"Menik, nanti kamu pulang jam berapa? Biar aku jemput," tanya Naryo pada Menik yang baru turun dari boncengan motornya yang masih baru.
Motor warna hitam merah keluaran merek Kak Wasaki itu sudah beberapa kali mengantarkan Menik ke pusat kota. Menik menyerahkan helm yang dipakainya pada Naryo.Menik cuek dan memilih untuk merapikan rambutnya di depan spion."Cantikku, Menik.. Pujaan hatiku.. aku tanya kamu mau dijemput jam berapa nanti?" Tanya Naryo lagi masih dengan senyum sumringah sambil memainkan alisnya naik turun."Aku juga nggak tahu, Yo. Paling jam 3an sudah pulang. Nggak apa-apa aku bisa pulang sendiri nanti," jawab Menik"Lho, tidak bisa begitu Menik. Kamu adalah calon istriku, dan aku adalah calon suamimu. Mana mungkin aku biarkan kamu pulang sendirian, sedangkan aku ada di sini. Bagaimana jika nanti ada laki-laki lain yang menculikmu, apa ndak blaen? Melayani kamu dengan antar jemput adalah tugasku, Menik yang cantik," kata Naryo sambil melipat tangannya di depan dada, sambil manggut-manggut, takjub dengan apa yang barusan dikatakannya."Udah mending kamu cepet pulang sana. Kerja kek bantuin bapakmu!" Usir Menik karena sudah tidak tahan dengan kelakuan Naryo yang nyentrik."Lho, tidak kerja pun aku selalu ada uang Menik, kamu tidak perlu khawatir. Ini aku Naryo anak Juragan Tebu terke.. hmmph," Menik membekap mulut Naryo menghentikan ocehannya, lalu ia bergegas pergi sebelum jadi tontonan orang ramai."Menik! Lho.. Hei Cintakuu.. aku akan menunggumu di sini sampai nanti.. Aiiii Loooop Yuuuu," teriak Naryo pada Menik yang sudah mulai memasuki gerbang pabrik, dilambai-lambaikannya tangannya melepas kepergian wanita yang dianggapnya kekasih itu.Beberapa pedagang yang menggelar lapaknya di sepanjang tembok pabrik menatap Naryo sambil tersenyum."PACAR SAYA ITU TADI PAK! CALON ISTRI!" Teriak Naryo penuh percaya diri."SIAPA?!" celetuk seorang Bapak penjual baju sambil melihat ke arah Naryo."Itu tadi pak yang saya bonceng. Itu calon istri saya," jawab Naryo sambil menarik turunkan alisnya."YANG NANYA!" Celetuk Bapak itu lagi. Disambut gelak tawa pedagang yang lain."Lha dalah.. Maksudnya piye tho bapak-bapak ini. Tadi nanya 'siapa', dijawab kok malah bilang 'yang tanya', lha yang nanya mereka kok, piye tho" gumam Naryo sambil memindahkan motornya ke bawah pohon.Berdekatan dengan para pedagang yang membuka lapak. Dia akan menunggu Menik sampai pulang nanti. Diambilnya sisir kecil dari saku belakang celananya dan dirapikannya rambutnya yang terkena helm tadi sambil bersiul-siul. Tidak lupa di tatanya dengan rapi poni yang jadi ciri khas miliknya.*Di dalam pabrik. Menik menemui petugas personalia. Seorang ibu-ibu dengan tubuh subur dan memakai kacamata. Bersama Menik ada belasan wanita lain yang juga baru pertama kali ini masuk kerja.Perkenalan singkat dan penjelasan tugas berlangsung di ruang khusus sampai mendekati jam makan siang. Kemudian mereka berpindah menuju pabrik tempat produksi untuk melihat-lihat.Rombongan para wanita itu berkeliling pabrik dan berhenti sesekali di bagian-bagian tertentu. Petugas personalia sesekali memperkenalkan mereka pada mandor yang mengawasi setiap lajur meja.Menik juga belajar bagaimana cara pabrik itu beroperasi. Melihat dan mengamati dengan seksama dari bagian satu ke bagian lainnya, membuat Menik takjub dengan kecepatan tangan para wanita yang bekerja di pabrik itu. Kelihatannya mudah tapi saat Menik berkesempatan mencobanya ternyata jauh lebih sulit di luar dugaannya."Kalian akan ditempatkan nanti oleh mandor. Belajar melinting, memotong dan mengepak. masing-masing pasti dapat bagian mencoba," jelas petugas personalia itu."Besok pagi kalian akan dapat bagian tugasnya. Jam 6 pagi kalian sudah harus siap di dalam pabrik. Jangan ada yang terlambat yaa, nanti sama Pak Bambang ini yaa laporan datangnya. Biasanya beliau stand by di pintu masuk. Beliau juga yang akan bagi tugas kalian," kata petugas personalia itu sambil menunjuk pada Bapak-bapak yang berdiri di sisi kirinya. Laki-laki separuh baya yang ditunjuk itu hanya mengangguk sopan."Coba dulu seminggu dua minggu, jika betah kalian bisa lanjut yaa. Kalau tidak segera temui saya. Kita diskusikan dengan baik. Sampai sini ada yang mau ditanyakan?""Tidak, Bu." Jawab mereka serentak."Oke. Kita kembali ke ruang tadi untuk pembagian seragam.Rombongan itu kembali ke gedung utama tempat segala kegiatan administrasi dilaksanakan. Mata Menik berkeliaran melihat-lihat suasana yang tadi tidak sempat dia perhatikan.Lalu matanya bersirobok dengan seorang laki-laki berseragam putih bercelana biru gelap. Bukan. Itu bukan seragam satpam. Pria itu sedang berjalan bersama dua orang staf dari dalam gedung administrasi.Mata indah lelaki itu menghentikan langkah Menik mengikuti rombongan. Alisnya tebal membingkai mata berwarna cokelat gelap itu. Hidungnya mancung, dengan bibir merah menggoda. Bahkan bibir Menik saja tidak Semerah miliknya.Laki-laki itu jauh lebih tinggi dari pada Naryo. Badannya tegap, dadanya bidang membuat Menik ingin menyandarkan seluruh hidupnya pada pria tampan itu.Rambutnya gelap bergelombang disisir rapi ke belakang sebagaimana para staf pria lainnya. Ada aroma maskulin saat laki-laki yang sedang asyik berdiskusi dengan staf lainnya itu berjalan semakin mendekat ke arah rombongan Menik.Mata Laki-laki itu untuk sejenak juga terpaku pada sosok Menik yang putih dan cantik. Rambut Menik yang lurus hanya dikuncir bagian atasnya seadanya saja. Anak-anak rambutnya banyak yang mencuat, tapi hal itu malah menambah kesan ayu.Selama beberapa detik mereka saling bertukar pandang, namun bagi Menik, seolah dunia berhenti berputar.Dada Menik berdebar kencang. Dia tidak pernah melihat lelaki setampan itu di desanya. Bayangan hitam di area dagunya menambah kesan maskulin pada laki-laki yang saat itu juga memandanginya.Jika ada yang bilang tentang jatuh cinta pada pandangan pertama itu ada, Menik akan jadi saksinya. Mendadak Menik tidak bisa mendengar apa pun di sekitarnya. Debaran dadanya sudah cukup berisik memenuhi gendang telinganya. Semuanya seperti berjalan dalam gerak lambat."Menik!" Tepukan keras di bahu Menik mengagetkan dirinya. Sejenak perhatiannya teralihkan pada pemilik tangan itu. Salah satu peserta orientasi menarik tangannya agar tidak tertinggal dari rombonganMenik berniat menyapa sosok laki-laki yang sudah mencuri hatinya itu, tapi lelaki tampan itu dia sudah menghilang entah kemana. Menik mencari-cari dengan pandangan matanya, tapi tak dijumpainya.'Duh ganteng, gagah banget. Mana belum sempat kenalan lagi, eh udah hilang entah kemana. Bagian apa yaa kok seragamnya lain. Moga-moga bisa ketemu lagi,' batin Menik penuh harap. Menik menoleh lagi ke belakang berharap menemukan lagi sosok itu. Nihil."Nyari siapa?" tanya perempuan yang tadi menarik tangannya. "Nggak nyari siapa-siapa kok. Eh nama kamu siapa tadi?" tanya Menik pada sosok perempuan di sebelahnya itu. "Puji." jawabnya sambil menunjuk nama yang tertara di kertas yang berpeniti di dada kirinya. kertas yang sama juga tersemat di dada kiri Menik. "Oh iya, Puji. Maaf suka lupa," jawab
Kehidupan Menik sebagai buruh pabrik baru berjalan selama tiga Minggu. Menik masih belajar bagaimana melinting rokok dengan baik dan cepat. Alat sederhana di depannya bergerak lebih lambat jika dibandingkan dengan buruh yang lain.Dia hanya berani mengambil target 1500 saja. Tidak sebanding memang dengan buruh lainnya yang bisa sampai dua atau empat kali lipat dari targetnya.Menik juga mengambil shift pagi. Dari pukul enam pagi sampai pukul tiga sore. Dua Minggu pertama Menik mendapat tugas menggunting lintingan rokok. Kadang dia juga membantu tim pengepakan. Yaa berpindah-pindah tergantung bagian mana yang dibutuhkan, alias mengikuti apa kata mandor.Selama training, istilahnya, Menik juga belajar melinting rokok sampai mendapat tanda 'Ok' dari mandor. Pekerjaan yang monoton dan melelahkan dengan gaji yang lumayan untuk ukuran orang kampung seperti Menik.Minggu ini Menik sudah ditempatkan di bagian linting rokok. Suasana pabrik yang berisi dominan ibu-ibu ini tidak pernah sepi. Sua
"Wanita aneh," gumam laki-laki bernama Arjuna itu."Siapa yang aneh pak?" Tanya seorang Bapak yang tadi memanggilnya "Oh nggak, Pak. Nggak apa-apa. Ada apa yaa, Pak?" Arjuna berusaha menfokuskan perhatiannya pada penjelasan bapak tadi. Namun Arjuna begitu sulit mengabaikan sosok Menik yang sentuhan tangannya tadi telah meninggalkan desir halus di sekujur tubuhnya.'Ada apa ini? Kenapa rasanya badanku jadi panas dingin?' batin Arjuna.Tiba-tiba sebuah kesadaran terlintas dalam pikiran Arjuna. Ia mulai sadar mengapa tubuhnya mendadak terasa dingin. Tangannya menggosok-gosok lengannya."Pak Arjuna, kenapa? Sakit?" Tanya Bapak itu menghentikan penjelasannya. "Nggak tahu, Pak. Sejak ketemu sama perempuan tadi, badan saya rasanya jadi nggak enak, kayak meriang gitu, Pak," jawab Arjuna.Tangan Arjuna mengusap-usap kasar tengkuknya lalu memeluk tubuhnya sendiri. Badannya tiba-tiba terasa panas dingin.'Ini pasti gara-gara perempuan tadi. Apa yang sudah dilakukannya padaku, sampai aku jadi
"Menik!" Sebuah suara menghentikan percakapan antara Menik dan Puji.Menik mengarahkan pandangannya pada sumber suara. Seorang lelaki tengah melambaikan tangannya ke arah Menik dengan senyum lebarnya."Oh, jadi itu pacar kamu, Nik?" Goda Puji.Entah mengapa seolah ada nada geli dan merendahkan yang sontak membuat Menik tidak senang dengan cara bicara Puji."Bukan, temen," jawab Menik cuek."Ah, jangan bohong gitu. Dapet darimana cowok antik kayak begitu, Nik?" ledek Puji."Dia orang baik, Pu. Jangan kamu ledek begitu," sergah Menik."Nggak aku nggak ngeledek dia kok, Nik. Cuman yaa kamu tahu sendiri, siapa pun akan berpikiran sama kayak aku, kecuali dia suka sama 'temen' kamu itu. Baru dia nggak masalah cowoknya dandan model begitu," elak Puji."Kok kamu ngomongnya begitu sih, Pu. Aku nggak pernah Mandang rendah dia. Dia punya style sendiri tentang penampilannya." Bela Menik. Wajahnya nampak gusar."Iya, maaf deh kalau aku nyinggung kamu. Tapi temen kamu itu Orang kaya rupanya, motorn
Menik melepas jaket yang dipakainya dan memberikannya kepada Naryo."Nih, makasih. Tapi sorry, jadi bau mbako," ucap Menik."Lho, kenapa dilepas, Nik. Aku tidak mengapa jika kamu memakai pakaianku, Nik. Aku ikhlas, suatu kehormatan bagiku saat pakaianku menyentuh kulitmu," jawab Naryo."Walah nggak usah nggombal. Dah keburu Maghrib nih. Mau sholat di sini atau pulang?" "Ehehe, aku pulang aja yaa, Nik. Salam buat Bapakmu," pamit Naryo sambil naik ke atas motornya."Kok cuman Bapakku? Nggak nitip salam sama ibuku juga?" Goda Menik."Ah, kamu jangan bilang gitu, Nik. Nanti terjadi hal-hal yang tidak diinginkan lho," balas Naryo."Maksudmu?" "Kalau ibumu beneran jatuh cinta sama aku gimana, kan blaen jadinya?""Bocah edyan. Dah balik sana!"Naryo tertawa memamerkan barisan giginya yang rapi. Menik menepuk punggung Naryo sebelum lelaki itu melesat pulang. 'Sebenarnya dia ini ganteng juga. Tapi gayanya, yaa ampuun,' batin Menik."Baru pulang, Nik?" Sebuah suara membuyarkan lamunan Menik
Kabar tentang adanya lowongan untuk staf di bagian kantor baru diumumkan pekan berikutnya. Ada selebaran yang dipasang di papan pengumuman tiap unit bangunan produksi dan di bagian depan bangunan pabrik.Meski beberapa orang di unit menyemangati Menik untuk ikut seleksi dengan ijazah SMEA yang dia miliki, Menik menolak. Dia pesimis akan mendapatkan lowongan itu.Kebanyakan para pekerja di pabrik ini memang ibu-ibu berpendidikan dasar saja. Ijazah SD sudah lebih dari cukup untuk melamar pekerjaan di pabrik. Tidak sedikit buruh yang SD pun tidak tamat. Yang penting mereka bisa bekerja meskipun dengan upah yang rendah. Biasanya mereka bisa masuk bekerja karena bawaan dari mandor atau ajakan sesama pekerja. Biasanya pekerja yang mengajak orang lain masuk harus menjadi penjaminnya. Ada juga yang seperti Menik. Hanya mendapat info lowongan dari buruh lain kalau ada rekrutan baru untuk buruh pabrik saja. Selebihnya Menik usaha sendiri saat mendaftar dan mengikuti prosesnya.Apa pun carany
"Kamu yakin mau kerja?" Tanya Menik tidak percaya.Naryo mengangguk."Serius?""Iya, aku itu kan nurut sama kamu, Nik. Karena kamu calon istriku," kata Naryo sambil tersenyum lebar."Mulai deh," kata Menik tertawa."Lho bener kan. Suami juga harus mendengarkan pendapat istri. Kan aku kamu suruh nyoba kerja, jadi aku bakal kerja," jawab Naryo."Ehem. Iya sih. Tapi tampilan kamu nggak bisa kayak gini kalau mau kerja, Yo," kata Menik hati-hati."Emangnya kenapa sama tampilan aku? Ini itu model keluaran terbaru, Nik. Ini itu motif Naga yang katanya bakal bikin aku kelihatan tambah gagah dan kaya raya," kata Naryo sambil menunjuk bordiran naga yang besar memenuhi bagian punggung jaketnya."Kamu kayak preman, gengster gitu lho, Yo," bisik Menik."Lho emang itu tujuannya. Kamu pikir kenapa rambutku aku tata rapi seperti ini? Nggak jaman lagi preman kudu brewokan sama rambut acak-acakan. Preman sekarang harus modis, harus rapi jali," elak Naryo yang malah membuat Menik menggelengkan kepalanya
Tahun 1980an"Buk, aku arep kawin (aku mau nikah)," perkataan Menik yang tengah membantu ibunya menyiapkan makan malam saat itu mengejutkan Bu Tina yang tengah meniup api di pawon."Ngopo tho nduk? Kawin opo? Kok kesusu?" (Ada apa Nak, nikah apa? kok terburu-buru?) Bu Tina berdiri menghampiri Menik yang sedang memotong sayuran."Kalau aku nggak nikah, mau ngapain, Buk? Sepantaran aku di desa ini udah pada nikah dan punya anak semua. Memangnya Ibuk mau anaknya dibilang perawan tua?" balas Menik sambil mengerucutkan bibirnya"Ya kamu bisa sekolah lagi. Masuk perguruan tinggi sana. Atau ambil kursus jahit atau rias pengantin. Biayanya nanti bisa kita usahakan. Kamu kan baru 20, Nduk. Apa ndak sayang kalau mau cepet nikah?" Bu Tina membujuk Menik dengan lembut."Emoh aku Buk (tidak mau aku Buk). Aku mau cari duit aja. Atau nikah sama orang kaya biar nggak perlu kerja. Capek aku Bu, bantuin ibu tandur (menggarap sawah/ladang)," Menik bersikukuh."Kalau mau dapat duit ya kerja aja nduk. Ke