Kabar tentang adanya lowongan untuk staf di bagian kantor baru diumumkan pekan berikutnya. Ada selebaran yang dipasang di papan pengumuman tiap unit bangunan produksi dan di bagian depan bangunan pabrik.Meski beberapa orang di unit menyemangati Menik untuk ikut seleksi dengan ijazah SMEA yang dia miliki, Menik menolak. Dia pesimis akan mendapatkan lowongan itu.Kebanyakan para pekerja di pabrik ini memang ibu-ibu berpendidikan dasar saja. Ijazah SD sudah lebih dari cukup untuk melamar pekerjaan di pabrik. Tidak sedikit buruh yang SD pun tidak tamat. Yang penting mereka bisa bekerja meskipun dengan upah yang rendah. Biasanya mereka bisa masuk bekerja karena bawaan dari mandor atau ajakan sesama pekerja. Biasanya pekerja yang mengajak orang lain masuk harus menjadi penjaminnya. Ada juga yang seperti Menik. Hanya mendapat info lowongan dari buruh lain kalau ada rekrutan baru untuk buruh pabrik saja. Selebihnya Menik usaha sendiri saat mendaftar dan mengikuti prosesnya.Apa pun carany
"Kamu yakin mau kerja?" Tanya Menik tidak percaya.Naryo mengangguk."Serius?""Iya, aku itu kan nurut sama kamu, Nik. Karena kamu calon istriku," kata Naryo sambil tersenyum lebar."Mulai deh," kata Menik tertawa."Lho bener kan. Suami juga harus mendengarkan pendapat istri. Kan aku kamu suruh nyoba kerja, jadi aku bakal kerja," jawab Naryo."Ehem. Iya sih. Tapi tampilan kamu nggak bisa kayak gini kalau mau kerja, Yo," kata Menik hati-hati."Emangnya kenapa sama tampilan aku? Ini itu model keluaran terbaru, Nik. Ini itu motif Naga yang katanya bakal bikin aku kelihatan tambah gagah dan kaya raya," kata Naryo sambil menunjuk bordiran naga yang besar memenuhi bagian punggung jaketnya."Kamu kayak preman, gengster gitu lho, Yo," bisik Menik."Lho emang itu tujuannya. Kamu pikir kenapa rambutku aku tata rapi seperti ini? Nggak jaman lagi preman kudu brewokan sama rambut acak-acakan. Preman sekarang harus modis, harus rapi jali," elak Naryo yang malah membuat Menik menggelengkan kepalanya
Tahun 1980an"Buk, aku arep kawin (aku mau nikah)," perkataan Menik yang tengah membantu ibunya menyiapkan makan malam saat itu mengejutkan Bu Tina yang tengah meniup api di pawon."Ngopo tho nduk? Kawin opo? Kok kesusu?" (Ada apa Nak, nikah apa? kok terburu-buru?) Bu Tina berdiri menghampiri Menik yang sedang memotong sayuran."Kalau aku nggak nikah, mau ngapain, Buk? Sepantaran aku di desa ini udah pada nikah dan punya anak semua. Memangnya Ibuk mau anaknya dibilang perawan tua?" balas Menik sambil mengerucutkan bibirnya"Ya kamu bisa sekolah lagi. Masuk perguruan tinggi sana. Atau ambil kursus jahit atau rias pengantin. Biayanya nanti bisa kita usahakan. Kamu kan baru 20, Nduk. Apa ndak sayang kalau mau cepet nikah?" Bu Tina membujuk Menik dengan lembut."Emoh aku Buk (tidak mau aku Buk). Aku mau cari duit aja. Atau nikah sama orang kaya biar nggak perlu kerja. Capek aku Bu, bantuin ibu tandur (menggarap sawah/ladang)," Menik bersikukuh."Kalau mau dapat duit ya kerja aja nduk. Ke
"Yaa, siapa aja. Pokoknya dia punya duit dan pangkat tinggi. Jadi nggak bikin aku susah, aku mau hidup di kota, Buk. Nggak mau terus-terusan di dusun kayak gini," jawab Menik. “Lho jadi niat kamu nikah itu berarti buat dapat kekayaan?” tanya Bu Tina sedikit tidak senang. “Yaa, bukan begitu, Buk. Tapi yaa realistis saja tho bu, kan nikah itu butuh banyak biaya. Dan aku kan juga mau hidup yang lebih baik, lebih enak gitu lho, Buk. Pokoknya cari suami yang bisa bayar pembantu buat bantuin kerjaan rumah, biar nggak begini,” jawab Menik sambil membuka kedua telapak tangannya menunjukan dirinya yang sedang sibuk membersihkan bumbu dapur. “Walah, modelmu, Nik. Mau pakai pembantu segala. Nikah itu harusnya niatnya ibadah. Bukan karena cari kaya. Kaya tapi kalau nggak bahagia yaa buat apa?” nasihat bu Tina. “Kalau gitu yaa cari yang kaya, dan bikin bahagia yaa, Buk.” Ujarku. “Sekarepmu, Nik,” (terserah kamu, Nik) ujar bu Tina pasrah. “Jadi calon suami aku itu, hmm.. harus 5T, Buk?” ujar
Pagi-pagi sekali di rumah Bu Tina"Assalamualaikum..," terdengar ketukan pintu disusul seseorang uluk salam dari luar rumah.“Waalaikumsalam..,” jawab bu Tina sambil membuka pintu dan mendapati Naryo ada di depan rumahnya.Naryo anak juragan tebu di desa itu bertamu ke rumah Bu Tina pagi-pagi sekali dengan penampilan rambut gondrongnya yang diminyaki sampai licin dan disisir rapi ke belakang. Di depannya dua poni lurus di kanan kiri sudah seperti sungut ikan lele.Baju bunga-bunga berwarna coklat merah dan kuning dipadu dengan jaket jeans yang luntur warnanya. Memakai celana jeans gombrang di bagian bawah dengan benang yang keluar-keluar.Seuntai kalung hitam menghiasi lehernya, disertai dengan bandul dari kulit berbentuk segi empat. ‘Sudah kayak pakai jimat aja,' batin Bu Tina.Pergelangan tangannya penuh dengan aksesoris dari tali kulit, rantai, batu-batuan yang berwarna warni, dan entah apa lagi. Beragam cincin berbatu akik tersemat di jari-jarinya, sudah seperti penjual akik saja
"Bukannya kalau perempuan memasak terlalu terlalu banyak garam tandanya ingin segera kawin, Nik? Ini tehnya asin banget, Nik," berusaha tersenyum Naryo menjawab pertanyaan Menik. Menik terkejut tapi juga ingin tertawa. "Ah, masa sih yo? teh manis kok ini," ujar Menik menahan tawa. "Sumpah Nik, ini assuin buanget kok. Tandanya kamu itu bener-bener ngebet kawin sama aku," kata Naryo "Siapa yang bilang begitu? Aku belum ngebet kawin kok, apalagi sama kamu," "Lho saya yang barusan bilang, kamu yang bikin teh ini asin. Aku yang menikmati. Berarti kamu ngebet kawinnya sama aku," jelas Naryo penuh percaya diri. "Teori dari mana?! Lagian itu yang bikin ibuku bukan aku. Udah ah aku mau ganti baju dulu," masih menahan tawanya ditinggalkannya Naryo sendirian. Mendengar perkataan Menik, Naryo terlihat bingung. Tak perlu waktu lama Menik sudah berdandan dengan sapuan bedak tipis dan sedikit lipstik di bibirnya agar tidak pucat. Menik sudah cantik dan siap berangkat kerja. Karena ini hari p
"Menik, nanti kamu pulang jam berapa? Biar aku jemput," tanya Naryo pada Menik yang baru turun dari boncengan motornya yang masih baru. Motor warna hitam merah keluaran merek Kak Wasaki itu sudah beberapa kali mengantarkan Menik ke pusat kota. Menik menyerahkan helm yang dipakainya pada Naryo.Menik cuek dan memilih untuk merapikan rambutnya di depan spion."Cantikku, Menik.. Pujaan hatiku.. aku tanya kamu mau dijemput jam berapa nanti?" Tanya Naryo lagi masih dengan senyum sumringah sambil memainkan alisnya naik turun."Aku juga nggak tahu, Yo. Paling jam 3an sudah pulang. Nggak apa-apa aku bisa pulang sendiri nanti," jawab Menik"Lho, tidak bisa begitu Menik. Kamu adalah calon istriku, dan aku adalah calon suamimu. Mana mungkin aku biarkan kamu pulang sendirian, sedangkan aku ada di sini. Bagaimana jika nanti ada laki-laki lain yang menculikmu, apa ndak blaen? Melayani kamu dengan antar jemput adalah tugasku, Menik yang cantik," kata Naryo sambil melipat tangannya di depan dada, sa
"Menik!" Tepukan keras di bahu Menik mengagetkan dirinya. Sejenak perhatiannya teralihkan pada pemilik tangan itu. Salah satu peserta orientasi menarik tangannya agar tidak tertinggal dari rombonganMenik berniat menyapa sosok laki-laki yang sudah mencuri hatinya itu, tapi lelaki tampan itu dia sudah menghilang entah kemana. Menik mencari-cari dengan pandangan matanya, tapi tak dijumpainya.'Duh ganteng, gagah banget. Mana belum sempat kenalan lagi, eh udah hilang entah kemana. Bagian apa yaa kok seragamnya lain. Moga-moga bisa ketemu lagi,' batin Menik penuh harap. Menik menoleh lagi ke belakang berharap menemukan lagi sosok itu. Nihil."Nyari siapa?" tanya perempuan yang tadi menarik tangannya. "Nggak nyari siapa-siapa kok. Eh nama kamu siapa tadi?" tanya Menik pada sosok perempuan di sebelahnya itu. "Puji." jawabnya sambil menunjuk nama yang tertara di kertas yang berpeniti di dada kirinya. kertas yang sama juga tersemat di dada kiri Menik. "Oh iya, Puji. Maaf suka lupa," jawab