“Apa kau kenal dia?”Wanita yang sedang berada dalam dekapan pria asing tadi menggeleng cepat. Menatap Radit sambil bergidik ngeri. Selang beberapa detik kemudian terlibat kontak mata antara kedua kaum Adam itu.“Maaf. Aku … sudah salah orang,” ucap Radit sambil meringis pelan.“Lain kali gunakan matamu!!” hardik si pria dengan mata yang berkilat menahan geram. Radit mengangguk mengiyakan. Setelahnya dia berbalik badan lalu merutuki diri sendiri. Perasaan cemas yang sedang melanda ternyata mampu membuatnya bertindak gegabah. Meskipun begitu, tetapi jauh di dalam lubuk hatinya menyimpan perasaan lega karena Amanda tidak seburuk yang ia pikirkan. Semoga saja.“Ketemu?” tanya Sebastian yang ternyata masih ada di sana. Gelengan Radit membuatnya tersenyum mengejek. “Kenapa tidak kau telepon saja, heh??” Ucapan sang teman ada benarnya. Radit mendengus pelan lalu lekas merogoh ke dalam saku celana. Tak berapa lama ponselnya bergetar.“Kau ada di mana?” Suara Amand
Ya. Amanda sempat menampakkan wajah kagetnya. Namun, gadis itu lekas mengubah respon tadi dengan kuluman senyum tertahan. Tak pelak menyalami Bu Ningsih dan mempersilakan mertuanya tersebut untuk duduk. Pun begitu juga dengan Arini.“Bi Asih,” panggilnya kemudian. Orang yang dielukannya muncul dari arah belakang. Tersenyum hangat dan mengangguk pada para tamu tersebut..“Bi, ini ibuku dan Arini, tetangga kami. Mereka baru tiba dari Kisaran,” terang Radit memperkenalkan keduanya.“Iya, Pak,” sahut Bi Asih sambil tersenyum.“Tolong siapin minuman ya.” Bi Asih langsung mengiyakan setelah beramah tamah sebentar. Hingga kini Amanda pun duduk di sebelah Radit untuk menemani tamu mereka.“Kau heran ya kenapa ibu bisa ke sini?”
“Padahal bude senang loh kalau kau tinggal di sini lebih lama lagi." Bu Ningsih memasang wajah sedihnya saat Arini hendak pamit undur diri.Wanita yang berumur setahun di bawah Radit itu terkekeh pelan. “Nanti aku sering mampir kalau ada waktu, Bude. Kebetulan di kampus ada asrama untuk dosen perempuan yang masih jomblo. Jadinya sayang kalau disia-siakan.”“Ya sudahlah,” ucap Bu Ningsih akhirnya.“Bu, Arini juga punya kehidupan sendiri. Mana mungkin terus-terusan sama ibu,” tegur Radit kemudian. Dia lantas melirik ke arah teman masa kecilnya itu. “Semoga betah di asrama ya, Rin.” “Iya, Bang. Makasih sudah anterin aku.” Arini mengangguk lalu tersenyum pada Amanda juga. Tak pelak mengusap lembut kepala Ayra yang ada di gendongan wanita itu. “Tante pamit ya, Cantik. Bye bye.” “Semangat kerjanya, Tante. Sering-sering ke rumah ya.”Pernyataan barusan membuat Bu Ningsih menyipitkan matanya. Berusaha mencari kejanggalan dari apa yang disampaikan oleh sang menantu. Sungguh aneh, begitu piki
Pertanyaan barusan membuat dahi Amanda seketika berkerut. Matanya pun memicing sempurna.“Aku? Kenapa denganku?” ucapnya balik bertanya.“Kau berubah,” jawab Radit cepat. “Ada apa?” Barulah istrinya itu mengangguk perlahan. Tak pelak tersenyum manis. Membuat darah Radit berdesir dalam hitungan detik. Apa dia salah kalau menaruh hati pada wanita yang halal baginya? Radit lekas memijat pelan pelipisnya. Berusaha memusnahkan pemikiran aneh yang sempat melintas. Sekaligus merutuki aroma sabun terapi yang sampai sekarang masih saja berhasil membuat otaknya travelling. Hingga tawa kecil Amanda merenggut fokusnya lagi.“Aku hanya berusaha menjadi wanita yang baik,” jawab Aman
“Oh ya ampun.” Amanda menganga sebentar lalu kemudian terkekeh kecil. “Apa kau baru saja bertanya padaku? Atau … hanya iseng barangkali?” “Kenapa? Aku ingin tahu saja. Kau memang sayang pada Ayra atau tidak. Itu saja.” Amanda yang baru saja meletakkan baju bayi di deretan semula lantas mengangguk cepat. “Ayra itu bagian dari Dinda, adik kandungku. Dia keponakanku kalau kau masih ingat. Hah kau ini. Pertanyaanmu terdengar menggelikan. Sudah pasti aku menyayanginya.” Jawaban barusan membuat Radit tersenyum puas. Sementara istrinya kini segera berjalan menuju kasir. Beruntung tidak mengantri seperti saat mereka di toko sebelah tadi. “Anggap saja aku yang traktir. Tidak usah sungkan,” kata Radit yang secepat kilat mengambil alih barang belanjaan Amanda. Lagi-lagi pria itu mengenakan uang miliknya untuk membayar apa yang dibeli oleh sang istri. Termasuk saat keduanya memutuskan untuk makan malam di luar. “Kenapa kau melihatku begitu?” tanya Amanda di sela-s
“Maaf. Aku tidak tahu kalau kau tadi sempat membeli—“ “Diamlah!” potong Amanda cepat. “Lebih baik kau keluar. Aku akan membereskan ini. Mama dan papa sepertinya akan pulang.” Radit mengangguk pasrah meskipun wajahnya sudah menunjukkan rasa penyesalan yang dalam. Sementara Amanda kini mengembuskan napas kasar. Merutuki apa yang terjadi di ruang tamu beberapa saat lalu. Sungguh dia malu sekali. Padahal tadi dirinya sudah mewanti-wanti agar Radit hanya membuka plastik yang besar saja. Siapa sangka sang suami malah membongkar apa yang ia sembunyikan dengan susah payah. Hah. Mencuri waktu berbelanja keperluan pribadi dengan dalih ke toilet ternyata sia-sia belaka. “Ayra lagi sama Sus Rini. Dia sudah tidur,” ucap Radit saat Amanda baru saja ke luar dari kamar. Dia lantas tersenyum kaku saat tak tahu harus mengatakan apalagi. Sementara kini orangtua Amanda sudah menahan geli, sedangkan Bu Ningsih juga memasang wajah serupa. Menjadikan pasangan su
Bodoh. Itulah makian yang Radit tujukan pada dirinya sendiri. Merutuki pikiran yang sempat menduga kalau Amanda ingin memiliki seorang anak dari benihnya. Padahal ia sudah jelas tahu bahwa sang istri sangat memimpikan pernikahan dengan orang lain di luar sana.“Kata ibu kau tidak keluar kamar selepas makan siang,” ucap Radit mengalihkan pembicaraan.Amanda pun langsung bangkit dari duduknya. Lantas meletakkan gawai di atas sofa. Meninggalkan Radit yang masih mematung di tempat semula.“Suami pulang itu disambut kek,” cibir Bu Ningsih begitu melihat menantunya muncul dari kamar. “Tawarin minum. Kopi atau teh.”“Iya, Bu,” sahut Amanda cepat. Tak mau mendebat ibu mertua yang barusan memprotes kelakuannya. Kakinya hendak melangkah kembali ke kamar. Namun, suara tangis Ayra menghentikan gerakan istri Radit itu.“Enggak usah ditawarin Radit-nya. Tadi dia udah ibu buatin teh. Kau lihat Ayra saja!” Lagi-lagi Amanda mengiyakan seruan mertuanya. Lantas
“Maaf ya, Om. Kakek baru aja sampai dari Bandung. Makanya enggak tahu kalau Om nikah lagi.”“Iya. Enggak pa-pa kok,” sahut Radit sambil mengulum senyum.Sementara pria paruh baya yang disapanya Pak Banu tadi tampak meringis pelan. “Saya minta maaf ya. Juga dengan Nak … Amanda.”“Tidak masalah,” jawab Amanda yang sama sekali tidak tersinggung.“Kalau begitu kami pamit. Lain kali mampir ke rumah. Pohon mangga kami sudah berbuah,” kata Pak Banu. Amanda dan Radit menatap kepergian tetangga mereka hingga bergerak menjauh. Setelahnya barulah memutuskan untuk pulang ke rumah.“Apa menurutmu kita perlu mengumpulkan mereka?” tanya Radit di saat mereka dalam perjalanan pulang. “Walaupun sudah mengabari Pak RT, aku tetap tidak enak. Kau pasti kurang nyaman.”“Jangan!” sergah Amanda cepat. Sontak responnya barusan membuat sang suami mengernyit heran.“Kenapa?”“Kita juga pada akhirnya akan berpisah. Menurutku hemmm … buang-buang waktu saja.” Jawaban tersebut membuat Ra