"Tidak, Sayang, kami menghargai keputusanmu. Kamu memang anak yang patut diperjuangkan."Kurasakan kulit keriput Simbah memegang tanganku. Refleks aku membuka mata dan berdiri memeluknya dari belakang. "Terima kasih, Mbah. Dari awal Bulan selalu bersyukur dipertemukan dengan, Simbah." Buncahan di dada akhirnya keluar juga, dada terasa sempit menahan sesak yang sedari tadi ingin tumpah. Ya, menangis memang bagian dari simbol kelemahan, tapi sekaligus jalan untuk tetap bersabar. Bersabar dari luka, kecewa, dan takdir yang pasti terjadi. "Kalau Simbah sudah membuat keputusan, kami anak-anak bisanya berbuat apa?" ucap abah sambil bercanda, dan diangguki oleh ummah. Sementara lelaki datar itu masih setia memandang ke tengah lautan. Aku tak tahu menafsirkan raut wajah mereka satu-persatu karena aku tak berani mengangkat wajah lama-lama, selain hati malu, pun ikhlasku masih berusaha kuseimbangkan.Hamba rido dengan segala takdirMu Ya, Rabb. Termasuk tak memiliki dia yang menguasai ruang ri
"Dengar-dengar, Mbak memutuskan lamaran abangku, ya? Sayang sekali, kalian udah pas banget soalnya." Azman memulai obrolan saat Azmi tertidur. Perjalanan darat, naik kapal laut, lalu darat lagi, membuat anak itu lelah."Padahal banyak loh, wanita di luar sana mengharapkannya. Selain ada yang nawarin diri, ada juga orang tuanya langsung melamar." Aku tak menampik pernyataan Azman. Lelaki dingin itu memiliki standar semua tipe pria. Rupawan, mapan, dan terutama sholeh."Aku yang kecewa loh, Mbak, kalau ada alasan lain selain demi persahabatan saja," ucap Azman lagi setelah aku masih memilih diam. Entah bagaimana mengomentarinya. Andai anak ini tahu rasaku, dia tak bakalan berkesimpulan sendiri. "Tak ada yang lain, kan, Mbak?""Maksudnya?" Aku mengerutkan alis. Mungkinkah mengorek isi hatiku yang jadi tujuan Azman mengantar? Ck! "Karena mantan, misalnya." Tak sengaja bibir menarik senyum kecil. Andai kakaknya yang dingin itu bertanya begitu, berarti rasa ini tak bertepuk sebelah tang
"Kasus penilangan mengingkari janji. Pacarnya mau adakan percobaan bunuh diri kalau Bang Gading tak segera menikahinya. Tunggu-tunggu aja! Paling besok-besok udah bagiin undangan, tu." Seperti biasa, jika membahas Mas Gading dan Mbak Amirah, Reta pasti acuh tak acuh. "Jadi Mas Gading di mana?" tanyaku prihatin sekaligus bahagia. Setidaknya lelaki baik itu ada yang mengurus. Kalau masalah cinta, yang penting Mbak Amira mau bersabar dan berusaha, perjuangan tak akan menghianati hasil. Insya Allah."Di rumah sakit, lah. Dasar cewek berpikiran sempit. Udah jelas-jelas tak diharap masih maksa. Kalau aku, mending ke laut aja sekalian." "Ngapain ke laut? Bunuh diri?" jawabku ikut menggodanya. "Amit-amit! Ya, refresing kek, mandi-mandi kek, tangkap kepiting, kerang, atau hiu sekalian," ucap gadis periang ini dengan mulut penuh. Dia memang selalu cuek terhadap lawan jenis, makanya tak pernah kudengar dia patah hati.Tok, tok.Mendengar suara ketukan di pintu aku bergegas menarik jilbab ins
Sengaja hari ini pulang agak telat dari toko. Biasanya jam setengah lima sore, aku dan Azmi sampai di rumah. Reta juga telah bertolak, tinggal dua pegawainya yang melayani pelanggan. "Kok, lama sih, Mbak?" Azman muncul dari arah rumah Mbah. Dia memakai baju koko panjang sewarna dengan kopyah. Sekilas, tak jauh beda dengan kakaknya."Belum makan, ya?" kataku menebak maksud tujuannya menyapa. Dia menarik senyum sekilas lalu menarik Azmi duduk di teras."Sudah makan bakso tadi di luar," jawabnya sambil membantu Azmi menyelesaikan permainan rubiknya. Ini gara-gara Reta yang menghadiah putraku kado yang susah diselesaikan."Terus?" kataku memasukkan belanjaan ke kulkas. Reta ke rumah sakit melihat Mas Gading. Aku tak ikut, karena khawatir kedatanganku menambah masalah baru."Nggak, lagi rindu sama Azmi aja," jawabnya berusaha santai tapi tak bisa menyembunyikan gelisah. Aneh! "Ya, udah, kalau nggak mau ngasih tau," Aku hendak bergegas lagi ke dalam. "A-anu, Mbak." Azman menggaruk kepala
"Jodoh tak pernah salah, yang salah ketika menyalahkan jodoh kita. Bukankah Allah telah memasangkan sesuai dengan standar ukuran kita? Maka jangan pernah berfikir, diri lebih baik daripada jodoh kita itu." Aku menghela napas lalu melanjutkan, "Mbak Amira mencintaimu, Mas. Itu modal utama untuk membimbingnya. Banyak orang di luaran sana, bahagia sampai kakek-nenek, tanpa kenal lebih dulu, apalagi cinta. Sedangkan, Mas? Aku pikir ini hanya soal waktu saja." kalimat itu kutujukan jua untuk hatiku. Kami berada di tema yang sama, walau berbeda alur. Sama-sama menginginkan sesuatu yang tak mungkin termiliki. Mas Gading terlihat membuka matanya, lalu menatapku lurus, kemudian manggut-manggut sambil tersenyum. "Betul katamu, Lan. Kamu memang cocok jadi adikku, itu karena aku tak pernah menemukan tatap cinta dan sayang dari matamu yang seperti saat Amira menatapku." Ck! Kirain serius, ternyata lagi bercanda, tapi sukses membuatku tersentil. "E, e, siapa bilang? Aku juga mencuntai dan menyay
Sebenarnya meladeni pelanggan adalah bagian dari pekerjaan Pak Saleh. Tapi kebetulan beliau lagi keluar dan lidahku terlanjur merangkai janji, maka atas nama profesionalisme, aku mengikuti, menjelaskan, dan menulis setiap barang yang dipilih lelaki dingin itu, beserta jumlahnya. Jangan tanya keadaanku sekarang. Jantung dan perangkat-perangkat lainnya seperti lomba pacuan kuda di sana. Efeknya bagi tubuhku bak orang habis lari berkilo-kilo.Walau lelaki yang selalu tampak tenang itu tidak benyak komentar, apalagi penawaran, tetap saja kekakuan muncul sendiri dan sama sekali tak bisa kunetralisir.Ah, kadang diri benci dengan sikapku yang terlalu berlebihan. "Setelah salat mampir lagi ke sini, Mas." Pak Saleh muncul saat toa masjid berbunyi menandakan waktu Duhur. Sudah kebiasaan toko kami, menjamu pembeli yang mengambil barang di atas jumlah maksimal. Itu bentuk terima kasih, keakraban, dan promosi agar tetap berlangganan. Trik dagang. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Men
"Maaf, Bapak-bapak saya ke sebelah dulu." Reta turun setelah pamit, mengikuti dua pekerja yang mendahului, kebetulan waktu ishoma telah selesai.Mataku tak berkedip memandang punggung sahabatku itu sampai menghilang di balik pintu. Serasa ada yang teremas di balik dada mendapati mata yang selalu ceria tak lagi berseri. Ah, sungguh diri ini lebih memilih persahabatan dari pada cinta. "Ada masalah, Nak Bulan?" tanya Pak Saleh menyadarkanku dari hampa yang tiba-tiba tercipta."T-tidak ada apa-apa, Pak," jawabku gamang sambil berusaha bersikap biasa. "Mobilnya disesuaikan dengan dana, bisa nyicil kok. Jangan khawatir, tanpa riba," jelas Pak Mahmud semangat, bibirnya tak lepas mengukir senyum."Nanti saya pikirkan, Pak. Kalau masalah dana sebenarnya sudah cukup. Cuman ..." Kalimatku terhenti untuk melanjutkan atau tidak. "Kalau buat Nak Bulan tanpa DP juga boleh," Lagi, Pak Mahmud menambahkan. Tak salah beliau sudah tahu persoalanku dengan atasannya. "Bulan rencana buka cabang di sekita
"Apa yang telah kamu lakukan, Ta?" kataku mendekat. Gadis ayu itu mengarahkan pandangan ke langit-langit kamar, seakan menghitung berapa paku yang menempel di palfon tripleks di atasnya. Dua hari dia terbaring lemah tapi tak ingin dirawat di rumah sakit. Hampir empat tahun kami bersama, paling flu, kecapean, demam, atau luka lecet, yang menghampiri. Ini? Pertama kali melihatnya sakit parah, karena down lagi. Rasanya tak percaya. Gadis tangguh, tegas, cuek, dan ceria, terbaring lemah akibat sebuah penantian. Ajaibnya, penantian yang tak pernah terungkap. Tidakkah itu termasuk kesia-siaan yang hakiki? Ya, semua orang pernah berada di fase terpuruk. Tak terkecuali aku. Hanya beda cerita saja. Cuman, ada sesal di hati, bila sahabatku itu, jatuh akibat perjuangan yang belum dimulai. Ibarat permainan catur, skakmat sebelum melangkah."Kalau memang engkau mencintai seseorang dan tak mampu melupakannya, kenapa tidak jujur, Ta? Bukankah mendengar penolakan lebih baik daripada hanya menung
Biasanya, melipat dan menyetrika pakaian tak sampai dua jam selesai. Namun, kali ini terasa sangat lama. Nailah dan Azmi yang sempat membantu menurut mereka, jadi ketiduran, aslinya, sih, memang lagi main-main sambil seru-seruan.Bukan karena pakaian yang menumpuk setelah habis acara pesta sederhana, dalam rangka mengumumkan kehalalan hubungan kami.Terlebih disebabkan tentang keberangkatan besok untuk menemui umminya Nailah di Makassar, jadi aku kurang fokus. Padahal ini hampir dua bulan rencana kedatangannya mundur dari informasi sebelumnya.Abi Nailah yang baru datang dari pondok hanya menggeleng kecil sambil tersenyum melihat dua bocah terlelap asal, kemudian memindahkan mereka satu-persatu di biliknya. Kamar memang tempat favoritku mengerjakan kegiatan tersebut, selain nyaman melantai dan dingin kena AC, juga aman meski tak memakai jilbab andai kedatangan tamu tiba-tiba."Tidak usah disetrika, Ummi Sayang." Abi Nailah menyamakan posisi, dia mengambil duduk di belakang sambil mel
"Andai kutahu sahabatku seterluka ini, dari awal tak akan beramah-tamah dengan Simbah dan putrinya," kataku menatap Reta sendu. "Ck, meski aku frustasi begini, masih waras tuk melibatkan mereka dalam persoalan hati." Aku meringis merasakan cubitan kecil Reta di pinggang, sekaligus syahdu menyadari my sister itu telah kembali.Serasa ada yang mengharu biru di dada. "Kalau kamu tinggal di rumah Simbah, aku sama siapa?" tanya Reta seperti dulu, yang selalu nyeplos tanpa berfikir. Anak itu kini benar-benar telah legowo."Makanya nikah juga. Bulan udah dua kali, kamu tinggal perawan tua." Bantal langsung dilayangkan Reta, menimpuk kepala Mas Gading yang menyela pembicaraan. "Semua yang pernah pedekate ke kamu melalui aku, mulai dari belum matang, setengah matang, matang berkali-kali atau gosong sekalian, Abang masih punya nomor HP mereka semua." Mas Gading memperlihatkan gawainya ke Reta dengan mimik lucu tapi serius."Abang ..." Mas Gading langsung berlari keluar mendengar adiknya bert
Entah hanya berapa jam waktu tidurku semalam, setelah melakukan pengaduan panjang lewat salat tahajud dan dilanjut salat Subuh, aku berkutat di dapur lalu membersihkan rumah.Rumah sakit yang terpikir sekarang, entah Reta tak memaafkan lantas mengusir, aku akan jelaskan semua dan memohon maaf yang sebesarnya. Bahkan akan berencana mempertemukan Abi Nailah, agar dia mendengar langsung pernyataan dari bibir pria yang diimpikannya itu."Semoga Allah memudahkanmu, Sayang." Doa Simbah saat aku pamit, beliau mengusap kepalaku sambil tersenyum hangat."Bawain bakso bakar yang dekat masjid kalau pulang nanti, ya, Ummi," pesan Nailah dan Azmi hampir berbarengan, makanan itu mamang favorit mereka. Aku menaikkan jempol tanda setuju.Aku sampai ke rumah sakit dengan ojek sesuai rencana, namun segera berbalik ke toko setelah mendapat telepon Pak Sholeh, ada instansi yang ingin mengambil barang dalam jumlah besar dan harus ada tanda tangan pemilik tokoh sebagai tanda bukti. Okelah, bertemu Reta kit
Aku menumpukan bobot tubuh di kursi taman, meredam rasa bercampur yang masih bergolak. Aku tak tahu apa yang ada di pikiran Mas Rio, bisa-bisanya muhallil yang bercokol di otaknya dan seakan tak bisa diubah. Dia pikir semudah menggoreng ikan lalu melahapnya? Dan luar biasanya, Reta mendukung rencana gila itu agar mendapatkan Abi Nailah. Tak salah lagi, kedua orang ini bucin akut. Ajaibnya semua menyangkut diriku.Huft ...Kututup mata beberapa saat sambil memijit pangkal hidung, ini salah satu cara merilekskan otot-otot syaraf yang masih menegang. Entah itu benar apa tidak, diri selalu mengaplikasikan cara ini."K-kapan, Mas, di sini?" Aku memegang dada mendapati rupa menawan itu sangat dekat saat membuka mata, berjarak sekitar setengah lengan dewasa, hembusan desahan panjangnya menyapu wajahku.Abi Nailah tak menjawab, dia menarik lenganku lembut menuju parkiran, lalu memintaku naik ke roda empatnya. Pria ini kenapa bersikap aneh?Seperti biasa, tak ada percakapan, hanya suara grub
Aku menatap tak berkedip ke arah Reta sekaligus berusaha menajamkan pendengaran ke lawan bicaranya yang kini dia kurangi volume suara di ponselnya. Sama, gadis manis itu tetap bersikap benci, malah sekarang dia seakan jijik walau sekedar menoleh ke arahku meski hanya sejenak. Ya, walau tak sepenuhnya aku menyalahkan diri, tetap saja posisiku tersudut bila berhadapan Reta. Ya, itu disebabkan sebegitu sayangnya aku pada dia. Tidak! Sekira persahabatan kami ini benar-benar tak bisa diselamatkan, aku harus menahan ego. Setidak aku telah berusaha berjuang untuk memperbaiki walau ujungnya akan tetap salah, dimaki, dan dijauhi. Ya, Rabb .... Beri hamba sejumput sabar lagi. Pliss .... Mohon dengan sangat. "Seberapa besar marahmu ke aku, sejumlah itu juga diri akan memohon maaf," kataku dengan bibir bergetar. Sungguh ... jangankan dalam dunia maya, dalam mimpipun aku tak pernah berniat menyakiti hati sahabatku. "Tidak untuk kali ini. Anggap saja aku sudah mati, begitupun sebaliknya." Mimi
Setelah Marta mampu mengontrol emosinya, dia lantas mengajak kami ke arah kamarku dulu."Sekuat apa aku berjuang sepertinya akan sia-sia. Lihatlah! Tak ada aku di sana," ucapnya menunjuk isi ruangan yang telah terenov, foto pengantin kami dalam ukuran besar terpajang di dinding, ditambah gambar Azmi berbagai gaya dan pose.Abi Nailah sempat terpaku setelah menyusuri dengan bola mata ruang penuh kenangan."Jangan pernah sedikitpun menyimpan cemburu untukku, Mar, karena hari di mana satu malam Mas Rio mengambil paksa haknya, aku membuang diri ke esokan paginya ke tempat asing, mengobati sakit, bahkan melahirkan tanpa keluarga," kataku mengusap pipi, lalu melirik Abi Nailah. Ah, biarlah dia tahu seperti apa wanita yang telah dinikahinya."Bertahun tertatih berjuang mengikhlaskan semua yang terjadi, lihatlah, meski jauh dari baik, aku bisa bilang, sahabatmu ini bahagia, pun tak menyimpan dendam pada kalian," ujarku menarik senyum."Intinya, jangan berputus asa, Marta. Yakinlah, Allah akan
Meski dalam keadaan baru bangun, aku mengenal jelas sosok berbau maskulin itu. "M-mau ke mana, Mas?" tanyaku memberanikan diri melihat Abi Nailah berpenampilan sangat berbeda. Baju kaos putih setengah lengan dipadu celana training panjang. Huft, mataku hampir lupa berkedip beberapa saat mendapati keindahan pahatan Ilahi."Mau antar Rahmat -sopir-." Ekspresinya tetap dingin, tapi ajaibnya lelahku tiba-tiba hilang mendengar kami mulai bisa berkomunikasi."Aku ikut." Ingin sekali bibir mengucapkan itu, tapi rasa canggung menguasai. Selain ingin jalan-jalan bersamanya dalam keadaan status yang berbeda, aku ingin mangajaknya menjemput Marta lalu bertemu Mas Rio. Mestinya rasa grogi itu sudah hilang, mengingat pernikahan ini tak ada paksaan seperti dulu, ditambah usia matang mengarungi rumah tangga dan status yang bisa dikatakan berpengalaman. Huft, tetap saja bekal itu tak menjadi dorongan untuk menjalin keakraban lebih cepat. Aku mulai meragu dengan kata-kata Azman, kalau abangnya
Meski dadakan dan seadanya, acara tetap berjalan sesuai syariat, pun seluruh kerabat dekat yang hadir sangat bersuka cita, mungkin karena sudah tahu kami memang sempat hampir menikah, namun batal karena ulahku.Terutama Nailah, Rina, bapak, dan ibu, apalagi Marta. Mulai dari mendengar persetujuan Abi Nailah, sikap permusuhannya langsung mencair bak es. Aku seperti kembali ke memory di masa-masa sekolah dulu.Ya, Rabb ... buka jugalah pintu hati sahabatku Reta di sana. Agar hambamu ini tak dihantui rasa bersalah. Amin."Maaf, Mar. Apa pernikahan kalian belum diketahui orang tua Mas Rio?" tanyaku pada Marta, setelah sedari tadi tak melihat Mas Rio.Wanita yang matanya bengkak efek menangis itu, seketika memegang dada sambil menatapku sendu, dari geriknya menunjukkan kalau statusnya masih istri siri. Sungguh mustahil diterima akal sehat, bertahun menunggu dalam ketidak pastian, masih tetap berjuang memiliki. Marta benar-banar layak dilabeli wanita bucin sejati sedunia."Nanti aku akan m
Karena bapak, ibu, dan Rina memaksa, juga Nailah merengek, akhirnya lelaki dingin itu menginap di lantai bawah. Tempat itu ada dua kamar sekarang, salah satunya untuk tamu. Aku tak tahu sampai jam berapa mereka ngobrol di malam harinya. Yang jelas, aku, Azmi, dan Nailah terbawa mimpi di atas kamarku dengan nyenyak. Bahkan setelah salat Subuh berencana tidur lagi sedikit karena lelahnya.Baru saja mata terpejam segera terbangun mendengar suara-suara ribut di bawah. Untuk memastikan kejadian, dengan lunglai aku mengecek situasi setelah memasang jilbab.Marta tiba-tiba menghambur memelukku dan menangis sesenggukan sesaat kaki menjejaki undakan tanggga paling akhir, terlihat Mas Rio pasrah melihat dua wanita yang pernah dimadunya dalam keadaan tidak biasa. Ada apa ini? Apa yang terjadi sebenarnya?Belum hilang kekalutanku di pagi buta, Andi menyodorkan ponsel berdering terus yang tak sempat kukantongi tadi. Reta! Tangan merijek dulu, waktunya tidak tepat."Aku mencintai Mas Rio dengan se