“Iya. Wanita ren-da-han,” tukas Radit menegaskan kalimatnya semula. Amanda sontak melebarkan kelopak matanya. Benar-benar terkejut dengan apa yang dilontarkan oleh Radit barusan.“Kau sadar dengan apa yang kau katakan??”“Kenapa, hem?” senggak Radit dengan senyuman yang tercetak miring. “Sikapmu pada kekasihmu itu sudah menunjukkan dengan jelas siapa kau yang sebenarnya. Bisa diperintah dan sama sekali tidak bernilai. Benar-benar wanita murah yang bisa dengan mudah —“PLAK!! Sebuah tamparan keras kini mendarat dengan cepat ke pipi bagian kiri Radit. Menjadikan pria tersebut tak lagi bisa melanjutkan kata-katanya yang terdengar tajam.“Jaga bicaramu!!”“Hei, kau tersinggung?” decak Radit seraya meraba pipinya yang memanas. “Tunjukkan padaku sisi mana dari dirimu yang berharga. Kau bahkan sudah berani berbohong pada semua orang tentang niat kepergian kita. Bagaimana kalau papa sampai tahu? Jantungnya bisa kumat. Atau ibu? Darah tingginya akan kambuh. Dasar wa
“Aku ingin membuat kejutan. Makanya aku bilang begitu,” kikik Amanda. “Kau mau apa?”“Ibu suruh aku mengantarkanmu sarapan. Dia pikir kau kelelahan. Ternyata malah asyik pacaran,” gumam Radit yang menyesal berbaik hati pada istrinya.“Terimakasih dan …maaf,” ucap Amanda yang kemudian lekas menggigit bibir bagian bawahnya. “Maaf karena sudah menamparmu tadi malam, tapi apapun yang kau katakan aku tidak peduli. Yang jelas aku sangat mencintai Andre.”“Terserah. Lakukan saja sesuka hatimu.” Amanda tak menghiraukan Radit yang segera berbalik badan meninggalkannya. Gadis usia matang itu lantas berjalan menuju nakas untuk menyambar segelas susu yang dibawakan sang suami.“Dinda, kasih tahu kakak. Menurutmu perempuan seperti apa yang disukai oleh Radit? Tadinya kakak ingin menjodohkannya dengan Arini. Bagaimana pendapatmu?” ucap Amanda seraya menatap foto pernikahan yang terpajang rapi di dinding kamar tersebut. Ada perasaan waswasa ketika menyadari bahwa tidak ak
“Jangan salahkan Amanda, Bu. Ini semua karena Radit.”“Berhenti membela istrimu yang kurang ajar itu!!” sentak ibunya dengan mata berkilat penuh amarah. “Oh Gusti. Kenapa anakku bisa sebodoh ini? Dia menikahi wanita yang cuma bisa dijadikan pajangan.”“Bu.”“Enggak, Dit. Ini enggak bisa dibiarkan. Ibu enggak mau anak ibu dipermainkan.” Bu Ningsih hendak beranjak pergi. Namun, Radit sudah bergerak cepat dengan memeluknya dari arah belakang. “Lepasin ibu, Dit!! Ibu mau adukan ini sama Pak Yuda. Biar dia tahu anaknya kayak gimana.” Wajah sangar Bu Ningsih kini berpindah pada Amanda yang sudah muncul di hadapannya. Hati ibu mana yang tidak sakit hati saat mengetahui pernikahan yang berlangsung hanya dijadikan ajang mainan.“Maaf, Bu,” lirih Amanda.“Jangan minta maaf sama ibu!! S
Amanda yang kini bersama Ayra di taman belakang sedang harap-harap cemas. Sudah hampir setengah jam sang suami dan ibu mertuanya berbincang di dalam. Entah sedang berkompromi tentang apa. Namun, satu hal yang ia tahu bahwa Radit akan menepati janjinya.“Kenapa, Sayang? Udah ngantuk, hem?” gumam Amanda begitu melihat putrinya menggeliat pelan. Botol susu yang dipegang gadi kecil itu pun sudah kosong melompong.“Sini, Bu. Sama saya aja Non Ayra-nya,” kata Sus Rini.“Papa sama nenek Ayra masih belum keluar juga?” tanyanya kemudian. Tak pelak menyerahkan tubuh sang anak pada susternya. Belum sempat Sus Rini menjawab, dua orang yang sedang dinantikan oleh Amanda akhirnya muncul juga. Tak ada rupa menakutkan yang terlihat dari mereka.“Sa-saya permisi ke dalam ya, Bu,” pamit Sus Rini yang lekas ia angguki. Hingga kemudian mata Amanda memicing usai melihat Radit yang sudah membawa tas ibunya. Perlahan dia pun memberanikan diri untuk mendekat.“Ibu te
Ucapan barusan membuat Amanda refleks membelalakkan matanya. “Kau pasti bercanda. Ini tidak lucu.”“Aku serius,” kata Radit yang sekarang menatap lekat netra kecokelatan milik sang istri. “Aku memang sudah berjanji pada ibu untuk tidak menceraikanmu, tapi … kita masih bisa berpisah sesuai dengan rencana awal.”“Maksudmu?”“Kau bisa menggugatku bukan?” Radit kini tersenyum sebentar hingga akhirnya terkekeh pelan. Benar apa yang dikatakan oleh suaminya barusan. Amanda mengangguk lalu mengiyakan. Ah. Dirinya sempat terkejut bahkan syok sesaat. Sungguh tak habis pikir jika hidup berdampingan dengan pria yang tidak ia cintai untuk jangka waktu yang lama. Kini keduanya tengah melangkah beriringan menuju ballroom. Mendatangi resepsi pernikahan salah satu anak dosen yang bekerja di tempat Radit. Jadilah sebelum terbang menuju Singapura mereka singgah sebentar untuk sekedar makan siang.“Eh, Pak Radit. Saya kira tadi Bapak tidak datang,” sapa sang pemi
“Dit, Ayra!!” Pekikan Amanda membuat Radit yang sudah berjalan menuju ambang pintu lekas membalikkan tubuh. Sontak dia berlari kecil menghampiri istri dan anaknya. Ikut meraba dahi serta leher si kecil juga.“Badannya panas,” kata Radit yang langsung membuat kesimpulan. Tangannya bergerak cepat menyambar thermometer digital dari dalam nakas. Lantas meletakkannya di bagian ketiak Ayra. Menatap sendu putri kecilnya yang sudah berwajah lesu. Suhu menunjukkan ke angka 38,5 derajat Celcius. Bayi usia dua bulanan lebih itu terserang demam. Padahal tiga jam sebelumnya tampak sangat baik-baik saja. Entahlah. Amanda panik bukan main. Kalau sudah begini dia harus bagaimana?“Jangan khawatir. Nanti kami akan kasih tahu perkembangan Ayra ke kalian,” kata Mama Tiara mencoba menenangkan Amanda.“Iya, Bu. Saya juga ada di sini jagain Non Ayra,” sahut Sus Rini kemudian. Namun, Amanda masih menggeleng. Dia hanya mengiyakan penawaran Radit yang me
Kejadian beberapa jam lalu menyadarkan Amanda kalau dia sudah jatuh cinta sedalam-dalamnya pada Ayra. Bayi perempuan yang semula hanya dianggap sebagai keponakan saja kini telah berhasil merenggut semua perhatian model cantik itu. Barulah dirinya paham bahwa kondisi sang anak sangat penting di atas segalanya. Padahal Ayra hanya terserang demam. Bukan terkena penyakit serius atau apalah itu. Namun, otak Amanda sudah membimbingnya untuk menjadi panik bukan main. Berpikiran bahwa bayi yang usianya hampir mencapai tiga bulan tersebut bisa saja bertambah parah. Ada benarnya juga sih memang. Sungguh yang tadi sangat menguras energinya. Bahkan terasa sampai sekarang. Seandainya dia diperbolehkan untuk memilih Ayra saja bagaimana? Apa Radit tidak akan keberatan kalau putrinya dibawa? Ah. Pemikiran macam apa itu. Mana mungkin. Suaminya hanya memiliki seorang anak yang merupakan kenang-kenangan dari buah cinta bersama mendiang sang istri. Dia jelas tak
“Tenanglah. Hanya sebentar. Kakimu tidak akan terasa nyeri lagi,” ucap Radit yang kemudian meletakkan kedua kaki Amanda ke dalam sebuah wadah besar. “Garam yang sudah direndam ke dalam air hangat ini akan mengurasi rasa sakitmu.” Setelahnya Radit bangkit dari posisi jongkok tadi. Kembali ke tempat tidurnya semula. Karpet berbulu yang belakangan terasa nyaman bagi mantan duda itu.“Terimakasih.”Radit bergumam lirih. Lantas menatap Amanda yang duduk di atas sofa sana. “Maaf ya untuk malam ini. Aku akan mengganti rugi biaya perjalanan beserta hotel yang sudah kau booking.”“Jangan minta maaf. Aku juga yang salah. Sebelumnya tidak memberitahukan apa-apa pada Ayra. Makanya dia sakit hati dan menjadi sakit,” katanya dengan penuh penyesalan. Apalagi saat menatap si kecil yang sedang terlelap di dalam boks. “Aku lupa kalau dia bisa mendengar dan merasakan apapun yang ada di sekitarnya.”“Meskipun begitu, tetap saja aku tidak enak hati. Aku adalah papanya.”“Aku juga mamanya,” t
Radit tahu bahwa semua yang terjadi adalah kehendak Yang Kuasa. Namun, entah mengapa sulit sekali menyiapkan diri untuk kemungkinan terburuk. Sungguh pengalaman pamit saat menyambut kelahiran Ayra dulu masih membekas jelas di dalam ingatannya. “Kalau Bapak mau ke luar dari sini silakan. Operasi akan segera dimulai,” kata seorang perawat kemudian. Tidak. Radit tak akan mau meninggalkan Amanda yang sedang berjuang melahirkan para buah cinta mereka. Pria itu bangkit lalu berjalan perlahan ke sisi sang istri. Kini kedua mata mereka saling bertemu pandang seolah sedang berbicara dari hati ke hati. Operasi pun dimulai. Efek anastesi mulai berjalan sehingga Amanda tak lagi bisa merasakan sayatan demi sayatan yang perlahan mulai membuka kulit perutnya. Sementara Radit terus melantunkan do’a di dalam kalbu. Memohon pada Tuhan agar orang-orang yang dicintainya selamat dan tidak kekurangan sesuatu apapun. “Aku mencintaimu, Sayang.” Amanda mengatakann
Tadinya Radit yang sudah terserang bucin akut pada Amanda sangat khawatir begitu melihat orang yang ada di hadapan mereka saat ini. Namun, rasa cemas pun perlahan sirna usai menyaksikan sendiri betapa wanitanya tidak lagi ingin menghindar.“Nama anak cantiknya siapa?” tanya Amanda sambil tersenyum. Bayi perempuan usia satu tahunan yang ada di pangkuan mamanya itu menggeliat kecil. Lantas tersenyum malu dan tampak salah tingkah.“Nama aku Aulia, Tante.” Adalah Tisa selaku sang mama yang menjawab pertanyaan barusan. Tak lama kemudian Amanda mengulurkan tangannya dan disambut dengan kecupan oleh si bayi. Membuat Ayra yang tadi duduk anteng di baby chair-nya mendadak berontak. Kelakuan calon kakak dari anak-anak kembar Amanda tersebut menjadi perhatian para orang dewasa di sekitarnya.“Ni Mama Aia!!” pekik Ayra dengan mata yang sudah melirik sinis. Dia bahkan menggeleng saat Radit hendak memperkenalkannya pada putri Tisa dan Andre itu.“Ya ampun!
“Sayang, masih lama?” Radit yang sedang mengemudi menoleh sekilas ke arah istrinya lalu menjawab, “Sebentar lagi kita akan sampai. Sabar ya, Sayang.” Amanda mengangguk. Wanita cantik itu tersenyum manis walaupun dalam keadaan mata yang masih tertutup sejak mereka meninggalkan rumah tadi. Hingga hampir setengah jam kemudian mobil yang dikendarai Radit pun berhenti. Pria itu bergegas membuka sabuk pengaman dirinya dan sang istri. “Apa aku boleh buka penutup matanya?” tanya Amanda yang sudah tak sabaran. “Jangan dulu,” jawab Radit yang seketika menggenggam erat tangannya. “Kita melangkah perlahan agar kau tak tersandung. Hati-hati.” Amanda bergumam pelan seraya menganggukkan kepala. Dia terus melangkah sesuai tuntunan sang suami hingga berhenti beberapa saat kemudian. “Apa sudah bisa dimulai, Pak?” tanya seseorang yang berdiri di kejauhan. Radit mengangguk. Pria itu kemudian mengambil posisi di belakang sang istri lalu membuka ikatan penutup mata tadi. “Silakan, Sayang.” Kini k
Satu harian ini Amanda jadi misuh-misuh sendiri di dalam kamar. Wanita cantik tersebut hanya keluar untuk mengisi perut atau sesekali melihat keadaan Ayra. Tentu saja dia masih kesal karena sang suami pergi tanpa mau mengajaknya. Padahal apa yang dikatakan Radit tadi ada benarnya. Dia mungkin akan kelelahan karena aktifitas mereka yang sangat padat hingga malam hari. Meskipun begitu, tetap saja hati kecil Amanda tidak terima. Jadilah dia cemberut sekarang.TOK TOK!!“Masuk aja. Enggak dikunci kok,” kata Amanda yang mematut diri di depan cermin. Beberapa detik kemudian Bu Ningsih muncul sembari menggendong Ayra yang sudah terlelap. Ibu mertuanya itu masuk lalu merebahkan sang cucu di atas ranjang.“Ibu dan Tiara mau keluar ya. Ayra samamu dulu.”Amanda langsung manyun. Kenapa mereka juga tak mau mengajaknya? Atau paling tidak berbasa-basi. “Kalian mau ke mana, Bu?”“Si Tiara minta ditemenin ke supermarket. Beli buah-buahan katanya,” jawab Bu Ni
“Jangan mancing-mancing.” Amanda menjauhkan kepalanya dari Radit lalu melirik sebal pria yang sudah mengulum senyum itu. Tentulah ia tahu apa maksud dari serangan kecil barusan. “Boleh aku bicara jujur?” Radit masih saja mengeluarkan jurus jitunya. Apalagi kalau bukan menggoda Amanda. “Apa?” “Kau semakin cantik dan seksi,” bisik Radit sembari mendekatkan tubuh mereka kembali. “Semuanya padat dan berisi.” “Berhentilah membual,” desis Amanda saat tangan nakal itu sudah mulai menjalar ke mana-mana. “Ini masih pagi dan situasinya enggak tepat.” Namun, Radit yang sudah terbakar gairah sepertinya tidak peduli. Dia malah semakin bersemangat untuk menggempur tubuh sang istri. Pertarungan di atas ranjang pun menggantikan olahraga paginya kali ini. Bunyi kecipak dan ayunan lembut yang mereka ciptakan sendiri menjadi suara yang begitu memabukkan. Bahkan ketika ledakan cinta didapat, keduanya masih ingin menggapai momen itu kembali. Sayangnya gagal karena pintu kamar sudah terbuka seba
Amanda refleks melebarkan kelopak matanya saat merasakan nyeri di bagian perut. Begitu juga dengan Radit yang baru menyadari sang putri sudah terbangun."Mama Aia!!""Iya, Sayang. Kenapa malah mukul tangan papa sih? Perut mama juga kena jadinya." Radit mengomel sembari melihat ke arah istrinya."Enggak pa-pa," ucap Amanda yang kemudian mendudukkan diri. Lantas dia tersenyum pada Ayra yang sudah cemberut. "Anak mama kenapa ya kok main pukul-pukul lagi? Katanya sayang sama papa juga, kenapa begitu, hmm?""Mama Aia!!"Gadis kecil itu malah menatap tajam sang papa. Seolah memberitahu bahwa Amanda hanya miliknya saja. Sementara kini Radit hanya menjadi pendengar kedua ibu dan anak tersebut yang mulai berbicara.Kini dengan suara lembutnya Amanda menjelaskan bahwa sikap Ayra barusan salah. Tak ada nada bicara meninggi ataupun rasa kesal yang tertangkap di wajah istri cantiknya tersebut. Membuat Radit semakin kagum pada wanitanya itu."Lain kali ngomongnya baik-baik ya, Sayang," kata Amanda
“Kau ini kenapa sih?? Istri lagi hamil kok malah dibuat stress. Maumu apa, hah??” Radit menggeleng pelan dengan kepala yang sudah tertunduk. Tak berani menatap wajah sang ibu yang sedang mengomel itu. Sementara Mama Tiara hanya diam sembari memandang keduanya secara bergantian.“Aku hanya mencemaskannya,” kata Radit dengan suara lirih. “Aku enggak pernah menyangka jika Manda hamil anak kembar. Itu sangat berisiko.” Ya. Bukannya Radit tidak bahagia, tetapi rasa khawatir yang ada pada dirinya melebihi apapun saat ini. Sungguh kepingan memori buruk perihal wafatnya sang istri terdahulu mulai menari-nari di dalam kepala.Melihat wajah gelisah itu, Bu Ningsih berdecak pelan lalu menarik kursi hingga dia dan Radit kini saling berhadapan. Satu tangannya menyentuh pundak anak semata wayangnya tersebut.“Relakan apa yang sudah terjadi. Ibu tahu kalau kau takut Manda mengalami kejadian serupa seperti yang lalu bukan?” tanyanya yang membuat Radit lekas mengiyakan. “Se
“Dokter ‘kan enggak cuma satu aja. Ada banyak pilihan dan menurutku … ini yang terbaik. Dia juga lebih pro ke persalinan normal.” Radit mengatakannya sambil tersenyum. Tidak lagi marah karena pembicaraan tentang Dinda kembali menjadi topik mereka walaupun memang bukan disengaja.“Ya sudah kalau gitu,” kata Amanda kemudian.“Atau kau sudah punya pilihan dokter sendiri, hem?” tanya Radit sembari memelankan laju kendaraannya.Amanda menggeleng cepat sebagai jawaban. “Aku ‘kan sudah lama sekali enggak balik ke sini. Jadi ya terserah kau saja kita mau ke mana.”“Siapa tahu ada saran dari teman atau rekan di sosial media,” gumam Radit.“Enggak sih. Temanku dulu cuma Tisa dan sekarang malas rasanya dekat sama siapapun juga. Lagian sudah ada suami dan anak-anak. Cukup kok buatku.” Keterangan barusan membuat Radit semakin menyadari bahwa wanita di sampingnya ini memang introvert sedari lama. Dulu saat dia sedang bersama mendiang Dinda pun, Amanda terlihat acuh tak a
Ada yang janggal. Itulah yang disimpulkan Amanda sekarang. Dia tak bisa bertanya pada Radit lantaran suasana tidak mendukung. Terlebih lagi Ayra mulai merengek lantaran ingin sekali berada di pangkuannya.“Ya udah iya. Sebentar ya, Sayang,” kata Radit pada sang putri. Dia pun mulai menepikan kendaraan lantas ke luar dari mobil.“Mu mama!!”Ayra sudah tak sabaran. Tangan dan kakinya yang sibuk meronta-ronta. Membuat Mama Tiara yang memangku jadi sedikit kewalahan. Hingga beberapa detik gadis kecil itu tersenyum saat sang papa sudah mengambil alih dan meletakkan tubuhnya di tempat yang ia inginkan.“Gimana, Sayang? Udah nyaman?” tanya Radit setelah memundurkan tempat duduk Amanda. Menyisakan jarak yang sedikit jauh agar kedua kaki istri cantiknya bisa bergerak dengan lebih leluasa.“Sudah,” jawab Amanda sekenanya. Barulah Radit kembali melajukan mobil seperti sedia kala. Sementara Ayra sudah tampak kegirangan karena berada di pangkuan mamanya.“Ana, Ma?”“Iya