Pagi-pagi sekali di rumah Bu Tina
"Assalamualaikum..," terdengar ketukan pintu disusul seseorang uluk salam dari luar rumah.
“Waalaikumsalam..,” jawab bu Tina sambil membuka pintu dan mendapati Naryo ada di depan rumahnya.
Naryo anak juragan tebu di desa itu bertamu ke rumah Bu Tina pagi-pagi sekali dengan penampilan rambut gondrongnya yang diminyaki sampai licin dan disisir rapi ke belakang. Di depannya dua poni lurus di kanan kiri sudah seperti sungut ikan lele.
Baju bunga-bunga berwarna coklat merah dan kuning dipadu dengan jaket jeans yang luntur warnanya. Memakai celana jeans gombrang di bagian bawah dengan benang yang keluar-keluar.
Seuntai kalung hitam menghiasi lehernya, disertai dengan bandul dari kulit berbentuk segi empat. ‘Sudah kayak pakai jimat aja,' batin Bu Tina.
Pergelangan tangannya penuh dengan aksesoris dari tali kulit, rantai, batu-batuan yang berwarna warni, dan entah apa lagi. Beragam cincin berbatu akik tersemat di jari-jarinya, sudah seperti penjual akik saja gayanya. Penuh senyuman Naryo menyapa Bu Tina.
"Sugeng Enjang Bu..," Naryo melancarkan jurus merayu calon mertuanya.
(Selamat Pagi Bu)
Diserahkannya sekantung plastik kecil berwarna hitam. Jika melihat noda minyak yang ada di luarnya isinya pasti gorengan.
"Selamat pagi juga.. ada keperluan apa pagi-pagi sudah ke sini, Naryo?" Bu Tina nampak tidak begitu sreg dengan kedatangan Naryo.
"Lho ini diterima dulu Bu," kata Naryo sambil mengayunkan kantong plastik ke arah Bu Tina. Bu Tina menerimanya dengan enggan.
"Saya apa tidak di suruh masuk Bu?" Kata Naryo masih dengan senyumannya.
"Silakan masuk," demi kesopanan Bu Tina memberi jalan agar Naryo masuk dan duduk di ruang tamu.
"Kalau ada kopi atau teh saya juga mau Bu," kembali Naryo meminta sesuatu dengan cara yang lembut dan penuh senyuman.
"Kamu ini ada acara apa dateng ke sini pagi-pagi? Dari tadi ditanya orang tua kok Ndak jawab. Malah minta kopi," Bu Tina agak kesal melihat kelakuan Naryo.
"Lho saya belum bilang tho Bu," Naryo masih tersenyum sambil merapikan rambutnya yang sudah klimis.
"Kalau sudah bilang nggak bakal saya tanya lagi Naryooo," ujar Bu Tina agak kesal.
"Sampun duko ibu.. nanti mengurangi kadar kecantikan ibu sebagai calon mertua saya," kata Naryo masih dengan tersenyum.
(sampun duko = jangan marah)
"Walah embuh Naryo.. terserah kamu," Bu Tina beranjak pergi. (embuh = tidak tahu/terserah)
"Lho ibu mau kemana? Masa ada tamu mau ditinggal. Apa mau bikin kopi buat saya?"
"Meniiiik..," Bu Tina berteriak memanggil anaknya yang nomor dua. Mengabaikan perkataan Naryo. Mendengar Bu Tina memanggil Menik, mata Naryo berbinar.
"Wah ibu ini memang jempolan, tahu aja saya mau ketemu siapa. Bilang sama Menik, Bu, dicari sama calon suaminya," ujar Naryo sambil tersipu malu.
"Kamu ini mau ketemu sama Menik tho?" Tanya Bu Tina.
"Lho apa tadi saya belum bilang Bu,"
"Walah malah balik tanya. Ada urusan apa mau ketemu Menik?"
"Ah ibu ini mau tahu aja urusan anak muda. Isin aku Bu," jawab Naryo sambil menutup mulutnya dan menundukkan kepala. (isin=malu).
Bu Tina hanya menggelengkan kepala. Ia beranjakdari kursi dan tidak menghiraukan Naryo yang mencoba menahannya.
Menik yang baru keluar dari kamar mandi dicegat oleh Bu Tina.
“Menik kamu dicariin juragan akik,” kata bu Tina ngasal.
“Hah? Juragan akik? Pagi-pagi gini ada orang jualan akik bu?” tanya Menik sambil mengusap wajahnya dengan handuk.
“Iya Juragan akik yang antik,” sahut ibunya.
“Tapi menik nggak janjian sama juragan akik bu,” jawab Menik bingung
"Kamu ada janji sama Naryo pagi-pagi begini," tanya Bu Tina.
"Oh, Naryo tho maksud ibu. Sudah dateng tho Bu? Mau nganterin Menik berangkat kerja," jawab Menik sambil mengeringkan rambutnya.
"Bocah kok tambah antik gitu tho si Naryo itu. Ibu tanya apa jawabnya apa. Pagi-pagi sudah bikin puyeng," Bu Tina mengomel sambil menuangkan air teh yang sudah diseduhnya sejak subuh tadi ke dalam gelas berisi kristal putih. Diaduknya perlahan campuran itu dan diserahkan ke Menik.
"Ini antarkan ke depan. Taruh juga ini gorengan yang dibawakan Naryo tadi,"
"Meski penampilannya antik, orangnya baik Bu," Menik menanggapi omelan ibunya.
Dikeluarkannya gorengan yang ada di dalam plastik. Ditaruhnya beberapa di atas piring kecil. Dengan membawa nampan berisi camilan dan teh hangat, Menik menuju ruang tamu. Senyum Naryo semakin merekah melihat pujaan hatinya lah yang menyajikan minuman untuknya.
"Baru selesai mandi, Nik? Habis subuh gini mandi apa tidak dingin?" Naryo menyapa Menik sambil senyum-senyum.
"Sudah biasa, Yo. Silakan diminum tehnya,"
"Terima kasih calon istriku. Teh ini akan semakin nikmat karena kamu yang membuatnya. Apalagi kalau kamu menemani saya duduk di sini," Naryo menyeruput teh yang disajikan Menik. Namun ekspresi wajahnya langsung mengkerut.
"Menik, kamu benar-benar sudah ngebet kawin sama aku ya?" Tanya Naryo tiba-tiba.
"Hah?! Maksud kamu apa, Yo?"
"Bukannya kalau perempuan memasak terlalu terlalu banyak garam tandanya ingin segera kawin, Nik? Ini tehnya asin banget, Nik," berusaha tersenyum Naryo menjawab pertanyaan Menik. Menik terkejut tapi juga ingin tertawa. "Ah, masa sih yo? teh manis kok ini," ujar Menik menahan tawa. "Sumpah Nik, ini assuin buanget kok. Tandanya kamu itu bener-bener ngebet kawin sama aku," kata Naryo "Siapa yang bilang begitu? Aku belum ngebet kawin kok, apalagi sama kamu," "Lho saya yang barusan bilang, kamu yang bikin teh ini asin. Aku yang menikmati. Berarti kamu ngebet kawinnya sama aku," jelas Naryo penuh percaya diri. "Teori dari mana?! Lagian itu yang bikin ibuku bukan aku. Udah ah aku mau ganti baju dulu," masih menahan tawanya ditinggalkannya Naryo sendirian. Mendengar perkataan Menik, Naryo terlihat bingung. Tak perlu waktu lama Menik sudah berdandan dengan sapuan bedak tipis dan sedikit lipstik di bibirnya agar tidak pucat. Menik sudah cantik dan siap berangkat kerja. Karena ini hari p
"Menik, nanti kamu pulang jam berapa? Biar aku jemput," tanya Naryo pada Menik yang baru turun dari boncengan motornya yang masih baru. Motor warna hitam merah keluaran merek Kak Wasaki itu sudah beberapa kali mengantarkan Menik ke pusat kota. Menik menyerahkan helm yang dipakainya pada Naryo.Menik cuek dan memilih untuk merapikan rambutnya di depan spion."Cantikku, Menik.. Pujaan hatiku.. aku tanya kamu mau dijemput jam berapa nanti?" Tanya Naryo lagi masih dengan senyum sumringah sambil memainkan alisnya naik turun."Aku juga nggak tahu, Yo. Paling jam 3an sudah pulang. Nggak apa-apa aku bisa pulang sendiri nanti," jawab Menik"Lho, tidak bisa begitu Menik. Kamu adalah calon istriku, dan aku adalah calon suamimu. Mana mungkin aku biarkan kamu pulang sendirian, sedangkan aku ada di sini. Bagaimana jika nanti ada laki-laki lain yang menculikmu, apa ndak blaen? Melayani kamu dengan antar jemput adalah tugasku, Menik yang cantik," kata Naryo sambil melipat tangannya di depan dada, sa
"Menik!" Tepukan keras di bahu Menik mengagetkan dirinya. Sejenak perhatiannya teralihkan pada pemilik tangan itu. Salah satu peserta orientasi menarik tangannya agar tidak tertinggal dari rombonganMenik berniat menyapa sosok laki-laki yang sudah mencuri hatinya itu, tapi lelaki tampan itu dia sudah menghilang entah kemana. Menik mencari-cari dengan pandangan matanya, tapi tak dijumpainya.'Duh ganteng, gagah banget. Mana belum sempat kenalan lagi, eh udah hilang entah kemana. Bagian apa yaa kok seragamnya lain. Moga-moga bisa ketemu lagi,' batin Menik penuh harap. Menik menoleh lagi ke belakang berharap menemukan lagi sosok itu. Nihil."Nyari siapa?" tanya perempuan yang tadi menarik tangannya. "Nggak nyari siapa-siapa kok. Eh nama kamu siapa tadi?" tanya Menik pada sosok perempuan di sebelahnya itu. "Puji." jawabnya sambil menunjuk nama yang tertara di kertas yang berpeniti di dada kirinya. kertas yang sama juga tersemat di dada kiri Menik. "Oh iya, Puji. Maaf suka lupa," jawab
Kehidupan Menik sebagai buruh pabrik baru berjalan selama tiga Minggu. Menik masih belajar bagaimana melinting rokok dengan baik dan cepat. Alat sederhana di depannya bergerak lebih lambat jika dibandingkan dengan buruh yang lain.Dia hanya berani mengambil target 1500 saja. Tidak sebanding memang dengan buruh lainnya yang bisa sampai dua atau empat kali lipat dari targetnya.Menik juga mengambil shift pagi. Dari pukul enam pagi sampai pukul tiga sore. Dua Minggu pertama Menik mendapat tugas menggunting lintingan rokok. Kadang dia juga membantu tim pengepakan. Yaa berpindah-pindah tergantung bagian mana yang dibutuhkan, alias mengikuti apa kata mandor.Selama training, istilahnya, Menik juga belajar melinting rokok sampai mendapat tanda 'Ok' dari mandor. Pekerjaan yang monoton dan melelahkan dengan gaji yang lumayan untuk ukuran orang kampung seperti Menik.Minggu ini Menik sudah ditempatkan di bagian linting rokok. Suasana pabrik yang berisi dominan ibu-ibu ini tidak pernah sepi. Sua
"Wanita aneh," gumam laki-laki bernama Arjuna itu."Siapa yang aneh pak?" Tanya seorang Bapak yang tadi memanggilnya "Oh nggak, Pak. Nggak apa-apa. Ada apa yaa, Pak?" Arjuna berusaha menfokuskan perhatiannya pada penjelasan bapak tadi. Namun Arjuna begitu sulit mengabaikan sosok Menik yang sentuhan tangannya tadi telah meninggalkan desir halus di sekujur tubuhnya.'Ada apa ini? Kenapa rasanya badanku jadi panas dingin?' batin Arjuna.Tiba-tiba sebuah kesadaran terlintas dalam pikiran Arjuna. Ia mulai sadar mengapa tubuhnya mendadak terasa dingin. Tangannya menggosok-gosok lengannya."Pak Arjuna, kenapa? Sakit?" Tanya Bapak itu menghentikan penjelasannya. "Nggak tahu, Pak. Sejak ketemu sama perempuan tadi, badan saya rasanya jadi nggak enak, kayak meriang gitu, Pak," jawab Arjuna.Tangan Arjuna mengusap-usap kasar tengkuknya lalu memeluk tubuhnya sendiri. Badannya tiba-tiba terasa panas dingin.'Ini pasti gara-gara perempuan tadi. Apa yang sudah dilakukannya padaku, sampai aku jadi
"Menik!" Sebuah suara menghentikan percakapan antara Menik dan Puji.Menik mengarahkan pandangannya pada sumber suara. Seorang lelaki tengah melambaikan tangannya ke arah Menik dengan senyum lebarnya."Oh, jadi itu pacar kamu, Nik?" Goda Puji.Entah mengapa seolah ada nada geli dan merendahkan yang sontak membuat Menik tidak senang dengan cara bicara Puji."Bukan, temen," jawab Menik cuek."Ah, jangan bohong gitu. Dapet darimana cowok antik kayak begitu, Nik?" ledek Puji."Dia orang baik, Pu. Jangan kamu ledek begitu," sergah Menik."Nggak aku nggak ngeledek dia kok, Nik. Cuman yaa kamu tahu sendiri, siapa pun akan berpikiran sama kayak aku, kecuali dia suka sama 'temen' kamu itu. Baru dia nggak masalah cowoknya dandan model begitu," elak Puji."Kok kamu ngomongnya begitu sih, Pu. Aku nggak pernah Mandang rendah dia. Dia punya style sendiri tentang penampilannya." Bela Menik. Wajahnya nampak gusar."Iya, maaf deh kalau aku nyinggung kamu. Tapi temen kamu itu Orang kaya rupanya, motorn
Menik melepas jaket yang dipakainya dan memberikannya kepada Naryo."Nih, makasih. Tapi sorry, jadi bau mbako," ucap Menik."Lho, kenapa dilepas, Nik. Aku tidak mengapa jika kamu memakai pakaianku, Nik. Aku ikhlas, suatu kehormatan bagiku saat pakaianku menyentuh kulitmu," jawab Naryo."Walah nggak usah nggombal. Dah keburu Maghrib nih. Mau sholat di sini atau pulang?" "Ehehe, aku pulang aja yaa, Nik. Salam buat Bapakmu," pamit Naryo sambil naik ke atas motornya."Kok cuman Bapakku? Nggak nitip salam sama ibuku juga?" Goda Menik."Ah, kamu jangan bilang gitu, Nik. Nanti terjadi hal-hal yang tidak diinginkan lho," balas Naryo."Maksudmu?" "Kalau ibumu beneran jatuh cinta sama aku gimana, kan blaen jadinya?""Bocah edyan. Dah balik sana!"Naryo tertawa memamerkan barisan giginya yang rapi. Menik menepuk punggung Naryo sebelum lelaki itu melesat pulang. 'Sebenarnya dia ini ganteng juga. Tapi gayanya, yaa ampuun,' batin Menik."Baru pulang, Nik?" Sebuah suara membuyarkan lamunan Menik
Kabar tentang adanya lowongan untuk staf di bagian kantor baru diumumkan pekan berikutnya. Ada selebaran yang dipasang di papan pengumuman tiap unit bangunan produksi dan di bagian depan bangunan pabrik.Meski beberapa orang di unit menyemangati Menik untuk ikut seleksi dengan ijazah SMEA yang dia miliki, Menik menolak. Dia pesimis akan mendapatkan lowongan itu.Kebanyakan para pekerja di pabrik ini memang ibu-ibu berpendidikan dasar saja. Ijazah SD sudah lebih dari cukup untuk melamar pekerjaan di pabrik. Tidak sedikit buruh yang SD pun tidak tamat. Yang penting mereka bisa bekerja meskipun dengan upah yang rendah. Biasanya mereka bisa masuk bekerja karena bawaan dari mandor atau ajakan sesama pekerja. Biasanya pekerja yang mengajak orang lain masuk harus menjadi penjaminnya. Ada juga yang seperti Menik. Hanya mendapat info lowongan dari buruh lain kalau ada rekrutan baru untuk buruh pabrik saja. Selebihnya Menik usaha sendiri saat mendaftar dan mengikuti prosesnya.Apa pun carany