"Ee, Mbak! Mikir apa sih tadi, lama banget ambil keputusan?" Ck, anak ini betul-betul penasaran rupanya. Belum tahu aja dia, sekarang pun, jantungku masih berolah raga di sana. "Ayolah, Mbak! Tanyaain dong!?" Rengek Rina sambil mengikutiku ke kamar. Anak ini meski sudah nikah, masih belum berubah juga. "Soal kepantesan!" kataku tak sepenuhnya berdusta. "Maksudnya?""Dia itu alumni Mesir, calon pengganti abanya jadi pimpinan pondok." Bobot tubuh kujatuhkan di pembaringan, lalu meluruskan punggung untuk menghilangkan ketegangan di luar tadi yang masih melemahkan tulang-tulangku."Bagus dong. Mbak!" Rina melakukan sama. "Lihat dari wajah saja. Aku ngerasa nggak pede. Apalagi pendidikan, ditambah lagi masa lalu." jawabku menatap langit-langit kamar. "Setiap orang punya masa lalu, lah, Mbak. Nggak usah dipikirin. Soal wajah, serasi banget, kok. Mas Rio aja dulu tuh, yang matanya buta."Mendengar nama lelaki itu, tiba-tiba pikiranku menerawang. Membayangkan wajahnya bersama keluarga
Aku menyandarkan punggung di dinding kamar. Membayangkan sahabatku itu punya rasa saja pada lelaki yang belum tiga jam melamarku itu membuat kepala berdenyut, apalagi kalau mereka pernah mengukir masa lalu bersama, dan terhalang karena sesuatu hal, makin menciptakan rasa bersalah di sudut hatiku. Sungguh, di mana kuletakkan kata 'my sister' dan lamanya waktu kebersamaan itu andai ikatan pernikahan dilanjutkan?Ini bukan tentang sejarah saja yang berulang, lebih kepada pengorbanan seorang yang telah membersamai saat-saat terdown. Seseorang yang telah menggenggam tanganmu ketika kau sangat butuh sandaran. Seseorang yang telah menjadikanmu saudara tanpa ada tendensi saat kau tak dihargai. Bukankah hubungan suami istri bisa saja jadi mantan? Tapi hubungan saudara, terbawa sampai liang lahad? Teman memang gampang ditemui, tapi teman yang selalu ada ketika suka dan duka seperti mencari jarum ditumpukan jerami. Dengan perasaan entah, kuletakkan berkas yang telah rampung, lalu beranjak man
"Ya, udah kalo gitu. Kami akan berangkat," ucap Simbah sambil mengusap kepalaku saat melihat mobil Abi Nailah terparkir. Mungkin baru saja menjemput abah dari masjid tempat beliau tausiah. Abah dan lelaki dingin itu berekspresi sama-sama kaget saat melihatku. Setelah ummah menjelaskan seperti kata Rina tadi. Mereka terlihat manggut-manggut. "Bulan dan Rina sebaiknya ikut sebentar. Kita bicara dulu sambil makan malam," titah abah membuatku heran namun tetap mengiyakan. Rina dan Langga berboncengan. Sedang aku dan Andi seperti tadi. Kami mengikuti avanza velos putih itu memasuki area pantai Senggol. Selain tempat ini paling terfaforit buat jalan-jalan dan berbelanja, pun pilihan paling pas untuk menikmati kuliner sambil merasakan debur ombak menghempas pinggir tanggul yang memanjang hampir seluruh laut menjorok ke kawasan kota Pare-pare. "Jadwal abah akhir-akhir ini padat sekali. Paling tiga hari di Makassar baru pulang lagi ke Tenggara. Tidak apa-apakan nikahanmu dimajukan?" ujar
"Tidak, Sayang, kami menghargai keputusanmu. Kamu memang anak yang patut diperjuangkan."Kurasakan kulit keriput Simbah memegang tanganku. Refleks aku membuka mata dan berdiri memeluknya dari belakang. "Terima kasih, Mbah. Dari awal Bulan selalu bersyukur dipertemukan dengan, Simbah." Buncahan di dada akhirnya keluar juga, dada terasa sempit menahan sesak yang sedari tadi ingin tumpah. Ya, menangis memang bagian dari simbol kelemahan, tapi sekaligus jalan untuk tetap bersabar. Bersabar dari luka, kecewa, dan takdir yang pasti terjadi. "Kalau Simbah sudah membuat keputusan, kami anak-anak bisanya berbuat apa?" ucap abah sambil bercanda, dan diangguki oleh ummah. Sementara lelaki datar itu masih setia memandang ke tengah lautan. Aku tak tahu menafsirkan raut wajah mereka satu-persatu karena aku tak berani mengangkat wajah lama-lama, selain hati malu, pun ikhlasku masih berusaha kuseimbangkan.Hamba rido dengan segala takdirMu Ya, Rabb. Termasuk tak memiliki dia yang menguasai ruang ri
"Dengar-dengar, Mbak memutuskan lamaran abangku, ya? Sayang sekali, kalian udah pas banget soalnya." Azman memulai obrolan saat Azmi tertidur. Perjalanan darat, naik kapal laut, lalu darat lagi, membuat anak itu lelah."Padahal banyak loh, wanita di luar sana mengharapkannya. Selain ada yang nawarin diri, ada juga orang tuanya langsung melamar." Aku tak menampik pernyataan Azman. Lelaki dingin itu memiliki standar semua tipe pria. Rupawan, mapan, dan terutama sholeh."Aku yang kecewa loh, Mbak, kalau ada alasan lain selain demi persahabatan saja," ucap Azman lagi setelah aku masih memilih diam. Entah bagaimana mengomentarinya. Andai anak ini tahu rasaku, dia tak bakalan berkesimpulan sendiri. "Tak ada yang lain, kan, Mbak?""Maksudnya?" Aku mengerutkan alis. Mungkinkah mengorek isi hatiku yang jadi tujuan Azman mengantar? Ck! "Karena mantan, misalnya." Tak sengaja bibir menarik senyum kecil. Andai kakaknya yang dingin itu bertanya begitu, berarti rasa ini tak bertepuk sebelah tang
"Kasus penilangan mengingkari janji. Pacarnya mau adakan percobaan bunuh diri kalau Bang Gading tak segera menikahinya. Tunggu-tunggu aja! Paling besok-besok udah bagiin undangan, tu." Seperti biasa, jika membahas Mas Gading dan Mbak Amirah, Reta pasti acuh tak acuh. "Jadi Mas Gading di mana?" tanyaku prihatin sekaligus bahagia. Setidaknya lelaki baik itu ada yang mengurus. Kalau masalah cinta, yang penting Mbak Amira mau bersabar dan berusaha, perjuangan tak akan menghianati hasil. Insya Allah."Di rumah sakit, lah. Dasar cewek berpikiran sempit. Udah jelas-jelas tak diharap masih maksa. Kalau aku, mending ke laut aja sekalian." "Ngapain ke laut? Bunuh diri?" jawabku ikut menggodanya. "Amit-amit! Ya, refresing kek, mandi-mandi kek, tangkap kepiting, kerang, atau hiu sekalian," ucap gadis periang ini dengan mulut penuh. Dia memang selalu cuek terhadap lawan jenis, makanya tak pernah kudengar dia patah hati.Tok, tok.Mendengar suara ketukan di pintu aku bergegas menarik jilbab ins
Sengaja hari ini pulang agak telat dari toko. Biasanya jam setengah lima sore, aku dan Azmi sampai di rumah. Reta juga telah bertolak, tinggal dua pegawainya yang melayani pelanggan. "Kok, lama sih, Mbak?" Azman muncul dari arah rumah Mbah. Dia memakai baju koko panjang sewarna dengan kopyah. Sekilas, tak jauh beda dengan kakaknya."Belum makan, ya?" kataku menebak maksud tujuannya menyapa. Dia menarik senyum sekilas lalu menarik Azmi duduk di teras."Sudah makan bakso tadi di luar," jawabnya sambil membantu Azmi menyelesaikan permainan rubiknya. Ini gara-gara Reta yang menghadiah putraku kado yang susah diselesaikan."Terus?" kataku memasukkan belanjaan ke kulkas. Reta ke rumah sakit melihat Mas Gading. Aku tak ikut, karena khawatir kedatanganku menambah masalah baru."Nggak, lagi rindu sama Azmi aja," jawabnya berusaha santai tapi tak bisa menyembunyikan gelisah. Aneh! "Ya, udah, kalau nggak mau ngasih tau," Aku hendak bergegas lagi ke dalam. "A-anu, Mbak." Azman menggaruk kepala
"Jodoh tak pernah salah, yang salah ketika menyalahkan jodoh kita. Bukankah Allah telah memasangkan sesuai dengan standar ukuran kita? Maka jangan pernah berfikir, diri lebih baik daripada jodoh kita itu." Aku menghela napas lalu melanjutkan, "Mbak Amira mencintaimu, Mas. Itu modal utama untuk membimbingnya. Banyak orang di luaran sana, bahagia sampai kakek-nenek, tanpa kenal lebih dulu, apalagi cinta. Sedangkan, Mas? Aku pikir ini hanya soal waktu saja." kalimat itu kutujukan jua untuk hatiku. Kami berada di tema yang sama, walau berbeda alur. Sama-sama menginginkan sesuatu yang tak mungkin termiliki. Mas Gading terlihat membuka matanya, lalu menatapku lurus, kemudian manggut-manggut sambil tersenyum. "Betul katamu, Lan. Kamu memang cocok jadi adikku, itu karena aku tak pernah menemukan tatap cinta dan sayang dari matamu yang seperti saat Amira menatapku." Ck! Kirain serius, ternyata lagi bercanda, tapi sukses membuatku tersentil. "E, e, siapa bilang? Aku juga mencuntai dan menyay
Biasanya, melipat dan menyetrika pakaian tak sampai dua jam selesai. Namun, kali ini terasa sangat lama. Nailah dan Azmi yang sempat membantu menurut mereka, jadi ketiduran, aslinya, sih, memang lagi main-main sambil seru-seruan.Bukan karena pakaian yang menumpuk setelah habis acara pesta sederhana, dalam rangka mengumumkan kehalalan hubungan kami.Terlebih disebabkan tentang keberangkatan besok untuk menemui umminya Nailah di Makassar, jadi aku kurang fokus. Padahal ini hampir dua bulan rencana kedatangannya mundur dari informasi sebelumnya.Abi Nailah yang baru datang dari pondok hanya menggeleng kecil sambil tersenyum melihat dua bocah terlelap asal, kemudian memindahkan mereka satu-persatu di biliknya. Kamar memang tempat favoritku mengerjakan kegiatan tersebut, selain nyaman melantai dan dingin kena AC, juga aman meski tak memakai jilbab andai kedatangan tamu tiba-tiba."Tidak usah disetrika, Ummi Sayang." Abi Nailah menyamakan posisi, dia mengambil duduk di belakang sambil mel
"Andai kutahu sahabatku seterluka ini, dari awal tak akan beramah-tamah dengan Simbah dan putrinya," kataku menatap Reta sendu. "Ck, meski aku frustasi begini, masih waras tuk melibatkan mereka dalam persoalan hati." Aku meringis merasakan cubitan kecil Reta di pinggang, sekaligus syahdu menyadari my sister itu telah kembali.Serasa ada yang mengharu biru di dada. "Kalau kamu tinggal di rumah Simbah, aku sama siapa?" tanya Reta seperti dulu, yang selalu nyeplos tanpa berfikir. Anak itu kini benar-benar telah legowo."Makanya nikah juga. Bulan udah dua kali, kamu tinggal perawan tua." Bantal langsung dilayangkan Reta, menimpuk kepala Mas Gading yang menyela pembicaraan. "Semua yang pernah pedekate ke kamu melalui aku, mulai dari belum matang, setengah matang, matang berkali-kali atau gosong sekalian, Abang masih punya nomor HP mereka semua." Mas Gading memperlihatkan gawainya ke Reta dengan mimik lucu tapi serius."Abang ..." Mas Gading langsung berlari keluar mendengar adiknya bert
Entah hanya berapa jam waktu tidurku semalam, setelah melakukan pengaduan panjang lewat salat tahajud dan dilanjut salat Subuh, aku berkutat di dapur lalu membersihkan rumah.Rumah sakit yang terpikir sekarang, entah Reta tak memaafkan lantas mengusir, aku akan jelaskan semua dan memohon maaf yang sebesarnya. Bahkan akan berencana mempertemukan Abi Nailah, agar dia mendengar langsung pernyataan dari bibir pria yang diimpikannya itu."Semoga Allah memudahkanmu, Sayang." Doa Simbah saat aku pamit, beliau mengusap kepalaku sambil tersenyum hangat."Bawain bakso bakar yang dekat masjid kalau pulang nanti, ya, Ummi," pesan Nailah dan Azmi hampir berbarengan, makanan itu mamang favorit mereka. Aku menaikkan jempol tanda setuju.Aku sampai ke rumah sakit dengan ojek sesuai rencana, namun segera berbalik ke toko setelah mendapat telepon Pak Sholeh, ada instansi yang ingin mengambil barang dalam jumlah besar dan harus ada tanda tangan pemilik tokoh sebagai tanda bukti. Okelah, bertemu Reta kit
Aku menumpukan bobot tubuh di kursi taman, meredam rasa bercampur yang masih bergolak. Aku tak tahu apa yang ada di pikiran Mas Rio, bisa-bisanya muhallil yang bercokol di otaknya dan seakan tak bisa diubah. Dia pikir semudah menggoreng ikan lalu melahapnya? Dan luar biasanya, Reta mendukung rencana gila itu agar mendapatkan Abi Nailah. Tak salah lagi, kedua orang ini bucin akut. Ajaibnya semua menyangkut diriku.Huft ...Kututup mata beberapa saat sambil memijit pangkal hidung, ini salah satu cara merilekskan otot-otot syaraf yang masih menegang. Entah itu benar apa tidak, diri selalu mengaplikasikan cara ini."K-kapan, Mas, di sini?" Aku memegang dada mendapati rupa menawan itu sangat dekat saat membuka mata, berjarak sekitar setengah lengan dewasa, hembusan desahan panjangnya menyapu wajahku.Abi Nailah tak menjawab, dia menarik lenganku lembut menuju parkiran, lalu memintaku naik ke roda empatnya. Pria ini kenapa bersikap aneh?Seperti biasa, tak ada percakapan, hanya suara grub
Aku menatap tak berkedip ke arah Reta sekaligus berusaha menajamkan pendengaran ke lawan bicaranya yang kini dia kurangi volume suara di ponselnya. Sama, gadis manis itu tetap bersikap benci, malah sekarang dia seakan jijik walau sekedar menoleh ke arahku meski hanya sejenak. Ya, walau tak sepenuhnya aku menyalahkan diri, tetap saja posisiku tersudut bila berhadapan Reta. Ya, itu disebabkan sebegitu sayangnya aku pada dia. Tidak! Sekira persahabatan kami ini benar-benar tak bisa diselamatkan, aku harus menahan ego. Setidak aku telah berusaha berjuang untuk memperbaiki walau ujungnya akan tetap salah, dimaki, dan dijauhi. Ya, Rabb .... Beri hamba sejumput sabar lagi. Pliss .... Mohon dengan sangat. "Seberapa besar marahmu ke aku, sejumlah itu juga diri akan memohon maaf," kataku dengan bibir bergetar. Sungguh ... jangankan dalam dunia maya, dalam mimpipun aku tak pernah berniat menyakiti hati sahabatku. "Tidak untuk kali ini. Anggap saja aku sudah mati, begitupun sebaliknya." Mimi
Setelah Marta mampu mengontrol emosinya, dia lantas mengajak kami ke arah kamarku dulu."Sekuat apa aku berjuang sepertinya akan sia-sia. Lihatlah! Tak ada aku di sana," ucapnya menunjuk isi ruangan yang telah terenov, foto pengantin kami dalam ukuran besar terpajang di dinding, ditambah gambar Azmi berbagai gaya dan pose.Abi Nailah sempat terpaku setelah menyusuri dengan bola mata ruang penuh kenangan."Jangan pernah sedikitpun menyimpan cemburu untukku, Mar, karena hari di mana satu malam Mas Rio mengambil paksa haknya, aku membuang diri ke esokan paginya ke tempat asing, mengobati sakit, bahkan melahirkan tanpa keluarga," kataku mengusap pipi, lalu melirik Abi Nailah. Ah, biarlah dia tahu seperti apa wanita yang telah dinikahinya."Bertahun tertatih berjuang mengikhlaskan semua yang terjadi, lihatlah, meski jauh dari baik, aku bisa bilang, sahabatmu ini bahagia, pun tak menyimpan dendam pada kalian," ujarku menarik senyum."Intinya, jangan berputus asa, Marta. Yakinlah, Allah akan
Meski dalam keadaan baru bangun, aku mengenal jelas sosok berbau maskulin itu. "M-mau ke mana, Mas?" tanyaku memberanikan diri melihat Abi Nailah berpenampilan sangat berbeda. Baju kaos putih setengah lengan dipadu celana training panjang. Huft, mataku hampir lupa berkedip beberapa saat mendapati keindahan pahatan Ilahi."Mau antar Rahmat -sopir-." Ekspresinya tetap dingin, tapi ajaibnya lelahku tiba-tiba hilang mendengar kami mulai bisa berkomunikasi."Aku ikut." Ingin sekali bibir mengucapkan itu, tapi rasa canggung menguasai. Selain ingin jalan-jalan bersamanya dalam keadaan status yang berbeda, aku ingin mangajaknya menjemput Marta lalu bertemu Mas Rio. Mestinya rasa grogi itu sudah hilang, mengingat pernikahan ini tak ada paksaan seperti dulu, ditambah usia matang mengarungi rumah tangga dan status yang bisa dikatakan berpengalaman. Huft, tetap saja bekal itu tak menjadi dorongan untuk menjalin keakraban lebih cepat. Aku mulai meragu dengan kata-kata Azman, kalau abangnya
Meski dadakan dan seadanya, acara tetap berjalan sesuai syariat, pun seluruh kerabat dekat yang hadir sangat bersuka cita, mungkin karena sudah tahu kami memang sempat hampir menikah, namun batal karena ulahku.Terutama Nailah, Rina, bapak, dan ibu, apalagi Marta. Mulai dari mendengar persetujuan Abi Nailah, sikap permusuhannya langsung mencair bak es. Aku seperti kembali ke memory di masa-masa sekolah dulu.Ya, Rabb ... buka jugalah pintu hati sahabatku Reta di sana. Agar hambamu ini tak dihantui rasa bersalah. Amin."Maaf, Mar. Apa pernikahan kalian belum diketahui orang tua Mas Rio?" tanyaku pada Marta, setelah sedari tadi tak melihat Mas Rio.Wanita yang matanya bengkak efek menangis itu, seketika memegang dada sambil menatapku sendu, dari geriknya menunjukkan kalau statusnya masih istri siri. Sungguh mustahil diterima akal sehat, bertahun menunggu dalam ketidak pastian, masih tetap berjuang memiliki. Marta benar-banar layak dilabeli wanita bucin sejati sedunia."Nanti aku akan m
Karena bapak, ibu, dan Rina memaksa, juga Nailah merengek, akhirnya lelaki dingin itu menginap di lantai bawah. Tempat itu ada dua kamar sekarang, salah satunya untuk tamu. Aku tak tahu sampai jam berapa mereka ngobrol di malam harinya. Yang jelas, aku, Azmi, dan Nailah terbawa mimpi di atas kamarku dengan nyenyak. Bahkan setelah salat Subuh berencana tidur lagi sedikit karena lelahnya.Baru saja mata terpejam segera terbangun mendengar suara-suara ribut di bawah. Untuk memastikan kejadian, dengan lunglai aku mengecek situasi setelah memasang jilbab.Marta tiba-tiba menghambur memelukku dan menangis sesenggukan sesaat kaki menjejaki undakan tanggga paling akhir, terlihat Mas Rio pasrah melihat dua wanita yang pernah dimadunya dalam keadaan tidak biasa. Ada apa ini? Apa yang terjadi sebenarnya?Belum hilang kekalutanku di pagi buta, Andi menyodorkan ponsel berdering terus yang tak sempat kukantongi tadi. Reta! Tangan merijek dulu, waktunya tidak tepat."Aku mencintai Mas Rio dengan se