Pertanyaan barusan membuat dahi Amanda seketika berkerut. Matanya pun memicing sempurna.“Aku? Kenapa denganku?” ucapnya balik bertanya.“Kau berubah,” jawab Radit cepat. “Ada apa?” Barulah istrinya itu mengangguk perlahan. Tak pelak tersenyum manis. Membuat darah Radit berdesir dalam hitungan detik. Apa dia salah kalau menaruh hati pada wanita yang halal baginya? Radit lekas memijat pelan pelipisnya. Berusaha memusnahkan pemikiran aneh yang sempat melintas. Sekaligus merutuki aroma sabun terapi yang sampai sekarang masih saja berhasil membuat otaknya travelling. Hingga tawa kecil Amanda merenggut fokusnya lagi.“Aku hanya berusaha menjadi wanita yang baik,” jawab Aman
“Oh ya ampun.” Amanda menganga sebentar lalu kemudian terkekeh kecil. “Apa kau baru saja bertanya padaku? Atau … hanya iseng barangkali?” “Kenapa? Aku ingin tahu saja. Kau memang sayang pada Ayra atau tidak. Itu saja.” Amanda yang baru saja meletakkan baju bayi di deretan semula lantas mengangguk cepat. “Ayra itu bagian dari Dinda, adik kandungku. Dia keponakanku kalau kau masih ingat. Hah kau ini. Pertanyaanmu terdengar menggelikan. Sudah pasti aku menyayanginya.” Jawaban barusan membuat Radit tersenyum puas. Sementara istrinya kini segera berjalan menuju kasir. Beruntung tidak mengantri seperti saat mereka di toko sebelah tadi. “Anggap saja aku yang traktir. Tidak usah sungkan,” kata Radit yang secepat kilat mengambil alih barang belanjaan Amanda. Lagi-lagi pria itu mengenakan uang miliknya untuk membayar apa yang dibeli oleh sang istri. Termasuk saat keduanya memutuskan untuk makan malam di luar. “Kenapa kau melihatku begitu?” tanya Amanda di sela-s
“Maaf. Aku tidak tahu kalau kau tadi sempat membeli—“ “Diamlah!” potong Amanda cepat. “Lebih baik kau keluar. Aku akan membereskan ini. Mama dan papa sepertinya akan pulang.” Radit mengangguk pasrah meskipun wajahnya sudah menunjukkan rasa penyesalan yang dalam. Sementara Amanda kini mengembuskan napas kasar. Merutuki apa yang terjadi di ruang tamu beberapa saat lalu. Sungguh dia malu sekali. Padahal tadi dirinya sudah mewanti-wanti agar Radit hanya membuka plastik yang besar saja. Siapa sangka sang suami malah membongkar apa yang ia sembunyikan dengan susah payah. Hah. Mencuri waktu berbelanja keperluan pribadi dengan dalih ke toilet ternyata sia-sia belaka. “Ayra lagi sama Sus Rini. Dia sudah tidur,” ucap Radit saat Amanda baru saja ke luar dari kamar. Dia lantas tersenyum kaku saat tak tahu harus mengatakan apalagi. Sementara kini orangtua Amanda sudah menahan geli, sedangkan Bu Ningsih juga memasang wajah serupa. Menjadikan pasangan su
Bodoh. Itulah makian yang Radit tujukan pada dirinya sendiri. Merutuki pikiran yang sempat menduga kalau Amanda ingin memiliki seorang anak dari benihnya. Padahal ia sudah jelas tahu bahwa sang istri sangat memimpikan pernikahan dengan orang lain di luar sana.“Kata ibu kau tidak keluar kamar selepas makan siang,” ucap Radit mengalihkan pembicaraan.Amanda pun langsung bangkit dari duduknya. Lantas meletakkan gawai di atas sofa. Meninggalkan Radit yang masih mematung di tempat semula.“Suami pulang itu disambut kek,” cibir Bu Ningsih begitu melihat menantunya muncul dari kamar. “Tawarin minum. Kopi atau teh.”“Iya, Bu,” sahut Amanda cepat. Tak mau mendebat ibu mertua yang barusan memprotes kelakuannya. Kakinya hendak melangkah kembali ke kamar. Namun, suara tangis Ayra menghentikan gerakan istri Radit itu.“Enggak usah ditawarin Radit-nya. Tadi dia udah ibu buatin teh. Kau lihat Ayra saja!” Lagi-lagi Amanda mengiyakan seruan mertuanya. Lantas
“Maaf ya, Om. Kakek baru aja sampai dari Bandung. Makanya enggak tahu kalau Om nikah lagi.”“Iya. Enggak pa-pa kok,” sahut Radit sambil mengulum senyum.Sementara pria paruh baya yang disapanya Pak Banu tadi tampak meringis pelan. “Saya minta maaf ya. Juga dengan Nak … Amanda.”“Tidak masalah,” jawab Amanda yang sama sekali tidak tersinggung.“Kalau begitu kami pamit. Lain kali mampir ke rumah. Pohon mangga kami sudah berbuah,” kata Pak Banu. Amanda dan Radit menatap kepergian tetangga mereka hingga bergerak menjauh. Setelahnya barulah memutuskan untuk pulang ke rumah.“Apa menurutmu kita perlu mengumpulkan mereka?” tanya Radit di saat mereka dalam perjalanan pulang. “Walaupun sudah mengabari Pak RT, aku tetap tidak enak. Kau pasti kurang nyaman.”“Jangan!” sergah Amanda cepat. Sontak responnya barusan membuat sang suami mengernyit heran.“Kenapa?”“Kita juga pada akhirnya akan berpisah. Menurutku hemmm … buang-buang waktu saja.” Jawaban tersebut membuat Ra
“Iya. Wanita ren-da-han,” tukas Radit menegaskan kalimatnya semula. Amanda sontak melebarkan kelopak matanya. Benar-benar terkejut dengan apa yang dilontarkan oleh Radit barusan.“Kau sadar dengan apa yang kau katakan??”“Kenapa, hem?” senggak Radit dengan senyuman yang tercetak miring. “Sikapmu pada kekasihmu itu sudah menunjukkan dengan jelas siapa kau yang sebenarnya. Bisa diperintah dan sama sekali tidak bernilai. Benar-benar wanita murah yang bisa dengan mudah —“PLAK!! Sebuah tamparan keras kini mendarat dengan cepat ke pipi bagian kiri Radit. Menjadikan pria tersebut tak lagi bisa melanjutkan kata-katanya yang terdengar tajam.“Jaga bicaramu!!”“Hei, kau tersinggung?” decak Radit seraya meraba pipinya yang memanas. “Tunjukkan padaku sisi mana dari dirimu yang berharga. Kau bahkan sudah berani berbohong pada semua orang tentang niat kepergian kita. Bagaimana kalau papa sampai tahu? Jantungnya bisa kumat. Atau ibu? Darah tingginya akan kambuh. Dasar wa
“Aku ingin membuat kejutan. Makanya aku bilang begitu,” kikik Amanda. “Kau mau apa?”“Ibu suruh aku mengantarkanmu sarapan. Dia pikir kau kelelahan. Ternyata malah asyik pacaran,” gumam Radit yang menyesal berbaik hati pada istrinya.“Terimakasih dan …maaf,” ucap Amanda yang kemudian lekas menggigit bibir bagian bawahnya. “Maaf karena sudah menamparmu tadi malam, tapi apapun yang kau katakan aku tidak peduli. Yang jelas aku sangat mencintai Andre.”“Terserah. Lakukan saja sesuka hatimu.” Amanda tak menghiraukan Radit yang segera berbalik badan meninggalkannya. Gadis usia matang itu lantas berjalan menuju nakas untuk menyambar segelas susu yang dibawakan sang suami.“Dinda, kasih tahu kakak. Menurutmu perempuan seperti apa yang disukai oleh Radit? Tadinya kakak ingin menjodohkannya dengan Arini. Bagaimana pendapatmu?” ucap Amanda seraya menatap foto pernikahan yang terpajang rapi di dinding kamar tersebut. Ada perasaan waswasa ketika menyadari bahwa tidak ak
“Jangan salahkan Amanda, Bu. Ini semua karena Radit.”“Berhenti membela istrimu yang kurang ajar itu!!” sentak ibunya dengan mata berkilat penuh amarah. “Oh Gusti. Kenapa anakku bisa sebodoh ini? Dia menikahi wanita yang cuma bisa dijadikan pajangan.”“Bu.”“Enggak, Dit. Ini enggak bisa dibiarkan. Ibu enggak mau anak ibu dipermainkan.” Bu Ningsih hendak beranjak pergi. Namun, Radit sudah bergerak cepat dengan memeluknya dari arah belakang. “Lepasin ibu, Dit!! Ibu mau adukan ini sama Pak Yuda. Biar dia tahu anaknya kayak gimana.” Wajah sangar Bu Ningsih kini berpindah pada Amanda yang sudah muncul di hadapannya. Hati ibu mana yang tidak sakit hati saat mengetahui pernikahan yang berlangsung hanya dijadikan ajang mainan.“Maaf, Bu,” lirih Amanda.“Jangan minta maaf sama ibu!! S