Share

42. Rumah Kenangan

Entah ini sore ke berapa kali, aku masih setia duduk di bawah pohon jambu air yang berbuah lebat belakang rumah. Sebahagian dahannya menjuntai di atas pengairan persawahan.

Aku mengibaratkan diri ini buah yang jatuh ke air itu. Terbawa arus, berbaur dengan buih, terbentur di bebatuan, dan tak tahu di mana kan tersangkut.

Mungkin saja buah itu kan membusuk hingga habis tak tersisa. Atau akan ada seorang yang kebetulan lewat, dan menjadikan pelepas dahaga.

Andai ada pilihan, aku ingin buah itu tetap di pohon saja, tanpa melalui proses ranum, masak, jatuh, lalu tak bersisa sama sekali. Harapan yang sangat mustahil. Rasanya malu sekali hati mengharap pada sesuatu yang tak mungkin terjadi.

Sehari setelah Reta dan Mas Gading bertolak pulang dan jatuhnya bapak dari tangga saat menggendong Azmi naik rumah, membuatku masih tertahan di sini.

Bukan! Bukan karena merawat orang tua yang memicu jiwa seakan nelangsa, atau menghitung masa iddah yang tinggal hitungan jam lagi.

Tapi telepon dari Si
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status