“Jangan salahkan Amanda, Bu. Ini semua karena Radit.”“Berhenti membela istrimu yang kurang ajar itu!!” sentak ibunya dengan mata berkilat penuh amarah. “Oh Gusti. Kenapa anakku bisa sebodoh ini? Dia menikahi wanita yang cuma bisa dijadikan pajangan.”“Bu.”“Enggak, Dit. Ini enggak bisa dibiarkan. Ibu enggak mau anak ibu dipermainkan.” Bu Ningsih hendak beranjak pergi. Namun, Radit sudah bergerak cepat dengan memeluknya dari arah belakang. “Lepasin ibu, Dit!! Ibu mau adukan ini sama Pak Yuda. Biar dia tahu anaknya kayak gimana.” Wajah sangar Bu Ningsih kini berpindah pada Amanda yang sudah muncul di hadapannya. Hati ibu mana yang tidak sakit hati saat mengetahui pernikahan yang berlangsung hanya dijadikan ajang mainan.“Maaf, Bu,” lirih Amanda.“Jangan minta maaf sama ibu!! S
Amanda yang kini bersama Ayra di taman belakang sedang harap-harap cemas. Sudah hampir setengah jam sang suami dan ibu mertuanya berbincang di dalam. Entah sedang berkompromi tentang apa. Namun, satu hal yang ia tahu bahwa Radit akan menepati janjinya.“Kenapa, Sayang? Udah ngantuk, hem?” gumam Amanda begitu melihat putrinya menggeliat pelan. Botol susu yang dipegang gadi kecil itu pun sudah kosong melompong.“Sini, Bu. Sama saya aja Non Ayra-nya,” kata Sus Rini.“Papa sama nenek Ayra masih belum keluar juga?” tanyanya kemudian. Tak pelak menyerahkan tubuh sang anak pada susternya. Belum sempat Sus Rini menjawab, dua orang yang sedang dinantikan oleh Amanda akhirnya muncul juga. Tak ada rupa menakutkan yang terlihat dari mereka.“Sa-saya permisi ke dalam ya, Bu,” pamit Sus Rini yang lekas ia angguki. Hingga kemudian mata Amanda memicing usai melihat Radit yang sudah membawa tas ibunya. Perlahan dia pun memberanikan diri untuk mendekat.“Ibu te
Ucapan barusan membuat Amanda refleks membelalakkan matanya. “Kau pasti bercanda. Ini tidak lucu.”“Aku serius,” kata Radit yang sekarang menatap lekat netra kecokelatan milik sang istri. “Aku memang sudah berjanji pada ibu untuk tidak menceraikanmu, tapi … kita masih bisa berpisah sesuai dengan rencana awal.”“Maksudmu?”“Kau bisa menggugatku bukan?” Radit kini tersenyum sebentar hingga akhirnya terkekeh pelan. Benar apa yang dikatakan oleh suaminya barusan. Amanda mengangguk lalu mengiyakan. Ah. Dirinya sempat terkejut bahkan syok sesaat. Sungguh tak habis pikir jika hidup berdampingan dengan pria yang tidak ia cintai untuk jangka waktu yang lama. Kini keduanya tengah melangkah beriringan menuju ballroom. Mendatangi resepsi pernikahan salah satu anak dosen yang bekerja di tempat Radit. Jadilah sebelum terbang menuju Singapura mereka singgah sebentar untuk sekedar makan siang.“Eh, Pak Radit. Saya kira tadi Bapak tidak datang,” sapa sang pemi
“Dit, Ayra!!” Pekikan Amanda membuat Radit yang sudah berjalan menuju ambang pintu lekas membalikkan tubuh. Sontak dia berlari kecil menghampiri istri dan anaknya. Ikut meraba dahi serta leher si kecil juga.“Badannya panas,” kata Radit yang langsung membuat kesimpulan. Tangannya bergerak cepat menyambar thermometer digital dari dalam nakas. Lantas meletakkannya di bagian ketiak Ayra. Menatap sendu putri kecilnya yang sudah berwajah lesu. Suhu menunjukkan ke angka 38,5 derajat Celcius. Bayi usia dua bulanan lebih itu terserang demam. Padahal tiga jam sebelumnya tampak sangat baik-baik saja. Entahlah. Amanda panik bukan main. Kalau sudah begini dia harus bagaimana?“Jangan khawatir. Nanti kami akan kasih tahu perkembangan Ayra ke kalian,” kata Mama Tiara mencoba menenangkan Amanda.“Iya, Bu. Saya juga ada di sini jagain Non Ayra,” sahut Sus Rini kemudian. Namun, Amanda masih menggeleng. Dia hanya mengiyakan penawaran Radit yang me
Kejadian beberapa jam lalu menyadarkan Amanda kalau dia sudah jatuh cinta sedalam-dalamnya pada Ayra. Bayi perempuan yang semula hanya dianggap sebagai keponakan saja kini telah berhasil merenggut semua perhatian model cantik itu. Barulah dirinya paham bahwa kondisi sang anak sangat penting di atas segalanya. Padahal Ayra hanya terserang demam. Bukan terkena penyakit serius atau apalah itu. Namun, otak Amanda sudah membimbingnya untuk menjadi panik bukan main. Berpikiran bahwa bayi yang usianya hampir mencapai tiga bulan tersebut bisa saja bertambah parah. Ada benarnya juga sih memang. Sungguh yang tadi sangat menguras energinya. Bahkan terasa sampai sekarang. Seandainya dia diperbolehkan untuk memilih Ayra saja bagaimana? Apa Radit tidak akan keberatan kalau putrinya dibawa? Ah. Pemikiran macam apa itu. Mana mungkin. Suaminya hanya memiliki seorang anak yang merupakan kenang-kenangan dari buah cinta bersama mendiang sang istri. Dia jelas tak
“Tenanglah. Hanya sebentar. Kakimu tidak akan terasa nyeri lagi,” ucap Radit yang kemudian meletakkan kedua kaki Amanda ke dalam sebuah wadah besar. “Garam yang sudah direndam ke dalam air hangat ini akan mengurasi rasa sakitmu.” Setelahnya Radit bangkit dari posisi jongkok tadi. Kembali ke tempat tidurnya semula. Karpet berbulu yang belakangan terasa nyaman bagi mantan duda itu.“Terimakasih.”Radit bergumam lirih. Lantas menatap Amanda yang duduk di atas sofa sana. “Maaf ya untuk malam ini. Aku akan mengganti rugi biaya perjalanan beserta hotel yang sudah kau booking.”“Jangan minta maaf. Aku juga yang salah. Sebelumnya tidak memberitahukan apa-apa pada Ayra. Makanya dia sakit hati dan menjadi sakit,” katanya dengan penuh penyesalan. Apalagi saat menatap si kecil yang sedang terlelap di dalam boks. “Aku lupa kalau dia bisa mendengar dan merasakan apapun yang ada di sekitarnya.”“Meskipun begitu, tetap saja aku tidak enak hati. Aku adalah papanya.”“Aku juga mamanya,” t
“Ayra nangis terus. Makanya aku bawa dia sampai ke depan kamar mandi. Kau pikir aku gila apa??” Radit tak lagi berkomentar cerewet seperti tadi. Sadar bahwa dia sudah sedikit keterlaluan. Wajar. Namanya saja dia adalah seorang pria tulen. Mudah marah dan tersulut emosi karena kebutuhan biologisnya tidak tersalurkan dengan baik.“Hua hua hiks hiks.”“Iya, Sayang. Mama di sini kok. Tadi mama ‘kan cuma mandi. Sudah ya?” bujuk Amanda yang sibuk menenangkan Ayra. Bayi perempuan itu bahkan menolak saat papanya hendak menggendong. Takut karena mendengar suara keras yang tak sengaja tertangkap telinganya beberapa saat lalu.“Takut ya, hem? Papa minta maaf,” ucap Radit yang sangat menyesal.&nbs
Amanda memilih mengalah. Bukan. Bukan dengan mengiyakan saran Bi Asih tadi, tetapi dirinya merelakan untuk menunda waktu mandi sore. Entah sampai kapan juga.“Kenapa, Nak? Ayra bosan ya?” Radit mengganti posisi pangkuannya sebentar. Namun, sang anak masih menggeliat pelan. Bahkan mulai merengek manja. “Kenapa, Sayang? Haus ya?” Perbincangan satu arah itu membuat Amanda lantas bangkit dari posisi duduknya. Bersiap hendak membuatkan susu. Namun, si kecil malah menangis dan meronta-ronta. Akhirnya dia menyuruh Sus Rini juga.“Mama di sini, Sayang. Enggak akan ke mana-mana juga,” ucap Amanda yang sudah mengambil alih putrinya.*** Seminggu sudah berlalu. Amanda semakin uring-uringan.