasaan yang Tak DiinginkanHari-hari berlalu tanpa Liora sadari.Sejak tinggal di ruangan yang sama dengan Elgard, segalanya berubah perlahan.Awalnya, ia mengira pria itu akan terus menyiksanya dengan kata-kata sinis atau mempermainkannya seperti boneka. Tapi kenyataannya, Elgard tidak pernah melakukan hal itu.Ia tetap dingin dan mendominasi, tapi di balik tatapannya, Liora mulai melihat sesuatu yang berbeda sesuatu yang tidak bisa ia pahami.Dan yang lebih berbahaya dari itu… ia mulai terbiasa dengan keberadaannya.---Kedekatan yang Tak TerdugaSuatu pagi, Liora terbangun lebih awal dari biasanya.Saat ia membuka mata, ia menyadari bahwa Elgard masih tertidur di tempat tidurnya.Itu pemandangan yang langka. Biasanya, pria itu bangun sebelum matahari terbit.Untuk sesaat, Liora hanya menatapnya.Elgard terlihat berbeda saat tidur lebih tenang, lebih manusiaw
BAB 10 – Di Antara Dinding yang SamaHari pertama Liora tinggal di ruang pribadi Elgard terasa seperti siksaan.Ia masih belum terbiasa dengan keberadaan pria itu yang selalu ada di sekitarnya memandangnya dengan tatapan penuh teka-teki, seolah sedang mengamatinya.Ruangannya lebih luas daripada kamar selir pada umumnya. Dindingnya di hiasi dengan lukisan-lukisan peperangan, dan ada rak buku besar di satu sisi. Tempat tidurnya lebar dan mewah, tetapi Liora lebih memilih tidur di sofa yang terletak di dekat jendela.Tentu saja, Elgard hanya tertawa melihat keengganannya itu."Kenapa? Takut aku akan melakukan sesuatu?" godanya malam itu saat melihat Liora bersiap untuk tidur di sofa.Liora menatapnya dengan tajam. "Aku hanya tidak ingin berbagi tempat tidur denganmu."Elgard hanya mengangkat bahu. "Terserah."Meski begitu, ia tidak pernah benar-benar meninggalkan Liora sendirian.---Pagi ya
Kematian Bangsawan Ravier mengguncang seluruh istana.Semua orang berbicara tentangnya.Namun, tidak ada yang berani mengajukan pertanyaan secara terbuka.Karena mereka tahu—terlalu banyak bicara di tempat ini hanya akan membawa kematian lebih cepat.Liora mengamati para bangsawan yang berbisik di sudut-sudut ruangan saat ia berjalan menyusuri aula. Beberapa dari mereka menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu, sementara yang lain tampak menilai.Ia bisa merasakan sorotan tajam Pangeran Mike dari kejauhan, tetapi ia pura-pura tidak melihatnya.Yang lebih mengejutkan, Pangeran Elgard belum memberikan pernyataan apa pun tentang kematian Ravier.Seolah ia sengaja membiarkan semua orang tenggelam dalam ketakutan mereka sendiri.---Pertemuan yang Tak TerdugaHari itu berlalu dengan ketegangan yang semakin memuncak.Menjelang senja, seorang pelayan datang ke kamarnya, membawa pesan dari