Acara makan siang terlaksana penuh kekeluargaan di atas rumah. Kami mengelilingi empat baki yang terisi lauk-pauk masakan Bugis. Sungguh, sangat puas rasanya menjamu tamu. Walau tak seenak di restoran, melihat mereka saja menambahkan makanan di piringnya, ada nilai kenikmatan tersendiri. Inilah yang disebut Rasullullah dalam hadits. 'Sesungguhnya tamu itu pembuka rezeki. Dan setiap tamu yang telah dimuliakan tuan rumah, membawa semua penyakit keluar dari rumah. Andai mampu kita lihat dengan kasat mata, berbagai hewan melata, seperti, kalajengkin, kaki seribu, ular, kelabang, de el el, ikut keluar bersama kepergian sang tamu tersebut.' Semoga kami mampu konsisten menjalankan ibadah yang kian mempererat silaturahmi itu Ya, Rabbi."Ada hal penting yang mau dibicarakan, Nduk. Sini dulu!" jantung berdebar mendengar panggilan bapak yang nampak serius. Setelah salat Duhur tadi, aku dan anak-anak sedang bercanda di kamar. Sebelum keluarga Simbah melanjutkan perjalanan, kami sempatkan wak
"Ee, Mbak! Mikir apa sih tadi, lama banget ambil keputusan?" Ck, anak ini betul-betul penasaran rupanya. Belum tahu aja dia, sekarang pun, jantungku masih berolah raga di sana. "Ayolah, Mbak! Tanyaain dong!?" Rengek Rina sambil mengikutiku ke kamar. Anak ini meski sudah nikah, masih belum berubah juga. "Soal kepantesan!" kataku tak sepenuhnya berdusta. "Maksudnya?""Dia itu alumni Mesir, calon pengganti abanya jadi pimpinan pondok." Bobot tubuh kujatuhkan di pembaringan, lalu meluruskan punggung untuk menghilangkan ketegangan di luar tadi yang masih melemahkan tulang-tulangku."Bagus dong. Mbak!" Rina melakukan sama. "Lihat dari wajah saja. Aku ngerasa nggak pede. Apalagi pendidikan, ditambah lagi masa lalu." jawabku menatap langit-langit kamar. "Setiap orang punya masa lalu, lah, Mbak. Nggak usah dipikirin. Soal wajah, serasi banget, kok. Mas Rio aja dulu tuh, yang matanya buta."Mendengar nama lelaki itu, tiba-tiba pikiranku menerawang. Membayangkan wajahnya bersama keluarga
Aku menyandarkan punggung di dinding kamar. Membayangkan sahabatku itu punya rasa saja pada lelaki yang belum tiga jam melamarku itu membuat kepala berdenyut, apalagi kalau mereka pernah mengukir masa lalu bersama, dan terhalang karena sesuatu hal, makin menciptakan rasa bersalah di sudut hatiku. Sungguh, di mana kuletakkan kata 'my sister' dan lamanya waktu kebersamaan itu andai ikatan pernikahan dilanjutkan?Ini bukan tentang sejarah saja yang berulang, lebih kepada pengorbanan seorang yang telah membersamai saat-saat terdown. Seseorang yang telah menggenggam tanganmu ketika kau sangat butuh sandaran. Seseorang yang telah menjadikanmu saudara tanpa ada tendensi saat kau tak dihargai. Bukankah hubungan suami istri bisa saja jadi mantan? Tapi hubungan saudara, terbawa sampai liang lahad? Teman memang gampang ditemui, tapi teman yang selalu ada ketika suka dan duka seperti mencari jarum ditumpukan jerami. Dengan perasaan entah, kuletakkan berkas yang telah rampung, lalu beranjak man
"Ya, udah kalo gitu. Kami akan berangkat," ucap Simbah sambil mengusap kepalaku saat melihat mobil Abi Nailah terparkir. Mungkin baru saja menjemput abah dari masjid tempat beliau tausiah. Abah dan lelaki dingin itu berekspresi sama-sama kaget saat melihatku. Setelah ummah menjelaskan seperti kata Rina tadi. Mereka terlihat manggut-manggut. "Bulan dan Rina sebaiknya ikut sebentar. Kita bicara dulu sambil makan malam," titah abah membuatku heran namun tetap mengiyakan. Rina dan Langga berboncengan. Sedang aku dan Andi seperti tadi. Kami mengikuti avanza velos putih itu memasuki area pantai Senggol. Selain tempat ini paling terfaforit buat jalan-jalan dan berbelanja, pun pilihan paling pas untuk menikmati kuliner sambil merasakan debur ombak menghempas pinggir tanggul yang memanjang hampir seluruh laut menjorok ke kawasan kota Pare-pare. "Jadwal abah akhir-akhir ini padat sekali. Paling tiga hari di Makassar baru pulang lagi ke Tenggara. Tidak apa-apakan nikahanmu dimajukan?" ujar
"Tidak, Sayang, kami menghargai keputusanmu. Kamu memang anak yang patut diperjuangkan."Kurasakan kulit keriput Simbah memegang tanganku. Refleks aku membuka mata dan berdiri memeluknya dari belakang. "Terima kasih, Mbah. Dari awal Bulan selalu bersyukur dipertemukan dengan, Simbah." Buncahan di dada akhirnya keluar juga, dada terasa sempit menahan sesak yang sedari tadi ingin tumpah. Ya, menangis memang bagian dari simbol kelemahan, tapi sekaligus jalan untuk tetap bersabar. Bersabar dari luka, kecewa, dan takdir yang pasti terjadi. "Kalau Simbah sudah membuat keputusan, kami anak-anak bisanya berbuat apa?" ucap abah sambil bercanda, dan diangguki oleh ummah. Sementara lelaki datar itu masih setia memandang ke tengah lautan. Aku tak tahu menafsirkan raut wajah mereka satu-persatu karena aku tak berani mengangkat wajah lama-lama, selain hati malu, pun ikhlasku masih berusaha kuseimbangkan.Hamba rido dengan segala takdirMu Ya, Rabb. Termasuk tak memiliki dia yang menguasai ruang ri
"Dengar-dengar, Mbak memutuskan lamaran abangku, ya? Sayang sekali, kalian udah pas banget soalnya." Azman memulai obrolan saat Azmi tertidur. Perjalanan darat, naik kapal laut, lalu darat lagi, membuat anak itu lelah."Padahal banyak loh, wanita di luar sana mengharapkannya. Selain ada yang nawarin diri, ada juga orang tuanya langsung melamar." Aku tak menampik pernyataan Azman. Lelaki dingin itu memiliki standar semua tipe pria. Rupawan, mapan, dan terutama sholeh."Aku yang kecewa loh, Mbak, kalau ada alasan lain selain demi persahabatan saja," ucap Azman lagi setelah aku masih memilih diam. Entah bagaimana mengomentarinya. Andai anak ini tahu rasaku, dia tak bakalan berkesimpulan sendiri. "Tak ada yang lain, kan, Mbak?""Maksudnya?" Aku mengerutkan alis. Mungkinkah mengorek isi hatiku yang jadi tujuan Azman mengantar? Ck! "Karena mantan, misalnya." Tak sengaja bibir menarik senyum kecil. Andai kakaknya yang dingin itu bertanya begitu, berarti rasa ini tak bertepuk sebelah tang
"Kasus penilangan mengingkari janji. Pacarnya mau adakan percobaan bunuh diri kalau Bang Gading tak segera menikahinya. Tunggu-tunggu aja! Paling besok-besok udah bagiin undangan, tu." Seperti biasa, jika membahas Mas Gading dan Mbak Amirah, Reta pasti acuh tak acuh. "Jadi Mas Gading di mana?" tanyaku prihatin sekaligus bahagia. Setidaknya lelaki baik itu ada yang mengurus. Kalau masalah cinta, yang penting Mbak Amira mau bersabar dan berusaha, perjuangan tak akan menghianati hasil. Insya Allah."Di rumah sakit, lah. Dasar cewek berpikiran sempit. Udah jelas-jelas tak diharap masih maksa. Kalau aku, mending ke laut aja sekalian." "Ngapain ke laut? Bunuh diri?" jawabku ikut menggodanya. "Amit-amit! Ya, refresing kek, mandi-mandi kek, tangkap kepiting, kerang, atau hiu sekalian," ucap gadis periang ini dengan mulut penuh. Dia memang selalu cuek terhadap lawan jenis, makanya tak pernah kudengar dia patah hati.Tok, tok.Mendengar suara ketukan di pintu aku bergegas menarik jilbab ins
Sengaja hari ini pulang agak telat dari toko. Biasanya jam setengah lima sore, aku dan Azmi sampai di rumah. Reta juga telah bertolak, tinggal dua pegawainya yang melayani pelanggan. "Kok, lama sih, Mbak?" Azman muncul dari arah rumah Mbah. Dia memakai baju koko panjang sewarna dengan kopyah. Sekilas, tak jauh beda dengan kakaknya."Belum makan, ya?" kataku menebak maksud tujuannya menyapa. Dia menarik senyum sekilas lalu menarik Azmi duduk di teras."Sudah makan bakso tadi di luar," jawabnya sambil membantu Azmi menyelesaikan permainan rubiknya. Ini gara-gara Reta yang menghadiah putraku kado yang susah diselesaikan."Terus?" kataku memasukkan belanjaan ke kulkas. Reta ke rumah sakit melihat Mas Gading. Aku tak ikut, karena khawatir kedatanganku menambah masalah baru."Nggak, lagi rindu sama Azmi aja," jawabnya berusaha santai tapi tak bisa menyembunyikan gelisah. Aneh! "Ya, udah, kalau nggak mau ngasih tau," Aku hendak bergegas lagi ke dalam. "A-anu, Mbak." Azman menggaruk kepala