Share

BAB 3

"Sweety, kenapa kamu melamun, hm?" tanya Dariel dengan lembut, melihat putrinya yang tampak melamun saat mereka tengah makan malam bersama. Makanan di piring Claire masih utuh dan sudah mulai dingin.

Claire terkejut dari lamunannya dan memaksakan senyum. "Oh, tidak ada, Ayah. Aku hanya lelah," jawabnya sambil mencoba menyuapkan makanan ke mulutnya. Tapi, rasa makanannya seolah tidak ada di lidahnya. Pikirannya terus berputar memikirkan pernikahan dadakannya dengan pria yang dia tabrak pagi ini.

Lucia, yang duduk di seberang meja, melihat putrinya dengan penuh perhatian. "Sayang, kau terlihat sangat khawatir. Apakah ada sesuatu yang ingin kamu ceritakan kepada kami?"

Claire menggigit bibirnya, merasa beban rahasia ini terlalu berat untuk dipikul sendiri. Tapi menceritakan sekarang bukanlah waktu yang tepat.

"Benar-benar tidak ada apa-apa, Ibu," kata Claire dengan suara pelan. "Aku hanya perlu waktu untuk menyesuaikan diri dengan semua perubahan ini."

Ethan, yang duduk di sebelah Claire, meraih tangan adiknya dengan penuh kasih. "Claire, kita semua di sini untukmu. Apapun yang terjadi, kita bisa menghadapinya bersama."

Claire merasa air matanya hampir tumpah, tetapi dia menahannya. "Terima kasih, Kak. Aku sangat beruntung memiliki kalian semua."

Mereka melanjutkan makan malam dalam keheningan, masing-masing dengan pikirannya sendiri. Setelah makan malam, keluarga besar itu berkumpul di ruang keluarga dengan penuh canda tawa.

Hal itu membuat Claire merasa tertekan untuk menceritakan apa yang dia alami.

Hingga dia menghela nafasnya dan berkata.

“Besok aku akan menikah.”

Tawa di apartemen itu langsung hilang berubah menjadi senyap.

“Kamu bercandakan?” Tanya Ethan pada adiknya karena tiba-tiba mengatakan hal tersebut.

Claire menelan ludah, merasakan beratnya suasana yang tiba-tiba berubah. "Aku tidak bercanda, Kak," katanya dengan suara hampir berbisik. "Aku... aku akan menikah besok."

Dariel, Lucia, dan Ethan saling memandang dengan bingung dan cemas. "Apa maksudmu, Claire?" tanya Dariel dengan nada serius namun lembut. "Mengapa tiba-tiba seperti ini? Siapa pria yang akan kamu nikahi?"

Claire menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Ini... ini rumit. Tadi pagi aku mengalami kecelakaan, aku menabrak seseorang dan dia dalam keadaan koma. Keluarganya memaksa aku untuk menikahinya sebagai bentuk tanggung jawabku."

Lucia menutup mulutnya dengan tangan, terkejut. "Oh, Claire, kenapa kamu tidak memberitahu kami sebelumnya?"

"Aku takut membuat kalian khawatir," jawab Claire dengan suara bergetar. "Tuan Edmond, ayah pria itu, sangat marah.Dia ingin aku bertanggung jawab karena membuat putranya koma."

Ethan berdiri dari kursinya, tidak bisa menyembunyikan kemarahannya. "Ini tidak masuk akal! Kau tidak seharusnya dipaksa menikah dalam keadaan seperti ini. Kita harus melawan mereka, mencari jalan lain. Ayah, ayo temui pria itu, aku tak akan membiarkan siapapun menggertak adikku!"

Tuan Kaizer yang mendengar itu mengangguk setuju, “Ayo nak, kita cari pria bajingan yang mengganggu cucuku. Enak saja mereka meminta putri Filbert menikahi pria koma.” 

Tuan Albert yang berada di kursi rodanya mengangguk setuju, dia tidak rela buyut kesayangannya harus menderita.

Claire yang melihat kekacauan ini langsung menghela nafasnya dengan berat, “Kak, kakek, kakek buyut, bukankah di keluarga ini aku diajarkan untuk selalu bertanggung jawab dengan apa yang aku lakukan? Dan sekarang aku telah melakukan kesalahan besar, aku harus tanggung jawab.” Ucap Claire yang berusaha tenang dan berpikir dewasa saat ini.

Ethan langsung memegang lengan adiknya dengan kuat, “Apa kau gila?! Mereka hanya memanfaatkanmu!”

Dariel menghela nafasnya, “Kita bertemu dulu dengan ayah dari pria itu. Kita tak bisa lepas tangan begitu saja.”

“Dariel, apa kau benar-benar setuju jika putrimu menikah dengan pria koma?!” Tuan Kaizer tampak tak terima dengan hal itu.

Dariel menenangkan ayah mertuanya, “Ayah, bukan begitu tapi setidaknya kita membahas ini secara kekeluargaan jika mereka menginginkan uang maka aku akan berikan berapapun yang mereka minta.” 

Claire merasa bersalah membuat keluarganya menjadi seperti ini.

“Kakek!” Tiba-tiba teriakan ibunya membuat semua orang terkejut. Mereka langsung melihat ke arah tuan Albert yang tampak sesak nafas dan memegang dada kirinya seperti serangan jantung.

"Kakek!" teriak Lucia panik, segera berlari ke sisi ayahnya.

Dariel dan Ethan langsung bereaksi. "Cepat, panggil ambulans!" perintah Dariel dengan tegas, sementara Ethan mengambil ponselnya dan segera menghubungi layanan darurat.

Claire yang adalah seorang dokter bedah, langsung masuk ke mode profesional. "Bantu aku menurunkannya dari kursi roda ke lantai," ucap Claire dengan tenang namun tegas. Dia memeriksa denyut nadi dan napas kakek buyutnya.

"Dia mengalami serangan jantung. Kita harus melakukan CPR," Lucia dalam sekali lihat bisa melihat jika kakek terkena serangan jantung. 

Dia dan Claire segera mengambil tindakan, dengan Lucia yang naik ke atas tubuh tuan Abert dan melakukan CPR agar jantung tuan Albert tak berhenti berdetak.

Sementara Lucia melakukan kompresi dada, Claire terus memeriksa tanda-tanda vital Tuan Albert. "Teruskan, Ibu, ritmenya sudah benar," kata Claire, mencoba tetap tenang dan profesional meski hatinya dipenuhi kekhawatiran.

Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, suara sirene ambulans terdengar semakin dekat. Paramedis segera masuk ke apartemen dan mengambil alih tindakan resusitasi dari Lucia.

"Dia mengalami serangan jantung sekitar lima menit yang lalu," jelas Claire kepada paramedis. "Kami telah melakukan CPR."

Paramedis segera memasang monitor jantung dan memberikan defibrillator jika diperlukan. Mereka dengan cepat menempatkan Tuan Albert di atas tandu dan membawanya ke ambulans.

"Aku akan ikut dengan ambulans," kata Claire tegas. "Aku harus memastikan kakek buyut mendapatkan perawatan terbaik."

Dariel mengangguk. "Kami akan segera menyusul."

Di dalam ambulans, Claire terus memantau kondisi Tuan Albert sambil berkomunikasi dengan paramedis. Sesampainya di rumah sakit, tim medis segera membawa Tuan Albert ke ruang gawat darurat.

Claire memberikan informasi lengkap mengenai kondisi kakek buyutnya kepada dokter yang bertugas. "Dia mengalami serangan jantung sekitar sepuluh menit yang lalu. Kami melakukan CPR sampai paramedis tiba," jelasnya.

Dokter mengangguk. "Terima kasih, Dokter Claire. Kami akan melakukan yang terbaik untuknya."

Claire berdiri di luar ruang gawat darurat, merasa campur aduk antara kekhawatiran dan rasa bersalah. Beberapa menit kemudian, Dariel, Lucia, Ethan, dan Tuan Kaizer tiba di rumah sakit.

"Bagaimana kondisinya?" tanya Dariel dengan cemas.

"Mereka sedang menanganinya sekarang. Kita hanya bisa berdoa dan berharap yang terbaik," jawab Claire dengan suara pelan.

Ketegangan mulai menguar disana, Claire yang paling takut disini. Dia takut kakeknya tak bisa di selamatkan.

Hingga seorang dokter keluar, “Kondisinya semakin memburuk, sepertinya harus ada tindakan operasi karena ternyata ada pembuluh darah yang pecah yang membuat kondisinya semakin darurat.”

"Kondisinya semakin memburuk, sepertinya harus ada tindakan operasi karena ternyata ada pembuluh darah yang pecah yang membuat kondisinya semakin darurat," kata dokter dengan tegas.

Claire merasa dadanya semakin sesak. "Apakah saya bisa membantu dalam operasi?" tanyanya dengan suara penuh harap.

Dokter mengangguk. "Tentu, Dr. Claire. Kehadiran Anda akan sangat membantu, terutama karena Anda yang paling mengenal kondisi kakek buyut Anda."

"Baik, mari kita segera mulai." Ucap Claire dengan serius.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status